Share

Urusan Kita Selesai

Setengah sepuluh dokter masuk ke ruangan, perbolehkan Rahma pulang dengan terlebih dahulu menebus resep untuk diminum selama masa penyembuhan.

Dimas membayar semua, sekalian biaya rawat.

Rahma pasrah, uang gaji kemarin sudah ia masukkan ke rekening, di dompet hanya tiga lembar merah.

“Berapa semua?”

Lelaki itu terpaksa perlihatkan jumlah tertera, karena Rahma memaksa. "Ini saya simpan ya, Pak. Terima kasih banyak atas bantuannya."

"Tolong jangan formal sama aku, Rahma. Kamu ngejek karena aku kelihatan tua, kan?"

"Bukan begitu, Pak-"

"Aku belum menikah dan merasa insecure kalau dipanggil begitu. Tolong sebut Dimas saja. Ok?"

Mengernyit kening Rahma pun akhirnya mengiyakan.

Mereka meninggalkan rumah sakit menggunakan mobil Dimas. Rahma menyebut jalan arah rumah yang akan dituju. Dia akan mampir sebentar mengabarkan musibah ini pada majikan, sekaligus menyelesaikan urusannya dengan Dimas.

“Tunggu sebentar ya, Dimas,” kata Rahma saat mobil berhenti di depan rumah luas berpagar besi warna biru.

“Di sini rumahmu?”

“Bukan, makanya tunggu aku sebentar,” jawab Rahma sambil turun.

Sigap lelaki itu keluar lebih dulu hendak membantu Rahma yang jalannya belum seimbang.

“Aku bisa sendiri,” tolak halus Rahma sambil melempar senyum kecil. Ia tak mau ada banyak budi pada orang asing, takut suatu hari nanti ditagih kembali.

“Ya Allah, Mbak Rahma ini kenapa?” Nyonya rumah yang kebetulan di luar kaget lihat keadaan assisten datang dengan kaki timpang.

Sebentar menjelaskan singkat kejadian semalam, Rahma menunjukan jumlah tertera di kertas. Iaminta tolong majikan membayarkan dulu untuk mengganti uang Dimas.

“Ya ampun, kamu kok gak telepon ibu? Kan bisa Ibu langsung ke sana nengok.” Wanita itu menyuruh Rahma dan Dimas duduk sementara ia ke ruang dalam.

'Apa Rahma pekerja di sini?' Dimas perhatikan gerak-gerik Rahma yang duduk sembari menaut jemari gelisah, tanpa bertanya apapun

Tak lama Nyonya rumah kembali dengan amplop di tangan.

“Ini, kalau ada apa-apa jangan sungkan, Mbak Rahma. Tinggal bilang aja sama ibu.”

“Terima kasih banyak, Bu. Bayarnya potong gaji saya, ya, Bu.”

“Iya, jangan dipikirin.”

Tangan Dimas kaku mengambil uang yang langsung Rahma berikan padanya.

Sekilas wanita paruh baya itu melihat pada lelaki berambut gondrong yang duduk tak jauh dari Rahma.

"Ini siapa?"

Dimas merespons cepat. “Saya Dimas, Bu. Kendaraan saya yang nyenggol motornya Rahma, saya bermaksud bertanggungjawab atas semua tapi Mbak Rahma ini menolak dibayarkan, jadi ini terpaksa menerima."

"Ohh." Bibir majikan Rahma membulat, tapi matanya memindai wajah Dimas

“Makasih banyak atas bantuannya, Dimas. Artinya urusan kita sudah selesai, ya. Pak Dimas silakan pulang duluan. Saya masih ada pekerjaan di sini," ujar Rahma kemudian. Ia lega majikannya mau membantu melepaskan sedikit bebannya.

“Mbak Rahma ibu larang kerja dulu dengan luka begini. Oh, siapa tadi namamu, Nak?” Wanita itu bertanya pada Dimas.

“Dimas Jayadi, Bu. Panggil Dimas saja.”

“Nak Dimas tolong antarkan saja Mbak Rahma pulang.

“Rahma masih bisa naik sepeda, Bu,” tolak Rahma segan.

“Kalau gitu kita sepeda bareng?” Dimas menaikan alis. “tanggung jawabku belum selesai sampai kamu pulang dengan selamat, Rahma. Ya nggak, Bu?” Ia malah meminta dukungan wanita yang langsung tertawa geli.

“Eh, kok namanya sama dengan Jayadi Dimas Property? Apa ini yang arsitek muda itu, ya?”

“Ehm, iya, Bu. Kebetulan saya dapat proyek di kota ini.”

“Wah Bapak bakal senang kalau bisa ketemu gini.” Semringah wajah wanita berkulit putih ini begitu mengenal Dimas. “Saya Bu Yanti, dikenal Bu Gondo juga,” lanjutnya.

“Jadi ini rumah Pak Gondo Wiryawan?”

“Iya, Nak Dimas. Kapan-kapan main ke sini, Bapak senang ini perusahaanmu mau kerjasama bangun perumnas kantornya. Wong katanya yang selama ini urusan sama assisten aja, sama yang punya belum ketemu.”

“Saya sama assisten sama saja, Bu. Terima kasih, Bu Gondo sambutannya. Kapan-kapan saya mampir lagi, ini mau istirahat dulu,” gelak Dimas sambil menarik dada baju, mencium bau badannya sendiri. Ia belum mandi sejak kemarin sore.

“Iya, iya, dengan senang hati. Tolong antarkan Mbak Rahma, ya,” pesan wanita itu lagi saat mereka keluar.

“Mbak Rahma masuk kerjanya nunggu sehat betul. Kalau maksa masuk ibu berhentikan langsung,” ancam Bu Gondo serius. Ia paling kesal kalau melihat Rahma terlalu keras pada dirinya sendiri.

"Iya, Bu. Terima kasih. Saya akan berusaha cepat sembuh."

Dari balik kaca matanya Bu Gondo menatap punggung mereka menuju mobil. Sikap Dimas terlihat hangat, siaga menjaga Rahma yang tak seimbang berjalan.

'Ah, Mbak, semoga suatu saat kamu ketemu lelaki yang baik seperti Dimas itu,' doa tulus Bu Gondo.

*

“Kok sepi? Kamu tinggal sendiri?”

Dimas mengantar sampai ke teras.

“Oh, enggak kok banyak orang cuma belum pulang. Terima kasih banyak Pak Dimas boleh pulang sekarang.”

“Yah, panggil ‘pak’ lagi.”

Rahma pura-pura abai dengan protes lelaki yang baru dikenalnya itu. Sengaja berdiri di halaman, belum akan membuka pintu sebelum Dimas beranjak pulang.

“Baiklah, jangan lupa minum obatnya. Ada keluhan bisa telepon ke nomorku.” Dimas menadah tangan tanda meminta ponsel Rahma.

Sedikit ragu Rahma mengambil ponsel dalam tas.

Setelah mengetik dan simpan nomornya Dimas misscall ke nomor sendiri, lalu memberikan lagi pada Rahma.

“Anaknya cakep,” puji Dimas pada wallpaper, dimana Rahma tertawa lepas saat dicium pipinya oleh seorang anak laki-laki.

“I-iya. Terima kasih,” sahut Rahma kaku.

“Ya sudah aku pulang dulu.”

Lelaki tegap itu akan keluar halaman dengan langkah cepat, tapi terhenti saat mobil merah menyala masuk ke halaman. Langkahnya melambat menunggu orang di dalamnya keluar.

'Apa itu keluarga Rahma? Mungkin aku perlu minta maaf pada mereka' pikirnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status