Ophelia harus menggantikan kakak perempuannya yang kabur, saat pernikahan mereka akan di langsungkan. Ia bukan pengantin yang di pilih, namun ia di tunjuk sebagai pengganti dengan syarat menikah kontrak selama 3 bulan. Menikah dengan pria yang tidak pernah ia temui sama sekali, memiliki karakter dan sifat yang saling bertolak belakang, membuat pernikahan mereka tidak seperti pernikahan pada umumnya, karena di dasari pada pengganti dan kontrak yang mengikat.
View More"Pengantin wanita kabur dari pernikahan?"
"Astaga, bukankah ini akan mencoreng kedua nama baik keluarga?" "Pasti pengantin prianya sungguh malu, kasihan sekali." "Bagaimana acara ini akan berjalan? Pasti keluarga pengantin wanita sungguh malu sekali." "Kasihan sekali pengantin pria itu. Belum acara pernikahan mereka, ia sudah di tinggal lebih dulu." "Ini pasti akan jadi berita pertama, yang menempati urutan nomor 1 di media dunia." Bisikan-bisikan terus terdengar dari kursi para tamu undangan, ada yang turut prihatin dan kasihan dengan pengantin pria, ada juga yang hanya duduk sambil merekam video untuk di upload ke internet. Padahal baru beberapa menit yang lalu, suasana begitu bersahabat dan penuh bahagia serta haru. Namun semuanya berubah dalam sekejap membalikan telapak tangan. Hanya beberapa kalimat. Pengantin. Wanita. Kabur. Ini merupakan tamparan keras bagi keluarga Addison maupun keluarga Orlov, mereka merencanakan pernikahan ini agar hubungan bisnis mereka semakin kuat, dan juga hubungan kekeluargaan mereka semakin erat. Namun semuanya lumrah dalam waktu beberapa menit, sebelum di mulainya pernikahan. Para tamu mulai riuh, sebagian berdiri, sebagian lagi memilih tetap duduk dengan ekspresi canggung. Kamera ponsel menyorot ke arah panggung pelaminan yang kosong, sementara MC berusaha menenangkan suasana dengan senyum kaku yang jelas terlihat dipaksakan. Di barisan depan, wajah keluarga Addison memucat. Ibu pengantin wanita hampir pingsan, ditopang oleh anak laki-lakinya yang panik. Sang ayah, Jonathan Addison, wajahnya menegang, rahang mengeras seolah menahan amarah sekaligus rasa malu yang luar biasa. "Bagaimana mungkin putriku melakukan ini…?!" desisnya di antara gigi yang terkatup rapat. Di sisi lain, keluarga Orlov duduk dengan ekspresi yang sangat berbeda. Alih-alih panik atau merasa malu, Leonid Orlov, justru duduk tenang. Tangan kirinya menggenggam tongkat berlapis perak, sementara matanya yang tajam menatap kosong ke arah altar yang tak jadi dipijak pengantin perempuan. "Hmph…" gumamnya rendah, nyaris tak terdengar. "Sepertinya gadis itu terlalu naif jika mengira bisa lari dari keluarga Orlov." Bisikan itu cukup untuk membuat bulu kuduk orang-orang terdekatnya berdiri. ·–·–·–·–·–· Sementara itu, di ruang pengantin pria, Edward masih duduk dengan tenang, jauh dari segala hiruk pikuk yang terjadi di aula. Ia menyalakan sebatang rokok, menatap percikan api di ujungnya, lalu menghembuskan asap tebal. Tidak ada ekspresi terluka, tidak ada tanda-tanda kecewa. Justru sebaliknya, ada sinar tipis di matanya, antara geli dan marah. "Benar-benar di luar prediksi." ucap Dante, yang melangkah masuk dengan tidak sopan. Padahal hari ini, Dante ingin melihat bagaimana wujud dari putri kedua keluarga Addison itu, namun yang di dapatinya sungguh sesuatu yang di luar ekspektasinya. Edward tidak segera menjawab. Asap rokok terus berputar di udara, menyelubungi ruangan dengan aroma tajam tembakau yang pekat. Matanya menatap kosong ke arah jendela, seolah pemandangan pesta di dalam aula, hanyalah pertunjukan kecil yang tidak berarti apa-apa. Senyum tipis terlukis di bibirnya. "Di luar prediksi?" suaranya berat, dalam, dan tenang. "Tidak ada yang di luar prediksi, Dante. Semua sudah saya hitung… bahkan kemungkinan wanita itu kabur." Dante, dengan setelan hitam elegan yang kontras dengan sikap kasualnya, mengangkat alis. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, kedua tangan masuk ke dalam saku. "Lalu? Kau akan tetap duduk di sini, merokok, sementara ratusan tamu menertawakan namamu di luar sana? Atau… kau memang menunggu momen ini, Edward?" Seketika, tatapan Edward beralih padanya. Tajam. Dingin. Tatapan yang membuat Dante, meski seorang Orlov juga, sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan sisi tergelap sepupunya. "Apa menurutmu, saya peduli dengan bisikan-bisikan mereka?" Edward berdiri, menjatuhkan puntung rokok ke lantai marmer, lalu menginjaknya dengan sepatu hitam mengilap. "Mereka hanya penonton, Dante. Boneka yang haus drama. Yang penting… bukan apa yang terjadi di altar." Edward mendekat ke meja panjang yang dipenuhi dengan botol minuman kristal, menuangkan segelas wiski seolah hari ini bukan hari pernikahannya, melainkan sekadar pesta kecil untuk dirinya sendiri. Jemarinya berputar di sekitar gelas, menatap cairan amber itu dengan pandangan penuh perhitungan. "Lalu, apa rencanamu sekarang?" tanya Dante tidak sabaran. Edward tersenyum tipis, "Memilih pengganti untuk menikah denganku, sekarang. Tepat di sini." Dante menyeringai tipis, meski di balik senyumnya ada rasa penasaran bercampur kagum pada sepupunya ini. Edward menegakkan tubuhnya, mengangkat gelas wiski itu lalu meneguknya perlahan. Aroma alkohol memenuhi udara. Ia lalu meletakkan gelas dengan bunyi thak keras di meja marmer. Dante terkekeh pelan, meski nada tawanya terdengar sinis. "Pengganti? Hah… kau bicara seolah-olah wanita bisa kau pilih seenaknya, Edward. Kau pikir keluarga Addison akan tinggal diam setelah putri mereka melarikan diri?" Edward menoleh perlahan, sorot matanya tajam seperti pisau. "Keluarga Addison sudah kehilangan harga diri mereka malam ini. Mereka tidak punya kekuatan menolak apapun yang aku putuskan. Justru… jika saya menikahi salah satu perempuan lain sekarang juga, mereka akan merasa ‘diselamatkan’." Dante menaikkan alisnya, jelas tertarik. "Lalu… siapa yang kau pilih?" Senyum tipis itu muncul lagi di wajah Edward, kali ini jauh lebih dingin. Ia melangkah mendekat ke jendela besar, menyingkap tirai dan menatap kerumunan tamu undangan di aula yang masih kacau. Jemarinya mengetuk perlahan bingkai kaca, irama yang membuat suasana makin mencekam. "Pengganti…" gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Harus seseorang yang cukup berharga… agar pernikahan ini tetap menjadi pondasi kekuatan. Seseorang yang tidak bisa menolak… meski nyawanya taruhannya." Dante menyipitkan mata, mengerti arah pikirannya. "Jangan bilang… kau akan—" Edward menoleh, senyum bengis terukir jelas. "Benar. Putri bungsu keluarga Addison. Ophelia." Suasana ruangan mendadak hening, bahkan detak jam dinding terdengar begitu nyaring. Dante terkekeh, tapi kali ini tawanya lebih seperti suara orang yang baru saja menyaksikan kebrutalan yang tak terbayangkan. "Kau benar-benar gila, Edward… mengambil adiknya sendiri, tepat setelah kakaknya kabur? Hah, ini akan jadi sejarah yang ditulis dengan darah." Edward kembali menuang wiski ke gelasnya, lalu mengangkatnya seakan bersulang pada dirinya sendiri. "Bukan sejarah, Dante. Ini peringatan… untuk siapa pun yang berpikir mereka bisa melawan keluarga Orlov." Ketukan pintu menyadarkan Dante yang terlihat serius, pria itu dengan cepat mengatur ekspresi wajahnya. Pintu ruangan kembali terbuka, seorang pria berjas hitam masuk dengan wajah tegang. "Tuan… dua keluarga menunggu keputusan Anda. Mereka… menanyakan apa yang akan dilakukan mengenai pernikahan ini." Edward meneguk wiski hingga habis, lalu menaruh gelasnya dengan bunyi keras. Ia meraih mantel hitam panjangnya, lalu berbalik dengan tatapan yang membuat orang-orang di ruangan itu bergidik. "Katakan pada mereka…" suaranya berat, tegas, dan penuh ancaman, "…pernikahan tetap berlangsung. Hanya saja, pengantinnya berganti." Dante tertawa lepas kali ini, penuh kepuasan sekaligus kegilaan. "Astaga… aku harus duduk di barisan depan untuk menyaksikan kekacauan ini. Kau benar-benar bukan manusia biasa, Edward." Edward hanya tersenyum tipis. "Manusia biasa tak pernah mampu menguasai dunia, Dante." ·–·–·–·–·–· Ophelia tidak tahu, bagaimana ia harus membaca situasi yang terjadi sekarang. Kakaknya kabur dari altar pernikahan, beberapa menit sebelum pernikahan di gelar. Sekarang, nama dua keluarga sedang di pertaruhkan di sini. Dan yang lebih membuatnya takut dan khawatir, adalah nama baik keluarganya. Ophelia... tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi satu hal yang penting, keluarganya tidak bisa mengambil keputusan secara mutlak, karena yang memegang kendali di sini adalah seseorang yang tingkatnya lebih tinggi dari keluarga Addison. Ophelia berdiri diam di ruangan keluarga Addison, tubuhnya gemetar hebat. Ia masih mengenakan gaun sederhana berwarna biru pucat, jelas bukan gaun pengantin. Sekarang, ia berada di ambang yang sangat ragu ia lewati. Bahkan ayahnya secara paksa dan penuh bentakan, langsung menunjuknya sebagai pengganti kakaknya. Jonathan, sang ayah langsung menunjuknya tanpa memikirkan keputusan Ophelia. "Ophelia! Kau satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kehormatan keluarga ini. Jangan pernah berpikir menolak!" Mata Ophelia melebar, ia mundur setapak. "Ayah… tidak. Aku tidak bisa! Itu—" "Jangan menolak?!" Jonathan membentak, membuat semua orang di ruangan itu terdiam. "Apakah kau pikir ada ruang untuk berbicara di antara keluarga sekuat Orlov? Kakakmu sudah mempermalukan kita semua. Kau harus menebusnya, Ophelia. Kau harus!" Jantung Ophelia serasa ingin pecah. Nafasnya sesak, pandangannya berkunang. Tubuhnya seperti dikunci oleh ratusan pasang mata yang menuntutnya untuk tunduk. Pintu berderit terbuka. Seorang pria berjas hitam, utusan keluarga Orlov, masuk dengan langkah berat. Tatapannya lurus, dingin, tanpa belas kasihan. "Tuan Orlov menunggu. Pengantin harus segera dibawa ke altar." Ophelia merasakan dunia berhenti. Semua orang menatapnya, menuntutnya berjalan. Tangannya gemetar ketika dua pelayan keluarga Addison mendekat, mencoba menuntunnya. Namun Ophelia memberontak. "Tidak! Aku—" Satu tamparan keras dari ayahnya mendarat di pipinya. Ophelia terhuyung, tubuhnya hampir jatuh jika tidak ditahan oleh pelayan keluarga. Suasana ruang keluarga Addison membeku, hanya terdengar isak lirih sang ibu yang semakin lemah di kursinya. Jonathan mendekat, wajahnya merah padam, urat-urat lehernya menonjol. "Diam, Ophelia! Kau pikir kehormatan keluarga ini bisa kau injak sesuka hati? Jika kau menolak, maka bukan hanya kau… seluruh keluarga ini akan hancur! Itu yang kau mau?!" Ophelia menyentuh pipinya yang panas dan sakit, akibat tamparan dari ayahnya itu. Ophelia menggigit bibirnya sampai darah terasa di lidahnya. Air matanya menetes, namun masih dapat ia sembunyikan, tubuhnya gemetar. Ia ingin berteriak, ingin lari, ingin kabur sejauh mungkin dari neraka ini. Namun kedua lengannya digenggam kuat oleh pelayan, membuatnya seolah tak berdaya. Pintu kembali berderit terbuka. Suara langkah yang berat dan berwibawa terdengar. Semua orang refleks menunduk, ruangan terasa diselimuti udara dingin. Edward melangkah masuk dengan pasti. Mantel hitam panjangnya berkibar ringan saat ia berjalan. Wajahnya tanpa emosi, matanya tajam menusuk seperti singa yang baru saja memilih mangsanya. Sepatu hitam miliknya ikut mengetuk di atas lantai marmer itu, membuat orang-orang akan menyadari kedatangannya di ruangan itu. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan Ophelia. "Lepaskan dia." suaranya rendah, tapi otoritasnya tak terbantahkan. Dua pelayan Addison langsung melepaskan cengkeraman mereka, mundur dengan kepala menunduk dalam. Ophelia mendongak, napasnya terengah. Pandangan matanya bertemu dengan sorot Edward. Tatapan itu dingin, penuh kuasa, dan sama sekali tidak memberi celah untuk menawar. "Ja… jangan… jangan lakukan ini…" suaranya lirih, hampir tak terdengar. Edward tidak menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya, meraih dagu Ophelia, memaksa wajah perempuan itu menengadah. "Kau pikir kau bisa memilih jalanmu sendiri? Tidak, Ophelia. Malam ini kau adalah pengantinku." Ophelia menggeleng cepat. Sungguh. "Tidak! Aku bukan—" Kata-katanya terhenti saat Edward menunduk sedikit, suaranya berbisik tapi cukup keras untuk membuat semua yang hadir merasakan ancaman dinginnya. "Jika kau menolak… keluarga Addison akan hancur saat ini juga. Kau tahu saya bisa melakukannya." Ophelia merasa darahnya mengalir membeku. Kata-kata Edward bukan sekadar ancaman kosong. Ia tahu, pria di depannya ini memiliki kuasa yang bisa meluluhlantakkan segalanya hanya dengan satu perintah. Tangannya bergetar hebat, tubuhnya lunglai, matanya berkaca-kaca. Ia ingin menjerit, tapi lidahnya kelu. Edward berbalik, suaranya tegas dan lantang, seolah memberi komando perang. "Persiapkan altar." ·–·–·–·–·–· to be continue...Suasana di ruang rapat itu sangat tenang, hanya ada satu orang yang berbicara, yaitu yang sudah di tunjuk oleh perusahaan yang ingin bekerjasama, menyampaikan rancangan mereka pada Edward. Sedangkan di ujung meja rapat, Edward duduk tenang, dan fokus memperhatikan penjelasan dengan seksama. Sama sekali tidak terganggu dengan keadaan di sekitarnya.Di depannya, layar presentasi menampilkan deretan grafik dan proyeksi keuntungan yang dibuat sedemikian rapi, namun Edward tidak serta-merta percaya pada angka-angka itu. Ia tidak hanya melihat angka, tetapi juga membaca setiap detail sikap orang yang mempresentasikan—intonasi, gerakan tangan, bahkan ekspresi mata. Sesekali jemarinya yang panjang mengetuk permukaan meja rapat dengan irama pelan, tanda ia sedang menimbang sesuatu. Aura dinginnya membuat semua yang hadir menjaga sikap. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara selain pembicara.Bahkan direktur dari perusahaan kerjasama yang duduk di samping kirinya, juga tidak mengeluarkan suar
Ophelia melupakan yang satu ini. Apakah mereka berdua harus tidur satu ranjang? Ia fokus pada laptopnya, namun pikirannya tertuju pada bagaimana mereka berdua akan berbagi ranjang yang sama malam ini, Ophelia menatap layar laptopnya, namun huruf-huruf di depannya berloncatan seperti tarian aneh yang sama sekali tak bisa ia pahami. Jantungnya berdebar lebih cepat daripada biasanya, dan bukan karena tenggat tugas kuliah. Pikirannya terjebak pada satu hal, atau lebih tepatnya, satu tempat. Ranjang."Tidak mungkin…" bisiknya pelan, tangan meremas rok yang ia kenakan. "Apa… apa dia benar-benar akan tidur di ranjang yang sama denganku?"Ophelia menutup laptopnya dengan suara klik yang terdengar terlalu keras di tengah kamar yang sunyi. Ia menahan napas, seolah suara itu bisa membangunkan sesuatu yang lebih berbahaya dari sekadar rasa kantuk. Pintu kamar terbuka sedikit, lalu terdengar langkah kaki mendekat. Ophelia refleks menarik selimutnya, seakan itu bisa menjadi benteng terakhir untuk m
Sudah 1 minggu berlalu sejak Ophelia menikah, tidak... lebih tepatnya di jadikan istri pengganti. Setelah menandatangani kontrak yang di tinggalkan oleh pria itu, Ophelia langsung kembali ke kehidupan kampusnya seperti biasa. Selama 1 minggu ini, ia tidak merasakan gerakan apapun, seperti di awasi, atau sebagainya seperti yang di katakan oleh pria itu. Karena itulah Ophelia bisa bernapas dengan sedikit lega.Ophelia menutup laptopnya, dan memasukannya kembali ke dalam tas miliknya. Jadwal kelas selanjutnya adalah pukul 2 siang, karena itu Ophelia harus bergegas untuk pergi ke kelasnya. Di usianya yang baru menginjak 21 tahun ini, ia tidak menyangka akan mendapatkan perubahan paling besar dalam hidupnya, yaitu menjadi seorang istri, walaupun cuma di anggap sebagai pengganti sebelum pengantin yang sebenarnya kembali ke tempatnya.Ophelia merapikan rambutnya yang tergerai sambil menatap pantulan wajahnya di kaca jendela perpustakaan yang mulai kosong. Cahaya matahari siang menyorot matan
Begitulah semuanya terjadi. Dante dan asisten pribadi Edward, langsung membungkam seluruh media yang hadir, juga memulangkan semua tamu undangan yang jumlahnya hampir memenuhi aula itu. Pernikahan ini, akan menjadi pernikahan tertutup yang penuh misteri, yang tidak akan bisa di ketahui oleh dunia luar. Lampu-lampu gantung kristal yang berkilau dingin kini hanya menyinari wajah-wajah yang tersisa: keluarga inti, pasukan bersenjata yang menjaga setiap pintu, dan saksi sah yang sudah dikontrol sepenuhnya."Buang semua rekaman. Tidak boleh ada satu pun gambar yang keluar dari aula ini," ucap Edward dengan nada berat. Matanya menyapu ruangan, yang sekarang sudah sepi, yang tersisa adalah keluarga Addison dan keluarga Orlov.Tatapan pria itu, berhenti tepat di depan perempuan yang sekarang berdiri di depannya ini, dengan mengenakan gaun putih sederhana yang panjang, dengan buket bunga yang ada di tangannya. Edward berjalan mendekat perlahan, langkah-langkahnya terdengar jelas di lantai marm
"Pengantin wanita kabur dari pernikahan?""Astaga, bukankah ini akan mencoreng kedua nama baik keluarga?""Pasti pengantin prianya sungguh malu, kasihan sekali." "Bagaimana acara ini akan berjalan? Pasti keluarga pengantin wanita sungguh malu sekali." "Kasihan sekali pengantin pria itu. Belum acara pernikahan mereka, ia sudah di tinggal lebih dulu." "Ini pasti akan jadi berita pertama, yang menempati urutan nomor 1 di media dunia." Bisikan-bisikan terus terdengar dari kursi para tamu undangan, ada yang turut prihatin dan kasihan dengan pengantin pria, ada juga yang hanya duduk sambil merekam video untuk di upload ke internet. Padahal baru beberapa menit yang lalu, suasana begitu bersahabat dan penuh bahagia serta haru. Namun semuanya berubah dalam sekejap membalikan telapak tangan. Hanya beberapa kalimat.Pengantin. Wanita. Kabur. Ini merupakan tamparan keras bagi keluarga Addison maupun keluarga Orlov, mereka merencanakan pernikahan ini agar hubungan bisnis mereka semakin kuat,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments