Share

Bab 2

Kini Vania telah kembali ke rumah.

Dia menghela nafas panjang ketika melihat Rendi melangkah masuk ke dalam kamarnya. Dengan cepat, ia memalingkan wajahnya segera ke cermin. Gadis itu malas jika nantinya kedatangan sang suami ke kamarnya, akan berakhir dengan sebuah pertengkaran.

Selalu itu yang terjadi, tiga bulan pernikahan ini, ia jalani dengan hambar tanpa adanya kemesraan di antara mereka. Vania mengakui bahwa setelah menikah, ada getar yang terasa jika melihat lelaki itu. Namun, tak pernah ia tunjukkan. Vania menahan diri karena menyadari posisi dirinya.

Tuhan, salahkah jika ia mulai memiliki rasa pada suaminya sendiri?

Seminggu setelah pernikahan, banyak sekali Vania mendengar orang- orang yang menghujat, memaki, dan mengutuk dirinya, bahkan julukan sebagai pelakor pun disematkan padanya. Tapi, tahukah mereka jika hatinya juga sangat tersiksa dengan pernikahan ini?

Sungguh, menerima pernikahan ini seperti buah simalakama bagi Vania. Jika bukan karena bapak dan ibu ... siapa yang mau dijadikan istri kedua?

"Vania, ini uang nafkah untukmu bulan ini," ucap Rendi kemudian meletakkan sebuah amplop putih di atas meja riasnya.

"Terima kasih," ucap Vania datar. Mengambil amplop itu dan menyimpannya di dalam laci meja rias.

"Maaf, aku kehilangan nomer rekeningmu," lanjutnya lagi seakan mengetahui apa yang dipikirkan Vania. Wajar saja, karena dua bulan terakhir Rendi mentransfer uang nafkah untuknya melalui rekening.

"Karin memintaku untuk tidur disini bersamamu," ucap lelaki itu ragu.

Vania mengangguk lalu kembali memandang pantulan wajahnya dicermin.

Selama tiga bulan menjalani pernikahan ini, hanya beberapa kali saja Rendi mendatangi kamarnya. Itupun karena paksaan Karin, kakak madunya

Namun, Jangan berpikir mereka akan menghabiskan malam dengan percintaan yang panas seperti layaknya pasangan pengantin baru. Vania dan Rendi akan tidur dengan punggung saling membelakangi meski berada di atas ranjang yang sama.

Sakit?

Jangan ditanyakan. Bukan keinginan Vania untuk bisa menjadi orang ketiga dalam pernikahan mereka. Lagi, dia hanya dapat bisa berandai ... andai saja, gadis itu bisa menolaknya.

"Aku tidur dulu, mas," ucap Vania datar.

Tak ada jawaban dari Rendi, lelaki itu memilih bungkam. Vania tak terlalu peduli.

Setelah ritual perawatan wajah selesai, Vania beranjak dari hadapan meja riasnya, menuju ke peraduan, merebahkan tubuhnya perlahan lalu menarik selimutnya.

"Mas kembali saja ke kamar Mbak Karin. Temani saja dia. Maaf, aku lelah, ingin tidur."

Tak terdengar suara jawaban dari Rendi. Hanya helaan nafasnya yang terdengar berat.

"Vania ..." panggilnya.

"Ada apa?"

"Aku minta maaf karena membuatmu terjebak dalam pernikahan ini."

"Tak perlu minta maaf, mas. Aku menerima pernikahan ini demi membalas jasa keluargamu."

"Papa dan mama sudah mendesakku agar segera memberi kabar tentang kehamilanmu." Ucapan Rendi terdengar begitu pelan.

Vania memejamkan mata. Ada rasa teriris di hati mendengarnya.

"Mbak Karin pasti sangat terluka mendengarnya," lirih Vania pelan, menjawabnya.

"Aku ...."

"Pergilah ke kamar Mbak Karin. Maaf, aku lelah." Vania mengulangi kalimatnya.

Bukan maksud gadis itu menolak untuk menunaikan kewajiban seorang istri pada suaminya, tapi ia lelah dengan keadaan ini. Setiap hari, ia selalu berdoa dan berharap ada jalan keluar terbaik untuknya agar bisa mengakhiri dan terbebas dari hubungan ini. Vania menjerit dalam hatinya.

"Vania." Lagi, Rendi memanggilnya.

"Mas, adakah jalan keluar bagi kita untuk mengakhiri pernikahan ini?" Sungguh, terasa sesak dada Vania ketika mengatakan kalimat ini.

"Cobalah untuk menerimanya, maka semua akan berjalan baik-baik saja."

"Benarkah, bisa seperti itu?" Vania bangkit dari tidurnya dan menatap tajam pada Rendi, suaminya.

"Bolehkah aku bertanya satu hal saja padamu, mas?"

"Apa kau menerima pernikahan ini dengan bahagia?" cecar Vania. "TIDAK, bukan? Lalu mengapa kau bisa mengira semua akan baik-baik saja jika pada akhirnya kita bertiga akan terluka?"

Pipi Vania terasa hangat, sekuat mungkin ia menahan air mata agar tidak jatuh. Ia tak mau Rendi melihatnya menangis.

"Vania. Jika kau hamil, maka semua masalah akan selesai. Bukankah tujuan pernikahan ini adalah ..."

"Seorang bayi. Penerus nama keluarga Atmadja. Aku tahu itu, mas," potong Vania cepat.

"Jika kau cepat hamil dan memberikan keturunan untuk keluargaku, maka aku ..."

"Kau akan menceraikanku, begitu bukan?"

Rasanya Vania ingin tertawa mendengarnya. Ya, itulah alasannya mengapa ia masuk menjadi istri kedua. Hanya demi seorang penerus keluarga. Mereka hanya menganggapnya sebagai alat penghasil bayi.

Sayangnya, Rendi terikat janji pada Karin untuk tidak menceraikannya, kecuali atas permintaan mertuanya. Orang tua Rendi sendiri!

Sebegitu rumitnya hubungan mereka, membuat Vania kadang ingin menyerah. Dan, menekan perasaannya pada Rendi bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dilakukannya!

Belum lagi, sikap mertua yang begitu baik juga menjadi pertimbangan Vania. Andai saja ibu mertua bersikap seperti mertua kejam dalam chanel TV ikan terbang yang sering ia tonton atau cerita-cerita di grup kepenulisan yang ia baca ... sudah tentu gadis itu akan sangat gembira karena memiliki alasan untuk bisa mengakhiri pernikahan ini.

"Kembalilah ke kamar Mbak Karin, mas. Maaf, jika diijinkan, aku ingin tidur."

"Vania, malam ini ijinkan aku tidur di sini. Karin pasti akan kecewa jika ia melihatku kembali ke kamarnya," pintanya terdengar memelas.

"Terserah mas saja."

Segera Vania rebahkan kembali tubuhnya, lalu berbalik membelakanginya. Selalu saja berakhir seperti ini. Mereka akan bertengkar lebih dulu setiap kali suaminya datang ke kamarnya, membahas alasan dibalik pernikahan mereka. Sungguh, jika tidak mengingat akan hutang budi kedua orang tuanya. Rasanya, sudah lama Vania pergi sejauh mungkin dari kota ini dan tentunya dari pernikahan ini.

****

Mata Karin terlihat sedikit sembab pagi ini. Vania tahu, kakak madunya itu pasti mengira ia dan Rendi menghabiskan malam panas dengan berbagi peluh di ranjang. Ia bisa mengetahuinya dari sorot mata Karin yang kini tengah menatapnya sayu.

Selalu saja seperti ini. Vania merasa seakan begitu disudutkan. Karena, gadis itu yakin di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Karin juga tak rela membagi suaminya dengan wanita lain.

Sejatinya, tak ada seorang wanita manapun yang mau membagi suami dan cintanya kepada wanita lain. Dalam situasi ini, keikhlasan dan kebodohan kadang hanya dibedakan dengan selembar kertas tipis.

"Vania, ayo makanlah dulu. Mbak sudah minta Bi Asih membuatkan nasi goreng kesukaanmu," tawar Karin dengan senyum tipis. Vania bisa melihatnya, Senyuman yang diperlihatkan Karin padanya penuh dengan keterpaksaan.

"Terima kasih."

Rendi datang tanpa menyapanya dan langsung duduk bersebelahan dengan Karin. Vania memilih diam melihat kembali kemesraan mereka di meja makan ini. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mengakhiri sarapan ini secepat mungkin, karena terlalu lama melihatnya akan terbetik rasa cemburu di hatinya.

"Aku sudah selesai. Maaf, berangkat kerja dulu," pamit Vania lalu menggeser kursinya.

"Oh ya, sekalian aku mau minta izin padamu, mas. Nanti setelah pulang kerja, aku akan kembali ke kontrakanku."

Sebulan sebelum pernikahan mereka digelar, ayah Vania, Hasan memutuskan untuk berhenti bekerja dan pindah ke kampung halamannya di Purwokerto. Kedua orang tuanya memilih menghabiskan masa tua di sana. Mereka berpikir jika setelah menjadi menantu keluarga Atmaja, hidup putrinya akan bahagia. Nyatanya, kenyataan itu tidaklah benar.

Tapi, apa daya? Vania tak mungkin menceritakan masalahnya pada orang tuanya. Ia tak akan tega membebani mereka dengan masalah rumah tangganya. Dan juga, gadis itu tak akan sanggup melihat ibunya yang akan berlinang air mata jika mengetahui kenyataannya.

"Kenapa harus kembali ke sana, Vania?" tanya Karin.

"Karena ini bukan rumahku, Mbak," ucap Vania tegas sambil menoleh pada Rendi, suami mereka.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status