Kini Vania telah kembali ke rumah.
Dia menghela nafas panjang ketika melihat Rendi melangkah masuk ke dalam kamarnya. Dengan cepat, ia memalingkan wajahnya segera ke cermin. Gadis itu malas jika nantinya kedatangan sang suami ke kamarnya, akan berakhir dengan sebuah pertengkaran.
Selalu itu yang terjadi, tiga bulan pernikahan ini, ia jalani dengan hambar tanpa adanya kemesraan di antara mereka. Vania mengakui bahwa setelah menikah, ada getar yang terasa jika melihat lelaki itu. Namun, tak pernah ia tunjukkan. Vania menahan diri karena menyadari posisi dirinya.
Tuhan, salahkah jika ia mulai memiliki rasa pada suaminya sendiri?
Seminggu setelah pernikahan, banyak sekali Vania mendengar orang- orang yang menghujat, memaki, dan mengutuk dirinya, bahkan julukan sebagai pelakor pun disematkan padanya. Tapi, tahukah mereka jika hatinya juga sangat tersiksa dengan pernikahan ini?
Sungguh, menerima pernikahan ini seperti buah simalakama bagi Vania. Jika bukan karena bapak dan ibu ... siapa yang mau dijadikan istri kedua?
"Vania, ini uang nafkah untukmu bulan ini," ucap Rendi kemudian meletakkan sebuah amplop putih di atas meja riasnya.
"Terima kasih," ucap Vania datar. Mengambil amplop itu dan menyimpannya di dalam laci meja rias.
"Maaf, aku kehilangan nomer rekeningmu," lanjutnya lagi seakan mengetahui apa yang dipikirkan Vania. Wajar saja, karena dua bulan terakhir Rendi mentransfer uang nafkah untuknya melalui rekening.
"Karin memintaku untuk tidur disini bersamamu," ucap lelaki itu ragu.
Vania mengangguk lalu kembali memandang pantulan wajahnya dicermin.
Selama tiga bulan menjalani pernikahan ini, hanya beberapa kali saja Rendi mendatangi kamarnya. Itupun karena paksaan Karin, kakak madunya
Namun, Jangan berpikir mereka akan menghabiskan malam dengan percintaan yang panas seperti layaknya pasangan pengantin baru. Vania dan Rendi akan tidur dengan punggung saling membelakangi meski berada di atas ranjang yang sama.
Sakit?
Jangan ditanyakan. Bukan keinginan Vania untuk bisa menjadi orang ketiga dalam pernikahan mereka. Lagi, dia hanya dapat bisa berandai ... andai saja, gadis itu bisa menolaknya.
"Aku tidur dulu, mas," ucap Vania datar.
Tak ada jawaban dari Rendi, lelaki itu memilih bungkam. Vania tak terlalu peduli.
Setelah ritual perawatan wajah selesai, Vania beranjak dari hadapan meja riasnya, menuju ke peraduan, merebahkan tubuhnya perlahan lalu menarik selimutnya.
"Mas kembali saja ke kamar Mbak Karin. Temani saja dia. Maaf, aku lelah, ingin tidur."
Tak terdengar suara jawaban dari Rendi. Hanya helaan nafasnya yang terdengar berat.
"Vania ..." panggilnya.
"Ada apa?"
"Aku minta maaf karena membuatmu terjebak dalam pernikahan ini."
"Tak perlu minta maaf, mas. Aku menerima pernikahan ini demi membalas jasa keluargamu."
"Papa dan mama sudah mendesakku agar segera memberi kabar tentang kehamilanmu." Ucapan Rendi terdengar begitu pelan.
Vania memejamkan mata. Ada rasa teriris di hati mendengarnya.
"Mbak Karin pasti sangat terluka mendengarnya," lirih Vania pelan, menjawabnya.
"Aku ...."
"Pergilah ke kamar Mbak Karin. Maaf, aku lelah." Vania mengulangi kalimatnya.
Bukan maksud gadis itu menolak untuk menunaikan kewajiban seorang istri pada suaminya, tapi ia lelah dengan keadaan ini. Setiap hari, ia selalu berdoa dan berharap ada jalan keluar terbaik untuknya agar bisa mengakhiri dan terbebas dari hubungan ini. Vania menjerit dalam hatinya.
"Vania." Lagi, Rendi memanggilnya.
"Mas, adakah jalan keluar bagi kita untuk mengakhiri pernikahan ini?" Sungguh, terasa sesak dada Vania ketika mengatakan kalimat ini.
"Cobalah untuk menerimanya, maka semua akan berjalan baik-baik saja."
"Benarkah, bisa seperti itu?" Vania bangkit dari tidurnya dan menatap tajam pada Rendi, suaminya.
"Bolehkah aku bertanya satu hal saja padamu, mas?"
"Apa kau menerima pernikahan ini dengan bahagia?" cecar Vania. "TIDAK, bukan? Lalu mengapa kau bisa mengira semua akan baik-baik saja jika pada akhirnya kita bertiga akan terluka?"
Pipi Vania terasa hangat, sekuat mungkin ia menahan air mata agar tidak jatuh. Ia tak mau Rendi melihatnya menangis.
"Vania. Jika kau hamil, maka semua masalah akan selesai. Bukankah tujuan pernikahan ini adalah ..."
"Seorang bayi. Penerus nama keluarga Atmadja. Aku tahu itu, mas," potong Vania cepat.
"Jika kau cepat hamil dan memberikan keturunan untuk keluargaku, maka aku ..."
"Kau akan menceraikanku, begitu bukan?"
Rasanya Vania ingin tertawa mendengarnya. Ya, itulah alasannya mengapa ia masuk menjadi istri kedua. Hanya demi seorang penerus keluarga. Mereka hanya menganggapnya sebagai alat penghasil bayi.
Sayangnya, Rendi terikat janji pada Karin untuk tidak menceraikannya, kecuali atas permintaan mertuanya. Orang tua Rendi sendiri!
Sebegitu rumitnya hubungan mereka, membuat Vania kadang ingin menyerah. Dan, menekan perasaannya pada Rendi bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dilakukannya!
Belum lagi, sikap mertua yang begitu baik juga menjadi pertimbangan Vania. Andai saja ibu mertua bersikap seperti mertua kejam dalam chanel TV ikan terbang yang sering ia tonton atau cerita-cerita di grup kepenulisan yang ia baca ... sudah tentu gadis itu akan sangat gembira karena memiliki alasan untuk bisa mengakhiri pernikahan ini.
"Kembalilah ke kamar Mbak Karin, mas. Maaf, jika diijinkan, aku ingin tidur.""Vania, malam ini ijinkan aku tidur di sini. Karin pasti akan kecewa jika ia melihatku kembali ke kamarnya," pintanya terdengar memelas."Terserah mas saja."
Segera Vania rebahkan kembali tubuhnya, lalu berbalik membelakanginya. Selalu saja berakhir seperti ini. Mereka akan bertengkar lebih dulu setiap kali suaminya datang ke kamarnya, membahas alasan dibalik pernikahan mereka. Sungguh, jika tidak mengingat akan hutang budi kedua orang tuanya. Rasanya, sudah lama Vania pergi sejauh mungkin dari kota ini dan tentunya dari pernikahan ini.
****
Mata Karin terlihat sedikit sembab pagi ini. Vania tahu, kakak madunya itu pasti mengira ia dan Rendi menghabiskan malam panas dengan berbagi peluh di ranjang. Ia bisa mengetahuinya dari sorot mata Karin yang kini tengah menatapnya sayu.
Selalu saja seperti ini. Vania merasa seakan begitu disudutkan. Karena, gadis itu yakin di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Karin juga tak rela membagi suaminya dengan wanita lain.Sejatinya, tak ada seorang wanita manapun yang mau membagi suami dan cintanya kepada wanita lain. Dalam situasi ini, keikhlasan dan kebodohan kadang hanya dibedakan dengan selembar kertas tipis.
"Vania, ayo makanlah dulu. Mbak sudah minta Bi Asih membuatkan nasi goreng kesukaanmu," tawar Karin dengan senyum tipis. Vania bisa melihatnya, Senyuman yang diperlihatkan Karin padanya penuh dengan keterpaksaan."Terima kasih."Rendi datang tanpa menyapanya dan langsung duduk bersebelahan dengan Karin. Vania memilih diam melihat kembali kemesraan mereka di meja makan ini. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mengakhiri sarapan ini secepat mungkin, karena terlalu lama melihatnya akan terbetik rasa cemburu di hatinya.
"Aku sudah selesai. Maaf, berangkat kerja dulu," pamit Vania lalu menggeser kursinya.
"Oh ya, sekalian aku mau minta izin padamu, mas. Nanti setelah pulang kerja, aku akan kembali ke kontrakanku."
Sebulan sebelum pernikahan mereka digelar, ayah Vania, Hasan memutuskan untuk berhenti bekerja dan pindah ke kampung halamannya di Purwokerto. Kedua orang tuanya memilih menghabiskan masa tua di sana. Mereka berpikir jika setelah menjadi menantu keluarga Atmaja, hidup putrinya akan bahagia. Nyatanya, kenyataan itu tidaklah benar.
Tapi, apa daya? Vania tak mungkin menceritakan masalahnya pada orang tuanya. Ia tak akan tega membebani mereka dengan masalah rumah tangganya. Dan juga, gadis itu tak akan sanggup melihat ibunya yang akan berlinang air mata jika mengetahui kenyataannya."Kenapa harus kembali ke sana, Vania?" tanya Karin.
"Karena ini bukan rumahku, Mbak," ucap Vania tegas sambil menoleh pada Rendi, suami mereka.
Bersambung...
"Vania!" Suara Rendi sedikit berintonasi.Vania menoleh dan menatapnya tajam, bukan karena ingin membangkang ataupun tidak menghargai suaminya sebagai pemimpin di keluarga ini, tapi ia sudah memikirkan baik-baik keputusannya untuk keluar dari rumah ini. Terlalu lama berada disekitar mereka membuatnya gerah. Vania tak akan mampu selamanya menutup mata melihat kemesraan mereka dan juga tatapan kesedihan yang selalu diperlihatkan Karin kepadanya.Dan terlebih juga pada perasaannya. sendiri. Vania takut jika perasaan cintanya akan semakin besar pada Rendi, nantinya akan membuat dirinya sulit untuk melepaskan diri dari pernikahan yang tak sehat ini. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah mencari cara agar bisa segera terlepas dari belenggu pernikahan yang menyakitkan ini."Mama tidak akan suka mendengarnya." Rendi mencoba mencegah.Vania menunduk sambil tersenyum getir."Mas, aku akan menjelaskannya pada mama. Jadi kau tak perlu khawatir.""Vania, pikirkan dulu." Karin menatap lembut padany
"Mbak bolehkah aku bicara sebentar denganmu?" Tanya Vania suatu sore ketika melihat Karin, kakak madunya itu sedang asyik berkebun di samping rumah."Bicara saja, Vania." Jawab Karin lembut.Vania menghela nafas, melihat pembawaan Karin yang begitu lembut dan tenang. Membuat ia kadang tak mampu untuk berkata kasar padanya."Mengapa mbak mengizinkan Mas Rendi menikah lagi? Jika pada akhirnya Mbak dan Mas Rendi juga akan terluka?" Hati hati Vania mengucapkannya.Karin tersenyum dan meletakkan sebuah pot berisi bunga mawar yang baru saja di rapikannya. Matanya kini menatap teduh pada gadis di hadapannya. Sebuah tatapan yang membuat dada Vania terasa sesak."Aku tidak sempurna, Vania! Aku tidak bisa memberikan seorang cucu untuk mama dan papa. Kau sendiri tahu, jika Mas Rendi adalah putra mereka satu-satunya. Aku sungguh egois dan merasa bersalah jika tak ada seorang bayi yang akan meneruskan nama keluarga Atmadja.""Tapi, apakah harus dengan cara seperti ini? Meminta Mas Rendi menikah la
"Ini," ucap Delia, rekan kerja Vania sambil meletakkan setumpuk map dihadapannya."Banyak amat," keluh Vania cemberut."Tahu tuh si nenek sihir, katanya semua ini harus selesai sebelum makan siang besok!""Besok?" Protes Vania tak percaya."Iya!" Delia menegaskan."Nenek sihir itu memaksaku lembur hari ini." Vania mendengkus kesal.Delia mengendikkan bahunya, mendengar keluhan Vania."Sepertinya begitu, baby." Balas Delia setengah berbisik."Kau protes saja pada nenek sihir itu." Lanjut Delia sambil melirik ruangan manager yang berada tak jauh dari meja kerja mereka.Vania menggeleng lemah. Ia sudah bisa membayangkan apa jawaban Bu Maria, Sang manager, jika ia nekad mengajukan protes. Wajah masam diperlihatkannya ketika melihat kembali tumpukan map setinggi dua puluh centimeter itu."Aku mau pesan makan siang, kau mau nitip nggak?" Tanya Delia sambil menatap layar ponselnya."Pesankan aku mie ayam Pak Amien saja.""Ok." Delia menyahut lalu mengetik pesan di ponselnya."Minumnya apa?"
Suara ketukan pintu terdengar begitu Vania keluar dari kamar mandi, harum lavender menguar di kamarnya. Untuk sesaat ia terpaku begitu mendengar suara yang terdengar bersamaan dengan ketukan pintu untuk yang kedua kalinya."Vania, bisakah kau buka pintunya sebentar?" ***Masih dengan kimono mandi yang dipakainya, Vania melangkah ke arah pintu. Sesaat ia memejamkan mata, lalu menghela nafas panjang.Aroma maskulin langsung tercium begitu pintu kamarnya terbuka. Tampak disana berdiri seorang pria yang langsung menatapnya dengan manik obsidiannya yang gelap."Ada apa mas?" Tanya Vania datar dengan sorot matanya yang dingin."Aku ingin bicara sebentar padamu, Vania?" "Masuklah."Tangan Vania membuka lebar pintunya Lalu membalikkan badan mencoba menghindar dari tatapan mata Rendi yang membuatnya tak nyaman.Vania memilih duduk di kursi meja riasnya, sementara Rendi berdiri tak jauh dari ranjang. Untuk sesaat Vania merasa begitu canggung kala melihat sosok tegap dan atletis tengah berdiri
Karin menatap pantulan dirinya di cermin, memandang wajahnya sambil menghela nafas panjang.Menyetujui pernikahan kedua suaminya mungkin adalah keputusan yang sangat bodoh dan konyol dalam pandangan orang lain. Berbagi raga suami dengan wanita lain bukanlah hal yang mudah. Banyak yang harus dikorbankan. Itulah yang sedang dirasakannya sekarang.Tak ada yang bisa ia lakukan selain menerima keadaan ini. Karin juga menyadari ketidak-sempurnaan dirinya. Berkali kali ia menekan perasaan cinta dan harga dirinya, namun, hal itu tak semudah membalik telapak tangan untuk dilakukan. Air mata rasanya sudah habis tercurah dan mengering. Memiliki seorang madu yang begitu cantik dengan menarik, tak pelak membuat Karin selalu menekan rasa cemburu dan ego. Ia sadar karena cepat atau lambat hal ini akan terjadi.Karin menarik perlahan sebuah buku bersampul kulit sintetis dari laci meja riasnya yang paling bawah. Sebuah foto yang berada dalam buku itu terjatuh ketika ia memiringkan lembaran kertas dal
Karin tersenyum tipis mendengar ucapan Vania. Membuat Vania semakin sulit mengartikan sikap kakak madunya itu."Kau salah Vania. Aku tidak sebaik yang kau kira."***"Apa maksudnya?" Mata Vania menyipit."Kau akan tahu suatu saat nanti, jika kau ingin bertanya apakah aku cemburu atau sakit hati. Maka jawabannya adalah iya. Aku begitu cemburu denganmu Vania. Bahkan rasanya ingin mencekik leher atau mencakar wajahmu." Tatapan mata yang menghujam dapat dirasakan Vania. Membuat gadis itu menaikkan salah satu sudut bibirnya. "Ada lagi yang ingin kau katakan?" Pertanyaan Karin hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh Vania. Melihat Vania bungkam, Karin membalikkan badan bermaksud meninggalkan kamar Vania."Aku tahu apa yang kulakukan, Vania." Ucap Karin sebelum menutup pintunya.Vania masih berdiri terpaku. Helaan nafas panjang terdengar, ia berusaha mencerna sikap dan ucapan Karin barusan. Vania bisa melihat ada kesakitan yang tak terlihat dari setiap kalimat yang diucapkannya tadi.Se
"Vania, apa kabar?"Seorang lelaki dengan senyum terbaiknya telah berdiri sambil mengulurkan tangannya di hadapan mereka. Seketika membuat Vania gugup. Kekhawatirannya menjadi kenyataan karena mantan kekasih yang ingin dihindarinya kini telah berdiri dihadapannya.Sambil mengulas senyum tipis, Vania menjawabnya, tanpa ia sadari jika ada sepasang mata dengan sorot mata yang dingin kini tengah mengawasinya****"Kudengar kau sudah menikah?" Gio berbasa-basi."Iya, aku sudah menikah." Jawab Vania cepat.Pandangan mata Gio begitu intens memandang gadis yang berdiri dihadapannya. Membuat Vania seketika mengalihkankan pandangannya.Untuk sesaat Vania merasa sesak dan tidak nyaman, karena pandangan mata Gio yang seakan ingin mengulitinya. Untung saja, Lila membuka suara, membicarakan hal lain dan mengalihkan tatapan Gio yang sedari tadi menatap intens ke wajah Vania.Suasana canggung menyelimuti. Meski dulu mereka berdua pernah memiliki hubungan asmara, entah mengapa malam ini Vania merasa s
"Vania, kau ada masalah?" Kembali Karin bertanya."Yah, aku memang ada masalah, mbak. Dan masalahku ada pada kalian berdua!" Ketus Vania lalu menggeser kursinya. ***Delikan tajam diterima Vania dari Rendi, namun tak begitu ia pedulikan. Vania menegakkan punggung dan kepalanya seakan ingin menantang.Vania tahu sikapnya di meja makan ini akan berakhir dengan pertengkaran. Bukan maksudnya untuk memancing keributan atau mengundang kemarahan pasangan suami istri dihadapannya itu. Tapi, ia lelah melihat hal yang sama setiap pagi, berulang-ulang. Ditambah dengan kekesalannya semalam.Sebenarnya, Vania juga tidak mengerti. Mengapa beberapa hari ini emosinya seakan tidak stabil. Harusnya ia senang dengan sikap Rendi yang acuh, itu artinya memudahkan dirinya untuk bisa segera melupakan lelaki itu jika kelak mereka berpisah.Mungkin saja karena rasa cemburu dihatinya, itulah yang dipikirkan Vania saat ini.Sekuat tenaga ia berusaha menepis perasaan cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Sudah