Share

3. Aku ingin pisah darimu

Author: TrianaR
last update Last Updated: 2022-08-12 16:42:29

Part 3

Aku berlalu ke dalam tapi dia langsung menarik tanganku.

"Dek, kenapa kau tega berkata seperti ini padaku? Apa maksudnya ini?" Dia memasang nada suara memelas dengan tatapan begitu sayu penuh permohonan.

"Aku salah apa sama kamu, Dek? Kenapa sikapmu jadi berubah seperti ini? Aku ini kan suamimu, sudah tentu aku pulang kesini. Kenapa kau malah ingin mengusirku?"

"Dasar laki-laki tidak peka!" Kukibaskan tanganku darinya. "Kamu itu laki-laki egois ya Mas, kalau senang-senang kamu pergi sama mantanmu, giliran pusing aku disuruh ikut nanggung! Mikir dong, Mas! Mikiiiirrr!! Kamu masih punya otak kan?"

Gara-gara nada suaraku yang meninggi, para tetangga berhamburan keluar. Gegas aku masuk ke dalam dan menutup pintu cukup keras. Braaakk ...!

Sabar, Arini, sabar.

Rupanya tak kehilangan akal. Mas Tiar masuk melalui jendela kamar ibu yang terbuka lebar. Ya, di kamar ibu dipasang jendela yang lebar agar ia bisa melihat pemandangan luar. Biar ibu tak bosan berada di dalam kamarnya. Dia selalu menolak bila dibawa keluar dengan kursi roda, takut para tetangga mencemoohnya.

Dulu, bisa dikatakan ibu mertua adalah perempuan yang 'agak' sombong, dia selalu menyanjung dan meninggikan sang menantu yang begitu cantik, tubuh ramping meskipun sudah melahirkan. Bachtiar pandai merawat istrinya. Keadaan berbalik 180° saat ibu mengalami kecelakaan demi menolong Aqilla. Ibu divonis lumpuh seumur hidupnya. Dan menantu yang ia bangga-banggakan justru sangat jijik padanya, hingga ia pergi karena tak tahan lagi.

"Dasar lumpuh! Tua bangka menyusahkan saja! Buang kotoran kok di kasur, bau tau!! Ini ruangan dah macam WC umum!" Kalimat itu yang dituturkan ibu padaku bila bercerita tentang masa lalu.

Dan ibu jadi bahan gunjingan para tetangga. Sejak saat itu beliau hanya di dalam kamarnya saja.

Hingga aku datang ke rumah ini, rumah yang dijadikan mahar pernikahan kami. Entah kenapa Mas Tiar memberikan mahar satu unit rumah untukku. Meskipun bukan rumah baru, melainkan tempat tinggalnya yang dulu.

Keluarga kami tetap menjadi gunjingan warga. Tapi aku tak mau ambil pusing dengannya, cukup tutup telinga lalu melanjutkan hidup dan melakukan apa yang harus kulakukan.

"Tiar, kenapa kamu masuk lewat jendela?" Kudengar suara ibu bertanya kepada anaknya.

"Maaf Bu, pintunya ditutup sama Arini, jadi terpaksa aku lewat sini," sahutnya.

Ah bodohnya aku, kenapa tadi jendela kamar ibu tidak ditutup.

"Kalian sedang bertengkar ya? Tadi ibu dengar suara ribut-ribut diluar."

Mas Tiar tak menanggapi ucapan ibunya. Dia langsung berlari ke arahku. Berlutut dan memeluk kakiku dengan erat. Dia menangis, layaknya anak kecil yang tak dibelikan permen. Dasar air mata buaya!

"Dek, maafin mas. Mas salah. Maaf. Tolong jangan buat mas makin pusing. Maaf Dek, mas gak sadar kalau selama ini mas sudah menyakiti hatimu."

Aku terdiam.

"Lagian kamu juga gak berhak mengusirku, Dek. Ini rumahku, dulu dibeli dengan uangku!"

Aku tersenyum. "Apa kamu sudah lupa, Mas? Kamu memberikan rumah ini sebagai mahar pernikahan kita? Itu artinya rumah ini jadi milikku bukan? Jadi sekarang terserah pemiliknya dong!"

Mas Tiar melongo mendengar ucapanku. Mungkin dia sudah amnesia sama ucapannya sendiri.

Lelaki itu bangkit menuju kamar, entah sedang mencari apa.

"Dek, jadi kamu sudah balik nama rumah ini?" tanyanya seolah tak percaya.

Aku tersenyum tipis.

"Kok kamu gak bilang aku dulu, Dek?"

"Bukannya waktu itu aku pernah bilang? Dan mas cuma jawab silakan atur sendiri."

Dia berdecak kesal tak terima dengan jawabanku.

"Kamu itu gak tahu terima kasih ya, Dek?! Padahal udah diboyong ke rumah ini dengan nyaman tapi tingkahmu malah ngelunjak seperti ini?! Kamu tuh gak melakukan apapun selain merawat ibu! Menghasilkan uang pun gak bisa! Gak seperti Elvina dia bisa--"

"Stop! Jangan bandingkan aku dengan dia. Dulu siapa yang menyuruhku resign dari tempat kerjaku? Dulu siapa yang menyuruhku cukup jadi ibu rumah tangga saja. Kamu, Mas! Kamu juga yang mengiming-imingiku segala kemewahan, tapi nyatanya tak sesuai dengan mulut besarmu itu! Mulai sekarang jangan hina aku lagi, posisi kita sama, Mas. Sama-sama pengangguran!"

Bruuukk ... Terdengar suara terjatuh di kamar ibu.

"Astaghfirullah, ibu!" Pekikku panik. Gegas aku menghampirinya, disusul Mas Tiar. Ibu sudah terjatuh di lantai. Dia hendak bangkit tapi kesusahan.

Mas Tiar membopongnya kembali. "Ibu kenapa kok bisa jatuh?" tanya lelaki itu.

Ibu hanya meringis kesakitan. Wajahnya menatapku dan putranya secara bergantian. "Ibu dengar kalian bertengkar, kenapa? Kenapa kalian bertengkar?"

Kami terdiam sejenak. Mau tidak mau aku harus mengatakan yang sejujurnya pada ibu mertuaku. Agar dia tahu sikap putranya padaku seperti apa.

"Bu, aku dan Mas Bachtiar akan berpisah."

"Apa? Pi-sah?" sahut ibu dengan nada shock.

Mas Bachtiar memutar bola matanya memandang ke arahku. "Apa-apaan kau ini, Dek?! Jangan ngomong sembarangan!!" sentaknya. "Tidak kok Bu, ini hanya salah paham biasa, bisa kami atasi. Kami permisi dulu, Bu," lanjutnya lagi.

Mas Tiar langsung menarik tanganku kembali dan membawa ke dalam kamar dan mengunci pintunya.

"Jangan katakan pisah di depan ibu, Dek! Mas gak mau kesehatan ibu makin drop gara-gara kamu mengatakan hal itu!"

Aku masih terdiam. Ternyata begini ya perangai Mas Tiar. Dia tak mau disalahkan dan ingin menang sendiri.

"Tapi begitu kenyataannya, Mas. Aku ingin pisah dari kamu. Biar kamu leluasa bisa berhubungan lagi dengan Elvina. Biar kamu bisa rujuk lagi dengan dia tanpa ada bayang-bayang pengganggu. Kamu kan hanya menganggapku sebagai perawat ibumu saja bukan seorang istri!"

"Apa maksudmu berkata seperti itu, Arini?!"

"Apa kau lupa? Aku memintamu mengantarku periksa kandungan kau menolak, aku memintamu mengantarku belanja bulanan kau menolak. Aku memintamu untuk sekedar makan malam bersama, kau pun menolak. Dan kamu selalu menolaknya karena kau lebih memilih ingin menghabiskan waktu bersama Aqilla dan juga ibunya. Apa kau lupa dalam rahimku ini pun adalah calon anakmu? Apa kau lupa, di rumah ada seorang istri yang juga tengah menunggumu?! Aku di sini sendirian, merawat ibumu. Sementara kamu terlalu nyaman dengan posisimu, bersenang-senang sendiri bersama mantanmu. Bahkan memamerkan kemesraan di sosial media kau gak malu? Kamu tidak bisa menjaga perasaanku, bagaimana sakitnya hatiku selama ini! Bukankah lebih baik aku hidup sendiri saja dari pada tersiksa?! Aku punya suami tapi serasa tak punya suami!"

Mas Tiar terdiam mendengar ocehanku. "Arini, aku, aku ..."

"Keputusanku sudah bulat. Aku ingin pisah darimu. Akan kuurus semua berkasnya!"

"Tidak Dek. Tolong jangan seperti ini--"

"Apa kau pikir wanita seperti aku tak bisa berbuat apa-apa? Hanya akan menangis atau menurut akan ucapanmu saja? Tidak, Mas, kau salah besar!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
siti fauziah
keren..nih perempuan
goodnovel comment avatar
Pengaron Aja
bagus banget cerita nya aku suka......
goodnovel comment avatar
Carel Catrina
ITS Ok ... good
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kukembalikan Suamiku Pada Mantan Istrinya   85. Orang yang tepat

    "Love You. Satu kata saja sepertinya tak cukup mengungkapkan bahwa betapa besarnya cintaku padamu.”Aku tersenyum mendengarnya. Tanpa kata-kata manisnya itupun, sikapnya sungguh romantis, membuat aku merasa istimewa. Ya, bukankah aku adalah wanita yang beruntung karena telah menjadi ratu dalam hidupnya?Kami menghabiskan waktu menikmati jagung bakar di tengah pemandangan indah juga semilir angin yang berhembus, serta deru ombak yang menyemarakkan suasana. Saat waktu maghrib tiba, kami sgera pulang kembali ke hotel. Ada kewajiban yang harus ditunaikan sebagai umat manusia, yaitu beribadah pada Allah, sang maha pencipta.“Terima kasih untuk hari ini ya, Mas. Aku senang sekali.’’“Sama-sama, Sayang. Love you," sahut Mas Bian lagi seraya mengecup keningku penuh rasa sayang.*** Aku menggeliat malas sembari meregangkan tubuh sejenak, mengerjap pelan sampai pandanganku benar-benar jelas. Melihat jam weker di atas meja menunjukkan pukul setengah lima pagi. Kulirik ke samping, Mas Bian suda

  • Kukembalikan Suamiku Pada Mantan Istrinya   84. Saling menggenggam, saling menguatkan

    “Biar kubakar saja tiket ini, sungguh menyebalkan! Aku jadi mengingat kalau dia masih menyukaimu. Huh!” sungut Mas Bian kesal.“Jangan dong, Mas. Ini kan hadiah buat bulan madu kita. Sayang kalau dibakar, jadinya mubadzir.”“Kau tahu kan, Rin, aku masih punya uang untuk memesan tiket liburan, penginapan dan akomodasi yang lainnya.”“Aku tahu hal itu, Mas. Tapi itu namanya buang-buang uang. Apa kau tidak memikirkan nasib orang lain yang tidak seberuntung kita? Mereka butuh uang sementara kita menghambur-hamburkan uang. Ingatlah setiap harta kita ada bagian milik orang lain. Tidak baik kalau kita boros dan menghambur-hamburkan uang. Lebih baik kita manfaatkan ini saja untuk bersenang-senang. Dan uang kamu bisa untuk berbagi dengan yang membutuhkan. Gimana?"Mas Bian menghela nafas kesal lalu menatapku dalam. “Jadi kau ingin tetap pergi dengan tiket ini?"Aku mengangguk. “Iya, Mas, kita butuh me time bersama kan, setelah apa yang kita lalui ini.”“Apa kamu sudah siap punya Fabian junior

  • Kukembalikan Suamiku Pada Mantan Istrinya   83. Maaf, aku egois

    “Tunggu sebentar, Bian, Arini!” cegah dokter Ardhy.“Ada apa, Bro?” Kami menghentikan langkah saat melihat pria itu berjalan mendekat. Ia tersenyum sumringah pada kami.“Ini ada sedikit hadiah buat kalian.”“Hadiah?” “Haha, iya, maaf terlambat. Aku sengaja mempersiapkan ini saat Om Harish bilang kamu dan Arini akan hadir ke acara syukuran. Semoga saja kalian suka dan bermanfaat ya. Aku juga minta maaf ya saat pernikahan kalian aku gak bisa hadir,” ujarnya seraya menyerahkan sebuah amplop putih.“It’s oke, gue tau lu sibuk tugas. Btw isinya apaan nih?” tanya Mas Bian.“Bukanya nanti saja kalau sudah sampai di rumah. Pokoknya selamat buat kalian berdua semoga pernikahannya langgeng, sakinah, mawadah, warrohmah.”“Aamiin.”“Oke, aku kesana dulu ya. Kalian pulangnya hati-hati lho,” ucap pria yang berprofesi dokter itu lagi.Kami mengangguk dan berlalu ke mobil. Mas Bian memberi amplop itu p

  • Kukembalikan Suamiku Pada Mantan Istrinya   82. Bertemu

    “Hahaha, akhirnya aku mendengar kata-kata manis dari seorang Arini Faradina. Terima kasih, Sayang. Terima kasih istriku. Ya, aku percaya padamu kok. Tadi aku hanya ingin melihat ekspres wajahmu saja. Kira-kira serius atau—“Segera kucubit perutnya hingga ia berjingkut. “Tuh kan ngeselin deh, sukanya jahil! Eh kan ini, tempenya malah jadi gosong, gara-gara kamu sih, Mas!” cebikku kesal.Aku segera mengangkat tempe itu dari wajan penggorengan, padahal aku sudah mengecilkan apinya. Tawa Mas Bian makin lebar.“Jadi sekarang impas ya! Tadi kamu ngetawain aku karena masakanku asin, sekarang masakanmu gosong. Haha.”Aku memanyunkan bibir yang disambut tawa renyah lelaki itu. Ah dasar, Mas Bian ini memang ngeselin.“Ya udahlah ini makan sama sayur soup dan sambel aja gak pake tempe goreng.”“Gak apa-apa, Sayang. Apapun itu asalkan bersamamu pasti akan terasa lezat dan sempurna. Sini aku yang bawa,” kata Mas Bian. Dasar menyebalkan! Tapi kenapa selalu bikin kangen. Eh!Akhirnya setelah salat

  • Kukembalikan Suamiku Pada Mantan Istrinya   81. Special rasa cinta

    “Apa yang terjadi?” Pria itu menyerobot masuk dengan wajah panik. Apalagi saat melihat alat medis dilepas dari tubuh Elvina. “Mohon maaf, Pak. Pasien tidak bisa diselamatkan lagi. Ny. Elvina meninggal sepuluh menit yang lalu,” ujar perawat itu cukup membuat pria bernama Chandra shock berat. Ia menggeleng pelan, tubuhnya melemah. Berbeda dengan Mas Tiar yang masih berdiri mematung dengan mata yang penuh kaca-kaca. Tergambar jelas kalau mereka begitu kehilangannya. Kau beruntung sekali El, ada orang-orang yang begitu menyayangimu meski tahu sikapmu begitu. Semoga saja ini jalan yang terbaik untukmu, tenanglah di sisiNYA. Aku membatin masih sambil menatap jenazah El.“Sudah berbulan-bulan aku dekat dengan El, dan rencananya aku akan menikahinya setelah semua masalahnya beres, tapi ternyata takdir berkata lain, ia justru pergi,” gumam Chandra pelan.“Mungkin inilah takdir terbaik untuk Elvina, lebih baik kalian ikhlaskan saja kepergiannya agar dia tenang di sisi Allah,” pungkas Mas Bian

  • Kukembalikan Suamiku Pada Mantan Istrinya   80. Maaf

    “Hah? El kecelakaan?” tanyanya terkejut. Terlihat jelas dari sorot matanya seolah tak percaya mendengar kabar buruk ini.“Iya, sekarang kondisinya koma. Apa kau mau ikut dengan kami menjenguknya di rumah sakit? Barang kali kau mau tahu gimana keadaannya sekarang, ayo kita pergi sama-sama!” ajak suamiku lagi.“Baiklah, aku akan ikut, maaf merepotkan,” jawabnya. Akhirnya kami menaiki mobil bersama-sama, sepanjang perjalanan tanpa ada sepatah kata apapun dari Mas Tiar. Dia diam seribu bahasa mungkin segan.Sesekali Mas Bian menggenggam tanganku dan mengecupnya pelan. Aku mendelikkan mata tapi dia hanya tertawa. Aduhai memang susah juga punya suami yang humoris dan konyol. Ada saja hal yang dilakukannya membuat gemas, kesal dan ingin tertawa seketika. Aku sampai lupa, ada orang lain di mobil kami.Perjalanan cukup lama menuju ke Rumah Sakit tempat mereka dirawat. Akhirnya setelah menempuh jarak 1,5 jam sampai juga di rumah sakit itu. Mas Bian segera memarkirkan mobilnya di pelataran park

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status