"Aku mau langsung mandi, Kak." Setelah melewati perjalaman panjang dan macet di mana-mana, Syafa dan Paul tiba di rumah saat hari sudah sangat sore. Sepasang suami istri itu baru saja masuk ke dalam.kamarnya. Syafa kini sudah berpindah duduk di atas ranjang. "Mau Aku mandiin, Sayang?" Paul memeluk istrinya dari belakang. Menghirup aroma tubuh khas Syafa yang senang memakai bedak bayi. Walau belum mandi, aroma tubuh Syafa selalu menjadi candu untuknya. Syafa mengangguk malu. Sejak menikah, dimandikan oleh suaminya itu selalu menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan untuknya. Paul sangat memanjakan dirinya. Suaminya itu menyentuh setiap inci tubuhnya dengan penuh kelembutan, hingga ia ingin berlama-lama bersama suaminya di dalam kamar mandi. Syafa mengangguk malu. Wajah Paul tampak sangat bersemangat. Ia langsung membuka resleting dress Syafa dari belakang. Syafa hanya pasrah. "Kali ini, Aku mau kita gantian. Nanti kamu juga harus mandiin aku, ya!" bisiik Paul sambil menatap tubuh
"Kenapa malam sekali pulangnya, Kak?" Syafa terkejut saat melihat jarum jam menunjukkan pukul dua malam. Ia yang baru saja terbangun mendengar pintu kamarnya dibuka, memandang wajah Paul yang nampak sedang banyak pikiran. "Kenapa belum tidur, Sayang?" Paul mengecup singkat bibir istrinya yang duduk di tepi ranjang. "Aku tadi sudah tidur. Tapi terbangun mendengar pintu terbuka." "Aku mengganggumu?" tanya Paul sambil mengusap lembut rambut panjang Syafa. Pria bule itu duduk tepat di sebelah istrinya.Syafa menggeleng. Wanita itu menggelayut manja pada lengan Paul. "Maaf, tadi meeting sampai malam. Banyak yang tidak setuju dengan keputusanku menutup layanan kamar." Paul merebahkan tubuhnya di ranjang dan membawa Syafa ke dalam pelukannya. "Maafin Aku, Kak. Karena permintaanku, Kak Paul jadi susah begini." Syafa merasa bersalah. "Nggak, Sayang. Memang untuk memperjuangkan sebuah kebaikan atau kebenaran itu tidak mudah. Harus banyak bersabar." "Kak Paul, ... itu kata-kata dari siap
"Tenanglah, Kamu masih bisa bekerja di clubku nanti." Paul memandang iba pada wanita cantik yang datang pagi buta ke rumahnya. "Kerja apa, Bos. Saya tidak punya keahlian lain. Lagipula, melayani para pria kaya di ranjang, hasilnya lumayan. Nggak cuma untuk makan aja, tapi biaya sekolah anak-anak tercukupi. Jangan bilang Kami para wanita hiburan di suruh pindah ke club lain. Karena kalau di club lain, mereka minta setoran dari kami." Paul mengela napas panjang. Ia tidak punya kata-kata bijak seperti yang banyak Maira jelaskan kemarin. ia tidak begitu paham. Manurut Maira sekecil apapun penghasilan asalkan halal, akan lebih baik.. Pria bule itu kemudian berdiri. "Tunggulah kabar dari kami dalam dua hari ini. Kalian bisa datang menemui asistenku!" "Baiklah Bos. Saya pulang." Wanita itu pamit setelah mengusap kedua matanya yang sudah basah. Paul masih bingung dengan keputusannya. Jika kamar-kamar yang cukup besar itu tidak lagi digunakan untuk pelanggan, lalu untuk apa? Hingga kini
"Selamat pagi, Saya mau bertemu Rein dan Shinta." Resepsionis itu mempersilakan Paul untuk langsung ke ruangan CEO. Paul baru saja masuk ke dalam lift. "Pagi Mister Paul!" "Hei, Kayla. Apa kabar? Bagaimana Raka? Apa dia sudah berubah?" Paul menyapa Kayla yang juga berada dalam lift. Kayla mengangguk sungkan. Bagaimanapun juga dia pernah mencari uang di night club milik Paul selama berbulan-bulan. "Mas Raka sudah mulai berubah, Mister. Sekarang sudah mulai perhatian dan peduli dengan calon anaknya." Syafa menjawab dengan sopan. "Oh ya, Jaga kehamilanmu. Salam sama Raka!" Syafa mengangguk. Mereka berpisah saat keluar dari lift. "Hai, Paul! Ayo, kita langsung ke ruang meeting saja. Maira dan Mama sudah menunggu di sana!" Rein menyambut kedatangan saudara kembarnya, tak jauh dari depan pintu lift "Mama di Jakarta?" Wajah Paul berbinar. Sejak ada Rein, Laura memang lebih dekat dengan saudara kembarnya itu. Sejak menikah, Paul memang belum pernah pulang ke Bandung lagi. "Mama, Mai
"Kak Paul, mana menu baru yang akan Aku cicipi?" Paul tersentak. Sebenarnya mencoba menu baru hanya sebuah alasannya saja untuk mengajak Syafa ke clubnya. "Ada menu baru?" sanggah Lintang tak mengerti. "Kak Lintang, Suamiku ini adalah pemilik night club ini. Jadi hari aku akan mencicipi menu baru dari dapur koki. Betul kan, Kak?" Syafa terlihat bangga memperkenalkan suaminya pada Lintang. Wanita itu terus bergelayut manja pada Paul.. "Iya, Sayang. Tapi Aku belum tau menunya sudah siap atau belum. Tunggu sebentar ya!" Paul meninggalkan Syafa sesaat melangkah menuju ke salah satu karyawannya. "Paul!" Pria bule itu menoleh saat mendengar seseorang memanggilnya. Paul terkesiap.saat melihat pria bermasker yang ia duga adalah ayah mertuanya. Perlahan Paul mendekat dan duduk tepat di depan Boy Azka. "Ada hubungan apa Syafa dengan pria yang sedang bersamanya itu?" "Tidak ada hubungan apa-apa. Mereka hanya pernah bertemu sebelumnya di club ini. Tapi mereka sudah kelihatan akrab sekal
"Kemana mereka membawa Ayah? Sebaiknya Aku ikuti mereka.'" Lintang terus mengikuti mobil Ayahnya yang sudah memasuki jalan HR. Rasuna Said. Matanya melebar saat mobil Ayahnya telah memasuki lobby utama sebuah apartemen mewah di daerah jakarta selatan itu. "Kenapa mereka ke apartemen mewah ini? Siapa yang akan mereka temui di sana? Atau jangan-jangan jika Ayah tidak pulang ke rumah, Ayah tidur di sini?" Pria tinggi dan tampan dengan rahang yang begitu kokoh itu terus menduga-duga. Ayahnya memang sering tidak pulang ke rumah. Selama ini tidak ada yang tau Ayahnya itu tidur di mana. Tak ada yang berani bertanya. Ketiga orang kepercayaan Ayahnya itu pun tak mau membuka suara. Lintang terus memepet mobil Ayahnya hingga berada tepat di belakangnya. Ia pun segera turun saat Ayahnya keluar dari mobil di dampingi oleh dua orang anak buahnya. "Ayah!" Boy Azka dan kedua anak buahnya menoleh saat mendengar sebuah teriakan dengan suara yang sudah tak asing. Mereka hampir saja terlonjak meliha
"Apa yang Ayah lakukan? Siapa wanita yang ada di lukisan ini?" Boy azka tersentak dan langsung menoleh saat mendengar suara putranya. "Siapa yang menyuruhmu masuk?" Boy Azka berkata geram. Matanya menatap tajam pada putranya. "Maaf, Yah. Apa Ayah telah menghianati Bunda?" Boy hampir kembali terlonjak mendengar pertanyaan putranya. "Bukan urusanmu! Tugasmu hanya kuliah. Tidak perlu ikut campur dengan urusanku!' Lintang menghempas napas kasar. Ia sudah dewasa. Ia sudah bisa memahami apa yang terjadi. "Apa Bunda sudah mengetahui semua ini?" selidik Lintang membuat Boy Azka semakin geram. "Kamu pulang sana!" Boy yang tak beranjak dari depan lukisan Kirana merasa kesal dan mengusir Lintang. "Aku tidak akan pulang jika tidak bersama Ayah." Boy melotot. "Dasar anak kurang ajar!" "Lukisan siapa ini, Yah? Siapa Kirana? Kalau Ayah tidak bicara, Aku akan hubungi Bunda agar menyusul ke sini." Lintang mulai memasukkan tangannya ke dalam jaket, hendak meraih ponselnya. Kini Boy yang me
"Dia sekarang sudah mulai berubah, Morine. Kamu tau? Gara-gara mengikuti saranmu, Kami jadi seperti pengantin baru dua malam ini." Firda cekikikan saat menghubungi sahabatnya yang berada di Paris. "Apa aku bilang. Kalau sampai dia nggak berubah dengan penampilan dan service yang kamu berikan sekarang, berarti dia nggak normal," sahut Morine dari sebrang sana. "Jangan lupa lakukan perawatan harianmu! Perempuan itu memang harus rela lelah dan mengeluarkan banyak uang demi memikat suami sendiri!" lanjut Morine lagi. Mereka kembali tertawa "Oke, pokoknya terimakasih untuk semuanya, Morine. Sudah dulu, ya. Aku sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit di Bogor. Ada family yang sedang dirawat di sana." "Oke. Hati-hati!" Firda menutup ponselnya ketika jarak rumah sakit yang dia tuju sudah dekat. Wanita cantik itu sempat senyum-senyum sendiri mengingat sikap suaminya belakangan ini. Walau masih cenderung bersikap dingin, namun suaminya itu sudah semakin hangat dan mesra ketika di ranjan