"Aku ...." Tessa tidak tahu harus jawab apa. Laki-laki di depannya kini tentunya sangat dia kenal. "Mbak yang mau ketemu sama saya?" Oni terus bertanya membuat Tessa semakin kebingungan. "Kamu sendiri, ngapain di sini, On?" Tessa balik bertanya. Entahlah, dia tidak mau menjawab pertanyaan Oni, takut nanti dilaporkan kepada Rendra. "Oh ...." Oni lalu duduk di depan Tessa. "Saya disuruh temen saya, ketemu perempuan, katanya dia mau ngasih saya hadiah. Ya, buat hiburan malam-malam." "Oh, udah ketemu perempuannya?" "Udah." Oni menjawab dengan senyum kecil. Lucu memang, majikannya ini tampak tidak tahu kalau Oni sudah membuka kejujuran keberadaan Tessa di sini. "Oh, cantik?" Konyolnya pertanyaan Tessa, tapi hanya itu yang melintas di pikirannya. "Sangat, dan saya udah suka sama dia dari dulu." "Oh, beruntung ya, kamu?" Tessa melukis senyum menambah keindahan wanita itu di mata Oni. "Enggak kok, Mbak, malah saya masuk kategori laki-laki yang kurang beruntung." "Lho, kenapa? Bukan
Satu minggu, dan dalam waktu selama itu Rendra menunggu Alando sadarkan diri. Laki-laki itu sedikit banyaknya telah menjadi penolong bagi Kresna. Rendra juga merasa bimbang sekarang, istrinya kini begitu dekat dengan Alando. Alasan menjenguk laki-laki itu membuat Kresna sering datang ke ruang perawatan Alando. Untuk Kresna sendiri, dia memang sudah sadarkan diri sejak tiga hari lalu. Meski masih menggunakan kursi roda, Kresna yang masih lemah sering meminta untuk menemui Alando. "Aku merasa bersalah, Mas. Aku udah membuat segalanya hancur, harapan Mas, juga merenggut kehidupan Alando," lirih Kresna beberapa jam setelah dia sadarkan diri dan dokter memberitahu kondisinya. "Kamu enggak bunuh dia." Rendra berkata tegas kala itu. Kresna tidak menjawab, air mata membasahi pipinya. Rendra menatap perempuan yang terbaring di ranjang itu. Dia tidak tahu harus bilang apa. Itu sudah untuk yang ke sekian kali, Rendra bilang semua bukan kesalahan Kresna. Kini, Rendra menatap perempuan yang
Hanya karena keegoisan, kemudian tanpa sadar kita meninggalkan seseorang yang tulus. Begitulah terkadang yang dilakukan orang ketika emosi melanda diri. Begitu pun Kresna, dulu matanya sudah melihat sesuatu yang baginya salah. Kemudian tetap salah, tanpa mau mendengarkan penjelasan Alando. "Maaf, apa ibu wali dari pasien?" Dokter tiba-tiba mengejutkan Kresna yang sedang termangu melihat kepergian Lala. "Iya!" sahutnya agak kaget. "Pasien sudah sadar, silahkan jika ingin melihatnya," jelas dokter sambil tersenyum. "Terima kasih, Dok." Suara Kresna begitu riang. Tidak bisa dipungkiri, hatinya memang bahagia mengetahui Alando sudah sadar. "Baik, kalau begitu saya permisi, Bu." Dokter kemudian melangkah pergi. Kresna tanpa sadar sudah mengukir senyum. Kebahagiaan menyapa hatinya. Akhirnya, dirinya tidak perlu merasa bersalah karena kepergian Alando. Perlahan Kresna memutar kursi roda. Kondisi yang memang sedang tidak baik-baik saja sekarang, tidak memudarkan semangatnya untuk me
Kresna terdiam, tidak ada sedikitpun keinginan hatinya untuk menarik tangan sang suami dan berkata, "aku enggak mau bercerai." Justru, Kresna merasa aneh dengan perasaannya sekarang. Seperti tidak masalah jika harus berpisah dengan Rendra. Toh, Kresna tidak pernah merasa cemburu pada laki-laki itu, yang artinya Kresna enggak cinta, kan? Bagi Kresna, Rendra adalah suami yang harus dihormati, dilayani, tapi untuk mencintainya Kresna rasa tidak. Bukan karena Rendra tidak baik, hanya saja Kresna juga bimbang tentang perasaannya saat ini. "Assalamu'alaikum." Suara manis, membuat Kresna yang menunduk beralih menatap ke depan. Dilihatnya seorang perempuan perempuan melangkah masuk. Tessa tampak melukis senyum, perempuan berbaju cerah itu juga mengangkat kresek putih yang entah apa isinya. Warna kuning apa dia membawa .... "Tada!" seru Tessa, "aku bawa kesukaan Kakak yang kuning-kuning, ayo tebak apa?" Madu Kresna itu berjalan perlahan mendekati. "Apa, celana dalam renda?" jawab Kresna