Persalinan yang Terpaksa Ditunda
Ketika kandunganku menginjak sembilan bulan dan hampir siap melahirkan, suamiku, Arga Baskara, justru memerintahkan orang mengunciku di gudang bawah tanah dan menyuruhku menahan agar bayi itu tidak lahir.
Karena istri almarhum kakaknya, Indri Magani, juga diperkirakan akan melahirkan hari ini.
Arga pernah berjanji pada kakaknya bahwa anak pertama yang lahir dalam Keluarga Baskara akan dididik sebagai penerus dan menerima warisan keluarga.
"Anak Indri harus lahir lebih dulu," kata Arga dengan tenang. "Dia kehilangan suaminya dan nggak punya apa-apa. Sementara kamu sudah memiliki semua cintaku, memberikan harta kepada anaknya adalah hal yang seharusnya."
Kontraksi membuatku kesakitan sampai berguling-guling, aku menangis memohon padanya untuk membawaku ke rumah sakit.
Arga mengusap air mataku dengan lembut, suaranya rendah dan mengandung bahaya.
"Jangan berpura-pura! Aku sudah lama tahu kamu sama sekali nggak mencintaiku. Satu-satunya yang kamu pedulikan adalah kekayaan dan kedudukan."
"Kamu sengaja mau melahirkan prematur hanya untuk merebut hak keponakanku... Bagaimana bisa kamu begitu kejam?"
Wajahku pucat dan seluruh tubuhku gemetar. Aku berkata dengan suara pelan, "Aku nggak bisa mengendalikan kapan anak ini akan lahir, kelahiran prematur hanyalah kebetulan! Aku bersumpah, aku nggak peduli sama harta, aku hanya mencintaimu!"
Arga tertawa sinis. "Kalau kamu mencintaiku, kamu nggak akan memaksa Indri menandatangani kontrak untuk melepaskan hak waris untuk anaknya. Oke, setelah dia melahirkan, aku akan kembali menemuimu. Bagaimanapun juga, yang ada di perutmu adalah darah dagingku sendiri."
Arga menunggu di luar ruang bersalin Indri. Setelah melihat bayi yang baru lahir itu, barulah dia teringat padaku.
Dia menyuruh sekretaris menjemputku ke rumah sakit, tetapi sekretaris itu dengan suara gemetar berkata, "Nyonya... dan bayinya... sudah meninggal..."
Pada saat itu, Arga menjadi gila.