Setelah kelahiran putri kecil mereka, rumah menjadi terasa lebih hidup. Para tetangga juga turut datang untuk menjenguk Tari dan Tarra yang menjadi bintang utama pada hari itu. “Tumben, biasanya anak perempuan itu mirip sama bapaknya banget tapi Tarra itu malah mirip ibunya ya?” ujar salah satu tetangga yang mengamati Tarra tertidur dari krib yang diberikan kelambu. “Katanya kalau anak perempuan itu harus mirip dengan bapaknya, begitu juga dengan laki-laki harus mirip dengan ibunya. Pokoknya selang-seling begitu deh. Karena kalau nggak salah satunya ada yang kalah,” kata salah satu tetangga yang usianya lebih tua dan terkenal dengan mitos-mitos yang berkembang dari zaman terdahulu. “Ah, ibu-ibu ini. Itu berarti gen ibunya lebih dominan. Apa-apa jangan dikaitkan dengan mitos,” timpal salah satu tetangga lainnya.Nenek Lasmi lalu muncul dari dapur membawa nampan berisi aneka macam kue basah untuk disuguhkan. “Tarra itu mirip kakeknya. Ayahnya Raga waktu masih kecil,” tukas Nenek Las
Sehari sebelumnya … Cukup lama Kinan memandangi layar ponsel yang berisi pesan singkat dari wanita paruh baya yang ia temui siang tadi. Kami berencana untuk membuat makan malam perpisahan melepas Liara kembali ke Melbourne. Kalau kamu tidak keberatan, Adrian pasti akan senang sekali melihat kehadiranmu. “Sebenarnya apa maksud dari ini semua?” gumamnya pelan. Tak mampu merespon pesan singkat itu, ia menaruh kembali ponsel ke atas meja nakas. Kinan menghembuskan napas berat. Pertemuannya yang tidak disengaja siang tadi masih membuatnya tak menyangka. Bahwa ia bertemu dengan Retno Wulandari? Mami-nya Adrian? Wanita itu mengatakan bahwa Adrian sudah bercerita cukup banyak tentang dirinya. “Bahkan kami saja belum mengobrol sampai pada tahap itu.” Kinan mengerutkan keningnya dalam. Kepalanya sedang berpikir keras, melawan gejolak hatinya yang merasakan ada sesuatu yang mengganjal. “Kenapa Mas Adrian tidak pernah cerita ya?” Kinan kembali menoleh ke ponsel yang sunyi senyap. Terakh
Pesannya jelas. Bawa Adrian menemui kedua orangtuanya. Sekali lagi kalimat itu digaungkan oleh Ayah ketika Kinan melepas kepulangan kedua orang tua mereka di terminal bus. Ia hanya bisa bergumam bahwa akan melihat bagaimana nanti saja. “Ingat, Nak. Kalau kamu sudah yakin dan dia juga sudah mengutarakan keseriusannya, maka jangan ditunda. Niat baik tidak boleh ditunda.” Ibunya berbisik pada Kinan saat itu. Pintu ruang meeting seketika terbuka. Menariknya dari lamunan singkat percakapan singkat bersama orang tuanya pagi tadi. Adrian muncul dengan sedikit tergopoh memasuki ruangan. “Hai, sorry nunggu lama.” “Lagi hectic banget ya, Mas?” Kinan menyunggingkan senyumnya. “Iya biasa, revisian banyak banget. Belum ngurusin yang lain,” sahutnya.Adrian mengambil air mineral botolan dari dalam lemari pendingin berukuran mini. Menyerahkan salah satunya kepada Kinan setelah membuka segelnya. “Thank you.” “Kayaknya Putri dan yang lainnya juga lagi pada sibuk sampai nggak nyuguhin kamu mi
Malam itu, orang tuanya menginap pertama kali di tempat tinggal Kinan. Tadinya, Kinan bersikeras untuk tidur di lantai yang hanya beralaskan karpet bulu tebal sebelum akhirnya sang Ayah menolaknya. Jadilah, malam itu Kinan tidur berdua di ranjang bersama ibunya sementara ayahnya tidur di atas karpet bulu. “Kinan.” Ibunya bersuara pelan. “Iya, Bu?” “Ibu cuma mau tanya aja. Kamu punya rencana sampai kapan akan menetap di kota ini?” Kinan menggeser tubuhnya menoleh. “Kenapa Ibu nanya begitu?” “Nggak apa-apa, kan tadi Ibu sudah bilang cuma mau tanya aja.” “Sepertinya tidak juga.” Kinan masih bisa melihat raut wajah ibunya meski dalam keremangan cahaya malam yang berasal dari lampu tidur yang diletakkan di sudut ruangan. “Ibu cuma khawatir, terlebih si Ayah. Kamu tinggal sendirian di sini, nggak ada yang menjaga.” “Kinan kan sudah pernah tinggal sendirian waktu pertama kali bekerja, Bu. Jadi ini sebenarnya bukan pengalaman pertama kali.” Ibu tampak tak puas dengan jawaban Kinan.
Sebuah mobil SUV itu berhenti sepenuhnya di depan lobi apartemen Kinan. Pria itu melepas seatbeltnya lalu akhirnya keluar dari mobil dan membukakan pintu sebelum wanita itu mendahuluinya. Kinan tersipu malu. Padahal hal ini bukan yang pertama kali didapatkan dari sosok pria itu. “Anytime. Makasih juga kamu mau datang ke kantor padahal deadlinenya masih lusa.” “Kebetulan aku juga belum pernah menggunakan fasilitas kantor. Suasananya cukup beda dengan kantorku yang dulu.” “Terlalu serius ya?” Pria itu melebarkan senyumannya. “Cubicle terlalu kaku dan rapat. Begitu juga ruang meeting-nya.” “Kok kamu tahu?” Kinan memiringkan kepalanya. Sepengetahuannya ia tidak pernah menceritakan bagaimana tentang kantor lamanya. “Sudah bisa ketebak sih.” “Oh mungkin karena beda sektor usaha kali ya.” Pria itu mengulas senyumnya tak mengeluarkan komentar lagi. “Masuklah, kalau ada butuh apa-apa, hubungin aku ya.” “Oke. Akan aku usahakan menghubungimu kalau aku benar-benar tidak bisa melakukannya
“Ngomong-ngomong, ini baru jam dua tapi kamu udah mau pulang? Apa kamu tidak sibuk?” tanya Kinan lagi. Terdengar seperti mengalihkan pembicaraannya. “Aku bisa meluangkan waktu. Sebenarnya mereka semua tahu kalau tiap hari ini aku pasti akan pulang cepat karena ada pekerjaan lain.”“Kamu punya kerjaan lain? Bukankah sekarang juga cukup sibuk?”Pria itu melebarkan senyumannya. “Nanti, kapan-kapan aku akan cerita.”Mendengar itu membuat Kinan mengerucutkan bibirnya. “Bukan karena aku nggak mau cerita kamu jadi ngomong begitu?”Sontak saja Adrian tergelak kemudian tertawa cukup keras hingga wajahnya memerah. Sementara Kinan hanya menatap pria itu dengan tatapan masam. “Maaf … maaf.” Adrian berkata di sela tawanya yang berusaha untuk dikendalikan. “Bukannya aku nggak mau cerita sekarang, tapi ceritanya cukup rumit, dan aku juga belum pasti akan hal itu. Jadi … aku akan cerita kalau semuanya sudah terasa jelas.” “Aku paham kok, Mas. Tadi cuma keceplosan aja, bercandanya. Kamu nggak perlu