Share

Cinta Boleh, Bodoh Jangan

Author: Juniarth
last update Last Updated: 2025-02-01 16:31:40

Ralin menatap keluar jendela mobil dengan hati hancur berkeping-keping. Bahwa Emran sama sekali tidak menyesal sama sekali telah mengkhianatinya.

Empat tahun Ralin berpacaran dengan Emran semasa masih kuliah lalu mereka nekat membina rumah tangga. Susah senang banyak mereka lalui tapi pada titik ini, Emran memilih melepaskan Ralin demi wanita lain yang digadang-gadang bisa memberinya kebahagiaan dan keturunan.

Ralin tidak habis pikir, mengapa Emran tidak mau bersabar dulu padahal usia Ralin masih muda. Masih memiliki banyak peluang untuk bisa hamil ketimbang Fayza yang sudah berusia empat puluh lima tahun.

Air mata Ralin membasahi pipi dengan mulut terkatup rapat. Dia tidak ingin isak tangisnya didengar oleh Lewis.

“Tisyu.”

Lewis mengulurkan tisyu lalu Ralin menerimanya.

“Terima kasih, Pak.”

“Semua yang menikah dengan landasan cinta, pasti nggak mau bercerai gara-gara ada pihak ketiga, Bu Ralin.”

Ralin melirik Lewis sembari mengusap air matanya yang terus meleleh.

Bayangan Emran telah banyak menghabiskan waktu dengan selingkuhannya, lalu Ralin diusir dengan begitu hina, membuatnya begitu sedih dan menyesal telah memilih Emran.

“Tapi kalau udah takdir harus bercerai, siapapun nggak bisa melawannya, Bu Ralin,” ucap Lewis lagi.

Kemudian Ralin kembali menatap lalu lalang kendaraan dengan tatapan menerawang.

“Kalau tetap bersama tapi cuma bikin terluka, buat apa tetap dipertahankan. Yang ada malah sakit sendiri. Lebih baik berpisah lalu memperbaiki diri dan keadaan. Siapa tahu, esok atau lusa akan ada kebaikan yang siap menanti.”

Setidaknya, Ralin tersemangati setelah mendengar penuturan Lewis. Hal ini sama seperti meminum madu dari gelas pecah, yang artinya sudah tahu itu bisa melukai tapi tetap saja saja dijalani.

“Saya … benar-benar mencintai suami saya, Pak Lewis.”

“Bu Ralin hanya butuh waktu untuk terbiasa tanpa Emran.”

“Maaf, Pak Lewis, saya merasa berat untuk belajar terbiasa tanpa Emran.”

“Cinta boleh, bodoh jangan. Kalau nanti Bu Ralin ketemu seseorang yang tepat, pasti mudah untuk melupakan Emran.”

Lima menit kemudian, mereka tiba di lobby hotel berbintang. Sopir dan asisten Lewis segera mengeluarkan tas dan koper Ralin dari bagasi. Kemudian memanggil petugas hotel untuk membawanya ke kamar Ralin.

“Terima kasih banyak untuk bantuannya, Pak Lewis. Saya berhutang banyak ke anda.”

Kepala Lewis menggeleng pelan.

“Bu Ralin tidak berhutang apapun. Saya yang berhutang banyak karena Bu Ralin sudah menyelamatkan Levi. Harta terbesar dalam hidup saya.”

“Tidak, Pak. Bagaimanapun saya tetap berhutang budi ke Bapak.”

“Saya permisi.”

Ralin tidak mengerti kebaikan apa yang sudah dia lakukan hingga bertemu dengan pria baik hati seperti Lewis. Tanpa bantuan darinya, mungkin malam ini Ralin masih kebingungan akan bermalam dimana.

Setelah Lewis berlalu dari hadapannya, Ralin segera menuju kamar hotel yang akan ia tempati. Petugas hotel telah meletakkan tas dan kopernya di depan pintu kamar 315.

Kamar dengan single bed queen size itu jauh lebih bagus ketimbang kamarnya di rumah yang ditempati dengan Emran. Kemudian ia segera memasukkan semua pakaiannya ke dalam lemari dengan hati pilu.

Apalagi ketika menata pakaiannya yang kotor terkena tanah karena dilemparkan sembarangan oleh Fayza.

Lalu sebuah notifikasi pesan masuk ke dalam ponselnya.

[Dari Emran : Udah sampai hotel sama selingkuhanmu itu, heh?! Dibayar berapa kamu?!]

Luka di hatinya masih basah, namun Emran kembali menancapkan anak panah.

[Dari Emran : Siap-siap aja kamu, Lin! Kamu main licik, aku juga bisa! Jangan harap kamu dapat hartaku sepeserpun!]

Setelah membaca pesan itu, Ralin makin sedih meratapi nasib hidupnya. Emran benar-benar tidak mengasihaninya sedikit pun.

Apa yang harus Ralin lakukan sekarang?

Dia tidak memiliki banyak uang di dalam dompet karena semua tabungan dibawa Emran. Dan pengusirannya sangat lah mendadak. Ralin tidak memiliki persiapan apapun.

Bagaimana dia menyewa seorang pengacara jika tidak memiliki uang?

Pada siapa dia akan meminta bantuan?

Apakah lebih baik dia mengikhlaskan dirinya diceraikan tanpa mendapatkan apapun?

--------------

Setelah melahap sarapan yang disiapkan pihak hotel, Ralin segera berganti seragam mengajar.

Matanya terlihat sembab karena semalam terlalu banyak menangis.

Dadanya juga terasa sesak karena tidak ada satu pun keluarga yang bisa dia ajak untuk bertukar pikiran. Memikirkan permasalahan rumah tangganya dengan Emran yang menemui jalan buntu justru membuat stress.

Setelah membayar ongkos ojek online, Ralin melangkah menuju sekolah khusus ternama tempatnya mengajar anak-anak spesial. Tidak lupa ia mengenakan kacamata untuk menyembunyikan sembab di mata.

“Tumben kemarin izin mendadak, Lin? Habis dari mana?” Tanya Dira, teman dan rekan sesama guru di sekolah.

Ralin hanya tersenyum tipis, “Kemarin agak nggak enak badan aja.”

“Tapi kata kepala sekolah, kamu minta nomer wali muridnya Levi ya? Emang dia kenapa kok bisa sama kamu?”

Otak Ralin berpikir sejenak untuk menyiapkan jawaban yang tepat.

“Eh … kemarin aku nggak sengaja ketemu Levi lagi jalan sendirian aja. Bukan kenapa-kenapa.”

“Hah? Jalan sendirian? Terus baby sitternya kemana?”

“Aku juga nggak ngerti, Dir.”

Dira kemudian melipat kedua tangan di depan dada.

“Levi emang terlalu aktif dan nggak bisa banget dikontrol, Lin. Baby sitternya capek kali lalu Levi lepas pengawasan.”

Batin Ralin, ucapan Dira terlalu berlebihan. Karena Levi tidak mungkin aktif setiap jam tanpa kenal lelah.  

“Padahal dia tuh dijaga dua baby sitter loh. Sopir siap antar jemput. Anaknya orang tajir melintir. Apa orang tuanya nggak terlalu ngurus Levi ya? Kan harusnya dibawa ke dokter spesialis biar dapat penanganan. Biar lebih tenang si Levi itu.”

Ini masih pagi, namun Dira sudah mengajak Ralin membicarakan keburukan keluarga Levi.

“Aku kalau kebagian jagain kelompok belajar yang ada Levi tuh aduuuh … udah pusing duluan, Lin.”

Tanpa mempedulikan ocehan Dira di pagi hari, Ralin segera berlalu dari sana. Karena sekarang adalah jadwalnya berdiri di gerbang sekolah bersama satu guru lainnya untuk menyambut kedatangan anak-anak hebat itu.

Menurutnya, Lewis tidaklah seperti yang Dira katakan. Ralin tahu jika pria itu begitu menyayangi Levi di tengah kesibukannya.

Hanya saja, Ralin memang tidak melihat kehadiran ibu Levi sama sekali.

Dan juga, Ralin tidak mau membahas keburukan Lewis setelah kebaikan yang pria itu berikan. Sudah seharusnya Ralin tidak menggunjing keburukan Lewis karena tidak ada manusia sempurna di muka bumi ini.

Satu demi satu murid spesial itu berdatangan dan Ralin menyambutnya dengan suka cita. Menepikan masalahnya sendiri yang sebenarnya sangat menyita konsentrasi dan hatinya.

Tapi dia tidak mungkin menunjukkan kesedihan itu di hadapan anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Dan Ralin harus professional karena setelah diusir Emran, dia hanya memiliki pekerjaan sebagai guru untuk bertahan hidup.

Tepat ketika mobil mewah Levi tiba, bocah kecil itu langsung melepaskan diri dari baby sitter yang memegangi tangannya.

“Den Levi! Jangan lari!”

Levi berlari secepat yang dia bisa menuju halaman kelas lalu Ralin berjongkok untuk menahannya. Dengan senyum mengembang, dia mengangkat kedua tangannya sejajar dengan Levi.

“Tos dulu, Levi.”

Bocah itu menuruti perintahnya lalu Ralin mengangguk sopan pada baby sitter Levi jika semuanya sudah terkontrol dan menggandengnya masuk sekolah.

“Jangan lari ya, Levi. Biar nggak jatuh.”

Levi tidak menjawab dan hanya menurut ketika Ralin membawanya menuju kelas.

Lima jam lamanya Ralin menunaikan tugasnya sebagai seorang guru dari anak-anak berkebutuhan khusus ini.

Selama proses belajar mengajar, Ralin sengaja lebih memperhatikan Levi karena kebaikan Lewis padanya. Mulai dari Levi masuk kelas, mengajarinya melahap bekal dengan benar, hingga pelajaran usai. Hanya ini cara yang bisa Ralin lakukan untuk membalas budi baik Lewis.

Setelah bel pulang sekolah berbunyi dan memastikan semua anak-anak telah dijemput keluarganya, kepala sekolah mendadak meminta Ralin datang ke ruangannya.

Tanpa memiliki firasat buruk apapun, Ralin menuju ke ruangan kepala sekolah. Rencananya, setelah ini dia akan mencari kos yang murah karena Lewis hanya menyewakan kamar hotel untuk Ralin selama satu minggu saja. 

“Ada apa Bu Karina memanggil saya?” Tanya Ralin.

Kepala sekolah itu kemudian menunjukkan beberapa lembar foto pada Ralin.

“Apa benar orang yang ada di foto itu Bu Ralin?”

Kedua mata Ralin memindai beberapa foto itu dengan seksama dengan alis bertaut.

“Siapa yang mengirim foto tidak benar ini, Bu Karina?”

“Saya nggak tahu karena nggak ada nama pengirimnya. Cuma, tadi ada selembar pesan dari pengirimnya, kalau Bu Ralin nggak keluar dari sekolah ini, dia akan menyebarkan foto-foto Bu Ralin ke media sosial untuk menghancurkan reputasi sekolah ini.”

Juniarth

selamat datang di novel terbaru author. Enjoy reading :-)

| 16
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
rina Desi
bener2 brengsek si emran kih...tak tau diri pula
goodnovel comment avatar
Rahma Wati
bener bener bejat si emran..g tau kamu siapa den mas lewis
goodnovel comment avatar
Miyuk Kaslan
jumpa lagi,kesayanganku,ponakanku yg istimewa juga dah pinter ber ekspresi,
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Kau Selalu Di Hati

    "Saya memiliki teman yang bekerja di perusahaan kompetitor. Saya bisa memintaya untuk mengatakan hal-hal yang dia ketahui tentang perusahaannya. Mungkin itu bisa membantu kita mengetahui kelemahan lawan dan kita bisa memasuki kesempatan itu."Lewis memikirkan saran Alicia baik-baik dan mengangguk."Kalau kamu mau mencari tahu silahkan. Tapi untuk realisasi diversifikasi produk seperti itu harus melewati rapat. Karena itu butuh survei dan banyak pertimbangan."Kepala Alicia mengangguk, "Saya paham, Pak."Kemudian Lewis berdiri diikuti asisten pribadinya lalu kembali ke ruangannya. Diikuti Alicia yang berjalan di belakangnya. Sore harinya, ketika akan penutupan buku per hari ini, Lewis terlebih dulu melakukan pengecekan pada kinerja produk sigaret perusahaannya. Dia menghela nafas karena kembali mengalami penurunan. Tidak banyak namun jika selalu menurun perlahan-lahan bukankah itu juga bisa menjadi ancaman. Asisten pribadinya, Andre, memperhatikan Lewis yang mendadak diam dan berpik

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Menjadi Pusat Perhatian

    Lewis mengangguk lalu mempersilahkan asisten pribadinya membuka pintu ruang kerja.Kemudian terpampanglah sekretarisnya, Ardi, bersama seorang ... wanita.Mengenakan setelan kerja berupa blazer warna abu-abu berlengan panjang dengan inner berupa tank top warna hitam sebatas dada atas. Mengenakan rok pendek di atas lutut lima centimeter.Memperlihatkan kaki jenjang, merit, dan mulusnya yang bisa membuat lelaki manapun tertarik untuk meliriknya.Rambutnya digelung rapi dengan riasan flawless yang tidak menor. Tapi cukup membuatnya nampak anggun.Lalu ketukan heelsnya seperti detik jarum jam di tengah sepinya malam. Mampu membelah kesunyian dan magnet alam seakan tertarik padanya. Dan senyum manisnya tergambar jelas sembari menatap Lewis tanpa keraguan.Keduanya berdiri tidak jauh dari meja Lewis. Sedang asisten Lewis berdiri di sebelah Lewis dengan meletakkan kedua tangan sopan di depan tubuh.Lewis menatap sekretarisnya, Ardi, dan bertanya."Apa dia calon penggantimu?"Kepala Ardi menga

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Tetap Menggairahkan

    Lewis menahan senyum kemudian membuka selimut perlahan. Turun dari ranjang lalu menarik tangan kiri Ralin untuk keluar dari kamar. "Mau kemana, Den Mas?"Lewis meletakkan telunjuk kanannya di depan bibir dan mengedipkan sebelah mata. Dan Ralin mendadak langsung meleleh seketika. Tidak bisa Ralin pungkiri jika ada letupan gairah yang mendadak naik ke puncak ubun-ubun. Dia juga sudah lama berpuasa dari sentuhan Lewis. Namun dia tidak menyangka jika Lewis akan jauh lebih agresif meminta haknya ketimbang dirinya. Hingga kedua pipinya terasa panas karena malu dan pasti sudah bersemu. Oh ayolah, mereka sebelumnya adalah janda dan duda. Namun entah mengapa sekarang kelakuan mereka seperti pasangan muda yang baru menikah. Tanpa banyak bertanya, Lewis membawa Ralin menuju kamar Levi yang kini jarang ditempati. Sudah pasti karena Levi selalu menghabiskan jam tidurnya di kamar kedua orang tuanya. Setelah pintu tertutup dan dikunci, Lewis memojokkan Ralin di tembok dan mulai membelai pipi is

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Aku Hanya Bisa Short Time

    Ralin mengangkat telfonnya dan menunjukkan riwayat panggilannya dengan Zaylin dua jam yang lalu. Mengetahui itu, Lewis segera mengambil ponsel Ralin lalu meremasnya kuat. Menatap kedua mata istrinya itu dengan tatapan tajam. "Tunggu di kamar. Jangan kemanapun!" ucap Lewis tegas."Kamu mau kemana, Den Mas?" Tanya Ralin."Aku bilang ... te-tap di ka-mar!"Perintahnya seperti sebuah titah yang tak terbantahkan. Ralin yang juga mengalami sedikit cidera di kaki kanannya, tidak mungkin bisa menghentikan Lewis yang sedang dikuasai emosi.Ralin hanya bisa melihat suaminya itu pergi dari kamar dan tetap berdiam diri. Kepalanya lantas menggeleng dan mengingat percakapannya dengan Zaylin. Mantan istri Lewis itu menjelaskan semuanya secara detail pada Ralin. Tanpa filter apapun. Padahal Ralin itu mudah merasa tidak enak dan mengalah. Alhasil, dia dilanda stres di masa pemulihan yang mengharuskannya untuk lebih tenang dan sabar menghadapi ini semua. Lewis telah berjanji akan mengatakan segalan

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Susah Memiliki Keturunan

    Usai dari kantor, sore itu, Lewis segera menuju restaurant tempat Akhtira menunggunya. Sebenarnya, dia lelah sekali karena harus merampungkan banyak pekerjaan yang sempat menumpuk.Namun rasa lelah itu terabaikan karena akan membahas kesehatan Ralin, terutama rahimnya.Ada kecemasan yang menyelinap ke dalam hatinya.Apakah Rahim Ralin mengalami cedera pasca kecelakaan itu? Ataukah ada hal yang sangat krusial yang membahayakan rahimnya?Dan Lewis bersumpah, bahwa dia tidak akan memaafkan Antony jika rahim Ralin bermasalah karena perbuatannya. Dia rela mengajukan pemberatan hukuman pada Antony jika rahim Ralin terbukti bermasalah!Dia memiliki kekuasaan, harta, dan koneksi yang akan mendukung dan menguntungkannya. Sedang Antony dan keluarganya, mereka tidak ada seujung kuku keluarga Hartadi.Begitu tiba di lokasi restaurant, Lewis berjalan dengan cepat diikuti asisten pribadinya. Matanya yang terlapisi kacamata bening dengan cepat memindai keberadaan Akhtira yang sudah menunggu di kursi

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Noda Darah Di Baju

    Tangan kanan Lewis memar karena terlalu keras memukul Antony. Dia merasa masih kurang dan emosinya masih bergejolak.Antony terlalu arogan dan itu membuat Lewis tidak memberinya ampun. Berbeda dengan para komplotan yang tadi masih menunjukkan sisi ketakutan.“Pak, apa perlu saya antar ke IGD dulu sebelum kembali ke kamar Nyonya?”Lewis tidak menjawab. Membiarkan rasa nyeri itu merajai punggung tangannya. Lalu mengambil ponsel dan menekan nomer kepala tim.“Selamat siang, Den Mas. Ada yang bisa dibantu?”“Apa Antony masih hidup?”“Masih, Den Mas.”“Beri tahu dia. Kalau seumur hidupnya akan berakhir di jeruji besi. Di tempat yang jauh dari keluarganya.”“Baik.”“Dan satu lagi, katakan padanya agar tidak muncul di hadapanku, Ralin, atau keluarga besarku. Tidak ada maaf baginya!”Keputusan Lewis sudah final.Ini pertama kalinya dia begitu kejam pada seseorang. Namun ini masih jauh lebih baik dari pada Luis yang bertindak.Kemudian Lewis menghubungi tim advokat keluarga Hartadi dan menyampa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status