Setelah menunggu kurang dari sepuluh menit, akhirnya seorang lelaki yang masih memakai kemeja kerja formal tiba di rumah Lewis. Dia kemudian menunduk dengan hormat pada sang tuan lalu memandang Ralin.
Lalu mengeluarkan sebuah cardlock dari saku dan mengulurkan dengan begitu sopan menggunakan kedua tangan.
"Permisi, ini cardlock kamar anda. Nanti anda cukup menunjukkan kartu identitas dan cardlock ini pada resepsionis."
Ralin menerimanya dengan dua tangan pula lalu menatap Lewis.
"Terima kasih banyak, Pak Lewis. Semoga kebaikan anda dibalas berkali-kali lipat. Saya tidak tahu bagaimana nasib saya kalau tidak bertemu anda."
"Sama-sama, Bu Ralin. Saya juga tidak tahu bagaimana nasib Levi kalau tidak ditemukan Bu Ralin."
Karena hari semakin malam dan harus segera mengambil barang-barangnya yang telah Emran letakkan di halam rumah, Ralin segera undur diri.
Dia menghampiri sopir Lewis yang masih berada di teras rumah lalu meminta bantuannya untuk menurunkan koper dari bagasi.
Jam hampir menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Ini hampir tengah malam namun Ralin juga tidak bisa membiarkan barang-barangnya digeletakkan sembarangan.
Berbekal kenekatan, Ralin terus menggeret kopernya menuju gerbang utama rumah megah Lewis dengan air mata kembali membasahi pipi. Ralin begitu sedih namun dia tidak bisa berbuat apapun selain menjalani takdir ini.
Sambil berdiri di depan rumah megah Lewis, tangan Ralin merogoh ponsel dan memesan taksi online. Beruntung masih ada taksi yang beroperasi di jam itu.
Ralin terus menyemangati diri sendiri jika bisa melalui ujian ini dengan kuat. Dia tidak boleh terus menerus menangisi Emran atau takdir hidupnya.
Emran adalah pilihannya. Dan apapun konsekuensinya Ralin harus menerimanya. Meski ada penyesalan mengapa dulu tidak mendengarkan ucapan kedua orang tuanya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah yang ia tempati dengan Emran selama empat tahun, Ralin berdoa agar pria itu suatu saat akan mendapatkan karmanya.
Ralin hanyalah manusia biasa yang bisa menaruh dendam dan amarah karena Emran memilih berselingkuh demi mendapatkan keturunan. Bahkan Emran bersama selingkuhannya tega mengusir Ralin dari rumah tanpa diberi uang sepeser pun.
Ia seharusnya memiliki hak atas rumah yang mereka bangun bersama-sama dan Emran tidak boleh mengusirnya secara sepihak.
Ketika taksi berhenti di depan rumah itu, suasana sudah cukup sepi. Lalu Ralin melihat jam di pergelangan hampir menunjukkan pukul sepuluh malam.
Ada dua buah tas besar yang tergeletak di halaman rumah dengan isi tidak ditata rapi. Lalu ia membuka pagar setinggi perut itu tanpa menimbulkan suara apapun. Ralin tidak mau kedatangannya diketahui Emran lalu menuai pertengkaran yang mengundang atensi tetangga.
Ralin berjongkok dengan hati pedih sambil memungut tas berisi pakaian dan beberapa barangnya yang dimasukkan sembarangan.
Emran benar-benar memperlakukannya dengan begitu hina dan melupakan semua jasa baiknya.
Setelah menutup reseleting tas itu dengan benar dan menyeka air mata, Ralin menatap mobil Emran yang terparkir. Mobil kesayangan Emran yang dibeli dengan jerih payah berhemat mereka berdua. Tapi, tadi pagi Emran justru persilahkan selingkuhannya menduduki kursi penumpang mobil itu.
Kursi yang seharusnya hanya diperuntukkan untuk Ralin.
Lalu Ralin menatap dua pasang sepatu di teras rumah. Ia berjalan mendekat untuk memastikan satu pasang sepatu yang lain milik siapa.
Dan ternyata itu satu pasang sepatu laki-laki milik Emran dan satu lagi milik ...
"Fayza." Gumamnya.
Ralin menatap pintu rumah dengan hati pilu karena ia bisa menduga jika Emran dan selingkuhannya berada di dalam rumah. Entah apa yang dilakukan dua orang manusia dewasa di dalam rumah tanpa ikatan pernikahan.
Ceklek ...
Pintu terbuka dan Ralin masih berdiri di sana.
Emran yang tadinya tertawa lebar dengan memeluk pundak Fayza, terdiam seketika melihat Ralin berdiri di hadapannya. Kemudian wajahnya berubah tidak bersahabat dengan Fayza justru memeluk perut Emran dengan begitu mesra.
"Ambil barang rongsokanmu itu! Lalu buruan pergi!"
Cukup sudah Ralin menahan sabar dengan semua hinaan Emran selama ini. Lalu ia menatap Fayza.
"Nggak ada ceritanya kamu bakal bahagia sama Emran tapi bikin aku sedih nggak karuan, Fay."
"Halah! Banyak ceramah! Sana pergi! Nggak usah ganggu kesenangan orang!"
Lalu Ralin berganti menatap Emran.
"Aku doakan kalian bakal dapat karma terbaik setelah ini."
Emran kemudian mendorong tubuh Ralin hingga jatuh terduduk.
"Pergi!!"
"Lelaki hidung belang emang cocok bersanding sama wanita murahan!"
Mendengar hinaan Ralin, emosi Emran langsung membumbung tinggi. Lelaki itu segera mengangkat kursi yang berada di teras dan akan dihantamkan pada Ralin.
Dengan cepat Ralin berdiri lalu berlari menjauh. Bertepatan dengan itu sebuah mobil mewah yang tadi ia tumpangi berhenti di halam rumah Emran.
David segera turun dari kursi depan lalu membuka pintu tengah. Dengan penuh wibawa, Lewis turun dari mobil lalu menatap Ralin yang ketakutan. Kemudian Ralin segera mencari perlindungan dengan bersembunyi dibalik tubuh Lewis.
"Siapa kamu?!" ucap Emran ketus dengan tangan membawa kursi.
"Pak Lewis, tolong selamatkan saya," ucap Ralin dari balik tubuhnya.
Lewis dan David langsung paham apa yang terjadi antara Ralin dan mantan suaminya. Meski Lewis tidak ingin ikut campur masalah rumah tangga Ralin, tapi bagaimana bisa dia tega melihat Ralin terpojok seperti ini.
"Siapa kamu, heh?! Kenapa nggak jawab?! Bisu?!"
"Aku kesini karena mau ngasih cardlock Bu Ralin," ucap Lewis tenang.
Lalu ia mengeluarkan cardlock kamar hotel dari saku dan memberikannya pada Ralin yang berada di belakangnya.
"Tadi terjatuh di teras rumah saya. Lalu saya buru-buru ngikutin taksi yang Bu Ralin naiki."
Emran tidak bodoh tentang apa itu cardlock. Kedua alisnya berkerut dan otaknya menyimpulkan dengan cepat bahwa ...
"Oh ... ternyata selama ini kamu jadi simpanan om-om ya, Lin! Ngatain aku selingkuh padahal kamu yang selingkuh duluan! Apa kalian habis check-in atau mau check-in bareng sampai susah payah njemput kamu kemari, heh?!"
Kepala Ralin menggeleng dengan tegas.
"Kamu salah paham, Em. Pak Lewis itu wali murid siswaku."
"Oh ... wali murid yang merangkap jadi selingkuhanmu begitu?! Kamu nyuruh aku ninggalin Fayza, tapi kamu sendiri main mata! Pantas kamu nggak hamil-hamil, ternyata ada lelaki lain yang lagi kamu senengin!"
"Emran! Kamu salah paham!"
"Dimana salahnya, heh?! Ngapain dia susah payah nyari kamu buat ngasih kunci hotel?! Kamu pikir aku bodoh sampai nggak bisa mikir jauh?"
"Pak Lewis itu nolongin aku gara-gara ulahmu!"
"Munafik! Aku kira kamu istri yang lugu, nyatanya tukang selingkuh! Untung aja aku punya hubungan sama Fayza! Ingat baik-baik, Lin, aku nggak bakal ngasih kamu sepeser pun!"
"Kamu keterlaluan, Emran! Aku doakan Fayza nggak bakal bisa ngasih kamu keturunan!"
Emosi Emran kembali membuncah lalu melemparkan kursi itu ke arah Lewis dan Ralin berdiri. Tapi dengan sigap, asisten Lewis segera menepis kursi itu sebelum melukai tuannya.
Ralin terkejut dan menutup mulutnya dengan tangan. Sedang Lewis membetulkan kerah kemejanya dengan santai.
"Jangan berani menyentuh Pak Lewis kalau kamu masih mau hidup!"
Merasa tidak terima, Emran kembali berusaha menyerang namun David lebih dulu melumpuhkannya. Emran terjatuh setelah David mengunci tangannya ke belakang lalu mendorongnya.
Ralin benar-benar tidak menyangka jika David bukanlah asisten pribadi Lewis semata. Melainkan dia juga merangkap sebagai bodyguard.
"Aku tegaskan, kalau aku bukan selingkuhan istrimu. Kamu salah paham. Dan cara menyelesaikan masalah dengan istri itu bukan pakai kekerasan, tapi bicara pakai kepala dingin. Paham?" Lewis berucap tenang.
"Diem kamu!"
Kemudian Emran menatap Ralin dengan sorot marah.
"Awas kamu, Lin! Kamu harus membayar semua ini! Sampai ketemu di pengadilan!"
Emran kemudian kembali ke dalam rumah bersama selingkuhannya dan menutup pintu dengan keras. Ralin hanya bisa menunduk sedih sambil meremas cardlock yang Lewis berikan.
"Maaf, Pak Lewis. Anda hampir terluka karena perbuatan mantan suami saya."
Kepala Lewis mengangguk dan melihat Ralin penuh rasa iba. Wajah dan penampilannya cukup menyedihkan akibat ulah mantan suaminya.
Suasana hati Ralin pasti tidak baik-baik saja pasca pertengkaran baru saja.
Kemudian Ralin mengambil kedua tas besar berisi barang-barangnya dan membungkuk hormat pada Lewis.
"Terima kasih banyak, Pak Lewis. Sudah repot-repot mengantarkan kunci kamar hotel. Saya sangat berhutang budi. Kelak, kalau saya diberi kesempatan, saya ingin membalas budi baik Bapak. Sekali lagi, terima kasih."
Ralin kembali membungkuk hormat lalu berjalan dengan susah payah membawa tas dan kopernya. Lalu ...
"Bu Ralin, apa mau saya antar ke hotel?"
:-)
Hari-hari Ralin tak lagi sama sejak hasil USG itu keluar. Tubuhnya mulai memberi sinyal mual yang muncul saat matahari belum terbit, kelelahan bahkan hanya untuk naik tangga, dan suasana hati yang mudah berubah drastis.Lewis yang biasanya sibuk di pabrik, kini beradaptasi total. Dia bangun lebih pagi untuk menyiapkan air lemon hangat, mengatur jadwal kerja agar bisa pulang lebih awal, bahkan menyimpan camilan khusus anti-mual di sakunya jika harus keluar bersama Ralin.“Kalau kamu nyium bau parfumku dan pengen muntah, bilang aja. Aku bakal ganti,” ujar Lewis dengan panik satu pagi.Ralin terkekeh meski wajahnya pucat. “Aromanya sih nggak bikin muntah. Tapi cara kamu panik itu bikin aku pengen nangis dan ketawa barengan, Den Mas. Ini hormon atau kamu emang lucu banget?”Namun perubahan fisik hanyalah permukaan. Perubahan emosional jauh lebih kompleks.Suatu malam, ketika Lewis tertidur lebih dulu, Ralin duduk di sisi ranjang dengan tangan memegang perutnya yang belum menunjukkan apa-ap
Malam harinya, Ralin menghubungi kedua orang tuanya melalui video call. Wajah Ibunya muncul di layar, ayahnya duduk di samping.“Bu, Pak, aku punya kabar baik.”“Apa, Lin?”“Lihat ini.”Ia menunjukkan hasil USG.Ibunya sempat bingung, tapi begitu menyadari, ia terharu seketika.“Ya Tuhan, akhirnya. Kami semua mendoakan, Lin. Anakmu akan jadi anak yang kuat seperti ibunya.”Percakapan mereka berlanjut dengan penuh tawa bahagia setelah melewati banyak rintangan. Bahkan ibunya bersedia untuk menginap di rumah Lewis kalau Ralin membutuhkan bantuan.Untuk pertama kalinya, Ralin merasa sangat lengkap.Pernikahannya yang dulu sempat mendapat perlawanan dan hidup dengan pasangan tanpa restu juga membuat beban tersendiri. Tapi kali ini, dia mendapatkan restu dan dukungan dari keluarga.Itu sangat luar biasa berharga di tengah krisis kepercayaan dirinya yang sempat memuncak.Malam itu, semua keluarga tertidur dengan hati yang hangat.Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dunia Ralin dan Lew
Ralin menahan napas dan Lewis menegang ketika menatap Dokter Imelda. Tapi senyum dokter itu membuat keduanya bingung.Jika kabar buruk mengapa dokter itu tersenyum?“Kadar β-hCG Bu Ralin melonjak lebih dari dua kali lipat. Ini tanda bahwa embrio mulai berkembang.”Seketika Ralin dan Lewis senang bukan kepalang. Setidaknya ada satu harapan kecil luar biasa yang sedang mereka nantikan.Keduanya saling bertatapan dengan sorot haru. Pikiran Ralin yang awalnya negatif, berubah menjadi merasa bersalah.Dia seperti mendahului kehendak sang Pencipta dengan melabeli calon anaknya tidak akan berkembang.“Kita belum boleh terlalu senang, ya. Tapi ini arah yang positif. Kita akan lakukan USG awal minggu depan untuk melihat apakah kantung kehamilan mulai terbentuk.”Ralin langsung menutup mulutnya dengan tangan. Air matanya mulai memenuhi pelupuk mata.Dia terus mendengarkan penjelasan dokter Imelda, tentang apa dan yang tidak boleh dilakukan.Tangannya mengusap perutnya yang masih rata dengan pera
“Kami berhasil mengambil 11 sel telur matang. Itu angka yang bagus. Sekarang kami akan lanjutkan ke tahap fertilisasi hari ini juga. Kita lihat berapa yang berhasil jadi embrio sehat dalam 3–5 hari ke depan.”Lewis lega luar biasa mendengar penjelasan perawat. Dan satu hal yang dia ketahui, bahwa ekspresi wajah sang suster memanglah serius.Karena terlalu tegang dengan kondisi Ralin, akhirnya Lewis menjadi overthinking.“Makasih, Sus,” ucap Lewis.Kemudian perawat pergi meninggalkannya.Tidak berapa lama kemudian, Ralin membuka mata pelan. “Den Mas?”Lewis segera duduk di sebelah ranjang Ralin dan menggenggam tangan istrinya. “Aku disini.”“Gimana?” Tanyanya lemah.Lewis tersenyum lega, “Ada sebelas folikel. Itu artinya, kesempatan terbuka lebar, Lin.”Ralin tersenyum tipis namun sangat bahagia.“Kamu hebat. Tubuhmu kuat,” jawab Lewis. “Sekarang istirahat dulu. Hasil fertilisasi akan dikabari lewat email dan telepon.”Selama menunggu hasil fertilisasi, Ralin tidak pernah berhenti berdo
Lewis menatap wanita yang sangat dicintainya itu telah melewati banyak luka dan pengorbanan. Dan kini siapkah Lewis kembali membuat Ralin berdiri di persimpangan pilihan, apakah akan melanjutkan prosedur bayi tabung atau tidak.“Aku kemarin habis ketemu Mas Tira.”Ralin tetap duduk di pangkuan Lewis dan menatapnya keheranan. “Bukannya luka pasca operasi udah beres?”“Iya. Udah beres.”“Lalu?”Lewis kemudian menyatukan tangannya dengan Ralin lalu dibawa untuk dicium dengan penuh kasih sayang.“Sayang, gimana kalau kita … menjalani program bayi tabung?”Mendengar hal itu, kesedihan di hati Ralin seperti kembali lagi ke tempatnya. Dia teringat kembali dengan keadaannya.“Aku nggak tahu, Den Mas. Apa ini jalan yang benar. Aku takut nanti gagal. Aku takut kecewa lagi. Aku takut tubuhku nggak sanggup.”Benar dugaan Lewis, bahwa Ralin pasti tidak akan percaya dengan dirinya sendiri.Beberapa hari kemudian, setelah Ralin dan Lewis kembali mencoba dan berusaha demi mendapatkan keturunan, pagi h
Hari ini Ralin mengajak Levi untuk pulang ke kampung halaman orang tuanya. Mendadak ia ingin mencari udara segar di kampung. Sekalian agar Levi bisa bermain di sawah dengan keponakannya.“Hati-hati ya? Maaf aku nggak bisa nemenin. Ini bukan weekend soalnya,” ucap Lewis.Kemudian ia memeluk Ralin dan menciumnya.“Iya, Den Mas.”“Aku bakal kangen kalian dua malam ini. Tidur sendirian.”Ralin tersenyum.“Semalam aja lah, Lin, nginepnya.”“Nanggung, Den Mas. Lagian aku udah lama nggak pulang.”Lewis mengangguk dan menghela nafas panjang. Sekarang, dia tidak terbiasa jauh dari Ralin. Dan ditinggal dua hari saja, dia merasa keberatan.“Ya udah, aku izinin.”Akhirnya Lewis mengizinkan meski dengan berat hati.Dia tahu jika istrinya itu dalam proses menenangkan diri dan berdamai dengan segalanya. Tidak mudah menerima kenyataan hidup bahwa Ralin dihadapkan pada masalah sulitnya hamil.Setelah mengantar Lewis hingga teras rumah, Ralin kemudian masuk ke dalam rumah. Mengajak Levi memasukkan beber