"Tapi saya bisa jamin kalau itu bukan saya, Bu Karin. Foto ini editan." Ralin membela diri.
"Saya nggak tahu harus percaya siapa, Bu Ralin. Tapi kalau ini sudah menyangkut nama baik sekolah, saya juga tidak bisa tinggal diam. Reputasi sekolah yang akan jadi taruhan."
"Ya Tuhan, siapa yang tega melakukan ini?"
Ralin tidak ingin dikeluarkan dari sekolah karena hanya ini satu-satunya tempatnya mencari nafkah. Jika dia harus kehilangan pekerjaan, bagaimana bisa melanjutkan hidup?
"Bu Karin, tolong beri saya waktu untuk mencari tahu siapa yang tega melakukan ini. Tolong jangan pecat saya. Hanya ini pekerjaan yang saya miliki." Ralin memohon.
Dengan berat hati akhirnya kepala sekolah memberi Ralin kompensasi waktu untuk mencari tahu kebenaran foto itu.
"Saya kasih kelonggaran waktu tiga hari saja, Bu Ralin. Karena saya khawatir nanti si pengirim foto akan melakukan aksi nekat mengunggah foto-foto ini di media sosial lalu membuat reputasi sekolah hancur."
Tiga hari bukanlah waktu yang lama. Itu adalah waktu yang sangat singkat untuk menemukan identitas pengirim foto-foto palsu dengan menggunakan wajah Ralin.
Dengan pikiran sempit dan bingung, Ralin kembali ke ruangan guru lalu menyendiri.
Dia berpikir keras siapakah yang mengedit foto-foto tidak senonoh itu lalu mengganti dengan wajahnya. Karena setahu Ralin, dia tidak memiliki musuh bebuyutan.
Kecuali ...
"Emran."
Ralin langsung menyambar ponselnya dan menghubungi pria yang sudah menceraikannya. Dengan hati panas dan geram, Ralin tidak sabar menunggu panggilannya diangkat.
Tapi sialnya, Emran tidak mengangkat panggilan Ralin. Pun dengan panggilan selanjutnya.
Kesal dan geram dengan ulah Emran, akhirnya Ralin langsung menuju ke kantor tempat dimana pria itu bekerja.
"Selamat siang, apa Pak Emran ada di tempat?" Tanya Ralin pada resepsionis.
"Ada, Bu. Tapi kalau jam makan siang begini, beliau biasanya keluar makan siang."
Ralin mencoba menghubungi Emran kembali, namun tetap saja tidak diangkat.
"Saya akan tunggu dia disini."
Sembari memikirkan banyak hal, Ralin menunggu Emran di lobby kantor. Hubungannya dengan Emran sudah hancur tapi tidak dengan kenangan ketika Ralin menemani Emran melamar kerja di kantor ini. Hingga dia menjadi pria sukses seperti sekarang.
Ketika yang dinanti melewati pintu kantor dengan Fayza di sebelahnya, Ralin langsung berdiri dan menghadang keduanya.
Emran dan Fayza terkejut melihat Ralin berada di kantor ini. Lalu pria itu maju selangkah dan bertanya dengan nada tajam.
"Ngapain kamu kesini, heh?! Mau pamer kalau kami istriku?!"
"Mantan istri lebih tepatnya, Em." Fayza meralatnya dengan senyum sinis.
"Aku nggak butuh status sebagai istri dari seorang lelaki hidung belang kayak kamu," ucap Ralin tenang dengan memandang tajam Emran.
Andai ini bukan di kantor, Emran pasti sudah memberi Ralin pelajaran. Lalu ia meraih tangan Ralin kasar dan menariknya keluar.
Dengan langkah lebar, Emran menarik paksa Ralin menuju parkiran. Kemudian Emran menyentaknya hingga membentur dinding parkiran.
"Kita udah nggak ada hubungan apa-apa! Nggak usah kamu datang kemari atau muncul di depanku! Ngerti?!" Bentak Emran.
"Aku kesini cuma mau tanya."
"Sekali lagi aku tegaskan! Kita nggak ada hubungan lagi! Titik!"
Emran hendak berlalu tapi Ralin menarik tangannya.
"Apa kamu yang ngirim foto-foto nggak benar ke sekolahku?"
Kemudian Emran menoleh dan memberinya tatapan tajam seperti iblis.
"Dengar, aku nggak peduli kamu mau hidup dimana bahkan mau mati kayak apa, Lin! Karena aku benar-benar benci sama kamu!" Bentak Emran dengan menunjuk wajah Ralin.
"Kamu bilang setia, tapi ternyata punya hubungan sama laki-laki lain! Kamu nyuruh aku sabar dan mutusin Fayza, tapi kamu sendiri masih punya hubungan sama laki-laki lain! Apa kamu mau main enaknya sendiri?!"
"Lalu sekarang kamu main tuduh aku yang ngirim foto-foto nggak jelas ke sekolahmu."
Emran mendengus geli lalu menunjuk pelipis kepalanya.
"Coba kamu pikir, Lin! Aku udah benci setengah mati sama kamu! Bahkan aku nggak peduli andai kamu mati! Lalu, apa kamu pikir aku masih pantas ngurusi kehidupanmu?!"
"Aku nggak --- "
Emran mengangkat tangannya lalu berkacak pinggang.
"Aku nggak peduli apapun tentang kamu! Dan aku benar-benar nggak sabar pengen kita cepat bercerai! Paham?!"
Belum sempat Ralin membela diri tentang hubungannya dengan Lewis, tapi Emran sudah terlanjur menutup mata hatinya.
"Aku udah menghubungi pengacara buat ngurusin perceraian kita! Dan kamu nggak usah nyari aku kalau nggak penting!"
Emran kemudian pergi meninggalkan Ralin dengan menyenggol pundaknya kasar. Ia hanya bisa menatap Emran dengan hati hancur dan bingung.
Tidak mungkin Ralin bisa bertahan hidup jika dipecat sebagai guru. Satu-satunya sumber nafkah yang dia miliki setelah seluruh aset dan tabungan selama menikah telah dikuasai Emran dan selingkuhannya.
Ralin tidak tahu meminta bantuan pada siapa jika sudah seperti ini.
Kemudian matanya menatap langit siang yang sedikit mendung itu. Berharap ada keajaiban yang Tuhan turunkan untuknya.
"Kalau bukan Emran pelakunya, lalu siapa yang ngirim foto nggak benar itu?" Gumamnya sedih.
Baru saja Ralin akan memeasan ojek online untuk kembali ke hotel, ada panggilan dari nomer tidak dikenal. Pikir Ralin mungkin itu adalah nomer oknum tidak bertanggung jawab yang memfitnahnya.
"Halo?! Apa maumu?!" ucapnya ketus.
"Bu Ralin?"
"Siapa ini?"
"Saya, Lewis. Ayahnya Levi."
Kedua alis Ralin terangkat dan malu sekali karena tidak sengaja membentak Lewis.
"M ... maaf, Pak Lewis. Ada apa?"
"Apa Bu Ralin sedang sibuk?"
Tidak mungkin Ralin egois dengan menolak permintaan Lewis setelah diberi tempat bermalam yang nyaman.
"Tidak, Pak. Ada apa?"
"Bu Ralin dimana sekarang?"
"Saya ... eh ... kalau boleh tahu ada apa, Pak?"
Ralin hanya tidak mau Lewis mengerti dimana posisinya berada sekarang.
"Levi tidak bisa tenang di rumah. Baby sitternya baru saja menelfon. Dan saya sebentar lagi ada rapat yang tidak bisa ditinggal. Saya minta tolong, apa Bu Ralin bisa ke rumah untuk menenangkan Levi? Biar sopir saya menjemput dimana Bu Ralin berada."
"Iya, Pak. Saya akan kirimkan lokasi saya berada sekarang."
"Saya tunggu. Terima kasih banyak."
Ralin kemudian mengirimkan dimana lokasinya berada dan Lewis berpesan agar menunggu sebentar. Sembari menunggu mobil Lewis datang, Ralin duduk di kursi dekat pos satpam dengan hati sedih dan bingung.
Hingga dia tidak sadar mobil mewah Lewis telah tiba.
"Selamat siang, Bu Ralin. Mari saya antar," ucap sopir itu begitu sopan.
Mobil mewah Lewis yang begitu nyaman ini sangat harum dan menenangkan. Bahkan wangi parfum Ayahnya Levi itu masih tertinggal di dalam mobil.
Setibanya di rumah megah Lewis, sopir dengan sopan membukakan pintu mobil untuk Ralin. Kemudian mengarahkannya menuju ke dalam rumah.
"Den Levi, jangan lompat-lompat di sofa. Nanti kalau jatuh, Mbak yang dimarahi Ayah."
Itu kalimat pertama yang Ralin dengar ketika memasuki rumah. Kemudian matanya menatap Levi yang tengah melompat-lompat dari satu sofa ke sofa yang lain.
Seketika itu juga, masalah yang Ralin pikul pergi entah kemana.
Dia langsung meletakkan tasnya dan berjalan menghampiri Levi dan membuat bocah itu tidak bisa melompat ke sofa yang lain.
"Stop, Levi. Bu Ralin tidak suka."
Levi kemudian turun dan akan berlari lalu Ralin segera menangkapnya.
"Ayo kita lari-lari di luar yuk? Mau hujan kayaknya. Asyik loh main air hujan."
Mendengar itu, baby sitter Levi segera menahan Ralin.
"Jangan, Bu Ralin. Nanti Pak Lewis marah kalau Den Levi sakit."
"Saya akan tanggung jawab. Tenang saja."
Ralin jauh lebih mengerti kondisi Levi kemudian membawa bocah kecil itu menuju taman rumah yang luas dan hijau. Tanpa alas kaki, Ralin mengajak Levi terus berlari meski dirinya mulai lelah.
Kedua baby sitter, sopir, dan seorang bodyguard hanya bisa berdiri mengamati Ralin mengasuh Levi.
Bahkan ketika mendung mulai menggelayut dan hujan gerimis mulai membasahi rumput, Ralin masih setia menemani Levi. Tidak peduli dengan seragam kerjanya yang mulai basah.
Levi begitu senang bermain air hujan lalu menggandeng tangan Ralin untuk diajak berlari-lari kecil. Setelah Levi terlihat lelah, barulah Ralin menggunakan jurusnya untuk mengatur Levi.
"Levi, ayo masuk."
Energi berlebih bocah spesial itu telah terkuras sehingga mudah bagi Ralin untuk mengaturnya. Meski dengan taruhan dirinya juga ikut kelelahan.
Kedua baby sitter Levi segera menyelimuti tuan muda kecil itu dengan handuk. Bertepatan dengan itu, Lewis datang.
Dia membuka sendiri pintu mobil dengan tergesa lalu berlari menuju teras rumah meski gerimis membasahi kemeja kerja mahalnya.
Pemandangan pertama yang dilihat adalah Levi basah kuyup dalam balutan handuk dan Ralin pun sama basahnya. Semua yang berada di sana, tidak ada yang berani bersuara.
"Kenapa bisa basah kuyup, Bu Ralin?"
"Levi harus melakukan banyak aktivitas fisik di luar rumah, Pak. Kalau hanya di dalam rumah, dia pasti akan membuat siapapun menjadi kewalahan. Saya sengaja mengajaknya bermain hujan dan hasilnya ... Bapak bisa lihat sendiri."
Levi nampak tenang digendong baby sitter yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Oke. Mari, Bu Ralin. Biar asisten rumah tangga menyiapkan baju ganti untuk Bu Ralin."
Tidak ada raut marah di wajah Lewis seperti prasangka kedua baby sitter Levi.
Setelah Ralin membersihkan diri dan berganti pakaian, ia melihat Lewis duduk di ruang tengah bersama Levi. Dia sedang mengajak Levi berbicara.
"Silahkan duduk, Bu Ralin."
Setelah mendudukkan diri, tiba-tiba saja Levi berjalan ke arah Ralin lalu meminta pangku. Kepalanya kemudian diletakkan di pundak Ralin begitu saja.
Melihat itu, Lewis hanya bisa menghela nafas.
"Levi dalam kondisi tenang, Pak. Karena energi berlebih dalam tubuhnya sudah dikeluarkan."
"Saya tidak tahu kalau bukan Bu Ralin yang mengatasi."
Kemudian Ralin merasakan pundaknya memberat dan tangan Levi menjadi lemas.
"Sepertinya Levi tidur, Pak."
"Astaga. Saya jadi merepotkan Bu Ralin."
Ralin hanya tersenyum dan menggeleng kemudian mengusap lembut punggung Levi agar makin lelap tertidur.
"Saya sangat berterima kasih, Bu Ralin."
Kemudian Lewis berpamitan ke kamar sejenak lalu kembali dengan membawa sebuah kotak jam tangan yang terlihat sangat mahal.
"Bu Ralin, anggap saja ini adalah hadiah dari saya."
Ralin memandang kotak jam tangan itu tanpa senyum apapun. Dia sama sekali tidak tertarik dengan hadiah yang Lewis berikan.
Melainkan ...
"Pak Lewis?"
"Ya?"
"Apa boleh saya menolak hadiah itu dan meminta satu hal dari anda?"
:-)
Ralin tidak tidur. Dia hanya memejamkan mata untuk menetralkan emosinya. Juga untuk menyiapkan mentalnya jika para istri teman-temannya itu ikut serta. Kemudian Lewis masuk ke dalam kamar mandi dan keluar dengan pakaian yang lebih baik. Lalu ponselnya berdering. "Oke, aku turun bentar lagi."Ralin mendengarnya tapi tetap memejamkan mata. Kemudian dia merasakan tangannya ditepuk Lewis. "Ayo turun. Temanku udah di bawah."Tanpa menunggu lama, Ralin segera bangun lalu keluar dari kamar Lewis. Dan sedikit membanting pintunya. Keputusan terberani Ralin. Dia masuk ke dalam kamarnya sendiri lalu mengambil jaket tebal yang Lewis belikan dan membelitkan syal di lehernya. Dia segera keluar dari kamar, membawa jaket Levi, dan bersamaan dengan itu Lewis juga keluar bersama Levi. Tanpa banyak berkata Ralin segera mendekati Levi dengan seulas senyum.Mengajak putra tirinya itu mengenakan jaket dengan kata-kata penuh perhatian dan cinta. Di dalam lift, Ralin dan Lewis kompak tidak berkata apa
"Lew, ada laga sepak bola bagus. Mau ikut sama kami?" Itu suara Michael. Lewis memejamkan mata sejenak dan menghela nafas. Lalu melirik malas pada nakas, tempat jam kecil itu berada. Sudah pukul sembilan pagi rupanya. Kepalanya agak nyeri karena semalam tidak bisa tidur. Ingin memanggil Ralin tapi dia tidak yakin dengan keputusannya. "Dimana, Mike?""Cruijff Arena. Ayolah kawan! Kapan lagi kita bisa hora hore kayak gini kalau nggak begini? Jarang-jarang kamu ke Belanda.""Tapi aku masih ngantuk, Mike," ucap Lewis malas. Michael tertawa, "Apa istrimu terlalu agresif, huh?!"Guyonan Michael jelas salah kaprah. Karena nyatanya Lewis berada di kamar sendirian dan hampir tidur pukul dua dini hari. "Ngaco! Nanti laganya jam berapa?" Lewis mengalihkan pembicaraan. "Jam satu. Mau aku jemput?"Kemudian Lewis teringat Levi. Putranya itu sedikit tidak kooperatif jika diajak duduk lama. Pasti akan ada saja ulahnya. Lewis menceritakan hal itu pada Michael dan tidak bisa berjanji akan data
Lewis menatap Ralin dengan ekspresi takut dan setengah kesal. "Kamu kenapa percaya sama omongan teman-temanku?! Aku nggak nyimpan foto Zaylin!"Dipikirnya, Ralin adalah anak ingusan yang baru kemarin mengenal cinta. Padahal dia itu sudah menjadi jadi satu kali. Lalu Ralin menengadahkan tangan kanannya dan menatap mata Lewis, "Boleh aku lihat isi ponselmu, Den Mas?"Kedua alis Lewis terangkat dengan wajah setengah ketakutan. Lalu matanya tidak sengaja melihat ke kanan dan terpampanglah pemandangan bawah yang mengerikan untuknya. Seketika ia merasa mual dan pusing lalu wajahnya berubah pucat. "Den Mas? Kenapa?"Lewis segera menutup kedua matanya dan tangannya berpegangan erat-erat pada kursi. Membiarkan sensasi diayun-ayun oleh kereta gantung yang membuatnya seperti begitu dekat dengan malaikat pencabut nyawa. Melihat Lewis seperti itu, Ralin memilih diam tidak mengganggu. Dia justru asyik dengan Levi melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Saat kereta mengalami sedikit gunca
Ketika Ralin duduk sambil menemani Levi melahap makanannya, terdengar percakapan yang mengusik telinganya. "Aku nggak nyangka kalau istri baru Lewis itu perempuan biasa," ucap salah satu perempuan. Kebetulan Ralin dan Levi duduk agak di pojok. Setidaknya kehadiran mereka seperti tidak ada. "Beneran? Kamu nggak salah dengar?" Yang lain menyahuti. "Nggak salah lagi. Aku baru aja dikasih tahu suamiku kalau istri barunya itu sebenarnya mantan guru Levi lalu dinikahi."Kemudian terdengar suara terkejut, "Astaga, Tuhan! Mimpi apaan sih Lewis sampai mau nikah sama cewek rendahan kayak gitu? Padahal Zaylin udah paket komplit. Ngapain dicerai?""Itulah yang aku nggak tahu. Kayaknya Lewis emang sengaja nutup informasi lebih jauh."Ralin berdiri kemudian mendekat. Bersembunyi di balik tembok untuk mendengarkan obrolan mereka."Aku benar-benar nggak respect sama tuh cewek dari pertama kali ketemu. Lihat aja pakaiannya. Masak di musim yang masih dingin gini dia malah pakai jaket biasa. Nggak ke
"Kamu banyak berubah, Lin. Apa karena kita nggak pernah komunikasi ya?"Ralin mengangguk dengan seulas senyum yang lebih memiliki makna : sedekat apa Lewis dengan Zaylin dulu hingga temannya ini mengenal mereka berdua?"Jo, kayaknya ... eh ... kita ke hotel dulu. Levi capek." Itu alasan Lewis. Walau sejujurnya Levi juga sudah merengek tidak nyaman ingin belarian. "Oke, aku pulang dulu untuk siapin makan-makan penyambutan yang luar biasa untuk kalian.""Ajak Gabrielle, Michael, beserta istri mereka.""Natuurlijk, Lew," balasnya dengan bahasa Belanda. Levi merengek karena kelelahan dan ingin berlari-lari. Dia merasa di penjara selama penerbangan. Bahkan ketika di dalam taksi yang membawa mereka menuju hotel pun Levi sempat membuat kegaduhan. Ralin hanya bisa menenangkan dan membujuk. Lalu Lewis berbicara dengan bahasa Belanda pada sopir taksi untuk mempercepat lajunya taksi agar segera sampai. Tidak jauh dari Bandara Schipol, Lewis menyewa dua buah kamar dengan fasilitas premium dar
Ralin bertepuk tangan ketika Levi berhasil menyelesaikan puzzle raksasa bergambar mobil balap. Levi pun tak kalah bahagia bisa menyelesaikan tantangan itu. Saat Ralin mengajaknya untuk tos, pintu kamar Levi terbuka. Ralin segera mundur dan memberikan ruang bagi Lewis barangkali ingin bertemu putranya. Mengingat tadi pagi hubungannya dengan Lewis tidak baik-baik saja, Ralin memilih untuk menghindar. Dia berani bertaruh jika kehadirannya tidak diperlukan lagi di rumah ini sebentar lagi. Hanya tentang masalah menghitung hari saja. Ketika Lewis mencium pucuk kepala Levi, Ralin yang akan pergi kemudian dihadang Levi karena makan malamnya belum usai. Mereka terlalu asyik bermain puzzle."Levi bisa minta tolong sama Ayah. Oke?"Kepala Levi menggeleng lalu Lewis membujuknya dan berhasil. Ia menggenggam satu tangan Levi dan tangannya yang lain membawa piring berisi sisa makanan yang belum habis. "Tolong siapin baju-baju dan keperluan Levi ke dalam koper. Terutama pakaian tebal. Besok aku m