공유

Menolak Hadiah

작가: Juniarth
last update 최신 업데이트: 2025-02-02 16:36:05

"Tapi saya bisa jamin kalau itu bukan saya, Bu Karin. Foto ini editan." Ralin membela diri.

"Saya nggak tahu harus percaya siapa, Bu Ralin. Tapi kalau ini sudah menyangkut nama baik sekolah, saya juga tidak bisa tinggal diam. Reputasi sekolah yang akan jadi taruhan."

"Ya Tuhan, siapa yang tega melakukan ini?"

Ralin tidak ingin dikeluarkan dari sekolah karena hanya ini satu-satunya tempatnya mencari nafkah. Jika dia harus kehilangan pekerjaan, bagaimana bisa melanjutkan hidup?

"Bu Karin, tolong beri saya waktu untuk mencari tahu siapa yang tega melakukan ini. Tolong jangan pecat saya. Hanya ini pekerjaan yang saya miliki." Ralin memohon. 

Dengan berat hati akhirnya kepala sekolah memberi Ralin kompensasi waktu untuk mencari tahu kebenaran foto itu. 

"Saya kasih kelonggaran waktu tiga hari saja, Bu Ralin. Karena saya khawatir nanti si pengirim foto akan melakukan aksi nekat mengunggah foto-foto ini di media sosial lalu membuat reputasi sekolah hancur."

Tiga hari bukanlah waktu yang lama. Itu adalah waktu yang sangat singkat untuk menemukan identitas pengirim foto-foto palsu dengan menggunakan wajah Ralin. 

Dengan pikiran sempit dan bingung, Ralin kembali ke ruangan guru lalu menyendiri. 

Dia berpikir keras siapakah yang mengedit foto-foto tidak senonoh itu lalu mengganti dengan wajahnya. Karena setahu Ralin, dia tidak memiliki musuh bebuyutan. 

Kecuali ... 

"Emran."

Ralin langsung menyambar ponselnya dan menghubungi pria yang sudah menceraikannya. Dengan hati panas dan geram, Ralin tidak sabar menunggu panggilannya diangkat. 

Tapi sialnya, Emran tidak mengangkat panggilan Ralin. Pun dengan panggilan selanjutnya. 

Kesal dan geram dengan ulah Emran, akhirnya Ralin langsung menuju ke kantor tempat dimana pria itu bekerja. 

"Selamat siang, apa Pak Emran ada di tempat?" Tanya Ralin pada resepsionis. 

"Ada, Bu. Tapi kalau jam makan siang begini, beliau biasanya keluar makan siang."

Ralin mencoba menghubungi Emran kembali, namun tetap saja tidak diangkat. 

"Saya akan tunggu dia disini."

Sembari memikirkan banyak hal, Ralin menunggu Emran di lobby kantor. Hubungannya dengan Emran sudah hancur tapi tidak dengan kenangan ketika Ralin menemani Emran melamar kerja di kantor ini. Hingga dia menjadi pria sukses seperti sekarang. 

Ketika yang dinanti melewati pintu kantor dengan Fayza di sebelahnya, Ralin langsung berdiri dan menghadang keduanya. 

Emran dan Fayza terkejut melihat Ralin berada di kantor ini. Lalu pria itu maju selangkah dan bertanya dengan nada tajam. 

"Ngapain kamu kesini, heh?! Mau pamer kalau kami istriku?!"

"Mantan istri lebih tepatnya, Em." Fayza meralatnya dengan senyum sinis. 

"Aku nggak butuh status sebagai istri dari seorang lelaki hidung belang kayak kamu," ucap Ralin tenang dengan memandang tajam Emran.

Andai ini bukan di kantor, Emran pasti sudah memberi Ralin pelajaran. Lalu ia meraih tangan Ralin kasar dan menariknya keluar. 

Dengan langkah lebar, Emran menarik paksa Ralin menuju parkiran. Kemudian Emran menyentaknya hingga membentur dinding parkiran. 

"Kita udah nggak ada hubungan apa-apa! Nggak usah kamu datang kemari atau muncul di depanku! Ngerti?!" Bentak Emran. 

"Aku kesini cuma mau tanya."

"Sekali lagi aku tegaskan! Kita nggak ada hubungan lagi! Titik!"

Emran hendak berlalu tapi Ralin menarik tangannya. 

"Apa kamu yang ngirim foto-foto nggak benar ke sekolahku?"

Kemudian Emran menoleh dan memberinya tatapan tajam seperti iblis. 

"Dengar, aku nggak peduli kamu mau hidup dimana bahkan mau mati kayak apa, Lin! Karena aku benar-benar benci sama kamu!" Bentak Emran dengan menunjuk wajah Ralin. 

"Kamu bilang setia, tapi ternyata punya hubungan sama laki-laki lain! Kamu nyuruh aku sabar dan mutusin Fayza, tapi kamu sendiri masih punya hubungan sama laki-laki lain! Apa kamu mau main enaknya sendiri?!"

"Lalu sekarang kamu main tuduh aku yang ngirim foto-foto nggak jelas ke sekolahmu."

Emran mendengus geli lalu menunjuk pelipis kepalanya.

"Coba kamu pikir, Lin! Aku udah benci setengah mati sama kamu! Bahkan aku nggak peduli andai kamu mati! Lalu, apa kamu pikir aku masih pantas ngurusi kehidupanmu?!"

"Aku nggak --- "

Emran mengangkat tangannya lalu berkacak pinggang. 

"Aku nggak peduli apapun tentang kamu! Dan aku benar-benar nggak sabar pengen kita cepat bercerai! Paham?!" 

Belum sempat Ralin membela diri tentang hubungannya dengan Lewis, tapi Emran sudah terlanjur menutup mata hatinya.

"Aku udah menghubungi pengacara buat ngurusin perceraian kita! Dan kamu nggak usah nyari aku kalau nggak penting!"

Emran kemudian pergi meninggalkan Ralin dengan menyenggol pundaknya kasar. Ia hanya bisa menatap Emran dengan hati hancur dan bingung. 

Tidak mungkin Ralin bisa bertahan hidup jika dipecat sebagai guru. Satu-satunya sumber nafkah yang dia miliki setelah seluruh aset dan tabungan selama menikah telah dikuasai Emran dan selingkuhannya. 

Ralin tidak tahu meminta bantuan pada siapa jika sudah seperti ini. 

Kemudian matanya menatap langit siang yang sedikit mendung itu. Berharap ada keajaiban yang Tuhan turunkan untuknya. 

"Kalau bukan Emran pelakunya, lalu siapa yang ngirim foto nggak benar itu?" Gumamnya sedih. 

Baru saja Ralin akan memeasan ojek online untuk kembali ke hotel, ada panggilan dari nomer tidak dikenal. Pikir Ralin mungkin itu adalah nomer oknum tidak bertanggung jawab yang memfitnahnya. 

"Halo?! Apa maumu?!" ucapnya ketus.

"Bu Ralin?"

"Siapa ini?"

"Saya, Lewis. Ayahnya Levi."

Kedua alis Ralin terangkat dan malu sekali karena tidak sengaja membentak Lewis. 

"M ... maaf, Pak Lewis. Ada apa?"

"Apa Bu Ralin sedang sibuk?"

Tidak mungkin Ralin egois dengan menolak permintaan Lewis setelah diberi tempat bermalam yang nyaman. 

"Tidak, Pak. Ada apa?"

"Bu Ralin dimana sekarang?"

"Saya ... eh ... kalau boleh tahu ada apa, Pak?"

Ralin hanya tidak mau Lewis mengerti dimana posisinya berada sekarang. 

"Levi tidak bisa tenang di rumah. Baby sitternya baru saja menelfon. Dan saya sebentar lagi ada rapat yang tidak bisa ditinggal. Saya minta tolong, apa Bu Ralin bisa ke rumah untuk menenangkan Levi? Biar sopir saya menjemput dimana Bu Ralin berada."

"Iya, Pak. Saya akan kirimkan lokasi saya berada sekarang."

"Saya tunggu. Terima kasih banyak."

Ralin kemudian mengirimkan dimana lokasinya berada dan Lewis berpesan agar menunggu sebentar. Sembari menunggu mobil Lewis datang, Ralin duduk di kursi dekat pos satpam dengan hati sedih dan bingung. 

Hingga dia tidak sadar mobil mewah Lewis telah tiba. 

"Selamat siang, Bu Ralin. Mari saya antar," ucap sopir itu begitu sopan.

Mobil mewah Lewis yang begitu nyaman ini sangat harum dan menenangkan. Bahkan wangi parfum Ayahnya Levi itu masih tertinggal di dalam mobil.

Setibanya di rumah megah Lewis, sopir dengan sopan membukakan pintu mobil untuk Ralin. Kemudian mengarahkannya menuju ke dalam rumah. 

"Den Levi, jangan lompat-lompat di sofa. Nanti kalau jatuh, Mbak yang dimarahi Ayah."

Itu kalimat pertama yang Ralin dengar ketika memasuki rumah. Kemudian matanya menatap Levi yang tengah melompat-lompat dari satu sofa ke sofa yang lain. 

Seketika itu juga, masalah yang Ralin pikul pergi entah kemana. 

Dia langsung meletakkan tasnya dan berjalan menghampiri Levi dan membuat bocah itu tidak bisa melompat ke sofa yang lain. 

"Stop, Levi. Bu Ralin tidak suka."

Levi kemudian turun dan akan berlari lalu Ralin segera menangkapnya.

"Ayo kita lari-lari di luar yuk? Mau hujan kayaknya. Asyik loh main air hujan."

Mendengar itu, baby sitter Levi segera menahan Ralin.

"Jangan, Bu Ralin. Nanti Pak Lewis marah kalau Den Levi sakit."

"Saya akan tanggung jawab. Tenang saja."

Ralin jauh lebih mengerti kondisi Levi kemudian membawa bocah kecil itu menuju taman rumah yang luas dan hijau. Tanpa alas kaki, Ralin mengajak Levi terus berlari meski dirinya mulai lelah. 

Kedua baby sitter, sopir, dan seorang bodyguard hanya bisa berdiri mengamati Ralin mengasuh Levi. 

Bahkan ketika mendung mulai menggelayut dan hujan gerimis mulai membasahi rumput, Ralin masih setia menemani Levi. Tidak peduli dengan seragam kerjanya yang mulai basah. 

Levi begitu senang bermain air hujan lalu menggandeng tangan Ralin untuk diajak berlari-lari kecil. Setelah Levi terlihat lelah, barulah Ralin menggunakan jurusnya untuk mengatur Levi. 

"Levi, ayo masuk."

Energi berlebih bocah spesial itu telah terkuras sehingga mudah bagi Ralin untuk mengaturnya. Meski dengan taruhan dirinya juga ikut kelelahan. 

Kedua baby sitter Levi segera menyelimuti tuan muda kecil itu dengan handuk. Bertepatan dengan itu, Lewis datang. 

Dia membuka sendiri pintu mobil dengan tergesa lalu berlari menuju teras rumah meski gerimis membasahi kemeja kerja mahalnya. 

Pemandangan pertama yang dilihat adalah Levi basah kuyup dalam balutan handuk dan Ralin pun sama basahnya. Semua yang berada di sana, tidak ada yang berani bersuara.

"Kenapa bisa basah kuyup, Bu Ralin?"

"Levi harus melakukan banyak aktivitas fisik di luar rumah, Pak. Kalau hanya di dalam rumah, dia pasti akan membuat siapapun menjadi kewalahan. Saya sengaja mengajaknya bermain hujan dan hasilnya ... Bapak bisa lihat sendiri."

Levi nampak tenang digendong baby sitter yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. 

"Oke. Mari, Bu Ralin. Biar asisten rumah tangga menyiapkan baju ganti untuk Bu Ralin."

Tidak ada raut marah di wajah Lewis seperti prasangka kedua baby sitter Levi. 

Setelah Ralin membersihkan diri dan berganti pakaian, ia melihat Lewis duduk di ruang tengah bersama Levi. Dia sedang mengajak Levi berbicara.

"Silahkan duduk, Bu Ralin."

Setelah mendudukkan diri, tiba-tiba saja Levi berjalan ke arah Ralin lalu meminta pangku. Kepalanya kemudian diletakkan di pundak Ralin begitu saja. 

Melihat itu, Lewis hanya bisa menghela nafas. 

"Levi dalam kondisi tenang, Pak. Karena energi berlebih dalam tubuhnya sudah dikeluarkan."

"Saya tidak tahu kalau bukan Bu Ralin yang mengatasi."

Kemudian Ralin merasakan pundaknya memberat dan tangan Levi menjadi lemas. 

"Sepertinya Levi tidur, Pak."

"Astaga. Saya jadi merepotkan Bu Ralin."

Ralin hanya tersenyum dan menggeleng kemudian mengusap lembut punggung Levi agar makin lelap tertidur. 

"Saya sangat berterima kasih, Bu Ralin."

Kemudian Lewis berpamitan ke kamar sejenak lalu kembali dengan membawa sebuah kotak jam tangan yang terlihat sangat mahal. 

"Bu Ralin, anggap saja ini adalah hadiah dari saya."

Ralin memandang kotak jam tangan itu tanpa senyum apapun. Dia sama sekali tidak tertarik dengan hadiah yang Lewis berikan.

Melainkan ...

"Pak Lewis?"

"Ya?"

"Apa boleh saya menolak hadiah itu dan meminta satu hal dari anda?"

Juniarth

:-)

| 31
이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
댓글 (3)
goodnovel comment avatar
rina Desi
minta pekerjaan saja lin biar bs mandiri dan buktikan bhwa km mampu dan lbh baik dr emran dan selingkhannya
goodnovel comment avatar
May May
bagus ceritanya ini
goodnovel comment avatar
Avary
Thor, ditunggu kelanjutannya
댓글 모두 보기

최신 챕터

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Bersama Sepanjang Usia

    Hari-hari Ralin tak lagi sama sejak hasil USG itu keluar. Tubuhnya mulai memberi sinyal mual yang muncul saat matahari belum terbit, kelelahan bahkan hanya untuk naik tangga, dan suasana hati yang mudah berubah drastis.Lewis yang biasanya sibuk di pabrik, kini beradaptasi total. Dia bangun lebih pagi untuk menyiapkan air lemon hangat, mengatur jadwal kerja agar bisa pulang lebih awal, bahkan menyimpan camilan khusus anti-mual di sakunya jika harus keluar bersama Ralin.“Kalau kamu nyium bau parfumku dan pengen muntah, bilang aja. Aku bakal ganti,” ujar Lewis dengan panik satu pagi.Ralin terkekeh meski wajahnya pucat. “Aromanya sih nggak bikin muntah. Tapi cara kamu panik itu bikin aku pengen nangis dan ketawa barengan, Den Mas. Ini hormon atau kamu emang lucu banget?”Namun perubahan fisik hanyalah permukaan. Perubahan emosional jauh lebih kompleks.Suatu malam, ketika Lewis tertidur lebih dulu, Ralin duduk di sisi ranjang dengan tangan memegang perutnya yang belum menunjukkan apa-ap

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Ketika Mereka Dilema

    Malam harinya, Ralin menghubungi kedua orang tuanya melalui video call. Wajah Ibunya muncul di layar, ayahnya duduk di samping.“Bu, Pak, aku punya kabar baik.”“Apa, Lin?”“Lihat ini.”Ia menunjukkan hasil USG.Ibunya sempat bingung, tapi begitu menyadari, ia terharu seketika.“Ya Tuhan, akhirnya. Kami semua mendoakan, Lin. Anakmu akan jadi anak yang kuat seperti ibunya.”Percakapan mereka berlanjut dengan penuh tawa bahagia setelah melewati banyak rintangan. Bahkan ibunya bersedia untuk menginap di rumah Lewis kalau Ralin membutuhkan bantuan.Untuk pertama kalinya, Ralin merasa sangat lengkap.Pernikahannya yang dulu sempat mendapat perlawanan dan hidup dengan pasangan tanpa restu juga membuat beban tersendiri. Tapi kali ini, dia mendapatkan restu dan dukungan dari keluarga.Itu sangat luar biasa berharga di tengah krisis kepercayaan dirinya yang sempat memuncak.Malam itu, semua keluarga tertidur dengan hati yang hangat.Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dunia Ralin dan Lew

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Tidur Bersama

    Ralin menahan napas dan Lewis menegang ketika menatap Dokter Imelda. Tapi senyum dokter itu membuat keduanya bingung.Jika kabar buruk mengapa dokter itu tersenyum?“Kadar β-hCG Bu Ralin melonjak lebih dari dua kali lipat. Ini tanda bahwa embrio mulai berkembang.”Seketika Ralin dan Lewis senang bukan kepalang. Setidaknya ada satu harapan kecil luar biasa yang sedang mereka nantikan.Keduanya saling bertatapan dengan sorot haru. Pikiran Ralin yang awalnya negatif, berubah menjadi merasa bersalah.Dia seperti mendahului kehendak sang Pencipta dengan melabeli calon anaknya tidak akan berkembang.“Kita belum boleh terlalu senang, ya. Tapi ini arah yang positif. Kita akan lakukan USG awal minggu depan untuk melihat apakah kantung kehamilan mulai terbentuk.”Ralin langsung menutup mulutnya dengan tangan. Air matanya mulai memenuhi pelupuk mata.Dia terus mendengarkan penjelasan dokter Imelda, tentang apa dan yang tidak boleh dilakukan.Tangannya mengusap perutnya yang masih rata dengan pera

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Kabar Yang Membuat Menangis

    “Kami berhasil mengambil 11 sel telur matang. Itu angka yang bagus. Sekarang kami akan lanjutkan ke tahap fertilisasi hari ini juga. Kita lihat berapa yang berhasil jadi embrio sehat dalam 3–5 hari ke depan.”Lewis lega luar biasa mendengar penjelasan perawat. Dan satu hal yang dia ketahui, bahwa ekspresi wajah sang suster memanglah serius.Karena terlalu tegang dengan kondisi Ralin, akhirnya Lewis menjadi overthinking.“Makasih, Sus,” ucap Lewis.Kemudian perawat pergi meninggalkannya.Tidak berapa lama kemudian, Ralin membuka mata pelan. “Den Mas?”Lewis segera duduk di sebelah ranjang Ralin dan menggenggam tangan istrinya. “Aku disini.”“Gimana?” Tanyanya lemah.Lewis tersenyum lega, “Ada sebelas folikel. Itu artinya, kesempatan terbuka lebar, Lin.”Ralin tersenyum tipis namun sangat bahagia.“Kamu hebat. Tubuhmu kuat,” jawab Lewis. “Sekarang istirahat dulu. Hasil fertilisasi akan dikabari lewat email dan telepon.”Selama menunggu hasil fertilisasi, Ralin tidak pernah berhenti berdo

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Datang Tergesa-Gesa

    Lewis menatap wanita yang sangat dicintainya itu telah melewati banyak luka dan pengorbanan. Dan kini siapkah Lewis kembali membuat Ralin berdiri di persimpangan pilihan, apakah akan melanjutkan prosedur bayi tabung atau tidak.“Aku kemarin habis ketemu Mas Tira.”Ralin tetap duduk di pangkuan Lewis dan menatapnya keheranan. “Bukannya luka pasca operasi udah beres?”“Iya. Udah beres.”“Lalu?”Lewis kemudian menyatukan tangannya dengan Ralin lalu dibawa untuk dicium dengan penuh kasih sayang.“Sayang, gimana kalau kita … menjalani program bayi tabung?”Mendengar hal itu, kesedihan di hati Ralin seperti kembali lagi ke tempatnya. Dia teringat kembali dengan keadaannya.“Aku nggak tahu, Den Mas. Apa ini jalan yang benar. Aku takut nanti gagal. Aku takut kecewa lagi. Aku takut tubuhku nggak sanggup.”Benar dugaan Lewis, bahwa Ralin pasti tidak akan percaya dengan dirinya sendiri.Beberapa hari kemudian, setelah Ralin dan Lewis kembali mencoba dan berusaha demi mendapatkan keturunan, pagi h

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Keturunan Untuk Keluarga Kita

    Hari ini Ralin mengajak Levi untuk pulang ke kampung halaman orang tuanya. Mendadak ia ingin mencari udara segar di kampung. Sekalian agar Levi bisa bermain di sawah dengan keponakannya.“Hati-hati ya? Maaf aku nggak bisa nemenin. Ini bukan weekend soalnya,” ucap Lewis.Kemudian ia memeluk Ralin dan menciumnya.“Iya, Den Mas.”“Aku bakal kangen kalian dua malam ini. Tidur sendirian.”Ralin tersenyum.“Semalam aja lah, Lin, nginepnya.”“Nanggung, Den Mas. Lagian aku udah lama nggak pulang.”Lewis mengangguk dan menghela nafas panjang. Sekarang, dia tidak terbiasa jauh dari Ralin. Dan ditinggal dua hari saja, dia merasa keberatan.“Ya udah, aku izinin.”Akhirnya Lewis mengizinkan meski dengan berat hati.Dia tahu jika istrinya itu dalam proses menenangkan diri dan berdamai dengan segalanya. Tidak mudah menerima kenyataan hidup bahwa Ralin dihadapkan pada masalah sulitnya hamil.Setelah mengantar Lewis hingga teras rumah, Ralin kemudian masuk ke dalam rumah. Mengajak Levi memasukkan beber

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status