Share

Simpanan Om-Om

Author: Juniarth
last update Last Updated: 2025-01-27 19:29:29

Setelah menunggu kurang dari sepuluh menit, akhirnya seorang lelaki yang masih memakai kemeja kerja formal tiba di rumah Lewis. Dia kemudian menunduk dengan hormat pada sang tuan lalu memandang Ralin. 

Lalu mengeluarkan sebuah cardlock dari saku dan mengulurkan dengan begitu sopan menggunakan kedua tangan. 

"Permisi, ini cardlock kamar anda. Nanti anda cukup menunjukkan kartu identitas dan cardlock ini pada resepsionis."

Ralin menerimanya dengan dua tangan pula lalu menatap Lewis.

"Terima kasih banyak, Pak Lewis. Semoga kebaikan anda dibalas berkali-kali lipat. Saya tidak tahu bagaimana nasib saya kalau tidak bertemu anda."

"Sama-sama, Bu Ralin. Saya juga tidak tahu bagaimana nasib Levi kalau tidak ditemukan Bu Ralin."

Karena hari semakin malam dan harus segera mengambil barang-barangnya yang telah Emran letakkan di halam rumah, Ralin segera undur diri. 

Dia menghampiri sopir Lewis yang masih berada di teras rumah lalu meminta bantuannya untuk menurunkan koper dari bagasi. 

Jam hampir menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Ini hampir tengah malam namun Ralin juga tidak bisa membiarkan barang-barangnya digeletakkan sembarangan.

Berbekal kenekatan, Ralin terus menggeret kopernya menuju gerbang utama rumah megah Lewis dengan air mata kembali membasahi pipi. Ralin begitu sedih namun dia tidak bisa berbuat apapun selain menjalani takdir ini.

Sambil berdiri di depan rumah megah Lewis, tangan Ralin merogoh ponsel dan memesan taksi online. Beruntung masih ada taksi yang beroperasi di jam itu.

Ralin terus menyemangati diri sendiri jika bisa melalui ujian ini dengan kuat. Dia tidak boleh terus menerus menangisi Emran atau takdir hidupnya. 

Emran adalah pilihannya. Dan apapun konsekuensinya Ralin harus menerimanya. Meski ada penyesalan mengapa dulu tidak mendengarkan ucapan kedua orang tuanya. 

Sepanjang perjalanan menuju rumah yang ia tempati dengan Emran selama empat tahun, Ralin berdoa agar pria itu suatu saat akan mendapatkan karmanya. 

Ralin hanyalah manusia biasa yang bisa menaruh dendam dan amarah karena Emran memilih berselingkuh demi mendapatkan keturunan. Bahkan Emran bersama selingkuhannya tega mengusir Ralin dari rumah tanpa diberi uang sepeser pun.

Ia seharusnya memiliki hak atas rumah yang mereka bangun bersama-sama dan Emran tidak boleh mengusirnya secara sepihak.

Ketika taksi berhenti di depan rumah itu, suasana sudah cukup sepi. Lalu Ralin melihat jam di pergelangan  hampir menunjukkan pukul sepuluh malam.

Ada dua buah tas besar yang tergeletak di halaman rumah dengan isi tidak ditata rapi. Lalu ia membuka pagar setinggi perut itu tanpa menimbulkan suara apapun. Ralin tidak mau kedatangannya diketahui Emran lalu menuai pertengkaran yang mengundang atensi tetangga.

Ralin berjongkok dengan hati pedih sambil memungut tas berisi pakaian dan beberapa barangnya yang dimasukkan sembarangan. 

Emran benar-benar memperlakukannya dengan begitu hina dan melupakan semua jasa baiknya. 

Setelah menutup reseleting tas itu dengan benar dan menyeka air mata, Ralin menatap mobil Emran yang terparkir. Mobil kesayangan Emran yang dibeli dengan jerih payah berhemat mereka berdua. Tapi, tadi pagi Emran justru persilahkan selingkuhannya menduduki kursi penumpang mobil itu.

Kursi yang seharusnya hanya diperuntukkan untuk Ralin.

Lalu Ralin menatap dua pasang sepatu di teras rumah. Ia berjalan mendekat untuk memastikan satu pasang sepatu yang lain milik siapa. 

Dan ternyata itu satu pasang sepatu laki-laki milik Emran dan satu lagi milik ...

"Fayza." Gumamnya.

Ralin menatap pintu rumah dengan hati pilu karena ia bisa menduga jika Emran dan selingkuhannya berada di dalam rumah. Entah apa yang dilakukan dua orang manusia dewasa di dalam rumah tanpa ikatan pernikahan. 

Ceklek ...

Pintu terbuka dan Ralin masih berdiri di sana.

Emran yang tadinya tertawa lebar dengan memeluk pundak Fayza, terdiam seketika melihat Ralin  berdiri di hadapannya. Kemudian wajahnya berubah tidak bersahabat dengan Fayza justru memeluk perut Emran dengan begitu mesra. 

"Ambil barang rongsokanmu itu! Lalu buruan pergi!"

Cukup sudah Ralin menahan sabar dengan semua hinaan Emran selama ini. Lalu ia menatap Fayza. 

"Nggak ada ceritanya kamu bakal bahagia sama Emran tapi bikin aku sedih nggak karuan, Fay."

"Halah! Banyak ceramah! Sana pergi! Nggak usah ganggu kesenangan orang!"

Lalu Ralin berganti menatap Emran. 

"Aku doakan kalian bakal dapat karma terbaik setelah ini."

Emran kemudian mendorong tubuh Ralin hingga jatuh terduduk. 

"Pergi!!"

"Lelaki hidung belang emang cocok bersanding sama wanita murahan!"

Mendengar hinaan Ralin, emosi Emran langsung membumbung tinggi. Lelaki itu segera mengangkat kursi yang berada di teras dan akan dihantamkan pada Ralin. 

Dengan cepat Ralin berdiri lalu berlari menjauh. Bertepatan dengan itu sebuah mobil mewah yang tadi ia tumpangi berhenti di halam rumah Emran. 

David segera turun dari kursi depan lalu membuka pintu tengah. Dengan penuh wibawa, Lewis turun dari mobil lalu menatap Ralin yang ketakutan. Kemudian Ralin segera mencari perlindungan dengan bersembunyi dibalik tubuh Lewis. 

"Siapa kamu?!" ucap Emran ketus dengan tangan membawa kursi. 

"Pak Lewis, tolong selamatkan saya," ucap Ralin dari balik tubuhnya. 

Lewis dan David langsung paham apa yang terjadi antara Ralin dan mantan suaminya. Meski Lewis tidak ingin ikut campur masalah rumah tangga Ralin, tapi bagaimana bisa dia tega melihat Ralin terpojok seperti ini. 

"Siapa kamu, heh?! Kenapa nggak jawab?! Bisu?!"

"Aku kesini karena mau ngasih cardlock Bu Ralin," ucap Lewis tenang.

Lalu ia mengeluarkan cardlock kamar hotel dari saku dan memberikannya pada Ralin yang berada di belakangnya. 

"Tadi terjatuh di teras rumah saya. Lalu saya buru-buru ngikutin taksi yang Bu Ralin naiki."

Emran tidak bodoh tentang apa itu cardlock. Kedua alisnya berkerut dan otaknya menyimpulkan dengan cepat bahwa ... 

"Oh ... ternyata selama ini kamu jadi simpanan om-om ya, Lin! Ngatain aku selingkuh padahal kamu yang selingkuh duluan! Apa kalian habis check-in atau mau check-in bareng sampai susah payah njemput kamu kemari, heh?!"

Kepala Ralin menggeleng dengan tegas. 

"Kamu salah paham, Em. Pak Lewis itu wali murid siswaku."

"Oh ... wali murid yang merangkap jadi selingkuhanmu begitu?! Kamu nyuruh aku ninggalin Fayza, tapi kamu sendiri main mata! Pantas kamu nggak hamil-hamil, ternyata ada lelaki lain yang lagi kamu senengin!"

"Emran! Kamu salah paham!"

"Dimana salahnya, heh?! Ngapain dia susah payah nyari kamu buat ngasih kunci hotel?! Kamu pikir aku bodoh sampai nggak bisa mikir jauh?"

"Pak Lewis itu nolongin aku gara-gara ulahmu!"

"Munafik! Aku kira kamu istri yang lugu, nyatanya tukang selingkuh! Untung aja aku punya hubungan sama Fayza! Ingat baik-baik, Lin, aku nggak bakal ngasih kamu sepeser pun!"

"Kamu keterlaluan, Emran! Aku doakan Fayza nggak bakal bisa ngasih kamu keturunan!"

Emosi Emran kembali membuncah lalu melemparkan kursi itu ke arah Lewis dan Ralin berdiri. Tapi dengan sigap, asisten Lewis segera menepis kursi itu sebelum melukai tuannya. 

Ralin terkejut dan menutup mulutnya dengan tangan. Sedang Lewis membetulkan kerah kemejanya dengan santai.

"Jangan berani menyentuh Pak Lewis kalau kamu masih mau hidup!"

Merasa tidak terima, Emran kembali berusaha menyerang namun David lebih dulu melumpuhkannya. Emran terjatuh setelah David mengunci tangannya ke belakang lalu mendorongnya.

Ralin benar-benar tidak menyangka jika David bukanlah asisten pribadi Lewis semata. Melainkan dia juga merangkap sebagai bodyguard.

"Aku tegaskan, kalau aku bukan selingkuhan istrimu. Kamu salah paham. Dan cara menyelesaikan masalah dengan istri itu bukan pakai kekerasan, tapi bicara pakai kepala dingin. Paham?" Lewis berucap tenang. 

"Diem kamu!"

Kemudian Emran menatap Ralin dengan sorot marah.

"Awas kamu, Lin! Kamu harus membayar semua ini! Sampai ketemu di pengadilan!"

Emran kemudian kembali ke dalam rumah bersama selingkuhannya dan menutup pintu dengan keras. Ralin hanya bisa menunduk sedih sambil meremas cardlock yang Lewis berikan. 

"Maaf, Pak Lewis. Anda hampir terluka karena perbuatan mantan suami saya."

Kepala Lewis mengangguk dan melihat Ralin penuh rasa iba. Wajah dan penampilannya cukup menyedihkan akibat ulah mantan suaminya. 

Suasana hati Ralin pasti tidak baik-baik saja pasca pertengkaran baru saja.

Kemudian Ralin mengambil kedua tas besar berisi barang-barangnya dan membungkuk hormat pada Lewis. 

"Terima kasih banyak, Pak Lewis. Sudah repot-repot mengantarkan kunci kamar hotel. Saya sangat berhutang budi. Kelak, kalau saya diberi kesempatan, saya ingin membalas budi baik Bapak. Sekali lagi, terima kasih."

Ralin kembali membungkuk hormat lalu berjalan dengan susah payah membawa tas dan kopernya. Lalu ...

"Bu Ralin, apa mau saya antar ke hotel?"

Juniarth

:-)

| 14
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
rina Desi
semangattt Ralinnnn
goodnovel comment avatar
Avary
Beberapa bulan purnama terlewati demi menunggu kelanjutan cerita si kembar putra bangsawan dan hartawan, Lois dan Lilyah. Semangat Thor… lanjutkan ceritanya penuh dengan kejutan2 manis
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Menjadi Pusat Perhatian

    Lewis mengangguk lalu mempersilahkan asisten pribadinya membuka pintu ruang kerja.Kemudian terpampanglah sekretarisnya, Ardi, bersama seorang ... wanita.Mengenakan setelan kerja berupa blazer warna abu-abu berlengan panjang dengan inner berupa tank top warna hitam sebatas dada atas. Mengenakan rok pendek di atas lutut lima centimeter.Memperlihatkan kaki jenjang, merit, dan mulusnya yang bisa membuat lelaki manapun tertarik untuk meliriknya.Rambutnya digelung rapi dengan riasan flawless yang tidak menor. Tapi cukup membuatnya nampak anggun.Lalu ketukan heelsnya seperti detik jarum jam di tengah sepinya malam. Mampu membelah kesunyian dan magnet alam seakan tertarik padanya. Dan senyum manisnya tergambar jelas sembari menatap Lewis tanpa keraguan.Keduanya berdiri tidak jauh dari meja Lewis. Sedang asisten Lewis berdiri di sebelah Lewis dengan meletakkan kedua tangan sopan di depan tubuh.Lewis menatap sekretarisnya, Ardi, dan bertanya."Apa dia calon penggantimu?"Kepala Ardi menga

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Tetap Menggairahkan

    Lewis menahan senyum kemudian membuka selimut perlahan. Turun dari ranjang lalu menarik tangan kiri Ralin untuk keluar dari kamar. "Mau kemana, Den Mas?"Lewis meletakkan telunjuk kanannya di depan bibir dan mengedipkan sebelah mata. Dan Ralin mendadak langsung meleleh seketika. Tidak bisa Ralin pungkiri jika ada letupan gairah yang mendadak naik ke puncak ubun-ubun. Dia juga sudah lama berpuasa dari sentuhan Lewis. Namun dia tidak menyangka jika Lewis akan jauh lebih agresif meminta haknya ketimbang dirinya. Hingga kedua pipinya terasa panas karena malu dan pasti sudah bersemu. Oh ayolah, mereka sebelumnya adalah janda dan duda. Namun entah mengapa sekarang kelakuan mereka seperti pasangan muda yang baru menikah. Tanpa banyak bertanya, Lewis membawa Ralin menuju kamar Levi yang kini jarang ditempati. Sudah pasti karena Levi selalu menghabiskan jam tidurnya di kamar kedua orang tuanya. Setelah pintu tertutup dan dikunci, Lewis memojokkan Ralin di tembok dan mulai membelai pipi is

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Aku Hanya Bisa Short Time

    Ralin mengangkat telfonnya dan menunjukkan riwayat panggilannya dengan Zaylin dua jam yang lalu. Mengetahui itu, Lewis segera mengambil ponsel Ralin lalu meremasnya kuat. Menatap kedua mata istrinya itu dengan tatapan tajam. "Tunggu di kamar. Jangan kemanapun!" ucap Lewis tegas."Kamu mau kemana, Den Mas?" Tanya Ralin."Aku bilang ... te-tap di ka-mar!"Perintahnya seperti sebuah titah yang tak terbantahkan. Ralin yang juga mengalami sedikit cidera di kaki kanannya, tidak mungkin bisa menghentikan Lewis yang sedang dikuasai emosi.Ralin hanya bisa melihat suaminya itu pergi dari kamar dan tetap berdiam diri. Kepalanya lantas menggeleng dan mengingat percakapannya dengan Zaylin. Mantan istri Lewis itu menjelaskan semuanya secara detail pada Ralin. Tanpa filter apapun. Padahal Ralin itu mudah merasa tidak enak dan mengalah. Alhasil, dia dilanda stres di masa pemulihan yang mengharuskannya untuk lebih tenang dan sabar menghadapi ini semua. Lewis telah berjanji akan mengatakan segalan

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Susah Memiliki Keturunan

    Usai dari kantor, sore itu, Lewis segera menuju restaurant tempat Akhtira menunggunya. Sebenarnya, dia lelah sekali karena harus merampungkan banyak pekerjaan yang sempat menumpuk.Namun rasa lelah itu terabaikan karena akan membahas kesehatan Ralin, terutama rahimnya.Ada kecemasan yang menyelinap ke dalam hatinya.Apakah Rahim Ralin mengalami cedera pasca kecelakaan itu? Ataukah ada hal yang sangat krusial yang membahayakan rahimnya?Dan Lewis bersumpah, bahwa dia tidak akan memaafkan Antony jika rahim Ralin bermasalah karena perbuatannya. Dia rela mengajukan pemberatan hukuman pada Antony jika rahim Ralin terbukti bermasalah!Dia memiliki kekuasaan, harta, dan koneksi yang akan mendukung dan menguntungkannya. Sedang Antony dan keluarganya, mereka tidak ada seujung kuku keluarga Hartadi.Begitu tiba di lokasi restaurant, Lewis berjalan dengan cepat diikuti asisten pribadinya. Matanya yang terlapisi kacamata bening dengan cepat memindai keberadaan Akhtira yang sudah menunggu di kursi

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Noda Darah Di Baju

    Tangan kanan Lewis memar karena terlalu keras memukul Antony. Dia merasa masih kurang dan emosinya masih bergejolak.Antony terlalu arogan dan itu membuat Lewis tidak memberinya ampun. Berbeda dengan para komplotan yang tadi masih menunjukkan sisi ketakutan.“Pak, apa perlu saya antar ke IGD dulu sebelum kembali ke kamar Nyonya?”Lewis tidak menjawab. Membiarkan rasa nyeri itu merajai punggung tangannya. Lalu mengambil ponsel dan menekan nomer kepala tim.“Selamat siang, Den Mas. Ada yang bisa dibantu?”“Apa Antony masih hidup?”“Masih, Den Mas.”“Beri tahu dia. Kalau seumur hidupnya akan berakhir di jeruji besi. Di tempat yang jauh dari keluarganya.”“Baik.”“Dan satu lagi, katakan padanya agar tidak muncul di hadapanku, Ralin, atau keluarga besarku. Tidak ada maaf baginya!”Keputusan Lewis sudah final.Ini pertama kalinya dia begitu kejam pada seseorang. Namun ini masih jauh lebih baik dari pada Luis yang bertindak.Kemudian Lewis menghubungi tim advokat keluarga Hartadi dan menyampa

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Singkirkan Dia

    Lewis mengetuk pintu kamar inap Ralin kemudian membukanya perlahan. Ralin yang sedang dibantu makan dan minum oleh ibunya kemudian menoleh.Setelah menutup kembali pintu kamar, Lewis berjalan mendekat dan meletakkan satu buket bunga sederhana di meja.Lalu senyum Ralin mengembang, “Makasih, Den Mas.”“Sama-sama.”Kemudian Lewis duduk di sebelah Ralin dengan senyum sama mengembangnya. Seakan tahu jika anak dan menantunya butuh waktu berduaan, ibunya Ralin kemudian beralasan.“Lew, tolong suapin Ralin.”Kemudian Lewis menerima mangkok berisi sarapan lembut Ralin.“Ibu mau kemana?”“Sarapan bentar sama Bapak. Udah nunggu di luar dari tadi.”Setelah pintu ditutup, Lewis kemudian menyuapi Ralin perlahan.“Aku nggak pernah nyuapin Levi. Tapi mendadak jadi nyuapin kamu.”“Kamu kurang akrab sama anakmu sendiri, Den Mas.”Lewis menyuapi Ralin untuk pertama kalinya hingga habis kemudian datanglah dokter dan perawat untuk melakukan kunjungan.Mengecek keadaan Ralin dan bekas luka serta jahitan.L

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status