แชร์

Menyelesaikannya Di Pengadilan

ผู้เขียน: Juniarth
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-01-25 23:54:40

Lewis sedikit melebarkan matanya mendengar pengakuan Ralin.

"Maaf? Diusir?"

Kepala Ralin mengangguk lalu mengintip wajah Levi yang sudah tidak setakut tadi. Bocah tampan itu tampaknya sudah lebih tenang. Lalu Ralin kembali membujuknya. 

"Levi, Bu Ralin pamit dulu ya? Ini sudah malam. Besok ketemu di sekolah lagi? Oke?"

Levi justru makin memeluk Ralin dan mencengkeram erat bajunya. Dia juga mengintip takut pada Lewis. 

Melihat Levi seperti ini dan bagaimana Lewis mudah tersulut amarahnya, Ralin kembali memberi nasehat padanya. 

"Pak, maaf, bukan maksud menggurui anda sebagai Ayahnya Levi. Tapi anak seperti Levi memang memiliki keterbatasan mengutarakan apa yang dia rasakan. Bahkan dia sendiri kadang tidak bisa mengontrol dirinya sendiri."

"Tapi bukan berarti jika dia melakukan salah lalu memberitahunya dengan cara dibentak. Itu hanya akan membuat Levi trauma dan tidak nyaman bersama anda."

Lewis merasa tertampar dengan penjelasan Ralin dan menyadari kesalahannya. Dia harus lebih banyak belajar bersabar. 

"Terima kasih sudah menyadarkan saya, Bu Ralin."

Kemudian Lewis berpindah duduk di sebelah Ralin dan menyentuh pundak putra semata wayangnya. Tapi bocah tampan itu menggeleng dan semakin menyembunyikan wajahnya. Tangannya juga makin erat memeluk Ralin. 

"Levi, Ayah minta maaf."

Karena Levi seperti lem yang menempel erat pada Ralin akhirnya Lewis tidak memiliki cara lain. 

"Bu Ralin, bisakah anda ikut kami pulang? Untuk masalah penginapan Bu Ralin, saya akan menyuruh asisten untuk mencarikannya malam ini juga."

Ralin merasa tidak enak karena merepotkan Lewis. Tapi bagaimana lagi, dia tidak memiliki ide selain menerima saran Lewis. 

"Maaf, Pak. Saya jadi merepotkan."

"Tidak perlu dipikirkan, Bu Ralin. "

Akhirnya mereka sepakat untuk pulang ke rumah Lewis karena Levi yang tidak mau melepaskan diri dari Ralin. Bahkan Levi tidak mau berjalan sendiri karena takut pada Lewis.

Ralin menggendong bocah lima tahun itu sedikit susah payah. Sedang Lewis berjalan di sebelahnya sambil sesekali mengusap tangan Levi namun bocah itu menepisnya. 

"Levi, udah dong marahnya. Ayah minta maaf, Nak."

Permintaan maaf Lewis tetap tidak digubris Levi hingga mereka duduk di dalam mobil. Levi begitu nyaman dipangkuan Ralin dengan tatapan berpaling.

Tangannya terus menyingkirkan tangan Lewis yang mengusap rambutnya. 

"Sepertinya Levi bukan tipikal yang mudah memaafkan kalau sudah sangat sakit hatinya, Pak." Ralin berucap. 

"Iya. Dan saya benar-benar menyesal membentaknya."

Kentara sekali jika Lewis begitu menyayangi Levi dan menyesali perbuatannya tidak sengaja membentak Levi.

Ia kembali mengusap rambut Levi dan bocah itu tidak lagi menyingkirkan tangan Lewis. Lalu Ralin mengintip wajahnya. 

"Levi tidur, Pak."

Lewis tersenyum lalu mencium rambut putranya itu dengan penuh kesungguhan. 

"Apa Bu Ralin itu guru idola Levi? Sampai dia begitu nyaman dengan anda?"

Ralin kemudian membawa Levi lebih nyenyak dalam dekapannya sembari mengusap punggungnya. 

"Anak-anak spesial seperti ini butuh dukungan dan kasih sayang tanpa batas, Pak. Mereka tidak minta dilahirkan dengan kondisi seperti ini. Hanya kesabaran orang di sekitarnya yang bisa membuat mereka nyaman. Mereka butuh dipahami karena keterbatasannya."

Lewis menatap Ralin dengan seksama lalu mengangguk. Betapa kurangnya dia dalam memahami Levi yang terlahir spesial. 

Mereka kemudian membicarakan banyak hal tentang Levi. Lewis belajar banyak hal dari Ralin tentang pola asuh Levi hingga mereka tiba di rumah. 

Ralin melongo tidak percaya jika rumah Lewis begitu megah, luas, dan mewah. Dan Levi yang sedang dia pangku saat ini adalah keturunan konglomerat yang sesungguhnya. 

"Biar saya gendong."

Lewis hendak mengambil alih Levi namun Ralin tidak kuasa melihat wajah nyenyak tuan muda kecil ini bila terjaga. 

"Saya kuat menggendongnya, Pak. Nggak apa-apa. Dari pada nanti dia terbangun."

Kemudian pintu megah rumah bergaya arsitek Jawa itu dibuka oleh seorang asisten rumah tangga yang langsung menyambut majikannya dengan sangat sopan.

"Selamat malam, Den Mas Lewis."

Ralin sedikit tercengang mendengar Lewis dipanggil menggunakan gelar kebangsawanan. Dia mulai berspekulasi jika keluarga Levi bukanlah orang sembarangan. 

"Ikuti saya, Bu Ralin."

Ralin berjalan sambil melirik sekilas interior rumah mewah ini hingga matanya tertuju pada pigora foto besar yang memperlihatkan keluarga besar Lewis. Mereka berfoto mengenakan kebaya dan beskap yang membuatnya makin yakin jika Levi adalah keturunan darah biru. 

Setibanya di kamar, Ralin segera membaringkan tuan muda kecil itu dengan hati-hati. Lalu menarik selimut hingga sebatas perut. 

"Terima kasih banyak, Bu Ralin," ucap Lewis dengan suara berbisik.

Kepala Ralin mengangguk.

"Mari kita bicara sebentar di ruang tengah."

Lewis mempersilahkan Ralin dengan begitu sopan keluar dari kamar menuju ruang tengah. Di meja sudah tersaji dua teh hangat dan camilan sehat dan kembali berdiskusi tentang keadaan Levi. 

Malam makin larut. Ralin pun mulai lelah dan mengantuk.

"Tunggu sebentar ya, Bu Ralin. Asisten saya perjalanan kemari. Dia akan membantu Bu Ralin mencari penginapan. Anggap saja ini balas budi dari saya karena sudah menemukan Levi dan menjaganya."

"Saya juga berterima kasih banyak, Pak. Saya tidak tahu akan tinggal dimana kalau Pak ... eh ... maaf, siapa nama Bapak?"

"Lewis."

"Tanpa Pak Lewis, entah dimana saya akan bermalam hari ini," ucap Ralin tulus.

"Sama-sama. Semoga masalah Bu Ralin segera terselesaikan."

Ralin mengangguk dengan hati pedih mengingat pengkhianatan suaminya. 

"Saya akan segera menyelesaikannya di pengadilan, Pak Lewis."

Lewis sebenarnya tidak ingin mencampuri urusan Ralin namun sepertinya Ralin membutuhkan teman untuk mencurahkan masalahnya. 

"Maaf, yang mengusir Bu Ralin apakah suami sendiri?"

"Iya, Pak. Dia mengusir saya dibantu selingkuhannya."

Lewis menghela nafas panjang dan menatap Ralin penuh rasa iba. 

"Astaga."

"Ketika saya berjuang agar bisa hamil, dia menduakan saya. Ketika dia belum menjadi siapa-siapa, saya tetap setia menemaninya. Tapi, semua itu dia balas dengan pengkhianatan."

Ralin meraup udara sebanyak mungkin untuk menahan air mata agar tidak luruh. 

"Lalu tadi pagi, dia mengusir saya tanpa memberi uang sepeser pun. Tanpa persiapan apapun. Apalagi di kota ini, saya tidak memiliki sanak saudara. Orang tua di kampung membenci saya karena dulu nekat ingin menikah dengannya."

Akhirnya Ralin menunduk sembari menyeka air mata yang tidak bisa dibendung lagi. Lewis hanya menjadi pendengar setia tanpa menghakimi takdir yang Ralin jalani. 

"Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih banyak, Pak Lewis. Terima kasih."

Kepala Lewis hanya mengangguk dan membiarkan Ralin menangis untuk melepaskan rasa sedihnya. Tapi tidak berselang lama, ponsel Ralin berdering nyaring.

Emran menghubunginya.

Ralin kemudian menghentikan tangisnya dan berdehem untuk menetralkan suara.

"Apa?!" 

"Sisa pakaian dan barang-barangmu aku taruh di halaman rumah. Buruan kamu ambil! Biar rumahku nggak kelihatan kumuh!"

Emran segera mematikan panggilan tanpa salam atau apapun. Hati Ralin pun makin sedih. 

"Kenapa, Bu Ralin?"

"Saya harus pergi, Pak. Karena mantan suami saya sudah mengeluarkan semua barang-barang saya di halaman rumah," ucapnya dengan suara bergetar.

Melihat guru putranya begitu terpuruk karena pengkhianatan, Lewis sebenarnya tidak tega. Namun itu bukanlah ranahnya untuk ikut campur urusan rumah tangga Ralin.

Dengan hati sedih dan pilu, Ralin hanya bisa memasrahkan jalan hidupnya pada takdir Tuhan. 

Dia terlunta-lunta di kota besar ini seorang diri dan merasa malu untuk kembali pulang ke rumah orang tuanya. 

Setelah ini, apa yang harus Ralin lakukan? 

Dengan cara apa dia akan melanjutkan hidupnya?

Juniarth

:-0

| 20
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (3)
goodnovel comment avatar
Dyah Piktawaty
Levis aja gak tahu diri gak ada Empatinya.Guru Anaknya yg menyelamatkan.gak dibantuin.sbg Manusia berAkhlak PD Umum ya hrs ya dibantu hingga tuntas.
goodnovel comment avatar
Rahma Wati
hmmmmmmakinpenasaran
goodnovel comment avatar
Miyuk Kaslan
hmmm, as author lagi reuni dg kegiatan setahun lalu,di jogja kah? untuk kisah ini.
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Kita Perlu Bicara

    Ralin tidak tidur. Dia hanya memejamkan mata untuk menetralkan emosinya. Juga untuk menyiapkan mentalnya jika para istri teman-temannya itu ikut serta. Kemudian Lewis masuk ke dalam kamar mandi dan keluar dengan pakaian yang lebih baik. Lalu ponselnya berdering. "Oke, aku turun bentar lagi."Ralin mendengarnya tapi tetap memejamkan mata. Kemudian dia merasakan tangannya ditepuk Lewis. "Ayo turun. Temanku udah di bawah."Tanpa menunggu lama, Ralin segera bangun lalu keluar dari kamar Lewis. Dan sedikit membanting pintunya. Keputusan terberani Ralin. Dia masuk ke dalam kamarnya sendiri lalu mengambil jaket tebal yang Lewis belikan dan membelitkan syal di lehernya. Dia segera keluar dari kamar, membawa jaket Levi, dan bersamaan dengan itu Lewis juga keluar bersama Levi. Tanpa banyak berkata Ralin segera mendekati Levi dengan seulas senyum.Mengajak putra tirinya itu mengenakan jaket dengan kata-kata penuh perhatian dan cinta. Di dalam lift, Ralin dan Lewis kompak tidak berkata apa

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Ini Tidak Adil

    "Lew, ada laga sepak bola bagus. Mau ikut sama kami?" Itu suara Michael. Lewis memejamkan mata sejenak dan menghela nafas. Lalu melirik malas pada nakas, tempat jam kecil itu berada. Sudah pukul sembilan pagi rupanya. Kepalanya agak nyeri karena semalam tidak bisa tidur. Ingin memanggil Ralin tapi dia tidak yakin dengan keputusannya. "Dimana, Mike?""Cruijff Arena. Ayolah kawan! Kapan lagi kita bisa hora hore kayak gini kalau nggak begini? Jarang-jarang kamu ke Belanda.""Tapi aku masih ngantuk, Mike," ucap Lewis malas. Michael tertawa, "Apa istrimu terlalu agresif, huh?!"Guyonan Michael jelas salah kaprah. Karena nyatanya Lewis berada di kamar sendirian dan hampir tidur pukul dua dini hari. "Ngaco! Nanti laganya jam berapa?" Lewis mengalihkan pembicaraan. "Jam satu. Mau aku jemput?"Kemudian Lewis teringat Levi. Putranya itu sedikit tidak kooperatif jika diajak duduk lama. Pasti akan ada saja ulahnya. Lewis menceritakan hal itu pada Michael dan tidak bisa berjanji akan data

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Apakah Bulan Madu Ini Berhasil?

    Lewis menatap Ralin dengan ekspresi takut dan setengah kesal. "Kamu kenapa percaya sama omongan teman-temanku?! Aku nggak nyimpan foto Zaylin!"Dipikirnya, Ralin adalah anak ingusan yang baru kemarin mengenal cinta. Padahal dia itu sudah menjadi jadi satu kali. Lalu Ralin menengadahkan tangan kanannya dan menatap mata Lewis, "Boleh aku lihat isi ponselmu, Den Mas?"Kedua alis Lewis terangkat dengan wajah setengah ketakutan. Lalu matanya tidak sengaja melihat ke kanan dan terpampanglah pemandangan bawah yang mengerikan untuknya. Seketika ia merasa mual dan pusing lalu wajahnya berubah pucat. "Den Mas? Kenapa?"Lewis segera menutup kedua matanya dan tangannya berpegangan erat-erat pada kursi. Membiarkan sensasi diayun-ayun oleh kereta gantung yang membuatnya seperti begitu dekat dengan malaikat pencabut nyawa. Melihat Lewis seperti itu, Ralin memilih diam tidak mengganggu. Dia justru asyik dengan Levi melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Saat kereta mengalami sedikit gunca

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Foto Mantan Masih Tersimpan

    Ketika Ralin duduk sambil menemani Levi melahap makanannya, terdengar percakapan yang mengusik telinganya. "Aku nggak nyangka kalau istri baru Lewis itu perempuan biasa," ucap salah satu perempuan. Kebetulan Ralin dan Levi duduk agak di pojok. Setidaknya kehadiran mereka seperti tidak ada. "Beneran? Kamu nggak salah dengar?" Yang lain menyahuti. "Nggak salah lagi. Aku baru aja dikasih tahu suamiku kalau istri barunya itu sebenarnya mantan guru Levi lalu dinikahi."Kemudian terdengar suara terkejut, "Astaga, Tuhan! Mimpi apaan sih Lewis sampai mau nikah sama cewek rendahan kayak gitu? Padahal Zaylin udah paket komplit. Ngapain dicerai?""Itulah yang aku nggak tahu. Kayaknya Lewis emang sengaja nutup informasi lebih jauh."Ralin berdiri kemudian mendekat. Bersembunyi di balik tembok untuk mendengarkan obrolan mereka."Aku benar-benar nggak respect sama tuh cewek dari pertama kali ketemu. Lihat aja pakaiannya. Masak di musim yang masih dingin gini dia malah pakai jaket biasa. Nggak ke

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Istri baruku

    "Kamu banyak berubah, Lin. Apa karena kita nggak pernah komunikasi ya?"Ralin mengangguk dengan seulas senyum yang lebih memiliki makna : sedekat apa Lewis dengan Zaylin dulu hingga temannya ini mengenal mereka berdua?"Jo, kayaknya ... eh ... kita ke hotel dulu. Levi capek." Itu alasan Lewis. Walau sejujurnya Levi juga sudah merengek tidak nyaman ingin belarian. "Oke, aku pulang dulu untuk siapin makan-makan penyambutan yang luar biasa untuk kalian.""Ajak Gabrielle, Michael, beserta istri mereka.""Natuurlijk, Lew," balasnya dengan bahasa Belanda. Levi merengek karena kelelahan dan ingin berlari-lari. Dia merasa di penjara selama penerbangan. Bahkan ketika di dalam taksi yang membawa mereka menuju hotel pun Levi sempat membuat kegaduhan. Ralin hanya bisa menenangkan dan membujuk. Lalu Lewis berbicara dengan bahasa Belanda pada sopir taksi untuk mempercepat lajunya taksi agar segera sampai. Tidak jauh dari Bandara Schipol, Lewis menyewa dua buah kamar dengan fasilitas premium dar

  • Diusir Suami, Dimanjakan Tuan Presdir   Senyum Tak Lekang Dari Bibir

    Ralin bertepuk tangan ketika Levi berhasil menyelesaikan puzzle raksasa bergambar mobil balap. Levi pun tak kalah bahagia bisa menyelesaikan tantangan itu. Saat Ralin mengajaknya untuk tos, pintu kamar Levi terbuka. Ralin segera mundur dan memberikan ruang bagi Lewis barangkali ingin bertemu putranya. Mengingat tadi pagi hubungannya dengan Lewis tidak baik-baik saja, Ralin memilih untuk menghindar. Dia berani bertaruh jika kehadirannya tidak diperlukan lagi di rumah ini sebentar lagi. Hanya tentang masalah menghitung hari saja. Ketika Lewis mencium pucuk kepala Levi, Ralin yang akan pergi kemudian dihadang Levi karena makan malamnya belum usai. Mereka terlalu asyik bermain puzzle."Levi bisa minta tolong sama Ayah. Oke?"Kepala Levi menggeleng lalu Lewis membujuknya dan berhasil. Ia menggenggam satu tangan Levi dan tangannya yang lain membawa piring berisi sisa makanan yang belum habis. "Tolong siapin baju-baju dan keperluan Levi ke dalam koper. Terutama pakaian tebal. Besok aku m

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status