Ralin menatap keluar jendela mobil dengan hati hancur berkeping-keping. Bahwa Emran sama sekali tidak menyesal sama sekali telah mengkhianatinya.
Empat tahun Ralin berpacaran dengan Emran semasa masih kuliah lalu mereka nekat membina rumah tangga. Susah senang banyak mereka lalui tapi pada titik ini, Emran memilih melepaskan Ralin demi wanita lain yang digadang-gadang bisa memberinya kebahagiaan dan keturunan.
Ralin tidak habis pikir, mengapa Emran tidak mau bersabar dulu padahal usia Ralin masih muda. Masih memiliki banyak peluang untuk bisa hamil ketimbang Fayza yang sudah berusia empat puluh lima tahun.
Air mata Ralin membasahi pipi dengan mulut terkatup rapat. Dia tidak ingin isak tangisnya didengar oleh Lewis.
“Tisyu.”
Lewis mengulurkan tisyu lalu Ralin menerimanya.
“Terima kasih, Pak.”
“Semua yang menikah dengan landasan cinta, pasti nggak mau bercerai gara-gara ada pihak ketiga, Bu Ralin.”
Ralin melirik Lewis sembari mengusap air matanya yang terus meleleh.
Bayangan Emran telah banyak menghabiskan waktu dengan selingkuhannya, lalu Ralin diusir dengan begitu hina, membuatnya begitu sedih dan menyesal telah memilih Emran.
“Tapi kalau udah takdir harus bercerai, siapapun nggak bisa melawannya, Bu Ralin,” ucap Lewis lagi.
Kemudian Ralin kembali menatap lalu lalang kendaraan dengan tatapan menerawang.
“Kalau tetap bersama tapi cuma bikin terluka, buat apa tetap dipertahankan. Yang ada malah sakit sendiri. Lebih baik berpisah lalu memperbaiki diri dan keadaan. Siapa tahu, esok atau lusa akan ada kebaikan yang siap menanti.”
Setidaknya, Ralin tersemangati setelah mendengar penuturan Lewis. Hal ini sama seperti meminum madu dari gelas pecah, yang artinya sudah tahu itu bisa melukai tapi tetap saja saja dijalani.
“Saya … benar-benar mencintai suami saya, Pak Lewis.”
“Bu Ralin hanya butuh waktu untuk terbiasa tanpa Emran.”
“Maaf, Pak Lewis, saya merasa berat untuk belajar terbiasa tanpa Emran.”
“Cinta boleh, bodoh jangan. Kalau nanti Bu Ralin ketemu seseorang yang tepat, pasti mudah untuk melupakan Emran.”
Lima menit kemudian, mereka tiba di lobby hotel berbintang. Sopir dan asisten Lewis segera mengeluarkan tas dan koper Ralin dari bagasi. Kemudian memanggil petugas hotel untuk membawanya ke kamar Ralin.
“Terima kasih banyak untuk bantuannya, Pak Lewis. Saya berhutang banyak ke anda.”
Kepala Lewis menggeleng pelan.
“Bu Ralin tidak berhutang apapun. Saya yang berhutang banyak karena Bu Ralin sudah menyelamatkan Levi. Harta terbesar dalam hidup saya.”
“Tidak, Pak. Bagaimanapun saya tetap berhutang budi ke Bapak.”
“Saya permisi.”
Ralin tidak mengerti kebaikan apa yang sudah dia lakukan hingga bertemu dengan pria baik hati seperti Lewis. Tanpa bantuan darinya, mungkin malam ini Ralin masih kebingungan akan bermalam dimana.
Setelah Lewis berlalu dari hadapannya, Ralin segera menuju kamar hotel yang akan ia tempati. Petugas hotel telah meletakkan tas dan kopernya di depan pintu kamar 315.
Kamar dengan single bed queen size itu jauh lebih bagus ketimbang kamarnya di rumah yang ditempati dengan Emran. Kemudian ia segera memasukkan semua pakaiannya ke dalam lemari dengan hati pilu.
Apalagi ketika menata pakaiannya yang kotor terkena tanah karena dilemparkan sembarangan oleh Fayza.
Lalu sebuah notifikasi pesan masuk ke dalam ponselnya.
[Dari Emran : Udah sampai hotel sama selingkuhanmu itu, heh?! Dibayar berapa kamu?!]
Luka di hatinya masih basah, namun Emran kembali menancapkan anak panah.
[Dari Emran : Siap-siap aja kamu, Lin! Kamu main licik, aku juga bisa! Jangan harap kamu dapat hartaku sepeserpun!]
Setelah membaca pesan itu, Ralin makin sedih meratapi nasib hidupnya. Emran benar-benar tidak mengasihaninya sedikit pun.
Apa yang harus Ralin lakukan sekarang?
Dia tidak memiliki banyak uang di dalam dompet karena semua tabungan dibawa Emran. Dan pengusirannya sangat lah mendadak. Ralin tidak memiliki persiapan apapun.
Bagaimana dia menyewa seorang pengacara jika tidak memiliki uang?
Pada siapa dia akan meminta bantuan?
Apakah lebih baik dia mengikhlaskan dirinya diceraikan tanpa mendapatkan apapun?
--------------
Setelah melahap sarapan yang disiapkan pihak hotel, Ralin segera berganti seragam mengajar.
Matanya terlihat sembab karena semalam terlalu banyak menangis.
Dadanya juga terasa sesak karena tidak ada satu pun keluarga yang bisa dia ajak untuk bertukar pikiran. Memikirkan permasalahan rumah tangganya dengan Emran yang menemui jalan buntu justru membuat stress.
Setelah membayar ongkos ojek online, Ralin melangkah menuju sekolah khusus ternama tempatnya mengajar anak-anak spesial. Tidak lupa ia mengenakan kacamata untuk menyembunyikan sembab di mata.
“Tumben kemarin izin mendadak, Lin? Habis dari mana?” Tanya Dira, teman dan rekan sesama guru di sekolah.
Ralin hanya tersenyum tipis, “Kemarin agak nggak enak badan aja.”
“Tapi kata kepala sekolah, kamu minta nomer wali muridnya Levi ya? Emang dia kenapa kok bisa sama kamu?”
Otak Ralin berpikir sejenak untuk menyiapkan jawaban yang tepat.
“Eh … kemarin aku nggak sengaja ketemu Levi lagi jalan sendirian aja. Bukan kenapa-kenapa.”
“Hah? Jalan sendirian? Terus baby sitternya kemana?”
“Aku juga nggak ngerti, Dir.”
Dira kemudian melipat kedua tangan di depan dada.
“Levi emang terlalu aktif dan nggak bisa banget dikontrol, Lin. Baby sitternya capek kali lalu Levi lepas pengawasan.”
Batin Ralin, ucapan Dira terlalu berlebihan. Karena Levi tidak mungkin aktif setiap jam tanpa kenal lelah.
“Padahal dia tuh dijaga dua baby sitter loh. Sopir siap antar jemput. Anaknya orang tajir melintir. Apa orang tuanya nggak terlalu ngurus Levi ya? Kan harusnya dibawa ke dokter spesialis biar dapat penanganan. Biar lebih tenang si Levi itu.”
Ini masih pagi, namun Dira sudah mengajak Ralin membicarakan keburukan keluarga Levi.
“Aku kalau kebagian jagain kelompok belajar yang ada Levi tuh aduuuh … udah pusing duluan, Lin.”
Tanpa mempedulikan ocehan Dira di pagi hari, Ralin segera berlalu dari sana. Karena sekarang adalah jadwalnya berdiri di gerbang sekolah bersama satu guru lainnya untuk menyambut kedatangan anak-anak hebat itu.
Menurutnya, Lewis tidaklah seperti yang Dira katakan. Ralin tahu jika pria itu begitu menyayangi Levi di tengah kesibukannya.
Hanya saja, Ralin memang tidak melihat kehadiran ibu Levi sama sekali.
Dan juga, Ralin tidak mau membahas keburukan Lewis setelah kebaikan yang pria itu berikan. Sudah seharusnya Ralin tidak menggunjing keburukan Lewis karena tidak ada manusia sempurna di muka bumi ini.
Satu demi satu murid spesial itu berdatangan dan Ralin menyambutnya dengan suka cita. Menepikan masalahnya sendiri yang sebenarnya sangat menyita konsentrasi dan hatinya.
Tapi dia tidak mungkin menunjukkan kesedihan itu di hadapan anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Dan Ralin harus professional karena setelah diusir Emran, dia hanya memiliki pekerjaan sebagai guru untuk bertahan hidup.
Tepat ketika mobil mewah Levi tiba, bocah kecil itu langsung melepaskan diri dari baby sitter yang memegangi tangannya.
“Den Levi! Jangan lari!”
Levi berlari secepat yang dia bisa menuju halaman kelas lalu Ralin berjongkok untuk menahannya. Dengan senyum mengembang, dia mengangkat kedua tangannya sejajar dengan Levi.
“Tos dulu, Levi.”
Bocah itu menuruti perintahnya lalu Ralin mengangguk sopan pada baby sitter Levi jika semuanya sudah terkontrol dan menggandengnya masuk sekolah.
“Jangan lari ya, Levi. Biar nggak jatuh.”
Levi tidak menjawab dan hanya menurut ketika Ralin membawanya menuju kelas.
Lima jam lamanya Ralin menunaikan tugasnya sebagai seorang guru dari anak-anak berkebutuhan khusus ini.
Selama proses belajar mengajar, Ralin sengaja lebih memperhatikan Levi karena kebaikan Lewis padanya. Mulai dari Levi masuk kelas, mengajarinya melahap bekal dengan benar, hingga pelajaran usai. Hanya ini cara yang bisa Ralin lakukan untuk membalas budi baik Lewis.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi dan memastikan semua anak-anak telah dijemput keluarganya, kepala sekolah mendadak meminta Ralin datang ke ruangannya.
Tanpa memiliki firasat buruk apapun, Ralin menuju ke ruangan kepala sekolah. Rencananya, setelah ini dia akan mencari kos yang murah karena Lewis hanya menyewakan kamar hotel untuk Ralin selama satu minggu saja.
“Ada apa Bu Karina memanggil saya?” Tanya Ralin.
Kepala sekolah itu kemudian menunjukkan beberapa lembar foto pada Ralin.
“Apa benar orang yang ada di foto itu Bu Ralin?”
Kedua mata Ralin memindai beberapa foto itu dengan seksama dengan alis bertaut.
“Siapa yang mengirim foto tidak benar ini, Bu Karina?”
“Saya nggak tahu karena nggak ada nama pengirimnya. Cuma, tadi ada selembar pesan dari pengirimnya, kalau Bu Ralin nggak keluar dari sekolah ini, dia akan menyebarkan foto-foto Bu Ralin ke media sosial untuk menghancurkan reputasi sekolah ini.”
selamat datang di novel terbaru author. Enjoy reading :-)
Ralin tidak tidur. Dia hanya memejamkan mata untuk menetralkan emosinya. Juga untuk menyiapkan mentalnya jika para istri teman-temannya itu ikut serta. Kemudian Lewis masuk ke dalam kamar mandi dan keluar dengan pakaian yang lebih baik. Lalu ponselnya berdering. "Oke, aku turun bentar lagi."Ralin mendengarnya tapi tetap memejamkan mata. Kemudian dia merasakan tangannya ditepuk Lewis. "Ayo turun. Temanku udah di bawah."Tanpa menunggu lama, Ralin segera bangun lalu keluar dari kamar Lewis. Dan sedikit membanting pintunya. Keputusan terberani Ralin. Dia masuk ke dalam kamarnya sendiri lalu mengambil jaket tebal yang Lewis belikan dan membelitkan syal di lehernya. Dia segera keluar dari kamar, membawa jaket Levi, dan bersamaan dengan itu Lewis juga keluar bersama Levi. Tanpa banyak berkata Ralin segera mendekati Levi dengan seulas senyum.Mengajak putra tirinya itu mengenakan jaket dengan kata-kata penuh perhatian dan cinta. Di dalam lift, Ralin dan Lewis kompak tidak berkata apa
"Lew, ada laga sepak bola bagus. Mau ikut sama kami?" Itu suara Michael. Lewis memejamkan mata sejenak dan menghela nafas. Lalu melirik malas pada nakas, tempat jam kecil itu berada. Sudah pukul sembilan pagi rupanya. Kepalanya agak nyeri karena semalam tidak bisa tidur. Ingin memanggil Ralin tapi dia tidak yakin dengan keputusannya. "Dimana, Mike?""Cruijff Arena. Ayolah kawan! Kapan lagi kita bisa hora hore kayak gini kalau nggak begini? Jarang-jarang kamu ke Belanda.""Tapi aku masih ngantuk, Mike," ucap Lewis malas. Michael tertawa, "Apa istrimu terlalu agresif, huh?!"Guyonan Michael jelas salah kaprah. Karena nyatanya Lewis berada di kamar sendirian dan hampir tidur pukul dua dini hari. "Ngaco! Nanti laganya jam berapa?" Lewis mengalihkan pembicaraan. "Jam satu. Mau aku jemput?"Kemudian Lewis teringat Levi. Putranya itu sedikit tidak kooperatif jika diajak duduk lama. Pasti akan ada saja ulahnya. Lewis menceritakan hal itu pada Michael dan tidak bisa berjanji akan data
Lewis menatap Ralin dengan ekspresi takut dan setengah kesal. "Kamu kenapa percaya sama omongan teman-temanku?! Aku nggak nyimpan foto Zaylin!"Dipikirnya, Ralin adalah anak ingusan yang baru kemarin mengenal cinta. Padahal dia itu sudah menjadi jadi satu kali. Lalu Ralin menengadahkan tangan kanannya dan menatap mata Lewis, "Boleh aku lihat isi ponselmu, Den Mas?"Kedua alis Lewis terangkat dengan wajah setengah ketakutan. Lalu matanya tidak sengaja melihat ke kanan dan terpampanglah pemandangan bawah yang mengerikan untuknya. Seketika ia merasa mual dan pusing lalu wajahnya berubah pucat. "Den Mas? Kenapa?"Lewis segera menutup kedua matanya dan tangannya berpegangan erat-erat pada kursi. Membiarkan sensasi diayun-ayun oleh kereta gantung yang membuatnya seperti begitu dekat dengan malaikat pencabut nyawa. Melihat Lewis seperti itu, Ralin memilih diam tidak mengganggu. Dia justru asyik dengan Levi melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Saat kereta mengalami sedikit gunca
Ketika Ralin duduk sambil menemani Levi melahap makanannya, terdengar percakapan yang mengusik telinganya. "Aku nggak nyangka kalau istri baru Lewis itu perempuan biasa," ucap salah satu perempuan. Kebetulan Ralin dan Levi duduk agak di pojok. Setidaknya kehadiran mereka seperti tidak ada. "Beneran? Kamu nggak salah dengar?" Yang lain menyahuti. "Nggak salah lagi. Aku baru aja dikasih tahu suamiku kalau istri barunya itu sebenarnya mantan guru Levi lalu dinikahi."Kemudian terdengar suara terkejut, "Astaga, Tuhan! Mimpi apaan sih Lewis sampai mau nikah sama cewek rendahan kayak gitu? Padahal Zaylin udah paket komplit. Ngapain dicerai?""Itulah yang aku nggak tahu. Kayaknya Lewis emang sengaja nutup informasi lebih jauh."Ralin berdiri kemudian mendekat. Bersembunyi di balik tembok untuk mendengarkan obrolan mereka."Aku benar-benar nggak respect sama tuh cewek dari pertama kali ketemu. Lihat aja pakaiannya. Masak di musim yang masih dingin gini dia malah pakai jaket biasa. Nggak ke
"Kamu banyak berubah, Lin. Apa karena kita nggak pernah komunikasi ya?"Ralin mengangguk dengan seulas senyum yang lebih memiliki makna : sedekat apa Lewis dengan Zaylin dulu hingga temannya ini mengenal mereka berdua?"Jo, kayaknya ... eh ... kita ke hotel dulu. Levi capek." Itu alasan Lewis. Walau sejujurnya Levi juga sudah merengek tidak nyaman ingin belarian. "Oke, aku pulang dulu untuk siapin makan-makan penyambutan yang luar biasa untuk kalian.""Ajak Gabrielle, Michael, beserta istri mereka.""Natuurlijk, Lew," balasnya dengan bahasa Belanda. Levi merengek karena kelelahan dan ingin berlari-lari. Dia merasa di penjara selama penerbangan. Bahkan ketika di dalam taksi yang membawa mereka menuju hotel pun Levi sempat membuat kegaduhan. Ralin hanya bisa menenangkan dan membujuk. Lalu Lewis berbicara dengan bahasa Belanda pada sopir taksi untuk mempercepat lajunya taksi agar segera sampai. Tidak jauh dari Bandara Schipol, Lewis menyewa dua buah kamar dengan fasilitas premium dar
Ralin bertepuk tangan ketika Levi berhasil menyelesaikan puzzle raksasa bergambar mobil balap. Levi pun tak kalah bahagia bisa menyelesaikan tantangan itu. Saat Ralin mengajaknya untuk tos, pintu kamar Levi terbuka. Ralin segera mundur dan memberikan ruang bagi Lewis barangkali ingin bertemu putranya. Mengingat tadi pagi hubungannya dengan Lewis tidak baik-baik saja, Ralin memilih untuk menghindar. Dia berani bertaruh jika kehadirannya tidak diperlukan lagi di rumah ini sebentar lagi. Hanya tentang masalah menghitung hari saja. Ketika Lewis mencium pucuk kepala Levi, Ralin yang akan pergi kemudian dihadang Levi karena makan malamnya belum usai. Mereka terlalu asyik bermain puzzle."Levi bisa minta tolong sama Ayah. Oke?"Kepala Levi menggeleng lalu Lewis membujuknya dan berhasil. Ia menggenggam satu tangan Levi dan tangannya yang lain membawa piring berisi sisa makanan yang belum habis. "Tolong siapin baju-baju dan keperluan Levi ke dalam koper. Terutama pakaian tebal. Besok aku m