Share

Part. 3

Author: Dwrite
last update Last Updated: 2024-06-02 17:17:11

"Katakan sesuatu! Atau aku benar-benar akan membungkam mulutmu!"

Kukedikkan bahu, lalu mengalihkan pandangan menatap jalan yang tampak sedikit lenggang malam hari ini.

Sejak adegan tabokan tadi, aku memutuskan untuk tak mengeluarkan suara apa-apa lagi kecuali helaan napas dan kentut yang tanpa sadar keluar.

Walau bagaimana pun tindakannya tadi benar-benar keterlaluan terlepas itu tak sengaja atau bukan.

Sungguh aku acungkan sepuluh jempol pada Nyonya Intan yang masih bisa bertahan dengan lelaki sepertinya.

Stevan Alexander dan Intan Permata, aku ketahui keduanya menikah di Bali 17 Januari 2019 tiga bulan sebelum aku kerja di sini. Mereka sama-sama berasal dari keluarga konglomerat yang sederajat.

Ucapan Tuan Stevan sore tadi semakin menyakinkan asumsiku bahwa memang benar mereka menikah tanpa cinta.

Ya, itu semua jelas terlihat dari sikap nggak ada akhlak lakinya.

"Aku, kan sudah minta maaf kenapa kamu masih marah?"

Tahan, Mil. Nggak boleh nanggepin. Kacangin aja.

"Lagi pula perubahan sikapmu terlalu singnifikan, Intan. Biasanya kau tak banyak bicara apalagi membantah."

Biarin dia ngoceh, pura-pura tuli aja.

"Bagaimana mungkin sikapmu bisa berubah seperti wanita kampung yang tak punya pendidikan! Barbar, ceplas-ceplos. Tak jelas, itu memuakkan!"

Oke, sekarang aku sudah tak bisa diam lagi. Ucapannya sudah bukan  menyangkut personal tapi harga diri seorang wanita yang ia anggap rendah.

"Setop! Cukup Tuan Stevan Alexander yang terhormat ... tapi breng sek." Kuhela napas sejenak, menunggu responsnya. Betul saja, lelaki itu tampak mencengkeram setir dengan rahang mengetat. "Wanita berpendidikan seperti apa yang Anda maksud sebenarnya? Dia yang tetap diam meski ditindas? Atau bungkam kala ditikam? Wanita seperti itukah yang Anda anggap anggun dan elegan?"

Dia terdiam.

"Cuma lelaki pengecut yang berani menempatkan pasangannya dalam posisi tak berdaya. Tak diberi kesempatan untuk menyela atau mengemukakan pendapat. Situ waras?"

Cekitt!

Lelaki itu tiba-tiba menepikan mobil dan menginjak pedal rem tiba-tiba. Melebar matanya seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar keluar dari mulutku, eh maksudnya mulut Nyonya Intan, karena aku cuma pelantara.

Laki model begini sekali-kali emang perlu dikasih pelajaran biar sadar.

"Siapa kau sebenarnya?"

Aku menggaruk kepala seketika.

"Aku? Aku siapa?"

***

"Emaaak ...!"

Aku berlari dan menerjang tubuh Emak erat sembari menangis pilu di pelukannya, sesampainya di bangsal rumah sakit di mana tubuhku dengan jiwa Nyonya Intan yang terbaring tak sadar.

Menurut penjelasan Tuan Stevan--setelah kita baikan. Kulit punggungku robek yang menyebabkan tulang punggung retak hingga diperlukan operasi juga belasan jahitan setelah kecelakaan. Akibatnya tubuhku hanya bisa terbaring koma.

Cepat atau lambat aku berharap jiwa Nyonya Intan segera sadar dalam tubuhku. Dengan begitu kita bisa bertukar pikiran untuk memecahkan misteri dari pertukaran jiwa ini.

"Emak sama Bapak dari Cikarang ke sini naek apa? Punya ongkos nggak?" tanyaku setelah menyeka ingus menggunakan jilbab Emak.

Namun, bukannya menjawab kedua orang tuaku itu justru menatap kebingungan.

"Intan!" Seketika Tuan Stevan menarik tanganku kasar, menjauhkan dari mereka. "Apa yang kamu lakukan?"

Tak mengindahkan pertanyaannya, kutepis tangan Tuan Stevan, lalu merogoh dompet di dalam tas Nyonya Intan.

Sompret! Nggak ada duit, cuma bon parkir sama kartu-kartu aja di dalamnya.

Tak habis akal, aku langsung berbalik dan menatap Tuan Stevan.

"Bang! Bagi duit dua ratus rebu, buat gantiin ongkos mereka!"

Dia hanya menatapku sembari mengernyitkan dahi.

"Alah kelamaan." Tak mengindahkan kebingungannya, tanpa permisi kurogoh dompet di saku samping kanan celana trainingnya, mudah-mudahan tak sampai salah pegang yang lain.

Setelah menemukannya, langsung saja kuambil dua lembar uang pecahan seratus ribuan dan memberikannya pada Emak.

"Ini buat ongkos pulang."

"Nggak usah repot-repot, Bu. Kalian bayarin biaya perawatan Milah aja kita udah bersyukur banget," tolak Emak yang melipat kembali uang tersebut dalam genggaman tanganku.

"Nggak apa-apa, kok. Lagian Milah yang nyelamatin nyawa saya. Maka dari itu dia wajar dapet yang lebih dari ini. Iya, kan, Sayang."

Kukerlingkan mata ke arah Tuan Stevan yang hanya menanggapi dengan delikan tajam.

Idih. Cocok banget jadi tokoh antagonis lu, Bang!

"Itung-itung ini bayaran tabokan tadi! Segini mah nggak ada apa-apanya dibanding ane laporin ente ke pengadilan dengan tuduhan KDRT!" bisikku di telinganya.

Seketika dia melotot.

"Ah, makasih kalau gitu, Bu. Bersyukur banget saya Milah punya majikan sebaik kalian," puji Emak dengan senyum lebar.

Ralat, Mak. Yang baik cuma bininya, lakinya mah nggak punya perasaan. Lucnut sekali.

"Eh, omong-omong apa kalian sudah makan?"

Emak dan Bapak tampak berpandangan. Sebetulnya tanpa ditanya udah keliatan kalau roman-romannya mereka kelaperan.

"Hehe ... belum, Bu."

"Ah, sebentar, ya."

Aku kembali berjalan menghampiri Tuan Stevan, lalu mencolek lengannya.

"Bang! Dua ratus rebu lagi!"

Dia melotot lagi.

"Kamu ini kenapa, sih, Intan!"

"Bagi, atau aku teriak!"

Kini matanya membelalak.

"Oke, oke. Tapi berhenti panggil aku Bang, aku bukan tukang martabak, Intan!"

"Daripada dipanggil Mamang, kayak tukang Odading. Mending mana ayo?"

Sempat kulihat dia mengacak rambut frustrasi sebelum akhirnya menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan.

"Terserah."

"Nah, gitu, dong."

***

Di samping brankar bertuliskan Ny. Milah Jamilah itu aku duduk termenung. Menatap tubuh malangku yang ternyata kalau dilihat dari sudut pandang lain kayak ada manis-manisnya gitu.

Meraih sebelah tangan tangguh berwarna eksotis yang setiap hari digunakan untuk bekerja keras ini. Mulai dari angkat jemuran, sampai nyuci sempak Tuan Stevan.

"Pokoknya Milah janji, Nya. Sampai saat Nyonya bangun nanti ... Milah akan buat Tuan Stevan Jatuh cinta sampai terbucin-bucin sama Nyonya Intan!"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 45

    Aku masih mengingat betul hari itu. Hari ketika hidupku berubah dalam sekejap. Intan, majikanku yang dulu kucemburui karena kehidupannya yang sempurna, tiba-tiba bertukar jiwa dengan seseorang sepertiku. Awalnya aku berpikir semua yang terjadi hanyalah sebuah mimpi, mana mungkin pembokat sepertiku bisa menjalani kehidupan sebagai seorang nyonya besar dengan suami setampan Tuan Stevan, ya walaupun kelakuannya rada-rada membagongkan. Seolah masih dalam ingatan saat dia kami berpisah persimpangan jalan. “Kita jalani apa yang sudah ditakdirkan Tuhan,” katanya. “Aku butuh kebebasan, Milah. Dan kamu butuh kesempatan.” Dan begitulah semua takdir kampret ini berjalan. Tak ada yang tahu tentang apa yang akan terjadi di waktu mendatang, saat Nyonya Intan yang menghuni tubuh ndesoku tiba-tiba hilang kabar dan aku yang kebingungan dengan tubuh ini yang tiba-tiba serapuh kerupuk kena aer. *** Pagi ini, aku duduk di ruang keluarga dengan segelas kopi di tangan, menatap daftar kegiatan yan

  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 44

    "Udah dapet kabar tentang Milah? Kok akhir-akhir ini dia susah dihubungin, yak?" Aku bertanya pada Tuan Stevan yang baru saja masuk ke ruang kamar dengan segelas air putih di tangan. Lelaki itu menggeleng pelan, lalu meletakkan gelas tersebut di atas meja di hadapan, kemudian duduk di sampingku dalam sofa panjang berwarna hitam. "Belum. Terakhir dia menghubungi sekitar dua minggu lalu, mengatakan tentang rencana pernikahannya dan Saiful, juga memutuskan mengakhiri kontrak kerja kita." Aku tertegun. Bingung harus melakukan apa. Komunikasi dengan Nyonya Intan benar-benar terputus kini. Waktu semakin mengerucut, hanya tinggal hitungan minggu sampai waktu yang ditentukan. Aku tak menyangka ternyata seratus hari bisa terasa sesingkat ini, apalagi setelah dua minggu terakhir kuhabiskan hanya dengan berbaring di atas ranjang. Setelah tragedi pingsan di resto hari itu. Dokter datang tiap seminggu dua kali sepanjang dua pekan ini. Obat-obatan juga selang infus seolah menjadi konsumsi seha

  • Hasrat Terpendam Majikanku   PoV Intan : Masa Lalu Milah & Stevan

    Emak terdiam. Aku tak tahu apa yang beliau pikirkan saat ini. Tatapannya beralih ke arah lain."Oh, ya udah atuh." Emak meraih remote di atas meja yang kubeli sekitar dua minggu lalu satu set dengan kursi dan rak TV. "Tapi kamu udah pastiin undang mereka nanti, kan?" sambungnya kemudian." .... "Aku tak menjawab. Entah kenapa kalau bertemu dengan tubuhku lagi, aku takut jiwa kita tiba-tiba kembali tertukar di saat belum siap meninggalkan semuanya."Nanti Milah pikirkan lagi, ya, Mak."Bingung harus menjawab apa, aku memilih menghindar. Beranjak untuk masuk ke kamar. Namun, sebelum sempat aku bangkit dari kursi di samping Emak, sebuah cekalan tangan membuat langkahku tertahan."Mil ... kamu teh beneran nggak apa-apa? Dari hari ke hari, kok Emak khawatir. Perasaan kalau dilat-liat kamu makin beda. Mau dibilang kayak anak orang, tapi da kamu emang anak Emak sama Bapak."Aku terdiam. Jujur, bingung harus menjawab apa. Pertanyaan seperti ini sudah sering diajukan Emak, Bapak, Ahmad, bahka

  • Hasrat Terpendam Majikanku   PoV Intan : Tak Ingin Kembali

    "Neng, Milah! Hei, kok ngelamun?"Sebuah tepukan pelan, seketika menarikku dari lamunan masa lampau. Keping demi keping kenangan yang semula datang sekelebatan, tiba-tiba tersusun kembali menjadi satu ingatan yang utuh, hingga mengakibatkan nyeri di ulu hati.Perjalanan hidup selama dua puluh lima tahun yang sering kali orang anggap sebagai kesenangan dunia, nyatanya hanya bisa membuatku merana. Vonis mati yang sudah dokter tetapkan setelah seratus hari, seolah menambah nyeri sakit yang tak terperi.Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah akan keadaan. Dan memilih mengembalikan semuanya pada takdir Tuhan.Di saat aku sudah mulai menyerah akan kehidupan yang kupikir berakhir tanpa tujuan, ternyata sekali lagi Tuhan beri aku kesempatan untuk bertahan. Kesempatan itu datang kala aku meminta suatu kemustahilan dari sisa-sisa harapan setelah krisis kepercayaan. Akhirnya permintaan itu terlontar tanpa sadar di hadapan gadis remaja yang menurutku bisa memandang dunia dari sudut yang berbeda. Si

  • Hasrat Terpendam Majikanku   PoV Intan : Vonis Dokter

    "Kenapa kamu nggak mau kemo?"Berlian bertanya saat kami memulai perjalanan menuju perusahaan Papa yang letaknya tak jauh dari restoran Mama. Jadi, bisa disimpulkan mereka akan ada di satu tempat yang sama saat makan siang seperti ini."Kemo walaupun akurasi kesembuhannya tinggi tapi hal itu menyebabkan beberapa perubahan pada fisikku, Lian. Sekali lagi, sebenarnya aku nggak ingin kalian tahu tentang penyakitku."Berlian terdiam. Sembari memperhatikan jalan di depan sesekali tatapannya beralih padaku."Apa ada cara pengobatan lain?"Kualihkan pandangan ke luar jendela. Menatap hiruk-pikuk kota dengan segala kepadatannya."Ada. Operasi transplantasi sumsum tulang belakang.""Ya, terus kenapa nggak dilakuin?" tanyanya lagi."Selain biayanya milyaran, sangat sulit untuk menemukan jenis pasangan sumsum yang cocok. Mungkin semua akan lebih mudah bila penderita punya kembar--" Sontak aku terdiam ketika mengatakan kalimat itu dengan tanpa sadar.Berlian terbungkam, begitu pun denganku. Beber

  • Hasrat Terpendam Majikanku   PoV Intan : Awal Semuanya

    Setiap orang bisa memilih seperti apa jalan hidupnya. Tapi, jelas tak ada yang bisa memilih seperti apa dan di mana ia ingin dilahirkan.Berlian dan aku lahir dalam keluarga berada dengan kedua orangtua yang sama-sama pengusaha. Sampai saat ini Papa masih sibuk mengurus bisnis Tour and Travel di bidang Biro Perjalanan Wisata (BPW) sementara Mama sibuk dengan bisnis kulinernya.Sejak kecil kami memang sudah biasa ditinggalkan bersama baby sitter maupun asisten rumah tangga. Tanpa pengawasan orangtua akhirnya kami tumbuh dengan pola pikir yang jauh berbeda. Gelimang harta yang sudah dijejali sedari balita, tak lantas membuat kami puas menikmati dunia. Ada beberapa saat di mana kami juga membutuhkan kasih sayang dari mereka sebagai keluarga.Hal itulah yang memicu pemberontakan kami dalam menanggapi cara pengasuhan mereka. Berlian tumbuh menjadi anak yang pembangkang dengan penampilan yang bisa dibilang sederhana, bebas, bahkan terkesan berantakan. Saudara kembaraku itu bahkan menghambur

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status