“Aku tidak meminta pendapatmu,” sahut Morgan tajam tanpa ragu. Debby refleks melebarkan matanya. Wanita paruh baya itu tampak berusaha menyembunyikan kekesalan yang mulai merayap dari balik wajah penuh senyum palsu itu. Sementara itu, Sydney hanya tersenyum tipis. Tidak ada yang perlu dia katakan, Morgan sudah lebih dari cukup mewakili perasaannya. Debby menghela napas panjang. Sorot matanya berubah menjadi penuh lelah. “Tidak bisa seperti itu, Tuan Morgan,” tukas Debby berusaha tetap terdengar lembut. “Apa … apa istri Anda menghasut Tuan untuk membenci keluarga suami? Bukannya apa-apa, tapi biasanya para istri seperti itu.” Morgan tidak menanggapi. Tangannya tetap menggenggam pinggang Sydney, menciptakan batas yang jelas. Debby menoleh pada Sydney. Tatapannya berubah sedikit memelas. Bibir Debby sedikit bergetar saat melanjutkan, “Tuan Morgan pasti menjadi seperti ini karena Nyo
Sydney terkekeh pelan. Senyum sinis menyelusup di bibir wanita itu, lalu dia mengangkat tangan dan mengusap pelan lengan Debby yang tegang. “Panggil Sydney saja, Bi,” pinta Sydney lembut sekaligus sarkas. “Tadi Bibi memanggilku seperti itu dengan lancar, tanpa canggung sedikit pun.” Debby menggigit bibir bawahnya. Wajah wanita paruh baya itu memerah, entah karena malu atau marah. Sorot mata Debby melirik Morgan yang berdiri seperti patung di ambang pintu. Untuk pertama kalinya, Debby kehilangan muka di hadapan keponakan yang selama ini hanya dia dengar kisahnya dari kejauhan. Sydney akhirnya mengalihkan pandangan pada Morgan, ingin tahu bagaimana reaksi suaminya terhadap semua ini. Morgan menarik napas pelan lalu bersuara mantap, “Jika kau tidak bisa memanggilku dengan nama, maka jangan pernah panggil istriku hanya dengan namanya.” Debby terkesiap. “Tuan Morgan, bagaimana pun juga aku adalah bibimu,” sahut Debby mencoba mencairkan suasana dengan senyum canggung. “Jangan terlal
“A-apa yang akan kau lakukan? Aku ini Bibi suamimu!” seru Debby dengan gugup, suaranya terdengar getir di antara isakan Zaleia yang baru saja tenang. Tatapan mata wanita paruh baya itu berpindah cepat antara Sydney dan Sereia yang masih ada dalam dekapannya. Sydney memiringkan kepalanya pelan. Sebuah senyum tipis yang asing perlahan mengembang di sudut bibirnya. Wanita cantik itu melangkah perlahan, mengikis jarak di antara mereka. Debby mundur setengah langkah, lalu memutuskan untuk menoleh pada Sereia yang mulai menggeliat tidak nyaman di pelukannya. Akhirnya, wanita paruh baya itu meletakkan sang bayi kembali ke dalam boks dengan hati-hati. “Santai sedikit, Sydney,” ujar Debby sambil tertawa canggung. “Jika kau seperti ini, tidak akan ada yang betah menjadi pengasuh anakmu. Kau juga seharusnya punya sedikit empati pada Thalia. Pengasuh itu ... dia mengorbankan nyawa anaknya demi dirimu, Sereia, dan Zaleia!” Sydney mengangkat dagunya. “Bibi yang sekarang, tidak seperti yang
“Jade, Jane,” panggil Sydney sambil berjongkok di depan kedua anaknya yang masih berdiri di dekat pintu. “Kalian bisa ke kamar kalian sendiri?”“Bisa, Mami,” jawab mereka serempak.Sydney mengangguk lega. “Pergilah, Sayang. Mami harus mengurus adik-adik kalian.”Kedua anak itu menurut. Si kembar pertama berlari kecil keluar kamar, langkah mereka terdengar cepat di lorong, seperti tahu bahwa ini bukan saatnya untuk banyak bertanya.Begitu si kembar pertama pergi, suasana dalam kamar terasa jauh lebih tegang. Udara di ruangan terasa berat.Ada sesuatu yang menekan, membuat Sydney menarik napas panjang sebelum bangkit berdiri.Wanita itu menatap Debby dan Thalia bergantian dengan manik cokelatnya yang cantik.Lalu, Sydney melangkah perlahan ke arah Thalia terlebih dahulu. Insting keibuan membawanya ke sana, ke tempat di mana Zaleia masih di dalam dekapan pengasuhnya.Namun langkah Sydney melambat ketika melihat Thalia tengah memejamkan mata sambil menciumi dahi bayi itu.Tangan pengasuh
“Bibi ikut ke kamarku?” Sydney otomatis mengangkat kedua alis, terkejut sekaligus bingung dengan maksud ucapan itu. Debby tampak menyadari reaksinya. Wanita paruh baya itu segera terkekeh canggung dan mengangkat sebelah tangan, seolah mencoba membela diri. “Maksudku, kamar mereka. Kamar si kembar,” koreksi Debby cepat. “Aku lupa kalau bayi orang kaya punya kamar mereka sendiri yang terpisah dari kamar orang tuanya. Maklum, di tempatku semua tidur dalam satu ranjang.” Sydney tidak langsung membalas. Bukan masalah kamar yang membuat Sydney ragu, tetapi konsekuensi dari permintaan itu. Mengizinkan Debby memasuki kamar pribadi anak-anaknya berarti membuka sebagian denah mansion, ruangan yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu. Dan dengan segala kejadian yang pernah mereka alami, Sydney tahu bahwa kepercayaan adalah barang mewah yang tidak boleh diberikan cuma-cuma. Namun karena Sydney masih diam, Debby kembali bicara. “Tidak boleh?” tanya Debby terdengar geli sekaligus
“Benar, Nyonya. Nama lengkapnya Debby Phell,” ujar si anak buah setengah berbisik setelah kembali dari gerbang depan.Sydney mengangguk pelan. “Baik. Minta Bibi Layla siapkan minuman untuk Bibi Debby. Aku akan datang sebentar lagi.”Dengan cepat, Sydney menggamit tangan Jade dan Jane yang masih asyik berkotor-kotoran di taman.“Kita masuk, Sayang. Ada yang ingin bertemu kalian,” ucap Sydney lembut.Jade dan Jane mengangguk sambil membersihkan tangan mereka di keran air terdekat. Lalu, mereka mengelap tangannya di celemek berkebun yang dikenakan Sydney.Kedua tangan kecil itu kini berada di kanan dan kiri Sydney, seperti dua sayap kecil yang menyertai wanita itu melangkah menuju ruang tamu.Begitu Debby melihat ketiganya memasuki ruangan, wanita paruh baya itu langsung berdiri dari sofa dengan mata berbinar.“Astaga, mereka lucu sekali!” seru Debby penuh semangat.Wanita paruh baya itu melangkah maju lebih dulu.