“Jade, Jane,” panggil Sydney sambil berjongkok di depan kedua anaknya yang masih berdiri di dekat pintu. “Kalian bisa ke kamar kalian sendiri?”“Bisa, Mami,” jawab mereka serempak.Sydney mengangguk lega. “Pergilah, Sayang. Mami harus mengurus adik-adik kalian.”Kedua anak itu menurut. Si kembar pertama berlari kecil keluar kamar, langkah mereka terdengar cepat di lorong, seperti tahu bahwa ini bukan saatnya untuk banyak bertanya.Begitu si kembar pertama pergi, suasana dalam kamar terasa jauh lebih tegang. Udara di ruangan terasa berat.Ada sesuatu yang menekan, membuat Sydney menarik napas panjang sebelum bangkit berdiri.Wanita itu menatap Debby dan Thalia bergantian dengan manik cokelatnya yang cantik.Lalu, Sydney melangkah perlahan ke arah Thalia terlebih dahulu. Insting keibuan membawanya ke sana, ke tempat di mana Zaleia masih di dalam dekapan pengasuhnya.Namun langkah Sydney melambat ketika melihat Thalia tengah memejamkan mata sambil menciumi dahi bayi itu.Tangan pengasuh
“Bibi ikut ke kamarku?” Sydney otomatis mengangkat kedua alis, terkejut sekaligus bingung dengan maksud ucapan itu. Debby tampak menyadari reaksinya. Wanita paruh baya itu segera terkekeh canggung dan mengangkat sebelah tangan, seolah mencoba membela diri. “Maksudku, kamar mereka. Kamar si kembar,” koreksi Debby cepat. “Aku lupa kalau bayi orang kaya punya kamar mereka sendiri yang terpisah dari kamar orang tuanya. Maklum, di tempatku semua tidur dalam satu ranjang.” Sydney tidak langsung membalas. Bukan masalah kamar yang membuat Sydney ragu, tetapi konsekuensi dari permintaan itu. Mengizinkan Debby memasuki kamar pribadi anak-anaknya berarti membuka sebagian denah mansion, ruangan yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu. Dan dengan segala kejadian yang pernah mereka alami, Sydney tahu bahwa kepercayaan adalah barang mewah yang tidak boleh diberikan cuma-cuma. Namun karena Sydney masih diam, Debby kembali bicara. “Tidak boleh?” tanya Debby terdengar geli sekaligus sinis
“Benar, Nyonya. Nama lengkapnya Debby Phell,” ujar si anak buah setengah berbisik setelah kembali dari gerbang depan.Sydney mengangguk pelan. “Baik. Minta Bibi Layla siapkan minuman untuk Bibi Debby. Aku akan datang sebentar lagi.”Dengan cepat, Sydney menggamit tangan Jade dan Jane yang masih asyik berkotor-kotoran di taman.“Kita masuk, Sayang. Ada yang ingin bertemu kalian,” ucap Sydney lembut.Jade dan Jane mengangguk sambil membersihkan tangan mereka di keran air terdekat. Lalu, mereka mengelap tangannya di celemek berkebun yang dikenakan Sydney.Kedua tangan kecil itu kini berada di kanan dan kiri Sydney, seperti dua sayap kecil yang menyertai wanita itu melangkah menuju ruang tamu.Begitu Debby melihat ketiganya memasuki ruangan, wanita paruh baya itu langsung berdiri dari sofa dengan mata berbinar.“Astaga, mereka lucu sekali!” seru Debby penuh semangat.Wanita paruh baya itu melangkah maju lebih dulu.
“Haruskah aku pergi?” Ken meletakkan gelas lemonade-nya ke meja dengan suara pelan. “Sepertinya aku sudah selesai mendengarkan penjelasanmu.”“Pergilah. Aku punya urusan pribadi dengan Nyonya Sydney Draxus.” Morgan melirik Ken tajam tanpa basa-basi.Sydney mengangkat kedua alis mendengar nama lengkap itu.Nada bicara Morgan yang tegas, ditambah dengan penyebutan Nyonya Sydney Draxus, sukses membuat kedua pipi wanita itu memerah.Ken tertawa kecil sambil mengangguk mengerti. “Baik, baik. Selamat bersenang-senang!”Pria itu segera menghabiskan lemonade-nya, lalu melangkah keluar dengan langkah lebar seperti orang yang sudah hafal betul kapan waktu yang tepat untuk memberi ruang pada pasangan suami istri itu.Begitu pintu tertutup, Morgan langsung berbalik ke arah Sydney dengan ekspresi berbeda.Sikap pria itu berubah cepat, menjadi lebih agresif dan penuh hasrat.Tanpa menunggu aba-aba, tangan Morgan langsung mengelus paha Sydney dengan gerakan lembut dan penuh tekanan.“Jelaskan padaku
“Apa kau tidak dengar?! Siapa kau?!” desak Sydney semakin panik.Namun tidak ada jawaban dari orang di belakangnya.Dua tangan besar itu masih menutup mata Sydney, membuat dunia di sekelilingnya gelap dan pekat.“Jangan macam-macam! Aku punya pistol di tasku!” ancam Sydney dengan suara bergetar.Wanita itu mulai bergerak, tubuh Sydney menegang saat dia berusaha meraih tangan yang menutupi wajahnya.Namun semakin Sydney berontak, semakin jelas bahwa tubuh orang itu tidak bergeming sedikit pun. Sydney seperti sedang mencoba melawan tembok batu.Sydney mencoba lagi, kali ini dengan tenaga lebih besar, tetapi tangan yang menutupi matanya tetap tidak bergeser sedikit pun.Wajah Sydney sudah memerah, bukan karena marah semata, tetapi karena panik dan takut bercampur menjadi satu.“Tolong!” teriak Sydney lebih kencang.Namun yang terjadi justru hal yang membuat Sydney membeku di tempat.Orang asing it
“Ini hanya … membuat semua orang terkejut.” Ken menghela napas panjang sambil menatap jendela ruang kerja yang mengarah ke taman belakang. “Kau lihat sendiri bagaimana Morgan selama ini. Bukan cuma memimpin perusahaan, tapi juga menjaga agar musuh-musuhnya tidak mendekat.”Sydney tidak langsung menanggapi. Wanita itu duduk tenang sambil menyilangkan kaki dan memutar bolpoin di antara jemarinya.Mata wanita itu menatap ke arah layar komputer yang sudah gelap sejak lima menit lalu, tetapi pikiran Sydney jauh lebih aktif dari apa yang tampak di wajahnya.“Mereka sedang beradaptasi,” sahut Sydney akhirnya. “Termasuk Morgan, aku, dan kau sendiri.”Ken mengangguk pelan sambil menyugar rambutnya yang mulai berantakan sejak pagi.“Kau benar,” ucap Ken singkat.“Kita semua ingin yang terbaik untuk Morgan. Aku istrinya, dan kau sahabatnya. Tidak mungkin aku atau kau akan mendorong Morgan ke jurang kehancuran.” Sydney memiringkan kepala dan menatap pria itu.Ken menatap Sydney lama. Dalam benakn