Tak berselang lama, pintu kamar pun dibuka. Kakak berhasil masuk dari jendela dan membuka pintu. Setelah masuk, tampaklah Mbak Rena masih tiduran dengan mata basah. Bantalnya pun basah karena air mata. Kusentuh keningnya, tak ada gejala demam. Biasa saja. Apa ia tak punya tenaga untuk menyahut panggilanku tadi? Sampai cemas dibuatnya.
“Mbak? Mbak kenapa? Jangan nangis.”“Mbak pusing, mual.” Suara Mbak Rena terdengar sengau, kasihan.“Jangan khawatir, Siti. Mbak kamu itu lagi hamil, setiap kali hamil memang begitu dia. Nangisnya makin jadi.” Aku menatap Kak Heru heran. Dari mana ia tahu kalau Mbak Rena sekarang sedang hamil? Kami baru masuk kamar ini dan Mbak Rena tak bilang apa-apa tentang itu. Kakak sok tahu banget! Masa ada orang hamil yang gejalanya suka nangis-nangis kejer kayak orang sawan. “Kakak tahu dari mana?” Pertanyaan itu pun terlontar tak tertahankan.“Tahulah, kamu gak usah banyak tanya, Siti.”“Aku tidak hamil, Mas. Aku tidak hamil!” sanggah Mbak Rena. Beberapa detik kemudian tangisnya kembali pecah. Aku bingung dengan kondisi ini. Kak Heru menyunggingkan senyum, pertanda bahagia sedangkan berbanding terbalik dengan istrinya yang seolah tak terima dengan kehamilan itu. Tangannya meremas-remas bagian perut. Masih tanda tanya, apakah kehamilan Mbak Rena yang sebelum-sebelumnya juga Kakak tahu? Lantas, bungkusan test pack yang kutemukan di bawah sprei itu maksudnya apa? Mengapa disimpan hanya benda begitu. Setahuku kalau sudah dipakai akan dibuang. Buat apa disimpan seperti barang berharga. “Kamu hamil! Sudah, jangan menangis terus. Jaga kesehatan kamu, Rena.” Kakak tersenyum penuh arti menatap wajah sembab istrinya. Tentu saja, siapa yang tak senang kalau istrinya hamil. Namun, aku masih tak percaya. Kakak bukanlah seorang dokter, mana mungkin bisa menyimpulkan secepat itu kalau Mbak Rena hamil. “Aku tidak hamil! Tidak!” “Mengaku saja, sebelum aku naik pitam dan khilaf menampar wajahmu.” Kakak tampak tersulut emosi.Aku hanya bisa diam, jadi penonton. Tak berani berkata apa-apa lagi. Akan tetapi, aku akan siap menghalangi kalau Kakak sampai main tangan lagi. Aku tak terima kalau Mbak Rena disakiti terus, sudah dinikahi malah dikasari. “Iya, aku hamil lagi. Puas kamu, Mas,” ucap Mbak Rena dengan tatapan tajam bak harimau hendak menerkam.Ia bangkit dan menunjukkan test pack garis dua yang dikeluarkannya dari kantong daster. Benar, ia positif hamil. Aku senang, sekaligus sedih. Tak seharusnya kehamilan itu disambut dengan air mata dan keributan seperti ini. Tak sama seperti pasangan pada umumnya. “Puas kamu! Kamu menang kali ini.” Mbak Rena membanting test pack itu ke lantai dengan geram. Aku menatap dengan perasaan takut bercampur tegang.“Siti, kamu keluar sebentar, ya. Ada urusan yang mau diselesaikan,” pinta Kakak.Tak berselang lama, pintu kamar pun dibuka. Kakak berhasil masuk dari jendela dan membuka pintu. Setelah masuk, tampaklah Mbak Rena masih tiduran dengan mata basah. Bantalnya pun basah karena air mata. Kusentuh keningnya, tak ada gejala demam. Biasa saja. Apa ia tak punya tenaga untuk menyahut panggilanku tadi? Sampai cemas dibuatnya.“Mbak? Mbak kenapa? Jangan nangis.”
“Mbak pusing, mual.” Suara Mbak Rena terdengar sengau, kasihan.
“Jangan khawatir, Siti. Mbak kamu itu lagi hamil, setiap kali hamil memang begitu dia. Nangisnya makin jadi.”
Aku menatap Kak Heru heran. Dari mana ia tahu kalau Mbak Rena sekarang sedang hamil? Kami baru masuk kamar ini dan Mbak Rena tak bilang apa-apa tentang itu. Kakak sok tahu banget! Masa ada orang hamil yang gejalanya suka nangis-nangis kejer kayak orang sawan.
“Kakak tahu dari mana?” Pertanyaan itu pun terlontar tak tertahankan.
“Tahulah, kamu gak usah banyak tanya, Siti.”
“Aku tidak hamil, Mas. Aku tidak hamil!” sanggah Mbak Rena.
Beberapa detik kemudian tangisnya kembali pecah. Aku bingung dengan kondisi ini. Kak Heru menyunggingkan senyum, pertanda bahagia sedangkan berbanding terbalik dengan istrinya yang seolah tak terima dengan kehamilan itu. Tangannya meremas-remas bagian perut.
Masih tanda tanya, apakah kehamilan Mbak Rena yang sebelum-sebelumnya juga Kakak tahu? Lantas, bungkusan test pack yang kutemukan di bawah sprei itu maksudnya apa? Mengapa disimpan hanya benda begitu. Setahuku kalau sudah dipakai akan dibuang. Buat apa disimpan seperti barang berharga.
“Kamu hamil! Sudah, jangan menangis terus. Jaga kesehatan kamu, Rena.”
Kakak tersenyum penuh arti menatap wajah sembab istrinya. Tentu saja, siapa yang tak senang kalau istrinya hamil. Namun, aku masih tak percaya. Kakak bukanlah seorang dokter, mana mungkin bisa menyimpulkan secepat itu kalau Mbak Rena hamil.
“Aku tidak hamil! Tidak!”
“Mengaku saja, sebelum aku naik pitam dan khilaf menampar wajahmu.” Kakak tampak tersulut emosi.
Aku hanya bisa diam, jadi penonton. Tak berani berkata apa-apa lagi. Akan tetapi, aku akan siap menghalangi kalau Kakak sampai main tangan lagi. Aku tak terima kalau Mbak Rena disakiti terus, sudah dinikahi malah dikasari.
“Iya, aku hamil lagi. Puas kamu, Mas,” ucap Mbak Rena dengan tatapan tajam bak harimau hendak menerkam.
Ia bangkit dan menunjukkan test pack garis dua yang dikeluarkannya dari kantong daster. Benar, ia positif hamil. Aku senang, sekaligus sedih. Tak seharusnya kehamilan itu disambut dengan air mata dan keributan seperti ini. Tak sama seperti pasangan pada umumnya.
“Puas kamu! Kamu menang kali ini.”
Mbak Rena membanting test pack itu ke lantai dengan geram. Aku menatap dengan perasaan takut bercampur tegang.
“Siti, kamu keluar sebentar, ya. Ada urusan yang mau diselesaikan,” pinta Kakak.
Hai, kita jumpa lagi. Happy reading yahh.PART 15“Siti, kamu udah sadar? Alhamdulillah,” kata Mbak Rena.Aku bingung saat menatap sekeliling. Ruangan putih, di mana ini? Lamunan ini terhenti kala merasa sekujur tubuh ngilu. Seperti habis dipukul kayu berat di bagian tengkuk dan punggung. Kepala juga terasa pusing tak karuan.“Kamu di rumah sakit. Tadi malam kamu pingsan di ladang tebu,” timpal Mbak Rena seolah paham kebingunganku.Aku menatapnya lekat. Beberapa saat kemudian, aku baru ingat kejadian tadi malam. Aku berusaha mencari keberadaan Mbak Rena dan kakak yang tiba-tiba menghilang. Menerobos hujan hanya mengkhawatirkan mereka.Namun, bukannya mereka yang kutemui. Malah menemukan keanehan yang baru. Masih jelas terbayang apa yang terjadi dalam gubuk itu. Siapa lelaki itu?“Kamu kena
PART 21“Siti, kamu kembali,” kata Kakak seperti heran.Berkali-kali ia mengucek mata. Terakhir, ia mencubit pipiku.“Ini kamu, Siti?”“Apaan, sih, cubit-cubit. Sakit, tau.”Wajah Kakak sembab seperti baru habis menangis, dikantong bajunya ada HP yang masih menyala cahayanya.“Kakak baru aja mau hubungin keluarga di desa,” ucapnya tiba-tiba.Memang apa hubungannya kedatanganku dengan keluarga di desa? Mengapa pula Kakak menangis. Apa kecelakaan di tempat ini disebabkan oleh Kakak? Aku mulai curiga. Namun, aku masih belum bisa menjadikan ini sebagaii petunjuk. Belum ada bukti nyata.Lagian masa iya Kakak tega menumbalkan aku yang adik kandungnya. Jangan-jangan ini gara-gara Mbak Rena?“Siti, kamu kenapa luka-luka?&r
Tiba-tiba firasatku tak enak, segera kubaca ayat kursi sebanyak-banyaknya dalam hati dan memohon perlindungan dengan Allah. Mataku berkedut-kedut tak karuan. Filosofi orang dahulu, artinya akan menangis. Aku jadi takut dan gelisah.“Siti, kamu antarkan kacang tanah ini ke rumah Bi Inah.” Kakak menyerahkan kantong berisi kacang tanah.Tak berat, mungkin hanya sekitar tiga cupak. Bi Inah adalah wanita penjual peyek, aku pernah beberapa kali diminta Kakak mengantarkan kacang tanah ke rumahnya. Tak jauh, seberang jalan dan masuk gang sedikit.“Iya, Kak.”Aku berjalan untuk menjalankan perintah Kakak, tapi entah mengapa ia terus menatapku tanpa henti. Tak berkedip dengan wajah sendu. Aneh. Lalu, ia segera
PART 19Kami pulang ke rumah setelah melewati kejadian menjengkelkan itu. Mbak Rena kumaki habis-habisan dan tak segan-segan kuancam layaknya seorang narapidana. Ia tak melawan, hanya diam sambil menangis. Mungkin menyesali diri atau mungkin menyesal telah membawaku ikut ke tempat terkutuk itu.Sangat tak mampu diterima akal sehat, perbuatan yang bejat moral. Makin berat saja tugasku harus pula menjaga kandungan Mbak Rena. aku sangat tidak ikhlas kalau bayi itu digugurkan. Sungguh, tak akan segan melaporkan ke pihak berwajib.“Ingat, Mbak. Kalau berani macam-macam lagi, Siti tak segan melaporkan kalian berdua ke polisi!” ancamku.“Mbak sadar kalau salah. Maafkan, ini tidak akan terulang kembali.” Mbak Rena menyahut saat motor sudah di depan toko.Kami turun dan melihat Kakak sedang duduk manis. Tatapan mata mereka bertemu, seketika aku
Jangan-jangan semua isi plastik di sana itu adalah janin yang diaborsi. Ya Allah! Siapa pelakunya? Jangan-jangan Mak Pia itu dukun aborsi! Entah mengapa pikiran negatif itu langsung menghampiriku. Saat ini aku sangat mengkhawatirkan nasib Mbak Rena.Apa mungkin ia datang untuk menggugurkan janinnya? Gila, sungguh gila! Kresek itu kubawa berlari ke rumah Mak Pia. Ngos-ngosan karena lelah pun tak kuperdulikan, dalam kepala hanya ada keselamatan Mbak Rena.“Aduh! Pintu terkunci lagi.”&nb
PART 17HAPPY READING.Seusai salat subuh, aku merasa pusing. Bayangan kejadian tadi malam membuat kesal sekaligus tegang. Setelah berpikir panjang, aku mengajak Yani pulang ke rumahnya tadi malam. Dengan keyakinan kalau semua akan baik-baik saja, sebuah keributan itu tidak akan mencelakakan salah satu dari kakak atau Mbak Rena.“Kamu gak pa-pa?” tanya Yani khawatir.“Enggak, kok.”“Sebenarnya kejadian tadi malam itu aib keluarga, semoga kamu tak memberi tahu siapapun. Hanya kamu dan Bude Ratmi yang tahu. Tolong rahasiakan dan jangan takut denganku,” ucapku sambil menatap wajah Yani lekat-lekat.“Iya, aku gak akan. Kamu dalam masalah besar, selidikilah. Kalau ada apa-apa hubungi nomorku atau langsung datang ke sini. selama Allah di hati, kamu akan selamat.”&l