Terdengar suara ribut-ribut dan pekikan histeris saat Cahaya masuk kafe lewat pintu belakang. Para pelayan tampak sibuk berbisik satu sama lain. Wajah mereka terlihat sumringah dan juga penuh semangat. Jadi setidaknya bukan hal buruk yang sedang terjadi, pikirnya.
Cahaya memandang Flo, teman sekamarnya yang hari ini satu sift dengannya.
“Apa kita melewatkan sesuatu hari ini?”
Flo mengangkat bahu. “Selama kita tidak terlibat dalam masalah, apa pun yang kita lewatkan bukan hal penting.”
Cahaya tersenyum lebar. “Kau benar.”
Mereka masuk ke ruang ganti dan mengganti pakaian dengan seragam kafe. Teriakan-teriakan yang mengikuti mereka mulai terdengar samar. Saat Cahaya bergerak ke depan untuk mengumpulkan gelas dan juga piring yang kotor, Merlin mencekal tangannya.
“Dia lebih penting sejuta kali daripada dirimu. Jangan membuat kesalahan atau kau benar-benar akan dipecat kali ini.”
Cahaya mengernyit tidak paham. “Apa maksudmu?”
Merlin menunjuk gelas yang ada di meja konter.
“Antarkan minuman itu untuknya.”
“Tapi…”
“Kau mau membantah?”
Cahaya membuka mulut tapi menutupnya kembali. Melawan Merlin akan terlalu menguras tenaganya dan ia baru saja datang. Toh, ia hanya perlu mengantar minuman itu bukan?
“Bagaimana kalau aku saja yang mengantar minumannya?”
Cahaya menatap rekan kerjanya yang terlihat begitu antusias dan semangat ingin menggantikan tugasnya.
“Jangan macam-macan, Cara. Ini tugas si Bodoh atau kau mau menanggung akibatnya selagi dia menciptakan masalah lainnya?”
Wanita bernama Cara dengan segera menggelengkan kepalanya.
“Pergi, temui dia.”
Cahaya mendesah panjang. Ia meraih gelas dan meletakkannya di atas nampan. Kenapa hanya ia yang bergerak? Dan ada apa dengan wajah mereka yang muram? Seakan Cahaya hendak ke medan perang bukannya mengantarkan minuman.
“Cepat Bodoh! Kau mau membuatnya marah karena menunggu!” salak Merlin dengan mata melotot.
Cahaya berjalan melewati koridor, merasa aneh dengan keheningan yang menyambutnya. Saat ia mengedarkan pandangan, manik hitamnya terpaku pada satu-satunya orang yang ada di dalam ruangan. Pria itu duduk, menyilangkan kakinya dan sedang fokus pada ponselnya, sama sekali tidak peduli dengan sekitarnya.
Jadi…pria itulah penyebab suasana aneh ini?
Ini situasi yang paling dihindari Cahaya, terjebak bersama pelanggan yang pasti akan membuatnya dipecat. Cahaya meneguhkan hatinya sebelum akhirnya berjalan mendekati pria tersebut.
“Ma-maaf ini pesanan Anda, Tuan.”
Kepala pria itu sedikit terangkat. “Itu bukan minumanku.” Suaranya kaku dan terdengar sedikit marah?
“Maaf, tapi Anda…”
Saat itulah dunia disekitar Cahaya mengabur. Saat pria itu akhirnya benar-benar mengangkat wajahnya Cahaya bisa merasakan darahnya memanas.
Ya Tuhan!
Dia begitu tampan dan juga wow!
Cahaya kesulitan menemukan kata-kata yang pas untuk menggambarkan sosok bertubuh jangkung dengan aura berkuasa yang meluluhkan otak didepannya ini.
“Apa kau mendengarku?”
Bulu matanya begitu lebat dan lentik. Bola matanya hitam namun irisnya dibingkai warna emas yang menakjubkan. Garis wajahnya mengingatkan Cahaya pada pria-pria timur tengah yang terlihat garang namun begitu memikat.
“Ya Tuhan!”
Pria itu mengeluarkan sejumlah kata asing yang ia asumsikan sebagai kata makian. Kata-kata yang akhirnya berhasil menarik kesadarannya dan membuat wajahnya merah padam.
“Ma-maaf, ak-aku—“
“Buang minuman ini!”
Cahaya bingung. Ia jelas-jelas disuruh mengantar minuman ini. “Tapi…”
“Tapi apa? Aku tidak minum alkohol, terutama tidak di siang bolong seperti ini.”
Apa yang direncanakan Merlin dengan menyuruhnya membawa minuman ini?
“Maafkan kelancangan karyawan kami, Sir.”
Merlin muncul dengan wajah yang dihiasi senyuman yang bahkan tidak pernah dilihat Cahaya. Wanita itu jelas telah melakukan sesuatu dengan wajahnya dan pakaian itu…Cahaya meneguk salivanya melihat gaun yang dipakai Merlin. Begitu terbuka dan begitu…menggoda.
“Kami akan memecatnya sebagai bentuk pertanggung jawaban, Sir.”
Apa?
Mata Cahaya melebar panik. Bagaimana bisa ia dipecat untuk sesuatu yang tidak ia lakukan?
Merlin menatap Cahaya tajam.
“Tuan Alexander sengaja menyewa kafe ini demi kenyamanan dan kau membuat rencananya berantakan dengan membawa minuman yang tidak akan dia sentuh! Lancang sekali kau!”
Cahaya merasa air matanya sebentar lagi akan jatuh. Ia menunduk cepat-cepat.
“Ma-maafkan saya, Tuan, saya tidak tahu jika Anda…”
“Pergi! Kau di pecat! Aku akan membuat laporan pada Albert agar dia tahu kerugian yang terjadi akibat mempekerjakanmu!”
Cahaya mengusap air matanya. Tanpa mengangkat wajah sekali lagi Cahaya menunduk untuk menunjukkan permintaan maafnya kemudian berbalik.
“Tunggu!”
Suara berat dan beraksen asing itu membuat Cahaya berhenti. Ia menatap Merlin yang terlihat sama bingungnya dengan dirinya.
“Duduk!”
Cahaya bengong. Mulutnya terbuka lebar.
“Ya Tuhan! Bagaimana bisa Grandpa…”
Pria itu mendecak jengkel, kemudian menarik lengan Cahaya, memaksanya duduk. Sekarang tatapan tanpa ekspresi pria itu tertuju pada Merlin.
“Aku ingin bicara dengannya. Berdua.”
Seandainya situasi lebih memungkinkan Cahaya pasti tertawa melihat ekspresi Merlin. Wajah wanita itu seperti orang yang dipaksa minum obat paling pahit di dunia.
“Apa ucapanku kurang jelas?” Sekarang suara pria itu berubah dingin.
Merlin buru-buru menunduk. “Maafkan kelancangan saya, Sir. Kalau begitu saya permisi.”
Merlin melemparkan tatapan penuh peringatan pada Cahaya sebelum berbalik dan menghilang dari pandangan.
“Kau!”
Cahaya tersentak. Mulutnya bergetar. “Ma-maaf, aku, maksudku aku tidak sengaja melakukannya. Aku hanya diminta mengantar minuman itu. Sumpah!”
“Bukan kau yang membuatnya?”
Cahaya menggeleng. “Bukan. Merlin hanya memintaku mengantarnya.”
“Alex, kau bisa memanggil namaku.”
Cahaya menelan ludah susah payah. “Ma-maaf, tapi kenapa Anda meminta saya duduk di sini?” bahkan tanpa melihat Cahaya yakin rekan kerjanya pasti sedang mengintip adegan ini di belakang.
“Menurutmu?”
Pria ini tidak mau membuat semuanya mudah.
“Apa ini tentang minuman itu? Sudah kukatakan kalau aku—“
“Bukan. Ada yang ingin kutanyakan.”
Cahaya berusaha mengatur napas yang rasanya sulit dilakukan saat tatapan tanpa ekspresi itu sepenuhnya tertuju padanya. Mata sehitam arang itu seperti sedang memindai Cahaya seperti sinar laser dan ini membuatnya gugup. Dan saat gugup Cahaya tidak bisa berpikir.
“Berapa usiamu?”
Eh?
“Ma-maaf?”
“Theos mou! Apa yang dipikirkan Kakek tua itu sebenarnya!”
Cahaya tersentak mendengar kemarahan pria itu. Alex bisa membuat seseorang pingsan hanya dengan menunjukkan tatapannya yang dipenuhi amarah. Cahaya berjengit saat melihat Alex memejamkan mata seolahs edang mengukur tingkat kesabarannya.
Pria ini kenapa sih!
“Apa kau akan terus diam seperti orang bodoh atau kau mau menggunakan mulutmu untuk menjawab pertanyaan sederhanaku?”
Mendengar kata bodoh diucapkan kemarahan Cahaya pun tersulut. “Jangan menyebutku bodoh!”
“Kalau begitu jawab pertanyaanku!”
“Aku tidak punya alasan untuk menjawabmu, Tuan.” Kesal karena dominasi dan juga kemarahan yang rasanya tidak masuk akal itu, Cahaya berbalik pergi.
“Duduk!”
Cahaya bergeming tapi tidak berbalik.
“Duduk, kecuali kau benar-benar ingin dipecat!”
Ancaman itu berhasil membuatnya sedikit melunak. “Berarti aku tidak akan dipecat jika duduk di sini?” Ia perlu memastikan kesejahteraannya lebih dahulu jika pria ini kembali mengeluarkan kemarahan termonuklirnya.
“Kecuali kau membuat semuanya sulit, tidak, kau tidak akan dipecat.”
Cahaya tersenyum kemudian duduk dengan nyaman. “Usiaku 20 tahun,” Cahaya tampak berpikir. “Sebenarnya beberapa bulan lagi 21, kenapa Anda bertanya?”
“Punya keinginan untuk menikah?”
Pertanyaan macam apa ini? Pria ini datang membuat khebohan, menyewa kafe untuk dirinya sendiri, memaksanya duduk dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya yang tidak masuk akal. Apa mungkin sedang ada audisi mencari aktris?
“Cahaya Airani, jangan mengujiku, aku tidak—“
“Dari mana kau tahu namaku?” pekik Cahaya terkejut. Sejak kedatangannya yang Penuh drama Cahaya sudah merasakan semacam firasat buruk saat melihatnya.
“Aku tahu semua tentangmu.”
Itu bukan jawaban yang ingin ia dengar.
“Dan kau adalah?”
“Lepaskan Alex, kau menginvasi ruang pribadiku.” Cahaya berusaha melepaskan diri dari suaminya dan untungnya Alex segera melepaskannya.“Jangan bercanda seperti itu lagi.”Cahaya mendengus. “Tidak masalah kalau kau bercanda seperti itu dan menjadi masalah ketika aku yang melakukannya? Kalian kaum pria memang seperti itu kan?”Cahaya mempercepat langkahnya karena tidak ingin berurusan lebih lama dengan Alex.“Cahaya tunggu!”Cahaya menulikan pendengaraannya. Ia masuk ke supermarket, mengabaikan kehadiran Alex yang terus mengekor di belakangnya. Beberapa pengunjung menatap mereka penuh minat, tapi Cahaya tahu mereka bukannya tertarik pada mereka, tapi pada Alex khususnya.“Aku bisa melakukan ini sendiri. sebaiknya kau pulang. Keluargamu pasti mencarimu.”“Aku bukan anak kecil lagi Cahaya dan keluargaku ada di sini.”Cahaya berhenti, ia menoleh pada Alex yang tersenyum menatapnya.“Aku tidak akan pulang.”“Aku akan membawamu meski harus menyeretmu Cahaya. Kau yang pilih jalannya.”Cahaya
Cahaya memandnag Alex dengan tatapan penuh curiga, yakin pria itu tidak menyadarinya karena ruangan yang gelap gulita. Apa yang dia pikirkan? Apa Alex pikir ia akan menyerah hanya karena pria itu datang menjemputnya?“Sebaiknya kau pulang, Alex, orang-orang pasti akan mencarimu.”“Kau mau pergi bersamaku?”“Dalam mimpimu.”Alex bergelung di ranjangnya yang kecil. Jasnya sudah di lepas dan sekarang digunakan sebagai selimut yang hanya bisa menutupi bagian depan tubuhnya. Cahaya melirik selimut miliknya. Ia tidak akan memberikannya tidak peduli jika pria itu kedinginan.“Kalau begitu kita akan di sini.”“Terserah, tapi aku tidak akan kembali.”“Jangan terlalu gegabah membuat keputusan. Siapa yang tahu kalau besok kau berubah pikiran?”Cahaya ikut menyampingkan tubuhnya. Dia berbairng membelakangi Alex. “Jangan terlalu berharap, kalau itu yang kau inginkan sebaiknya kau bersiap-siap kecewa.” Cahaya membalut tubuhnya dengan selimut sampai ujung kepala, tidak peduli jika panas dalam ruanga
Alex menekan bel dengan tidak sabaran, mengabaikan fakta kalau dia datang di malam hari dan orang-orang mungkin sudah mulai tidur.“Ayolah,” keluhnya tidak sabaran. Alex menyapu rambutnya gusar memandang pintu yang tertutup seolah semua penyebab kekacauan yang dialaminya diakibatkan oleh benda mati tersebut.Ketika Alex berniat menekan bel kembali pintu rumah itu akhirnya terbuka. Seorang wanita muncul. Alex mengenalinya sebaga Flo, teman serumah Cahaya sebelum gadis itu menikah dengannya.“Apa Cahaya ada di sini?” tanyanya tanpa basa-basi.Kening Flo mengerut. “Tidak, dia tidak ada di sini. Kenapa dia ada di sini?” tanya Flo balik.Menilik dari penampilannya Alex tahu wanita itu sedang tidur dan mungkin terbangun karena kedatangannya. Jika Cahaya tidak ada di sini, di mana gadis itu berada? Ponselnya masih tetap mati.Alex memejamkan matanya, berusaha menekan amarah yang mengancam akan meledakkannya.“Apa terjadi sesuatu?” tanyanya Flo penuh selidik, ada kecemasan dalam suaranya.“To
Cahaya benci dengan reaksi tubuhnya seolah setiap inci bagian dalam dirinya mengenali Alex. Kapanpun pria itu berada dalam jarak pandangnya, Cahaya selalu merasa getaran aneh memenuhi dadanya hingga membuat darahnya panas. Sebisa mungkin Cahaya mempertahankan pandangannya dengan Alex. Tidak mudah, terutama saat pemilik mata kelam dan wajah rupawan itu memutuskan untuk mempertahankan pandangan.Tidak ingin dirinya berakhir konyol, Cahaya memutuskan kontak di antara mereka dan buru-bur membuat jarak.“Bagaimana kalau kita pergi sekarang?” Cahaya pura-pura sibuk menatap jam tangannya dalam usaha mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana tegang yang berputar-putar di antara mereka.Cahaya bertaruh dalam hati agar tidak memandang Alex karena tahu akibatnya seperti apa, tapi keinginan yang menguasainya seperti api yang membakar kayu sampai habis tak bersisa. Saat ia memandang Alex, pria itu masih tetap memandangnya. Cahaya buru-buru membuang muka.“Kalau kau sibuk sebaiknya aku—““Apa
Alex mengikuti Cahaya lewat tatapan matanya. Apa yang terjadi? Apa yang ia lewatkan? Alex tidak pernah melepaskan pandangannya dari Cahaya saat wanita itu perlahan masuk dengan keanggunan yang membuatnya kagum. Tidak ada lagi hiasan rambut berupa pita dengan warna menarik yang selalu menghiasi kepala Cahaya. Pakaian konservatif yang biasanya menutupi lekuk tubuh Cahaya kini digantikan oleh gaun selutut berwarna nude yang mempertontonkan kulit putih tanpa celanya.Busana berpotongan rendah itu membuat Alex kehilangan kata-kata dan sudah lama sekali ia tidak merasakan hal itu. Alex seperti seseorang yang dipaksa menelan pil paling pahit di dunia hanya untuk menyadari kalau rasanya semanis madu.Siapa bisa menyangka kalau Cahaya bisa tampil seperti sekarang? Elegan dan memesona. Busana itu jatuh membalut tubuh Cahaya seperti kain satin yang lembut dan berkilauan. Pandangannya jatuh pada tungkainya yang jenjang, tungkai panjang yang akan membuat pikiran-pikiran pria berkelana saat melihat
“Katakan kalau kau berbohong?” Flo menatap Cahaya dengan tatapan tidak percaya. Makanan yang sudah setengah jalan menuju mulut kini melayang di udara.“Sayangnya tidak.”Flo berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir.“Aku tidak mengerti. Kenapa?” tanyanya.Cahaya mengangkat bahunya karena ia sama bingungnya dengan sahabatnya. Apalagi yang bisa ia lakukan selian menerima semuanya?“Apa dia normal?”Cahaya membelalak. “Tentu saja!” dengusnya.“Lalu apa masalahnya? Dia normal dan kau juga normal. Hubungan fisik tidak selalu melibatkan perasaan Cahaya. Seks bisa dilakukan hanya karena kalian sama-sama tertarik atau bahkan hanya karena penasaran, jadi kenapa kalian yang bahkan sudah suami istri dan tidur di ranjang yang sama belum melakukan apa pun?”Cahaya mengusap tengkuknya, pertanyaan itu membuatnya rendah diri. Bagaimanapun bisa dikatakan alasan kenapa Alex belum menyentuhnya karena pria itu sama sekali tidak melihatnya sebagai wanita.“Mungkin karena dia benar-benar tidak menganggapku