Jonathan Alexander Hardin, cucu kedua dari keluarga Hardin kini sedang berjalan melintasi ruang tamu keluarga dengan wajah sekeras batu dan kemarahan seperti granit. Langkahnya yang lebar membuat beberapa pelayan yang kebetulan berpapasan dengannya otomatis mundur dan memilih menjauh.
Tidak ada yang ingin berhadapan dengan Jonathan yang marah.
“Di mana Granpa?” suaranya yang dingin dan terdengar kaku membuat pelayan yang ditanya menunduk takut-takut.
“Beliau ada di ruang baca, Tuan.”
Jonathan mengeluarkan sejumlah kata makian. Ia benci rumah ini, tapi sekarang ini ia tidak punya pilihan lain. Kakinya yang panjang berjalan menaiki 2 anak tangga sekaligus. Ia berbelok melewati lorong yang dindingnya dihiasi lukisan-lukisan mahal abad ke-16 dan langsung berhenti begitu melihat pintu ruangan yang Jonathan tuju.
Dia menarik napas panjang dan dalam sebelum akhirnya menarik pintu terbuka.
“Grandpa.”
Suaranya berhasil menarik perhatian seorang pria tua yang tengah sibuk memandangi rak-rak buku seolah sedang mencari buku yang menarik untuk dibaca. Alfred yang meski sudah tua dan berusia 82 tahun namun, masih terlihat cukup sehat berjalan ke arah Jonathan menggunakan tongkat yang dia pegang.
“Alex.”
Tidak seperti orang lain, kakeknya selalu memanggilnya Alex alih-alih Jonathan.
Jonathan mengangguk kaku. Kekesalan memancar dari wajahnya yang tampan dan minim ekspresi.
“Apa-apaan itu, Grandpa. Gadis itu masuh muda. Demi Tuhan! Apa Grandpa serius?” mata Jonathan membeliak sesaat setelah mengatakan penyebab kejengkelannya. Setelah berita yang menjungkirbalikkan hidupnya itu dikatakan oleh kakeknya, Jonathan langsung mencari tahu siapa gadis yang dimaksud dan ia terkejut jika tidak bisa dikatakan syok begitu membaca latar belakangnya.
“Dia cantik?”
“Dibanding dengan apa? model? Aktris? Atau pelayan di rumah ini?” balas Jonathan sarkas. “Grandpa tidak mungkin serius menjodohkan kami bukan? Dia masih anak-anak. Bagaimana mungkin Grandpa berniat menikahkannya denganku?” Jonatahn menyugar rambutnya dengan gerakan frustrasi. Ia mulai berjalan mondar-mandir, menahan umpatan yang sudah ada di ujung lidahnya.
“Dia cukup dewasa, Jonathan.”
Jonathan mendengus. “Yah, jika dibandingkan dengan anak yang baru lahir gadis itu jelas cukup dewasa.”
Mata Alfred memindai wajah cucunya. Jonathan adalah cucu kesayangannya—meski ia tidak akan pernah mengatakannya. Jonathan tidak banyak bicara dan jarang berbaur dengan keluarga—cucunya yang penyendiri—tapi Jonathan orang yang bertanggung jawab dan juga berdedikasi. Ini salah satu alasan kenapa ia memilih Jonathan meski ia masih memiliki cucu yang lain yang bisa saja dijodohkan dengan gadis itu.
“Katakan, apa kau sudah pernah bertemu dengannya, Jonathan?”
“Tidak, aku hanya melihatnya dari jauh, tapi itu sudah cukup. Gadis itu terlalu muda, dia tidak mungkin bisa—“
“Tentu saja dia bisa! Kau belum bertemu dengannya ‘kan?”
“Memangnya Gradpa sudah?” balas Jonathan sinis. “Dan tidak perlu bertemu dengannya untuk bisa menilainya. Hanya sekali lihat sudah cukup menjelaskan bagaimana polosnya gadis itu.”
Alfred tersenyum. “Kau tahu Jonathan, sejak datang yang kau sebutkan hanya betapa mudanya gadis itu dan betapa kakunya dia, tapi sekalipun kau tidak pernah menyebut kekurangannya. Atau kau tidak tahu hal itu?”
Jonathan melonggarkan dasi yang terasa mencekik. Ia duduk di sofa sementara kakeknya memilih duduk di sofa tunggal yang berseberangan dengan dirinya.
“Disleksia bukan sesuatu yang bisa dikendalikan, Grandpa. Dia tidak bisa bertanggung jawab untuk sesuatu yang tidak bisa dia kendalikan.”
Alfred mengangguk. “Kau tidak masalah dengan hal itu?”
Jonatah mengernyit. “Tentu saja masalah!” Ia mulai memijit pelipisnya. “Jika rencana Grandpa tetap dilanjutkan, gadis itu akan jadi santapan media dan mereka sudah pasti akan melahapnya habis-habisan. Granpa mau itu terjadi?”
“Lindungi dia, itu tugasmu.”
Jonathan medengus. “’Tidak, rencana ini harus dibatalkan Grandpa. Dia tidak bisa, dia masih begitu muda—“
“Usianya dua puluh satu tahun.”
Jonathan meringis. “Dan aku? Aku 33 tahun. Lebih baik memberinya aset. Dia tidak perlu bekerja seumur hidupnya jika Grandpa mencemaskan hal itu.”
Jeda selama beberapa saat. Pembicaraan yang mereka lakukan terasa menguras tenaga. Jonathan memandang langit-langit perpustakaan, melihat lampu gantung dengan pikiran yang melayang. Sebuah pemikiran tiba-tiba terbesit dibenaknya.
“Aku masih tidak mengerti, kenapa dia? Kenapa Grandpa bersikeras ingin menjodohkan kami? Lingkungan hidupnya sama sekali tidak cocok dengan keluarga kita.”
“Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?”
Jonathan memikirkan jawabannya sejenak. “Dia pelayan,” balasnya sederhana. Sementara keluarga mereka memonopoli arus perekonomian di negara ini.
“Kau tidak tahu keluarganya?”
“Tentu saja aku tahu. Aku menyelidiki latar belakang keluarganya.”
“Tapi kau tidak mengenal orang tua gadis itu,” ucap Alfred tenang, menatap Jonathan yang kini menatapnya dengan alis terangkat.
“Tetap saja itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menjodohkan kami. Dia hanya akan menderita jika menikah denganku.”
“Kenapa? Karena kau tidak sanggup mencintai siapapun lagi?”
Jonathan diam, memilih tidak menjawab.
Alfredlah yang pertama kali membuka suara.
“Gadis ini…dia akan membutuhkanmu. Perlindunganmu dan juga kekuatanmu.“
Kalimat itu membuat Jonathan menatap kakeknya lekat. Emosi yang memancar dari sosok yang begitu dikagumi oleh Jonathan itu membuatnya gelisah.
“Kenapa harus dia? Apa yang khusus dari gadis ini, Grandpa?”
Alfred hanya tersenyum, tapi bahkan Jonathan tahu kalau ada kalimat yang tidak tersampaikan di sana.
“Bagaimana dengan usulku? Memberikan sebagian aset yang kita miliki padanya, itu lebih masuk akal daripada pernikahan yang diatur,” tawar Jonathan.
“Kita tidak bisa melakukannya, Jonathan. Itu hanya akan membuatnya bingung.”
“Lebih membingungkan dan tidak masuk akal jika kami menikah. Itu akan membuatnya syok dan lari terbirit-birit. Gadis semuda itu pasti tidak berpikiran untuk menikah. Lebih baik rencana ini dibatalkan atau kalau perlu angkat dia sebagai adikku, itu lebih masuk akal.”
Tawa Alfred meledak hingga Jonathan dibuat terkejut dengannya. Pasalnya ia tidak merasa mengatakan sesuatu yang lucu.
“Apa yang lucu?” tanyanya tersinggung.
“Kau…cucuku yang cerdas dan selalu bisa menemukan solusi untuk setiap permasalahan yang ada baru saja mengatakan sesuatu yang sangat lucu.”
Alisnya yang sempurna menyatu. “Tidak ada yang lucu dengan usulan itu.”
Mata Alfred bersinar penuh humor. “Menjadikannya istrimu akan menjamin keselamatan gadis itu, Jonathan. Kita bisa saja membagikan sebagian aset keluarga ini padanya, tapi dengan disleksia yang dialaminya, aku tidak yakin dia akan selamat.”
Ketika Jonathan membuka mulut hendak membantah, Alfred mengangkat tangannya.
“Begini saja, temui saja gadis itu. Dia gadis yang cantik dan juga baik, kau akan menyukainya. Gadis itu lebih baik dari Sandra, aku jamin.”
Jonathan meringis mendengar nama mantan kekasihnya disebut. Setidaknya Sandra berpendidikan, sementara gadis itu? Sejauh penyelidikan latar belakang yang ia lakukan, gadis itu lebih sering berpindah tempat kerja dibanding siapapun yang pernah ia kenal.
“Satu lagi Jonathan…”
Jonathan menatap kakeknya. Semua jejak humor yang sebelumnya ia lihat kini telah lenyap.
“Setelah dia menjadi istrimu keselamatan gadis itu sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu. Apa pun yang terjadi lindungi dia.”
Terdengar suara ribut-ribut dan pekikan histeris saat Cahaya masuk kafe lewat pintu belakang. Para pelayan tampak sibuk berbisik satu sama lain. Wajah mereka terlihat sumringah dan juga penuh semangat. Jadi setidaknya bukan hal buruk yang sedang terjadi, pikirnya.Cahaya memandang Flo, teman sekamarnya yang hari ini satu sift dengannya.“Apa kita melewatkan sesuatu hari ini?”Flo mengangkat bahu. “Selama kita tidak terlibat dalam masalah, apa pun yang kita lewatkan bukan hal penting.”Cahaya tersenyum lebar. “Kau benar.”Mereka masuk ke ruang ganti dan mengganti pakaian dengan seragam kafe. Teriakan-teriakan yang mengikuti mereka mulai terdengar samar. Saat Cahaya bergerak ke depan untuk mengumpulkan gelas dan juga piring yang kotor, Merlin mencekal tangannya.“Dia lebih penting sejuta kali daripada dirimu. Jangan membuat kesalahan atau kau benar-benar akan dipecat kali ini.”Cahaya mengernyit tidak paham. “Apa maksudmu?”Merlin menunjuk gelas yang ada di meja konter.“Antarkan minuma
“Siapa kau, apa yang kau inginkan?” pria itu tersenyum sinis. “Bukankah seharusnya kita sudah melewatkan pertanyaan basa-basi itu?”“Ouh, Mister maksudku Tuan, aku tidak tahu tentang apa ini semua, tapi saat ini aku tidak tertarik mendengar basa-basi aku hanya ingin tahu apa maksudmu menjebakku di sini.”“Kau tidak tertarik?” Pria dengan setelan jas mewah buatan tangan itu kini menatap Cahaya seperti sebuah barang antik.“Tentu saja aku tidak tertarik. Aku tidak punya bakat menjadi aktris,” tukasnya jengkel.“Aktris?” Sekarang pria itu yang kelihatan bingung.“Ya, itu tujuan Anda da—““Alex, sudah kukatakan kau bisa memanggilku Alex.”Cahaya memindai Alex dengan tatapan penuh minat yang tidak disembunyikan. Pria itu jangkung, tingginya mungkin lebih dari 180cm, dan dari aksen dna juga garis wajahnya pria ini jelas tidak berasal dari negara yang sama dengannya atau mungkin blasteran?“Sudah?” Alex menyilangkan kedua lengannya. “Sekarang katakan apa kau punya minat untuk menikah?”Selam
Jonathan bersumpah kalau yang ia temui barusan adalah bocah yang menghibur hari-harinya yang menyedihkan dengan membaca novel-novel roman dan film romantis yang memberikan akhir bahagia penuh cinta dan juga kasih sayang. Sayang sekali, kedua hal itu jauh dari kehidupan Jonathan. Cinta dan kasih sayang mengabur dari dalam hidupnya seiring dengan pengkhianatan yang ia terima dan lihat.“Bagiamana? Sudah bertemu dengannya?”Jonathan menatap kakeknya lekat. Di antara semua orang di keluarga mereka kakeknya adalah satu-satunya orang yang ia hormati. Kakeknya banyak mengajarinya hal-hal yang membuatnya mampu bertahan di antara konflik keluarga yang terasa mencekik.“Dia benar-benar masih lugu. Ini tidak benar, Grandpa.”Alfred duduk di singgasananya. Mereka berada di ruang kerja Alfred sementara di lantai bawah ada keluarga yang sedang menunggu mereka. Semua keluarga malam ini berkumpul untuk mengumumkan pernikahan Jonathan dan ia tidak akan membiarkan keraguan atau ketidakyakinan tergambar
Cahaya menarik napas panjang, mengeluarkannya secara perlahan. Ia melakukannya dua kali sebelum akhirnya membuka pintu, mengabaikan tatapan penuh peringatan yang dilemparkan Flo padanya.“Ada yang bisa dibantu?” tanya Cahaya saat berhadapan dengan seorang pria bersetelan hitam tanpa ekspresi di hadapannya.Enam orang, batin Cahaya saat menghitung jumlah orang yang datang memenuhi halaman rumah mereka.“Kami datang untuk menjemput Anda, Nona. Malam ini dan seterusnya Anda akan tinggal di rumah keluarga Hardin.”Satu alis Cahaya terangkat. Di sampingnya, Flo yang sudah pulih dari kekagetannya kini memandang Cahaya dengan mata membelalak.“Apa maksudnya itu, Aya?” bisik Flo terkejut.Cahaya mengabaikannya, ia menatap pria bertubuh besar tersebut dengan jengkel.“Maaf, tapi ini rumahku dan aku akan tinggal di sini.”Pria itu mengeluarkan ponsel kemudian melakukan panggilan. Cahaya menunggu saat melihat pria itu bercakap-cakap melalui telepon dengan seseorang yang Cahaya perkirakan sebagai
Cahaya mendesah penuh kelegaan begitu tarikan di rambutnya lepas. Ia meringis sesaat, kemudian membuka mata—dan membeku.Alex!Pria itu sama sekali tidak menatapnya dan Cahaya merasa bersyukur karenanya karena sosok Alex yang sekarang begitu berbeda dengan pria yang menjemputnya kemarin. Alex sedang memancarkan kemarahan termonuklirnya. Matanya yang membakar dan wajahnya yang kaku bisa membuat nyali siapapun menciut. Cahaya menoleh pada Merlin yang sekarang terlihat pucat pasi.“Ng..Alex, ap-apa yang kau lakukan di sini?” saat gugup kata-kata yang keluar dari mulut Cahaya biasanya seperti peluru yang dilepaskan. Tidak terkontrol.Alex mengabaikan Cahaya dan sekarang Cahaya punya firasat kalau pria itu juga marah padanya.“Kurasa harus ada balasan untuk tindakan ‘baik seperti itu bukan?”Cahaya bingung, tapi Alex lagi-lagi mengabaikannya. Pria itu justru menarik ponsel dari saku celananya untuk melakukan panggilan.“Albert, ini aku. Ya, kurasa kau membutuhkan evalusi terkait manager ka
Alex tidak mungkin ingin menciumnya kan? Cahaya menelan ludah susah payah. Kedekatan mereka melumpuhkan kinerja otaknya. Aroma cendana yang menguar dari tubuh Alex membuat pikiran Cahaya lumpuh.Alex menunduk hingga bibir mereka hanya sejauh helaan napas, tapi kemudian pria itu menjauh dengan seringai lebar di wajahnya yang tampan.Apa-apaan!“Kau—aauchh,” gumam Cahaya mengaduh, menyentuh keningnya yang baru saja mendapat jentikan maut dari tangan Alex.“Jangan memancingku, Aya. Ayo kita pergi dari sini.” Kali ini Alex bahkan tidak menunggu Cahaya. Pria itu berjalan melewati pintu tanpa menoleh ke belakang.Cahaya menggerutu sembari mengusap keningnya yang malang. Percuma melarikan diri, dewi batinnya menegur dengan mata melebar jengkel.Kubilang juga apa!“Sebenarnya kita mau ke mana?” tanya Cahaya begitu masuk dan duduk nyaman di dalam mobil.Alex mengangkat satu tangannya, membungkam Cahaya saat pria itu menarik ponsel dari saku celananya.“Tidak, aku tidak ingin ini menjadi konsum
Cahaya terlalu sibuk dengan dunianya sendiri sampai tidak sadar kalau mereka sudah sampai. Begitu dia keluar dan mengangkat kepala, Cahaya disuguhi pemandangan berupa rumah besar indah yang dikelilingi pepohonana hijau rimbun yang membuat udara disekitarnya terasa dingin dan sejuk.Cahaya memeluk dirinya sendiri.“Dingin?”Cahaya menggeleng. “Hanya menikmati pemandangan.”Rumah ini memiliki halaman luas yang bisa dugunakan sebagai kandang kuda, pikir Cahaya.“Kau tinggal di sini?” Kekaguman mewarnai suaranya saat melihat bangunan bertIngkat sewarna gading dengan konsep resort yang berdiri tinggi menjulang seperti pertunjukkan kekayaan.“Ayo.”Cahaya mengerutkan kening. Apa Alex sengaja mengabaikan pertanyaannya? Cahaya mengedikkan bahunya. Bukan urusannya di mana pria itu tinggal.“Waw, kolam renang?” Cahaya memekik seperti anak kecil saat melihat kolam renang kebiruan tampak berkilauan seperti mutiara.Kolam renang di dalam ruangan? Well, pemilik rumah ini sepertinya memiliki ide sen
Ini pasar daging. Oh Tuhan. Apa yang ia lakukan di sini saat semua pandangan menatapnya dengan tatapan tidak suka. Suasana begitu mencekam hingga Cahaya takut dia terkena serangan jantung. Satu-satunya penghiburan yang membuatnya sedikit lebih tenang adalah kehadiran Alex di sampingnya.Cahaya ingin menggenggam tangan Alex hanya untuk meyakinkan dirinya kalau pria itu tidak akan meninggalkannya di sini sendirian, tapi Cahaya berusaha menahan keinginannya. Di bawah pandangan semua orang rasanya hal itu tidak pantas dilakukan.“Kurasa hal pertama yang harus dilakukan adalah mengenalkan semua orang.”Pria tua berwajah ramah yang menyambutnya pertama kali membuka suara. Cahaya asumsikan mungkin itulah Kakek Alex yang disebutkan pria itu sebelumnya.“Cahaya, ini David dan Grace, orang tua Jonathan.”Jonathan?Cahaya melirik Alex dengan tatapan penuh tanya.“Namaku Jonathan Alexander,” gumam Alex, menjawab pertanyaan tak terucap Cahaya.“Lalu kenapa kau menyebut namamu Alex padaku?” bisik C