Aryan, Clara, dan Yoshua berlari sekuat tenaga, meninggalkan markas Zareth yang kini mulai diserbu oleh pasukan musuh. Mereka berlari melalui hutan yang lebat, menghindari ranting-ranting yang tajam dan tanah yang berlumpur. Setelah beberapa jam berlari, mereka akhirnya mencapai sebuah tempat yang aman, sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik pepohonan. Mereka beristirahat di sana, mencoba untuk memulihkan tenaga mereka. Yoshua yang kelelahan tetapi penuh harapan, tersenyum lemah kepada putrinya. "Clara, aku sangat bangga denganmu. Kau telah menyelamatkan aku dari tangan Zareth." Clara tersenyum, merasa lega dan bahagia. "Aku hanya ingin menyelamatkan ayah," katanya. Aryan yang berdiri di samping mereka, menatap mereka dengan serius. "Kita belum aman sepenuhnya. Zareth masih mencari kita, dan kita harus bersiap untuk langkah berikutnya." Yoshua mengangguk setuju. "Aku tahu. Kita harus mengumpulkan kekuatan kita dan mempersiapkan diri untuk menghadapi Zareth lagi." Clara
Di balik ketegangan yang membelenggu hati Aryan dan Clara, semangat mereka tak pernah padam. Mereka tahu, waktu adalah musuh yang tak pernah memberi jeda. Setiap detik yang berlalu adalah peluang yang semakin kecil untuk menyelamatkan Yoshua dan menghentikan Zareth dari rencana jahatnya. Malam itu, di dalam rumah tua Tante Mira, mereka merancang langkah terakhir—serangan menuju markas Zareth di bekas pabrik di tepi hutan barat desa. “Kalau kita ingin masuk tanpa diketahui, kita harus bergerak saat fajar menyingsing,” kata Aryan, matanya menyala penuh tekad. “Di saat semua pasukan Zareth tidur atau menjaga perimeter, kita akan menyelinap masuk dan mengeluarkan Yoshua.” Clara mengangguk, memandang peta yang dipegang Tante Mira dengan penuh perhatian. “Kita harus menyusun strategi matang. Jangan sampai kita terjebak atau gagal menyelamatkan ayahku.” Tante Mira menatap mereka dengan serius. “Kebanyakan pasukan Zareth cukup disiplin. Tapi aku punya satu rencana cadangan, jika situasi me
Dengan napas yang masih terengah-engah dan jantung berdebar, Aryan mengarahkan pandangnya ke Clara. “Kita tidak bisa terus melarikan diri selamanya,” ujarnya, otaknya bekerja cepat. “Kita harus menemukan Yoshua, dan kita harus melakukannya sekarang. Jika Zareth berhasil menemukan kita lagi, maka kita tidak akan memiliki kesempatan untuk melawan.”Clara mengangguk, mengerti akan kepanikan yang mendasari keputusan Aryan. Mereka berdua baru saja keluar dari kegelapan, dan kembali terjerumus dalam rasa takut yang membayangi akan takdir orang yang mereka cintai. “Tapi, Aryan, kita tidak tahu di mana dia berada. Kita mungkin hanya akan lebih dekat ke Jari Zareth.”“Justru itu, Clara,” jawab Aryan tegas. “Semakin cepat kita bergerak, semakin cepat kita bisa menemukan dia. Dan jika kita menemukan Yoshua, dia akan membawa banyak pengetahuan dan pengalaman yang bisa membantu kita menghentikan Zareth.”Clara merasa ada kebenaran dalam kata-kata Aryan, tetapi rasa takut akan keselamatan mereka te
Cahaya yang berkedip di kejauhan semakin jelas seiring langkah Clara dan Yoshua yang semakin mendekat, menciptakan harapan dalam kegelapan yang mencekam. Setiap langkah bergetar penuh ketegangan, diiringi dengan detakan jantung yang terengah-engah. Clara merasakan keberanian mengalir di dalam dirinya, meskipun ketakutan akan nasib Aryan terus menghantuinya. “Cahaya itu tampaknya berasal dari tengah laut,” kata Yoshua sambil melangkah perlahan, mengamati ombak yang bergejolak. “Apakah kau yakin kita harus pergi ke sana, Clara?” “Aku harus tahu. Jika Aryan ada di sana…” Clara menggigit bibirnya, menahan emosi yang menghantui. “Kita tidak bisa membiarkannya sendirian.” Mereka berdua akhirnya tiba di tepi air. Cahaya itu tampak bergerak, menari di atas permukaan laut yang gelap. Clara merasakan denyut kesadaran di dalamnya, seolah cahaya itu menyampaikan pesan, sesuatu yang mendesak untuk ditangkap. Mereka menatap ke laut, berharap untuk melihat lebih dekat. Hampir tidak ada suara
Dunia berputar liar, seolah alam semesta sedang bergejolak dalam pusaran emosi Aryan yang tak terkendali. Di saat ia berusaha mencengkram. Seorang anak buah Zareth' tiba-tiba melepaskan tembakan, membuat cengkeramannya pada helikopter terlepas. Zareth' tersenyum puas menyaksikan. Aryan merasakan sensasi jatuh bebas yang memilukan, sensasi yang mengancam untuk merenggut nafasnya. Tawa Zareth yang terbahak-bahak. Kini hanya menjadi gema samar, hilang tertelan deru angin dan hempasan ombak. Tubuh Aryan menghantam permukaan air, dingin dan gelap, sebuah benturan keras yang merenggut kesadarannya. Air laut yang dingin menerjang, memaksa paru-parunya untuk berkontraksi. Dunia di sekelilingnya berubah menjadi kegelapan pekat, terisi oleh suara gemuruh air dan detak jantungnya yang menggila. Ia berjuang, berupaya untuk membuka mata, tetapi kegelapan terus memburunya, seperti bayang-bayang yang enggan melepaskannya. Otot-ototnya menegang, tubuhnya meronta dalam usaha sia-sia untuk naik ke
Udara malam yang begitu pekat, sarat dengan aroma garam dan misteri. Di bawah langit yang bertabur bintang, di antara gemuruh ombak yang tak pernah lelah, Aryan dan Clara tiba di pantai terpencil yang telah menjadi lokasi pertemuan mereka. Malam tanpa bulan, hanya sedikit cahaya dari bintang yang menembus kegelapan, menciptakan suasana yang mencekam. "Ini pasti jebakan," gumam Clara, suaranya hampir tak terdengar di tengah deru ombak. Ia memandang sekeliling dengan waspada, matanya menelusuri kegelapan, mencari tanda-tanda kehadiran musuh. Aryan mengangguk, meskipun hatinya juga diliputi keraguan. Namun, ia harus mengambil risiko ini. Yoshua, ayahnya, berada dalam bahaya. Ia tidak punya pilihan lain. "Mungkin memang jebakan," jawab Aryan. "Tapi kita harus tetap waspada." Mereka berdiri di tepi pantai, menunggu dengan sabar. Jantung mereka berdebar-debar, dipenuhi campuran harapan dan ketakutan. Waktu terasa berjalan sangat lambat, setiap detik terasa seperti menit. Tiba-tiba, di