Lily berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan tubuh yang tertutup selimut sebagian, kedua matanya menutup rapat dengan luka bakar di bagian wajahnya yang cukup parah sampai tak dapat lagi dikenali oleh orang lain.
Seorang pria menghampiri tubuh Lily, ia menatapnya dingin. Sudut matanya memancarkan sebuah kilatan yang sulit di artikan. Perlahan Lily membuka kelopak matanya setelah ia berbaring tak sadarkan diri selama satu tahun lamanya. Lily meremas kedua matanya saat cahaya terang lampu menyilaukannya. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan penglihatannya yang terganggu oleh sinar yang menusuk tajam ke dalam retina. Setelah ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, tatapan mata Lily terpaku pada sosok asing yang tengah berdiri di samping ranjangnya sembari menatapnya dalam diam. "Siapa kamu?" tanya Lily. Pria itu tak menjawab pertanyaan Lily. "Di mana aku?" Lily kembali mengajukan sebuah pertanyaan pada pria itu sambil berusaha bangkit untuk duduk. Namun, rasa sakit di kepalanya membuatnya mengurungkan niatnya. "Kamu tak ingat?" Pria itu balik bertanya. Lily menyipitkan sebelah matanya, ia mencoba mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi padanya. Tiba-tiba kepala Lily merasa sangat sakit, ia pun meremas rambut di kepalanya kuat. Pria itu segera mendekat, memegang tangan Lily agar berhenti menyakiti dirinya sendiri. "Jangan paksa dirimu," ucapnya dengan suara tenang namun tegas. Lily menatap pria itu dengan bingung. Wajahnya asing, "Siapa kamu? Kenapa kamu di sini?" Lily bertanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih putus asa. Pria itu menghela napas panjang. "Namaku Abraham. Kamu terluka parah," jelasnya sambil melepaskan tangannya dari genggaman Lily. "Terluka parah?" Lily bergumam pelan, mencoba mengingat. Namun, rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi, membuatnya meringis. Kilasan ingatan muncul, samar-samar: bagaimana dirinya ketakutan saat mobilnya menghantam mobil di depannya. suara langkah kaki, dan... sebuah teriakan. Tapi semuanya terlalu kabur untuk dirangkai. "Jangan memaksakan diri untuk mengingat," ujar Abraham lagi. "Luka di kepalamu cukup parah. Kamu butuh waktu untuk pulih." Lily menggeleng, berusaha keras melawan kabut yang menyelimuti pikirannya. "Aku harus tahu. Ada sesuatu... sesuatu yang penting. Aku merasa seperti—" Ia terhenti, napasnya memburu. Matanya membelalak seolah ingatannya mulai kembali. Tiba-tiba Lily tersenyum getir dengan sorot mata sayu. "Dia ingin aku mati," katanya, suaranya bergetar. Lily lama terdiam dengan mata terpejam. Perlahan cairan bening meleleh dari sudut matanya. Lily menangis tanpa suara. Ruangan seketika hening. Lily menarik napas dalam untuk mengatur emosinya. "Aku mengalami kecelakan mobil. Tapi, bagaimana mungkin aku selamat? Padahal saat itu api sudah berkobar menghanguskan body mobil," ujar Lily. “Soal itu aku tak tahu,” timpal Abraham. “Yang aku tahu kamu sudah berada di sini dengan luka bakar di wajahmu dan sebagian kecil tubuhmu,” jelas Abraham. Lily meraba wajahnya, Ia tercekat, tangannya gemetar saat merasakan tekstur kasar yang sekarang menghiasi wajahnya. "Apa... apa yang terjadi pada wajahku?" tanyanya dengan suara lirih, hampir tak terdengar. Abraham menatapnya dengan ekspresi tetap dingin. "Kamu mengalami luka bakar parah." Air mata kembali menggenang di sudut mata Lily. "Wajahku... tubuhku... semuanya sudah tidak sama lagi," gumamnya dengan nada getir. Ia merasa dunianya runtuh. Wajah yang dulu ia banggakan, yang sering dipuji banyak orang, kini tinggal kenangan. Abraham mendekat, mencoba menenangkan Lily. "Aku tahu ini sulit, tapi yang penting adalah kamu masih hidup. Masih ada harapan untukmu memulai kembali." Lily berusaha bangkit untuk duduk yang kemudian dibantu oleh Abraham. "Memulai kembali?" Lily menatapnya tajam. "Dengan wajah seperti ini? Hidupku sudah hancur, Abraham." Abraham menggeleng pelan. "Jangan berpikir seperti itu. Kamu lebih dari sekedar penampilanmu." "Tak inginkah kau membalas dendam pada orang yang telah membuatmu seperti ini?" Namun, Lily hanya memalingkan wajah, menolak kata-kata penghiburan itu. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apakah ia benar-benar bisa melanjutkan hidup dengan luka yang begitu nyata, di luar dan di dalam dirinya? "Tapi ini bukan hal yang bisa kau lakukan sendirian. Aku memberimu sebuah tawaran menarik? Bagaimana kalau kita bekerja sama? Dengan kekuatanmu, keteguhan hatimu, dan dengan sumber dayaku, kita bisa mengungkap kebenaran di balik semua ini." "Bekerja sama?" ulang Lily. Abraham tersenyum tipis, matanya memancarkan kilatan misterius. "Ya, kerja sama yang saling menguntungkan." Lily mengerutkan kening. "Saling menguntungkan. Apa maksudmu?" Abraham mengangguk perlahan. "Aku akan membuatmu cantik seperti semula. Tapi, dengan wajah yang berbeda." Dahi Lily berkerut. "Apa maksudmu dengan wajah yang berbeda?" tanya Lily menuntut penjelasan dari Abraham. "Aku akan merubah wajahmu dengan wajah istriku," jelas Abraham. "Kenapa harus wajah istrimu?" selidik Lily. "Karena aku ingin kau menjadi istriku dan mencari tahu apa yang terjadi padanya pada hari naas itu." "Lalu apa keuntungan yang aku dapatkan dari semua itu?" "Aku akan membantumu balas dendam pada suami dan adik madumu." Lily terkejut saat ia mendengar ucapan Abraham. "Kau... kau menyelidikiku?" tanya Lily penasaran. Abraham tersenyum dingin. "Kau benar." "Aku telah menyelidikimu. Bagaimana dengan tawaranku?" Lily tak langsung menjawab, ia terdiam sejenak, mencerna kata-kata Abraham. Ia tahu hidupnya tidak akan pernah kembali seperti semula. Wajahnya yang berubah, ingatan yang terfragmentasi, dan perasaan dikhianati yang kembali tumbuh di hatinya. Jika apa yang Abraham katakan benar, maka seseorang memang harus bertanggung jawab atas penderitaannya. "Baiklah," ucap Lily akhirnya. "Aku akan bekerja sama denganmu. Tapi, aku mengajukan beberapa syarat padamu," Lily menatap Abraham dengan tatapan yang sulit diterka. Udara di ruangan itu terasa berat, penuh dengan ketegangan tak kasatmata. Mereka bedua saling berhadapan di sebuah ruang rawat inap VIP yang diterangi cahaya lampu yang menerangi ruangan. Abraham tampak santai, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, tapi matanya memancarkan tekad yang tak bisa digoyahkan. Sementara itu, Lily menyilangkan tangan di dadanya, menahan diri agar tak tersenyum getir. "Baik," kata Abraham akhirnya. "Aku setuju." Lily menaikkan satu alis. "Kau bahkan tak bertanya apa syaratnya?" "Itu tak penting." Abraham mengangkat bahu. "Apa pun syaratnya, aku setuju." Lily terdiam sejenak, ia tak menyangka kalau ternyata Abraham langsung menyetujui permintaannya tanpa berpikir panjang. "Jangan menyesal," ucap Lily akhirnya, bibirnya melengkung menjadi senyum kecil. "Aku tak akan pernah menyesal," balas Abraham sambil mendekat, nada suaranya penuh keyakinan. "Jadi, apa syaratnya?" "Akan aku pikirkan nanti," balas Lily. Abraham tersenyum, "Baik. Aku akan kembali besok. Aku harap syarat itu sudah kau pikirkan." Abraham berjalan menuju pintu, seorang asisten yang sedang menungguinya di luar membantu Abraham membukakan pintu untuknya. Lily mandangi punggung tegap pria itu hingga menghilang dibalik pintu. Lily menuruni ranjang, ia berjalan menuju jendela dan berdiri di sana sambil memandang keluar melalui kaca jendela besar yang ada dihadapannya. Lily menghela napas, ia kembali meraba pipinya yang kasar. Kilatan kemarahan hadir di sudut matanya. "Aku akan membalas semua perbuatanmu padaku!" tekadnya dengan keteguhan hati yang begitu dalam. Keesokan harinya, sesaui janjinya Abraham datang kembali tepat waktu. "Kau sudah memikirkannya?" tanya Abraham. Lily mengambil selembar kertas dari laci meja nakas yang ada di samping ranjangnya dan menyerahkannya pada Abraham. "Baca sendiri," katanya. Abraham mengambil kertas itu tanpa ragu. Ia membaca dengan cepat, matanya bergerak dari baris ke baris. Ketika selesai, ia melipat kertas itu kembali dan memasukannya ke dalam saku jasnya. "Sepertinya lebih rumit dari yang kukira," katanya, masih dengan senyumnya yang tak pudar. "Tapi, seperti yang kukatakan, aku setuju." Lily mengangguk, meski dalam hatinya ada sedikit rasa terkejut. Dia tak menyangka Abraham akan tetap setuju setelah membaca syarat-syarat itu. "Kalau begitu, selamat datang di permainan ini, Abraham," katanya. "Permainan ini?" Abraham memiringkan kepalanya. Lily hanya tersenyum. "Kau akan tahu nanti."Tubuh Rina membeku saat Crish jatuh tersungkur dengan kepala pecah akibat peluru yang Abraham tembakan padanya. Matanya membelalak lebar dengan mulut yang ternganga karena terkejut. Abraham dengan dingin menatap Rani. "Bawa dia!" Perintah Abraham pada anak buahnya. Dua orang anak buah Abraham menyeret tubuh Rani dengan paksa. Lily melangkah mendekati tubuh Crish yang tak lagi bernyawa. Darah menggenang di lantai kayu gudang yang lembap, menciptakan bau anyir yang menusuk hidung. Ia menatapnya tanpa ekspresi, lalu menghela napas pelan. "Seharusnya kau tahu bagaimana akhirnya permainan ini, Crish," gumamnya dingin. Abraham menyimpan kembali pistolnya, menatap Lily sekilas sebelum berbalik. "Kita harus pergi dari sini." Lily mengangguk. Namun, sebelum mereka melangkah keluar, ponsel Crish yang masih tergeletak di lantai bergetar. Nama di layar membuat Lily langsung meraih ponsel itu. Leonard. Lily menekan tombol jawab dan mendekatkan ponsel ke telinganya. "Kau benar-benar c
Rani duduk diam di sudut ruangan kumuh itu, memeluk tubuhnya sendiri seolah berusaha mencari kehangatan dalam dinginnya ketakutan yang menyelimuti dirinya. Waktu terus berjalan, tetapi pikirannya masih berputar tanpa menemukan jalan keluar. "Jika aku menjalankan perintah Lily, aku akan kehilangan segalanya. Tapi jika aku menolak, dia tidak akan membiarkanku hidup dengan tenang." Matanya beralih ke amplop yang masih berada di genggamannya. Jari-jarinya mengusap permukaan amplop itu dengan ragu. Ia tahu, di dalamnya terdapat perintah Lily—perintah yang bisa mengubah takdirnya, entah menuju kehancuran atau kelangsungan hidupnya. Tok! Tok! Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak. Jantungnya berdegup kencang saat seorang pria berbadan tegap masuk ke dalam ruangan. Itu salah satu orang kepercayaan Lily. "Waktumu hampir habis, Rani," katanya dengan suara dingin. Rani menelan ludah. Napasnya tersengal. Ia tak punya pilihan lain selain membuat keputusan sekarang. Tapi… keputu
Lily melangkah pelan memasuki bangunan reyot yang hampir roboh. Bau busuk menyengat menyambutnya, tetapi ia tak terganggu sedikit pun. Di sudut ruangan yang lembap dan gelap, Rani terduduk dengan tubuh penuh luka. Rambutnya acak-acakan, wajahnya kotor, dan pakaiannya compang-camping. Ia hampir tak terlihat seperti wanita angkuh yang dulu merampas segalanya dari Lily. "Lama tak bertemu, Rani." Suara lembut Lily menggema di ruangan sunyi itu, namun ada nada dingin di dalamnya. Rani mengangkat wajahnya dengan susah payah. Matanya nanar, penuh ketakutan dan kepasrahan. "Lily…" suaranya serak, hampir seperti bisikan. "Tolong… aku… aku tak bisa lagi." Lily tersenyum samar dan berjalan mendekat, lalu berjongkok di depan Rani. "Tolong?" ia tertawa kecil. "Kau tidak ingat bagaimana dulu aku memohon padamu? Bagaimana aku hampir mati karena permainan kotor yang kau lakukan?" Rani menggeleng lemah, air matanya jatuh satu per satu. "Aku salah… aku menyesal… aku bersedia menebus sem
Rani menatap bayangannya di cermin mobil. Wajahnya sudah sempurna dengan riasan halus yang menonjolkan kecantikannya. Gaun merah elegan yang membalut tubuhnya seakan menjadi senjata terakhirnya untuk menghadapi Abraham. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu… Ini sama saja dengan menggali kuburnya sendiri. "Abraham tak mudah didekati, apalagi disentuh," gumamnya sambil menatap gedung bertingkat tempat pria itu berkantor. Tangannya sedikit gemetar saat membuka pintu mobil. Ia sadar, sekali ia melangkah masuk, maka ia tak akan bisa mundur lagi. Langkah demi langkah ia tempuh dengan hati berdebar. Para karyawan yang lalu lalang di lobi meliriknya sekilas, tetapi ia mengabaikannya. "Aku harus melakukannya. Jika aku ingin bertahan, aku harus membuatnya percaya." Sesampainya di depan ruang utama, ia menarik napas panjang sebelum berbicara kepada sekretaris Abraham. "Aku ingin bertemu dengan Tuan Abraham," ucapnya dengan senyum yang ia paksakan. Sekretaris itu menatapnya denga
Rani mundur selangkah, ponselnya hampir terjatuh dari tangannya. Napasnya tersengal, jantungnya berdetak kencang. "Tidak... ini tidak mungkin," bisiknya ketakutan. Ia dengan cepat menutup semua tirai apartemennya, lalu berlari ke pintu untuk memastikan kuncinya masih terpasang. Ia bahkan menekan tubuhnya ke pintu, seolah-olah itu bisa melindunginya dari ancaman yang terasa semakin nyata. Notifikasi ponselnya berbunyi lagi. "Jangan buang waktu, Rani. Aku menunggumu." Rani menggeleng, menggigit bibirnya untuk menahan kepanikan. Crish benar-benar serius. Dia masih bisa menjangkaunya, bahkan saat ia berpikir sudah aman. Tangannya mulai berkeringat saat ia mencoba berpikir jernih. Pilihan apa yang aku punya? Jika ia menolak, Crish pasti akan terus memburunya, mungkin lebih dari sekadar ancaman. Tapi jika ia menuruti perintahnya, itu berarti ia harus berhadapan dengan Abraham dan Lily lagi. Dua pilihan, dan keduanya sama buruknya. Ia mendongak, menatap bayangannya di cermin
Crish dibawa pergi oleh anak buah Abraham, tapi bahkan saat borgol terpasang di tangannya, seringai puas masih menghiasi wajahnya. Ia dilempar ke dalam mobil, namun sebelum pintunya ditutup, ia menatap Abraham dengan penuh arti. "Kau terlalu percaya diri, Abraham," katanya. "Jangan berpikir bahwa menyingkirkanku akan membuat hidupmu lebih mudah. Karena bahkan di balik jeruji, aku masih bisa menyentuh Lily." Abraham mengepalkan tangannya. "Kau menyentuhnya sekali lagi, dan aku pastikan kau tidak akan pernah melihat dunia luar lagi." Crish tertawa. "Kau pikir aku perlu menyentuhnya sendiri? Dunia ini penuh dengan orang-orang yang bisa dibayar, Abraham. Kau tahu itu lebih baik dariku." Abraham tidak berkata apa-apa lagi. Ia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menutup pintu mobil, lalu mobil itu melaju, membawa Crish ke tempat di mana dia seharusnya berada—penjara. Namun, perasaan tidak nyaman mulai mengusik Abraham. Lily duduk di ruang kerja Abraham, menatap keluar jend