Share

BAB 2 Mau Tidur Denganku?

last update Last Updated: 2025-02-24 22:22:04

Setengah jam kemudian acara pernikahan akan berakhir, acara inti sudah dilewati. Saat ini Isabella sudah hampir selesai melukis.

"Kesenangan sudah berakhir. Aku akan kembali ke kamar" Ucap Regan dan segera membalikan badan.

Seketika langkahnya berhenti ketika melihat seorang gadis melukis dengan duduk tegak di depan kanvasnya, goresan kuasnya begitu tegas dan penuh makna. Cahaya lilin di ruangan itu menciptakan bayangan samar di wajahnya, tetapi ekspresinya tetap terlihat jelas—serius dan penuh konsentrasi.

Perlahan, Regan melangkah mendekat. Mata tajamnya menangkap setiap detail dari lukisan yang sedang dikerjakan Isabella. Semakin jelas ia melihat, semakin dalam alisnya berkerut.

"Apa yang kamu lukis?" tanyanya dengan suara rendah, nyaris berbisik.

Isabella menoleh sekilas, lalu tersenyum tipis. "Sebuah kebenaran."

Regan menajamkan pandangan. Lukisan itu sangat bagus, di bagian bawah lukisan ada foto sepasang pengantin, tapi di bagian atas menampilkan sosok seorang pria dan seorang wanita dalam pelukan mesra. Tapi yang membuat terkejut wajah-wajah yang terpampang di sana. Itu adalah Hilda—pengantin wanita—dan seorang pria yang jelas bukan suaminya.

"Gila…" gumam Regan. Tatapannya beralih ke Isabella yang tetap tenang.

Setelah memberikan goresan terakhir, Isabella membuang kuasnya sembarangan, dan berdiri. Berjalan perlahan ke arah Regan.

Menatapnya dari atas ke bawah dengan seksama 'Tubuhnya bagus' ucapnya didalam hati.

"Jomblo?" tanyanya santai.

Regan mengangkat alis "Iya, kenapa?"

"Apakah kamu mau tidur denganku?" ucapnya tanpa ragu.

Regan terpaku. "Apa?"

"Tidak mau? Ya sudah, aku cari yang lain saja," jawab Isabella ringan, berbalik tanpa menunggu jawaban.

Regan masih terdiam, belum sempat memproses kata-kata gadis itu. Sementara itu, Isabella menyerahkan lukisannya pada seorang pelayan yang sudah menunggu di depan ruangan.

"Letakkan ini di depan pintu masuk aula pernikahan. Ini upahmu," ucapnya singkat.

Pelayan itu mengangguk dan segera menjalankan perintah. Isabella kemudian berjalan ke lantai dua, mengamati situasi dari atas. Para tamu masih menikmati malam, hingga beberapa menit kemudian, suara riuh terdengar dari depan aula.

Seseorang telah menemukan lukisan itu, dan kekacauan pun dimulai.

Hilda yang baru saja hendak meninggalkan pelaminan terhenti saat melihat kerumunan. Matanya membelalak ketika mengenali isi lukisan itu. Wajahnya memucat, tangannya bergetar.

"Ini… ini tidak mungkin! Siapa yang melakukan ini?!" teriaknya panik.

Para tamu mulai berbisik-bisik, beberapa mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan momen ini. Marcel, sang pengantin pria, menatap Hilda dengan sorot mata penuh kecurigaan. Pria dalam lukisan itu bukan dia, melainkan asistennya sendiri, Alden.

Sementara itu, Isabella hanya menyeringai tipis dari lantai dua, "Hadiah untuk pernikahanmu Hilda"

Setelah merasa cukup menikmati drama yang terjadi, Isabella berbalik untuk pergi. Namun, baru saja ia melangkah dua langkah, sebuah tangan menahannya dengan kuat.

Greb.

Isabella menoleh dan bertemu dengan sepasang mata tajam milik Regan Foster.

"Baiklah, aku akan tidur denganmu," ucap pria itu tiba-tiba.

Sebelum Isabella sempat bereaksi, Regan membungkuk dan mengangkatnya ke dalam gendongannya. Isabella yang terkejut spontan melingkarkan lengannya di leher pria itu.

Ia tidak pernah memiliki kendali atas hidupnya sejak tinggal di rumah Dion Sinclair. Tetapi untuk malam ini, keputusannya harus menjadi miliknya sendiri.

Sesampainya di kamar, Regan membuka pintu dengan satu tangan dan menutupnya dengan kakinya. Isabella masih dalam gendongannya. Setelah menurunkannya perlahan, pria itu menyeringai.

"Apa kamu berubah pikiran?"

"Tidak," jawab Isabella dengan tenang.

Regan mengamati ekspresinya. "Apa ini pertama kalinya?"

Isabella mendengus. "Untuk apa membahas itu?"

"Kalau kamu bilang lebih awal, aku bisa sedikit lebih lembut," balas Regan.

Isabella menatapnya tanpa ragu. "Mau pertama kali atau tidak, bukankah sama saja? Apa kamu suka main lembut, atau kamu belum makan hingga tak punya tenaga?"

Regan terkekeh rendah. "Jangan minta ampun nanti."

Tanpa berbasa-basi lagi, ia menarik Isabella ke tempat tidur dan menurunkannya perlahan. Napasnya terasa hangat di wajah gadis itu saat ia menunduk, menatapnya dengan intens.

Regan semakin mendekat, hingga bibir mereka hampir bersentuhan. Dalam hitungan detik, ciuman itu terjadi—dalam, menuntut, dan menghanguskan segala keraguan. Isabella tidak menolak, tangannya perlahan naik menyentuh wajah Regan sebelum akhirnya menyerah dalam dekapan pria itu.

Hari itu, di dalam kamar hotel, mereka tenggelam dalam gairah yang tak terbendung.

Setelah semuanya berakhir, Regan merengkuh tubuh Isabella erat dalam pelukannya, menatap wajahnya dengan sorot mata dalam.

"Ini juga pertama kalinya untukku," ucapnya lirih.

Isabella tersenyum kecil. "Aku suka."

Regan mengangkat alis. "Kamu bahkan tidak mengenal aku, tapi langsung suka?"

Isabella menatap bibir pria itu lekat-lekat. "Aku suka teknik ciumanmu."

Regan menghela napas kecil, menatapnya penuh penasaran. "Kamu terlihat polos dan patuh. Bagaimana bisa melakukan ini?"

Bukannya menjawab, Isabella malah berkata "Mau lagi?"

Seulas senyum penuh arti muncul di wajah Regan, lalu ia berbisik di telinga gadis itu dengan suara serak,

"Kamu yang minta, jangan menyesal kalau tidak bisa berjalan"

Isabella hanya tersenyum tipis, matanya memancarkan tantangan. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap pria itu dengan penuh keyakinan.

Regan tidak butuh dorongan lagi. Dengan cepat, ia membalik tubuh Isabella hingga gadis itu berada di bawahnya. Kedua tangan mereka bertaut, napas mereka saling bersatu dalam kehangatan yang semakin membakar.

Ciuman mereka kembali bertemu, kali ini lebih dalam, lebih menuntut. Regan menelusuri lekuk wajah Isabella, turun ke lehernya, lalu bahunya. Isabella mendesah pelan, matanya terpejam menikmati setiap sentuhan yang diberikan pria itu.

Malam itu, sekali lagi, mereka tenggelam dalam gairah yang menghanguskan. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan—hanya desir napas dan kehangatan tubuh yang berbicara.

Ketika akhirnya keduanya terbaring berdampingan, Isabella menoleh dan menatap Regan. "Kamu masih punya tenaga?" tanyanya menggoda.

Regan terkekeh rendah, menarik gadis itu ke dalam dekapannya. "Kamu menantangku lagi?"

Isabella hanya tersenyum penuh arti, dan mereka bersama dalam dua jam kedepan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Manipulasi Manis : Wajah Patuh Hati Licik   BAB 17

    Hilda menggertakkan giginya, matanya penuh dengan kemarahan. Darahnya terasa mendidih saat membayangkan bagaimana Isabella dengan sengaja berlari dekat vas kesayangan Tuan Sinclair tadi. Dulu, Isabella selalu patuh, dan keluarga mereka Hilda menggertakkan giginya, matanya penuh dengan kemarahan. Darahnya terasa mendidih saat membayangkan bagaimana Isabella dengan sengaja berlari dekat vas kesayangan Tuan Sinclair tadi. Dulu, Isabella selalu patuh, dan keluarga mereka tampak baik-baik saja. Namun, seiring beranjaknya usia mereka, perhatian ayahnya selalu tercurah lebih banyak pada Isabella daripada padanya. Sebagai satu-satunya anak perempuan, siapa yang tidak merasa marah dan cemburu? Di luar juga reputasinya tidak terlalu baik. Semenjak Isabella hadir di pesta sosialita kelas atas kota Lithen. Banyak grup-grup yang membicarakannya. Jelas dia hampir terlupakan. Perhatian. yang dulu ia dapatkan, sekarang harusnia bagi dua dengan Isabella. Ia benar-benar harus mengusir Isabella sec

  • Manipulasi Manis : Wajah Patuh Hati Licik   BAB 16 Vas Pecah

    Keesokan harinya, Isabella kembali menghabiskan waktunya di kamar, larut dalam lukisan yang belum rampung. Jemarinya yang memegang kuas bergerak pelan, membaurkan warna dengan penuh perasaan. Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka dengan keras. Hilda masuk dengan wajah murka, menggenggam cambuk di tangannya. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia langsung mencambuk Isabella. "Aku ingin kau jujur, Isabella," seru Hilda. Isabella menahan rasa sakit sambil menatap Hilda dengan tajam. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan rekaman CCTV itu? Karena sepanjang pesta, aku berada di ruangan itu dan tak sekalipun melihat kehadiranmu." Jelas Hilda. “Kemarin kau dipukuli, dan sekarang begitu bersemangat membawa cambuk dan menyerangku. Sudah pulih rupanya?” tanya Isabella dengan nada sinis, senyum mengejek terukir di wajahnya. “Kau masih berani tanya?, itu bukan urusanmu!” bentak Hilda tajam. “Kau pasti yang merekayasa rekaman CCTV itu! Sebelum Papa pulang, aku akan menghabisimu!” Begitu tubuhnya mulai

  • Manipulasi Manis : Wajah Patuh Hati Licik   BAB 15

    Di ruang kerja keluarga Sinclair... Hilda masih meringkuk di sudut ruangan. Tangisannya tak kunjung reda, tubuhnya bergetar, dan matanya merah membengkak. Nyonya Sinclair berdiri tak jauh dari putrinya. Di belakangnya, Theo berdiri kaku, rahangnya mengeras, mencoba menyembunyikan amarah yang membara. "Dion, Hilda sudah tau salah. Berhenti mencambuknya" Teriak Nyonya Sinclair. Suara cambuk berhenti seketika. Seorang pria paruh baya dengan wajah keras dan mata tajam berdiri beberapa langkah dari Hilda. Di tangannya masih tergenggam cambuk kulit yang kini menggantung lemas di sisi tubuhnya. Nafas Tuan Sinclair masih berat, dadanya naik-turun, menahan amarah yang belum sepenuhnya padam. “Anak ini perlu pelajaran” serunya pada Nyonya Sinclair. “Kau selalu membelanya, dan lihat apa akibatnya? Dia tidak pernah benar-benar belajar bertanggung jawab!” "Tidak ada hal buruk yang menimpa Isabella, dan dirimu sudah memberi pelajaran kepada Hilda. Sekarang sudah cukup Dion" Hilda men

  • Manipulasi Manis : Wajah Patuh Hati Licik   BAB 14

    "Theo, ayo ke ruang kerja. Lihat keadaan adikmu," kata Nyonya Sinclair sambil melangkah pergi. Isabella tetap berdiri di tempat, memperhatikan dua sosok itu menghilang di balik lorong. Jeritan Hilda dari ruang kerja terdengar jelas ke seluruh penjuru rumah. Tapi kali ini, Isabella tak lagi menunjukkan ketakutan. Bibirnya justru membentuk senyum tipis, penuh kepuasan. “Merdu sekali... teruslah berteriak, Hilda. Ini baru permulaannya saja,” gumamnya. “Selama ini, setiap kau berbuat salah, Theodore selalu jadi tamengmu dan aku yang dikorbankan.” Tiba-tiba, ia merasakan getaran halus dari ponsel di saku bajunya. Tanpa banyak bicara, Isabella masuk ke kamarnya dan mengambil ponsel pemberian Regan dan mendapat pesan darinya Regan: “Kamu masih bangun?” Isabella menatap pesan singkat itu sejenak sebelum mulai mengetik balasan. Isabella: “Masih. Ada apa?” Beberapa detik kemudian, ponselnya kembali bergetar. Regan: “CCTV-nya sudah kuubah sesuai dengan yang kamu minta.” Isabella

  • Manipulasi Manis : Wajah Patuh Hati Licik   BAB 13 Hukuman Hilda

    Tanpa berkata apa-apa, Isabella masuk ke dalam mobil. Regan pun segera menyusul ke kursi pengemudi, menekan pedal gas perlahan dan mobil itu meluncur keluar dari parkiran bawah tanah menuju jalanan malam kota. Setengah jam kemudian, keduanya sampai di depan rumah keluarga Sinclair. Isabella segera meraij handle pintu untuk keluar, namun gerakannya dengan cepat dihentikan oleh Regan dengan cepat. Regan menahan tangan Isabella yang hendak membuka pintu "Tunggu sebentar" ujarnya. Isabella menoleh, sedikit bingung " Apa lagi?" "Kamu tidak mau bilang terima kasih dulu?" Tanya Regan sambil menatapnya. "Baiklah terimakasih. Aku harus masuk sekarang. Tadi Hilda tidak menemukanku, mungkin dia akan menelpon orang rumah" Ijawab Isabella dengan nada terburu-buru, berusaha membuka pintu lagi, namun sekali lagi, Regan menahan tangannya. "Tentang ponsel, kamu kan sudah dewasa. Kenapa mereka masih menyita ponselmu?" Tanya Regan penasaran. Isabella memilih diam dan tak menjawab pertany

  • Manipulasi Manis : Wajah Patuh Hati Licik   BAB 12 Hampir Ketahuan

    Di dalam penthouse, Isabella berdiri memandangi jendela besar, menatap kerlip lampu kota yang menyerupai bintang-bintang yang jatuh ke bumi. Dari belakang, Regan mendekat dan menyelimuti bahunya dengan satin hangat. “Mau lanjut lagi?” bisiknya lembut. Isabella menggeleng pelan. “Tidak. Aku harus kembali. Sudah terlalu lama meninggalkan pesta.” Regan menatapnya dengan ekspresi kecewa. “Kenapa terburu-buru?” “Aku punya batasan. Aturan keluarga kami sangat ketat. Aku harus tiba di rumah dalam waktu satu jam,” jawab Isabella datar. Regan menyipitkan mata. “Aturan ketat? Tapi nyatanya, Nona Kedua Sinclair bisa tidur dengan pria?” Isabella berbalik cepat, menatapnya tajam. “Apa salahnya? Diriku adalah milikku sendiri,” katanya sambil mendorong Regan menjauh. Saat ia berbalik hendak pergi, Regan dengan cepat menggenggam pergelangan tangannya. “Tunggu dulu. Kenapa kamu tidak pernah bertanya siapa aku? Sedikit pun tidak penasaran? Kita sudah dua kali tidur bersama.” Sebenarnya Isabella

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status