Home / Rumah Tangga / Menantu Terbuang dipinang Sultan / Bab 4 Perlakuan Buruk Ibu mertua

Share

Bab 4 Perlakuan Buruk Ibu mertua

last update Last Updated: 2025-01-06 21:50:49

Suara kokok ayam dini hari membangunkanku dari mimpi. Aku menoleh kesamping, menatap wajah polos Kania yang terlelap. Ku usap kepalanya penuh cinta, lalu ku kecup sambil melapazkan do'a untuknya.

Aku menuju kamar mandi yang tak jauh dari kamarku. Aku ambil air wudhu, lalu dengan khusyuk aku memohon pertolongan kepada Sang Pemberi Kehidupan, Alloh SWT. Aku adukan semua kerisauan hati dan beban yang terasa berat ini hanya kepadaNya.

Dalam kondisi seperti ini, aku hanya memiliki Dia, Sang Pemberi Kehidupan. Tak ada sanak saudara di kota ini. Bahkan kedua orangtuaku di kampung sudah meninggal tak lama setelah aku menikah dengan Mas Roni.

Menunggu waktu subuh, aku mulai membereskan sebagian barang-barangku. Hingga terdengar adzan subuh berkumandang, pekerjaanku separuhnya selesai.

Aku membangunkan Kania untuk sholat subuh berjamaah. Meskipun Kania masih kecil, bukan alasan bagiku untuk tidak melatih kedisiplinan kepadanya. Apalagi dalam hal ibadah.

"Hari ini sekolahnya libur dulu, ibu sudah meminta izin kepada pihak sekolah," ucapku saat melipat mukena. Kania hanya mengangguk kemudian berbaring di kasur. Biarlah mungkin anak itu masih kelelahan karena membantu membereskan barang kemarin sore.

Aku memakai magicom untuk menghangatkan nasi dan merebus air minum untuk Kania. Tak lupa sisa ayam goreng aku panaskan disana.

Setelah kebutuhan minum dan makan kami berdua siap, aku menuju dapur untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Hal biasa yang aku lakukan ketika dulu diboyong ke rumah mertua.

"Bagus kalau kamu sadar posisi kamu yang numpang, Laras. Cepat antarkan kopi dan teh hangat untuk ibu dan iparmu," suara ibu mertua dibelakangku.

Tanpa menoleh, aku mengerjakan semua perintahnya di rumah ini. Hingga pukul enam pagi, sarapan sudah tersedia di meja makan. Ibu mertua memanggil seluruh anggota keluarga termasuk kakak ipar dan istrinya. Sementara aku tak sekalipun di ajak serta.

"Ingat Laras, jangan pernah muncul ketika kami makan. Kecuali ketika kami panggil." Ucap ibu mertua sinis.

Tanpa membantah, aku berlalu masuk ke dalam kamar. Melihat Kania yang masih tertidur pulas. Setelah memastikan putriku baik-baik saja, aku melanjutkan pekerjaan rumah mencuci pakaian.

"Siapa yang menyuruh kamu pake mesin cuci? Boros listrik tau!" cecar Ibu mertua yang udah kayak jelangkung aja suka datang tiba-tiba.

"Ini kan baju Ibu sama yang lainnya, Bu! Bukan baju aku sama Nia," jawabku apa adanya.

"Band3l kamu ya. Buat apa pake mesin cuci kalau kamu masih punya tenaga buat ngucek kain? Masukan semua cucian ini ke dalam ember. Kalo kamu masih pake mesin cuci, tagihan listriknya bayar sebagian sama kamu nanti," Ibu mertua mendengus kesal.

Baru saja aku merendam pakaian yang begitu banyak, suara mbak Indri istri kakak iparku terdengar memanggil.

Dengan berat hati, aku menghampiri wanita modis yang full makeup itu.

"Laras, tolong ambilkan mbak minum," ujarnya memberikan gelas kosong padaku.

"Lho, Sayang. Kan bisa kamu sendiri yang nuangin airnya," Mas Heri menatapku dengan tatapan yang ah, aku tidak suka.

"Gitu dong, Laras! Layani mbakmu dengan baik. Contoh juga dia, udah cantik, pinter nyari du it juga. Posisi di kantornya naik terus," Ibu mertua mulai memanasi aku.

"Jangan berlebihan gitu, Bu! Laras juga kan kerja. Meskipun gajinya dikit, ups!" Mbak Indri mulai mengejekku.

"Kerja kalau gajinya dikit percuma, Sayang. Nggak bakalan cukup. Ujung-ujungnya di vsir dari kontrakan, haha!" Ibu mertua nampak puas sekali saat tertawa.

"Seenggaknya laras nggak minta terus sama Mas Roni, Bu! Daripada Mas Roni nggak kerja sama sekali," jawabku sambil berlalu ke dapur.

"Eh dengar ya, Laras! Sore ini Roni bakal dapat kerjaan di kota. Biar kamu tau rasa gimana berjauhan dengan suami," suara Ibu mertua terdengar lantang.

Tak lama, suara gaduh di meja makan mereda. Aku yang sibuk mengurus cucian terperanjat saat ada yang memelukku dari belakang.

"Laras, kamu kenapa makin cantik sekali. Kalau Roni nggak mau sama kamu, biar kamu sama aku aja ya!" suara Mas Heri terdengar berat.

"Lep4skan, Mas!" aku menginjak kaki Mas Heri sekuat mungkin. Hingga akhirnya pelukan dia terlepas.

"Berani kamu ku rang ajar sekali lagi, aku adukan sikap kamu ke mbak Indri," ucapku emosi.

"Coba saja. Tapi sampai kapanpun kamu tetap meng goda untukku, Laras!" ucapnya tanpa malu berlalu meninggalkan ku yang mematung sendirian.

Takut kejadian serupa terulang lagi, aku mempercepat pekerjaanku. Sampai akhirnya semua pekerjaan rumah selesai.

"Nih, jatah makan untukmu dan Kania. Ingat, buat dua kali makan!" Ibu mertua dengan teganya memberiku sepiring nasi penuh hanya dengan lauk sambal dan ikan asin. Sementara di meja makan tadi terhidang daging dan sayur.

"Bu, kasih Nia daging juga dong! Bagaimanapun dia anakku," Mas Roni tiba-tiba mendekati kami berdua dengan pakaian rapi.

"Kamu ini, Ron! Masih saja membela istri dan anakmu itu," ibu mertua mendengus kesal sambil memberiku sepotong daging ayam.

"Laras, Mas pergi dulu mencari pekerjaan," ucapnya mengulurkan tangannya padaku. Aku langsung menciumnya khidmat sambil membacakan do'a semoga diberi kemudahan untuk Mas Roni.

Sampai akhirnya, di sore hari, Mas Roni pulang dengan wajah ceria bersama seorang perempuan cantik.

"Bu, aku diterima kerja di luar kota," ucapnya girang.

"Yang bener kamu, Ron. Lalu ini siapa?" Ibu mertua menunjuk ke arah wanita cantik itu.

"Dia istri bos aku, Bu! Sekaligus pemilik perusahaan tempatku bekerja." Ujar Mas Roni bangga.

"Laras, kamu mengizinkan Mas kerja di Jakarta, kan? Untuk kamu dan Kania juga," Mas Roni menatapku penuh pengharapan. Untuk kali ini, nampak kesungguhan di matanya.

"Tapi, Mas!" entah mengapa aku merasakan sesuatu yang mengganjal untuk merelakan Mas Roni bekerja di Jakarta.

"Sudahlah Roni, jangan pikirin istrimu itu. Kerja aja yang benar biar cepat kaya,"

"Kamu juga Laras. Bukannya ngasih semangat buat suami, malah bicara gitu," ibu mertua kembali merendahkan ku, padahal ada tamu disini.

"Bagaimana mas Roni, jadi nggak kerja sama aku?" wanita cantik itu mulai bicara.

"Jadi, Bu!" Jawab Mas Roni mantap. Diiringi senyum kebahagiaan ibu mertua dan wanita yang disebut sebagai bosnya itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu Terbuang dipinang Sultan   Bab 17 Rasa yang Mulai Bersemi

    "Kamu itu terlalu keras kepala, Laras!" Suara Nilam menggema di dalam kafe kecil yang sepi. Laras menatap sahabatnya dengan alis bertaut. Matanya menyipit, jelas tidak suka dengan nada menekan yang digunakan Nilam."Aku nggak keras kepala," Laras membalas datar. "Aku cuma tahu batasanku."Nilam mendengus. Ia meletakkan cangkir kopinya dengan kasar di meja. "Batasan? Laras, kamu udah terlalu lama ngebatasin diri sendiri! Sampai kapan mau terus begini?"Laras menghela napas. Pembicaraan ini lagi. Setiap kali mereka bertemu, topik ini selalu muncul. Seolah-olah ada magnet yang menarik mereka ke arah yang sama, ke arah yang penuh dengan ketidakpastian dan ketakutan."Kalau ini soal Arman, aku nggak mau bahas.""Tapi aku mau!" Nilam menyela cepat. "Dengar ya, Ras. Nggak gampang ketemu laki-laki baik di dunia ini. Apalagi yang mau bantu kamu tanpa pamrih. Kamu tahu sendiri Arman itu bukan orang sembarangan. Dia punya segalanya. Tapi tetap aja dia peduli sama kamu. Masa kamu nggak ngerasain

  • Menantu Terbuang dipinang Sultan   Bab 16 Kenangan di rumah lama

    "Kamu harus ngerti keadaan, Laras! Ini bukan buat Roni aja, tapi buat keluarga kita juga!"Suara Erlin menggema di ruang tamu rumahnya yang sempit. Matanya menatap tajam ke arah Laras, yang berdiri tegak dengan wajah pucat. Rasa cemas dan marah berkumpul di dadanya, membuatnya sulit bernapas."Apa maksud Ibu?" Laras menahan gemetar di suaranya, tapi kedua tangannya sudah mengepal di sisi tubuhnya. Ia berusaha menahan emosi yang ingin meledak."Roni itu butuh istri yang bisa ngurus keluarga ini, bisa bantu ekonomi, bisa—"Laras tertawa sinis, memotong ucapan mertuanya. "Bisa nyenengin kalian semua, maksudnya?"Plak!Tangan Erlin melayang cepat, menampar pipi Laras dengan keras. Suaranya memecah keheningan, dan Laras tertegun dengan rasa sakit yang mendalam."Kamu jangan kurang ajar, ya!" Erlin melotot, napasnya memburu. "Selama ini keluarga kita udah cukup sabar sama kamu! Ngasih makan kamu, nerima kamu! Sekarang, Roni mau nikah lagi, kamu harus ngerti! Kalau nggak mau, silakan pergi d

  • Menantu Terbuang dipinang Sultan   Bab 15 Penyesuaian diri

    "Bu Laras, tolong revisi laporan ini. Ada beberapa data yang kurang sesuai." Suara sekretaris kantor, Bu Rini, terdengar tegas. Laras menatap berkas yang baru saja ia serahkan, lalu mengangguk cepat. Tangannya sedikit gemetar saat mengambil kembali kertas itu. Rasa cemas dan ketidakpastian menyelimuti pikirannya. "Baik, Bu. Saya perbaiki sekarang." Bu Rini mengangguk tanpa senyum, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Laras menelan ludah, menatap layar komputer dengan cemas. Ini baru hari ketiga ia bekerja sebagai asisten pribadi Arman, dan rasanya ia masih sangat jauh dari kata terbiasa. Setiap detik di kantor ini terasa seperti pertaruhan, dan ia tidak ingin mengecewakan atasan barunya. Ia memang sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi dunia kerja kantoran jauh berbeda dengan dunia mengajarnya dulu. Ada banyak istilah baru yang harus ia pahami, banyak prosedur yang belum ia kuasai. Rasa nostalgia melanda saat ia mengingat kelas-kelas yang pernah ia ajar, di mana ia bisa ber

  • Menantu Terbuang dipinang Sultan   Bab 14 Memulai Kehidupan Baru

    "Kamu pikir gampang, Laras?! Dunia ini kejam, nggak ada yang bantu orang tanpa pamrih!"Laras terdiam, tangannya mengepal di balik meja kayu tua di warung kecil tempat ia dan Nilam duduk. Suara Heri masih terngiang di telinganya, meski lelaki itu sudah pergi beberapa menit lalu. Kata-kata Heri itu seperti belati yang menusuk jiwanya, menyisakan perasaan ketidakpastian yang menggelayuti pikirannya."Nanti juga kamu bakal tahu sendiri, Laras. Orang kaya tuh nggak ada yang benar-benar tulus," lanjut Heri tadi, dengan senyum meremehkan sebelum ia berlalu. Kekecewaan dan kemarahan bercampur menjadi satu dalam diri Laras, membuatnya merenungkan kembali semua yang telah terjadi dalam hidupnya.Laras menarik napas panjang. Matanya mengarah ke Kania yang duduk di ujung meja, sibuk memainkan sedotan di gelas plastik kosongnya. Bocah itu tampak lelah, tapi tidak mengeluh. Laras mengagumi semangat Kania yang tak kunjung padam, meski mereka telah melalui banyak kesulitan. Ia ingin sekali memberika

  • Menantu Terbuang dipinang Sultan   Bab 13 Pertemuan dengan Arman

    "Nggak ada lagi tempat buat kamu di sini, Laras! Kamu sama anakmu pergi sekarang juga!" Suara Erlin menggema di halaman depan rumah. Wajahnya memerah, penuh kemarahan, sementara tangannya menunjuk gerbang dengan tegas.Laras menggenggam erat tangan Kania yang berdiri di sampingnya. Gadis kecil itu menunduk, memeluk boneka lusuhnya dengan wajah ketakutan. "Bu Erlin, tolong... ini udah malam. Kami nggak punya tempat tujuan. Kasihan Kania," kata Laras dengan suara bergetar."Itu bukan urusan saya! Kamu pikir saya mau ngurusin kamu sama anakmu terus? Udah, pergi aja ke mana kek! Jangan ganggu hidup kami lagi!"Erlin melambaikan tangannya seperti mengusir lalat, sementara di belakangnya, Roni hanya berdiri diam tanpa sepatah kata. "Ron, tolong bilangin ibu kamu. Ini anakmu juga, Kania butuh tempat tinggal," Laras mencoba mencari belas kasihan dari lelaki yang dulu pernah ia panggil suami.Tapi Roni hanya menggaruk kepala, menunduk seolah-olah tak ingin terlibat. "Udah, Ras. Jangan bikin ri

  • Menantu Terbuang dipinang Sultan   Bab 12 Keputusan yang Sulit

    "Kalau kamu memang enggak mau terima perempuan itu, Laras, lebih baik kamu pergi dari rumah ini!" Erlin berdiri sambil menunjuk pintu depan dengan wajah penuh amarah. Suaranya menggema di ruang tamu yang kecil, membuat dinding terasa bergetar. Laras menatap ibu mertuanya dengan mata berkilat. Tangannya gemetar, tapi ia tidak ingin terlihat lemah. Di sampingnya, Kania berdiri memegang ujung bajunya erat-erat, wajah kecilnya bingung melihat pertengkaran itu. "Bu, ini rumah saya juga. Saya sudah bertahun-tahun tinggal di sini. Kalau saya pergi, di mana saya dan Kania harus tinggal?" Laras berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak. Erlin memutar bola matanya, lalu mendekat dengan langkah cepat. "Jangan sok drama, Laras! Rumah ini dibangun oleh keluarga kami. Kamu itu cuma numpang! Kalau enggak mau nurut sama keputusan keluarga, ya silakan angkat kaki!""Keputusan keluarga?" Laras mendengus, lalu menatap Erlin tajam. "Keluarga mana, Bu? Dari awal saya menikah dengan Roni, say

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status