Assalamualaikum reader, author akan up 1 bab lagi ya. khusus Dirga dan Yuna.
Udara pagi di vila terasa begitu menyegarkan. Kicauan burung menggema lembut, tanpa gangguan suara kendaraan, menciptakan suasana yang tenang dan damai.Di meja makan panjang yang dipenuhi berbagai hidangan lezat, aroma roti bakar berpadu dengan wangi mentega yang meleleh, menguar ke seluruh ruangan. Gelas-gelas berisi susu hangat telah tertuang rapi, sementara buah-buahan tersusun cantik dalam mangkuk kaca bening.Hermawan duduk di ujung meja, mengenakan sweter hangat dan celana santai. Di sisi kirinya, Mawar duduk dengan senyum teduh, sedangkan di sisi kanan, Nathan dan Eliza tampak duduk berdampingan, penuh kebahagiaan.Eliza memandangi wajah suaminya dengan tatapan penuh cinta. Dari sorot matanya, terlihat jelas betapa ia mengagumi pria itu. Mungkin ini ulah hormon kehamilan, tapi juga bisa jadi karena cinta yang memang begitu dalam.“Mau yang ini?” tanya Nathan, sambil mengangkat semangkuk bubur ayam.Eliza tersenyum manja, lalu mengangguk pelan tanpa mengambilnya. Ia hanya diam,
Malam itu begitu dingin. Angin dari jendela balkon menggoyangkan tirai tipis di apartemen mewah milik Sherly, menebarkan aroma rokok yang baru saja dinyalakan. Jemari wanita itu sedikit gemetar, bukan karena takut, tapi karena kegembiraan yang nyaris tidak bisa dikendalikan. Ia merasa permainan ini semakin menarik.Telepon khususnya kembali berdering. Ia menjawab dengan cepat.Suara perempuan di seberang terdengar pelan, seperti berbisik dalam kegelapan."Aku belum mendapatkan akses ke setiap kamar. Villa tua ini dirancang dengan keamanan yang sangat tinggi."Sherly menggeram pelan. Kepulan asap rokok mengaburkan pandangannya sesaat, namun tak bisa menyembunyikan rona merah kemarahan di wajahnya."Apa kabar Aruna? Masih bersama Albert?""Masih. Mereka tampak semakin dekat. Tapi dia itu gadis polos. Mudah dipercaya, terutama oleh orang-orang yang ia anggap keluarga."Sherly menutup matanya sejenak. Jemarinya mengetuk permukaan meja secara ritmis, seirama dengan degup jantungnya yang be
Nathan duduk di kursi penumpang sambil memeluk putranya yang sedang tertidur. Sedangkan, Eliza bersandar dengan bantal leher, tangannya memegang perut yang semakin besar. Wajahnya lelah, tapi ada senyum kecil yang tak bisa disembunyikan.“Kalau bayinya lahir nanti, kita harus datang lagi ke sini ya by,” bisiknya. “Liza mau mereka lihat awan dari atas bukit.” Eliza berkata dengan tersenyum. Baru membayangkan keindahan di villa saja sudah membuat Eliza bahagia. Apalagi merasakan udara yang dingin dan bersih sambil memandang pemandangan yang indah.Nathan meliriknya, tersenyum, lalu menggenggam jemari istrinya. “Tentu saja. Ingat ya, di sana harus nurut. Jangan terlalu capek. Kamu juga harus pakai kursi roda, biar kedua anak kita aman." Meskipun Nathan senang melihat istrinya bahagia, namun tetap saja ia cemas jika Eliza kelelahan. "Iya," jawab Eliza dengan tersenyum. Baginya yang terpenting bisa beristirahat, dan menikmati keindahan alam. "Apa mau makan buah?" Nathan berkata sambil m
Nathan bersama dengan Eliza turun ke bawah. Wajah pasangan suami istri itu tampak begitu bahagia dan berseri-seri. Berbeda dengan orang-orang yang saat ini sudah menunggu dengan gelisah. Belum lagi Olivia yang setiap saat bertanya, membuat kepala Mawar semakin pusing. “Semua sudah siap?” tanya Hermawan dengan suara yang tenang namun penuh wibawa.“Siap, om!” jawab Rizky sambil sedikit tersenyum.Nathan mendekat. “Mobil sudah disiapkan. Supir standby. Aku taruh termos kopi di dashboard.” Dengan cepat Nathan langsung melarikan diri ketika menyadari tatapan Albert, dan juga tatapan Mawar kepadanya.“Kita berangkat sekarang. Perjalanan ke Puncak butuh waktu beberapa jam. Kalau beruntung, sampai sana sebelum matahari benar-benar tinggi," kata Hermawan.Semua mulai bergerak ke luar rumah. Sedangkan koper, dan barang-barang yang lainnya sudah di masukkan ke dalam mobil. Sepuluh mobil mewah berderet di depan pintu utama, siap membawa keluarga besar itu ke tempat penuh ketenangan.Sebelum m
Langit masih berselimut kelabu saat satu per satu lampu di mansion keluarga Hermawan menyala. Jarum jam baru menunjukkan pukul 04.45 pagi. Udara masih sejuk, bahkan embun masih menempel di kaca jendela. Namun di dalam rumah, kehangatan sudah mulai terasa. Langkah-langkah ringan berseliweran, aroma roti panggang dan cokelat panas menyambut dari dapur utama. Aruna terlihat sibuk membantu petugas dapur yang sedang sibuk. Tangannya lincah menyusun sandwich ke dalam kotak makan. Meski tubuhnya terus bergerak, senyumnya tidak pernah hilang. Di sudut lain dapur, Eliza juga tengah menyiapkan bekal kecil untuk Noah, putra sambung yang sudah ia anggap seperti darah dagingnya sendiri. Meski usia kehamilannya sudah tujuh bulan dan perutnya tampak sangat besar, Eliza tetap telaten dan penuh perhatian. "Eliza, kenapa liburannya mendadak sekali?" tanya Aruna sambil mengusap tangannya yang sedikit lengket dengan mayones. Eliza menoleh pelan, tersenyum lembut. "Oh, itu permintaan Tuan Albert. Ka
Aruna berdiri di depan pintu kamar tamu. Blouse sederhana dan celana panjang berwarna cokelat muda membalut tubuh mungilnya. Rambut panjangnya di kuncir rapi ke belakang, tanpa riasan apa pun di wajah. Hanya ada sorot teduh di matanya dan sedikit getir yang tak bisa disembunyikan.Di tangannya, tergenggam sebuah tas kecil berisi beberapa pakaian. Hatinya terasa berat, tapi ia tetap mencoba tersenyum. Ia tak ingin menjadi beban. Baginya, keberadaannya di mansion keluarga Hermawan sudah lebih dari cukup. Sudah waktunya ia kembali ke rumah kecilnya. Memberi jarak. Memberi ruang.Namun sebelum jemarinya sempat menyentuh kenop pintu utama, suara lembut menghentikan langkahnya.“Aruna…”Aruna menoleh. Di belakangnya berdiri Eliza, mengenakan gaun hamil warna biru langit. Perutnya yang membulat tampak menonjol, membuat sosoknya terlihat semakin anggun. Wajahnya tampak letih, namun terpancar ketulusan yang tak bisa dipalsukan.“Kamu mau ke mana?” tanya Eliza pelan, namun jelas terdengar kekha