Malam hari, suasana rumah Taufik begitu hening, hanya terdengar suara langkah kaki di lantai marmer rumah mewah Taufik. Saat itu, Ernita sedang membersihkan ruang tamu karena Tia sudah pulang. Ia hanya bekerja pagi sampai sore saja lantaran memiliki anak dan suami di rumahnya.
Ernya tak menyangka bahwa malam itu Loren, ibu Taufik, datang lagi. Taufik sudah tiba di rumah setelah hari yang panjang, dan Loren segera mendekatinya. "Taufik, ayo kita makan malam bersama di restoran. Aku ingin kamu beristirahat setelah seharian bekerja," ajak Loren dengan suara lembut, namun nada perintahnya tak bisa disembunyikan. Taufik terlihat lelah namun tetap mengangguk. "Baik, Mah. Tapi, aku ingin berbicara sebentar denganmu tentang Ernita." Loren memutar bola matanya. "Apa lagi yang perlu dibicarakan tentang perempuan itu? Bukankah kamu sudah memutuskan segala sesuatunya?" tanyanya, masih dengan nada yang penuh kecurigaan. Malam itu, Ernita yang sedang merapikan beberapa barang di ruang tamu mendengar percakapan mereka dengan jelas. Ia tahu bahwa pembicaraan itu tentang dirinya. Penasaran dan merasa sedikit cemas, Ernita memilih untuk mendekat secara diam-diam, bersembunyi di balik pintu yang sedikit terbuka. Dengan hati-hati, ia mendengarkan percakapan antara Taufik dan ibunya. "Mah, aku tahu kamu tidak suka dengan keputusan ini, tapi ada alasan kenapa aku memutuskan untuk menyuruh Ernita menyusui anak-anak kembar kita," Taufik mulai menjelaskan dengan suara berat, seperti berusaha meyakinkan ibunya. Loren mengangkat alisnya. "Alasan? Apa alasanmu, Taufik? Kita sudah punya pembantu di rumah ini, kenapa harus perempuan asing itu yang menyusui cucuku?" Suaranya terdengar kecewa. Taufik menarik napas panjang, lalu berkata dengan hati-hati. "Nita ... dia memiliki banyak kesamaan dengan Fatma. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, Bu, tapi dia sangat mirip dengan istriku. Aku ingin anak-anak merasa aman, merasa ada yang mengasuh mereka dengan penuh kasih sayang. Tidak hanya sebagai ibu susu, tetapi juga sebagai pengganti Fatma yang tiba-tiba pergi begitu saja." Loren terdiam sejenak mendengarkan penjelasan Taufik dengan penuh perhatian, meskipun wajahnya terlihat terkejut. Ia tahu betul betapa besar kehilangan Taufik setelah istrinya, Fatma, meninggal pasca melahirkan bayi kembar mereka, Asrul dan Arkaf. Kehilangan itu menghancurkan hati Taufik, dan Loren tahu betul betapa beratnya Taufik menjalani hidup tanpa Fatma. "Jadi, kamu berpikir Nita bisa menggantikan tempat Fatma? Ini bukan hal yang mudah, Taufik. Kamu tahu kan, aku tidak suka ada orang asing terlalu dekat dengan cucu-cucuku. Aku merasa tidak nyaman dengan hal ini." Loren menjawab dengan nada yang lebih lembut, meskipun masih ada rasa ketidaksetujuan yang tersisa. Taufik menatap ibunya dengan penuh perhatian. "Aku tahu ini sulit, Mah. Tapi Ernita sudah membantu kami lebih dari yang bisa aku jelaskan. Dia sudah menjadi ibu susu untuk anak-anak, dan mereka menerima kasih sayangnya. Aku hanya ingin mereka tumbuh dengan cinta yang tulus, bahkan jika itu bukan dari ibu kandung mereka." Loren terdiam. Ia tahu Taufik benar-benar berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Namun ada rasa cemas yang masih menghantuinya. Apakah ini benar-benar keputusan yang tepat? Apakah Ernita benar-benar bisa menggantikan tempat Fatma dalam hidup mereka? Di sisi lain, Ernita yang mendengarkan percakapan itu merasa campur aduk. Perasaan cemas dan terharu bercampur dalam hatinya. Ia tahu bahwa dirinya hanyalah ibu susu, namun di balik itu ada perasaan yang lebih dalam. Ia merasakan ikatan yang tumbuh dengan anak-anak Taufik, bahkan jika itu hanya sementara. Namun ia juga tidak ingin terjebak dalam perasaan yang lebih besar, yang mungkin tidak bisa ia hindari. Loren akhirnya menghela napas panjang, tampak menerima penjelasan Taufik, meskipun ada ketegangan yang masih terasa. "Baiklah, Taufik. Aku akan mencoba memahami keputusanmu. Tapi aku ingin kamu hati-hati dengan Nita. Jangan biarkan dirimu terlalu terikat padanya," kata Loren masih dengan nada khawatir. Taufik tersenyum kecil, seolah lega karena ibunya mulai menerima situasi ini. "Aku janji, Mah. Aku akan berhati-hati." Ernita yang mendengar semua itu merasa lega, namun juga tertekan. Ia tidak tahu bagaimana harus bertindak selanjutnya, apakah ia harus terus menjadi bagian dari kehidupan Taufik dan anak-anaknya ataukah ia harus segera mengundurkan diri agar tidak menambah beban mereka. Namun, satu hal yang pasti, perasaan yang ia miliki terhadap bayi-bayi itu semakin dalam, dan itu membuatnya merasa terhubung dengan mereka lebih dari yang ia bayangkan. Taufik dan Loren akhirnya pergi ke restoran untuk makan malam, sementara Ernita kembali ke ruang tamu, memikirkan percakapan yang baru saja ia dengar. Ia tahu bahwa keputusannya untuk tetap tinggal di rumah itu, menyusui bayi kembar Taufik, adalah langkah yang penuh risiko. Namun ia tidak bisa lagi mundur begitu saja. Ia harus menjalani peran barunya dengan sepenuh hati. Ernita duduk terdiam di ruang tamu, matanya menatap kosong ke arah bayi kembar yang tertidur lelap di buaian mereka. Walaupun tubuh mereka tenang, hatinya tetap bergejolak. Dia tidak bisa menahan rasa cemas yang semakin menggerogoti pikirannya. Mengingat percakapan tadi, dia merasa berada di tengah antara dua dunia yang berbeda. Di satu sisi, dia merasa terhormat karena bisa memberi kasih sayang kepada bayi-bayi itu, yang kini menganggapnya sebagai sosok ibu pengganti. Namun, di sisi lain, Ernita merasa terperangkap dalam peran yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia teringat akan kehidupannya dulu, sebelum kehilangan bayinya yang pertama, sebelum hidupnya dihancurkan oleh caci maki suami dan mertuanya. Dulu, ia memiliki impian untuk membesarkan keluarganya dengan bahagia untuk menjadi ibu yang penuh kasih sayang bagi anak-anaknya. Namun sekarang, impian itu terasa jauh dan tak terjangkau. Kini ia hanya bisa menjalani hidup dengan seadanya, bertahan dengan pekerjaan yang tak pernah ia duga. Namun Ernita tidak bisa memungkiri bahwa rasa sayang kepada anak-anak Taufik tumbuh setiap hari. Meskipun mereka bukan darah dagingnya, ia merasa seolah-olah mereka adalah bagian dari dirinya. Bayi-bayi itu membutuhkan ASI, dan dia dengan senang hati memberikannya, meskipun hatinya terkadang terasa perih karena mengingat kehilangan bayinya. Ernita merasa seperti seorang ibu yang tak berdaya, terperangkap dalam situasi yang rumit. Ia tahu dirinya hanyalah ibu susu sementara, tapi perasaan sayang itu sulit ditahan. Di luar, hujan mulai turun perlahan, membawa ketenangan yang terasa kontras dengan kekhawatiran yang ada di dalam hati Ernita. Dia menyadari bahwa kehidupannya telah berubah begitu cepat. Sekarang, ia hanya ingin menjalani hari-harinya dengan tenang dan memberi yang terbaik untuk anak-anak Taufik. Namun dia tahu bahwa masa depan masih penuh dengan ketidakpastian, dan hubungan mereka belum sepenuhnya jelas. Ernita merasa bingung, apakah dia harus terus bertahan dalam peran ini, ataukah ada jalan lain yang bisa membawanya ke arah yang lebih baik. "Semoga aku kuat ...," lirihnya.Arkaf berdiri di dekat pintu keluar mall dengan wajah menyipit, seolah mencoba memastikan sesuatu yang sempat mengusik perasaannya. Ia memicingkan mata, menatap ke arah luar mall, menyapu pandangan ke segala penjuru parkiran."Nggak ada siapa-siapa ... ah, cuma perasaanku aja," gumamnya pelan, hampir tak terdengar.Dari arah belakang, Asrul menghampirinya dengan langkah cepat. Wajahnya dipenuhi rasa penasaran. "Hei, kamu ngapain, Kaf? Kenapa ngelamun di situ?"Arkaf menoleh kaget, lalu tersenyum kaku. "Eh, nggak, kok. Udah, yuk balik ke om Reza."Namun sebelum mereka sempat beranjak, suara tegas terdengar dari arah belakang."Hei! Kalian sedang apa?"Mereka menoleh serempak. Ternyata Reza berdiri dengan kedua tangan di pinggang, menatap mereka dengan ekspresi datar namun penuh perhatian."Kalian malah jalan sendiri ke sini? Jangan bikin Om panik, dong. Nanti kalau kalian kenapa napa, gimana?" lanjutnya dengan nada setengah mengomel.Asrul dan Arkaf saling pandang, merasa sedikit bersa
Pagi itu langit cerah namun hati Ernita tetap mendung. Setelah Taufik berangkat ke kantor dengan tergesa karena ada rapat penting, Ernita masuk ke rumah dengan langkah berat. Tia yang tengah menyapu halaman depan melirik majikannya dengan sorot prihatin."Mau ke mana, Nyonya?" tanya Tia lembut sambil menyandarkan gagang sapu.Ernita menoleh sejenak lalu menghela napas panjang. "Aku mau ke kantor polisi lagi, Tia. Aku sudah nggak bisa duduk diam saja. Aku harus bertindak.""Tapi Nyonya, Tuan Taufik bilang masih mau nyelidikin sendiri."Ernita menunduk, menahan emosi yang selama ini terus dipendam. "Aku tahu maksud Mas Taufik baik, tapi aku nggak tahan lagi, Tia. Aku seorang ibu, walau mereka bukan anak kandungku, aku nggak bisa tenang sebelum mereka pulang."Tia mengangguk. Ia memahami perasaan tuannya. Asrul dan Arkaf sudah seperti darah daging bagi Ernita. Tia tahu betapa besarnya kasih sayang yang ditumpahkan Ernita selama ini.Setelah bersiap, Ernita pun keluar rumah. Ia mengenakan
Sore hari menjelang senja, langit mulai berubah warna, dari biru cerah menjadi jingga keemasan. Reza membuka pintu rumahnya dengan kantong makanan di tangan. Aroma ayam goreng hangat yang ia bawa langsung memenuhi udara."Halo, anak-anak. Ini makan dulu, Om belikan nasi ayam goreng. Tadi Om mampir di rumah makan. Sebenarnya Om tadi mau ajak kalian, tapi tadi Om ada urusan kerjaan, jadi nggak bisa bawa anak kecil," ujarnya sambil tersenyum ke arah dua bocah yang tengah bermain lego di karpet ruang tamu.Asrul dan Arkaf langsung menoleh, mata mereka berbinar."Wah, ayam goreng, Rul!" seru Arkaf sambil berdiri dan menghampiri Reza."Ayo kita makan, Ar," sahut Asrul antusias, menyusul kembarannya dan langsung menghambur ke pangkuan Reza.Reza tertawa kecil, meletakkan kantong makanan ke meja dan mulai membuka bungkusan satu per satu. Dua kotak nasi ayam, dua botol air mineral, dan dua sendok plastik yang tergulung rapi dalam tisu. Dia menyerahkan masing-masing kepada si kembar dengan penu
Suasana rumah makan siang itu cukup ramai, deru obrolan dan denting sendok garpu berpadu menjadi irama latar. Taufik dan Ernita masih berbicara dengan Helen, berusaha menyembunyikan kegelisahan mereka atas pertanyaan soal si kembar. Saat suasana mulai mencair, tiba-tiba terdengar derit kursi ditarik tak jauh dari meja mereka.Seorang pria berjas abu duduk di kursi pojok, dan tak lama kemudian seorang pelayan datang menghampiri membawa sepiring makanan. Aroma khas nasi goreng seafood langsung menyebar. Taufik yang semula sedang mengaduk teh manisnya, tiba-tiba menghentikan gerakannya. Matanya menatap lurus ke arah pria itu, dahi Taufik mengernyit."Reza!" serunya, setengah berdiri dari kursinya.Ernita dan Helen langsung menoleh ke arah yang sama. Si pria, Reza, pun menoleh dengan raut terkejut yang berubah menjadi sumringah. Ia berdiri, berjalan mendekati meja Taufik."Hei, Taufik! Wah, ini beneran kamu?" ujar Reza sembari menjabat tangan Taufik erat. Tawa bahagia mengiringi pertemuan
"Sudah, kalian pergilah! Aku muak melihat kalian!" bentak Gudel sambil menunjuk ke arah pintu dengan kasar. Suara meja yang ia tendang nyaris membuat tumpukan berkas berhamburan ke lantai.Namun Ernita tetap berdiri tegak. Tangan Taufik menggenggam erat pergelangan tangannya, mencoba menahan emosi istrinya agar tidak semakin meledak. Tapi Ernita tak bisa dibendung lagi. Matanya merah, suaranya penuh amarah yang ditahan selama ini."Heh, Del! Kembalikan dulu anak-anakku!" serunya dengan suara lantang.Gudel tertawa sinis, berdiri dari kursinya, lalu berjalan mendekat perlahan seperti seekor ular yang hendak menerkam mangsanya. "Anakmu? Hah! Sejak kapan kau punya anak, Nita? Bukankah kau melahirkan anakmu langsung mati, kau juga nggak bisa punya anak? Jangan munafik!"Ernita memelototinya. "Aku memang tidak melahirkan mereka, tapi mereka anak-anakku! Mereka yang menumbuhkan kasih sayangku, bukan kamu yang bahkan nggak pernah paham arti keluarga!"Taufik maju satu langkah. "Jangan pikir
Pagi itu, suasana kantor masih lengang ketika sebuah suara keras membuyarkan keheningan."BRAKKK!"Sebuah gebrakan keras menghantam meja kerja Gudel. Pria itu tersentak kaget, matanya langsung menatap tajam ke arah sumber suara. Di hadapannya berdiri seorang perempuan dengan tatapan menyala, wajahnya pucat namun penuh keberanian. Ernita."Nita?" suara Gudel parau, terkejut sekaligus tak percaya melihat wanita itu berdiri di hadapannya dengan ekspresi mengancam."Mana anak-anakku, Del?!" teriak Ernita, suaranya bergetar namun tegas. Tangannya mengepal di sisi tubuh, mencoba menahan gemuruh amarah yang nyaris meledak.Gudel perlahan berdiri dari kursinya. Ia tertawa pelan, geli mendengar pertanyaan itu."Anak-anakmu? Bukannya kamu nggak punya anak, Nita? Bukannya kamu sendiri yang bilang kamu keguguran waktu itu? Atau jangan-jangan ... kamu halu?" ujarnya dengan nada sinis."Cukup, Del! Jangan putar balik kenyataan. Kamu tahu betul Asrul dan Arkaf adalah anakku. Kamu tahu mereka masih h