Begitu Syakia pergi, Damar langsung mengundang Iwan dan beberapa tabib istana lainnya datang. Dia meminta mereka untuk mempertahankan nyawa Abista selama 4 jam dengan cara apa pun.Untungnya, kemampuan Iwan dan tabib lainnya sesuai reputasi. Berkat bantuan dan usaha mereka, Abista yang sudah nyaris mati tetap bertahan hidup selama 4 jam.Untung juga Syakia tidak mempermainkan Damar kali ini. Empat jam kemudian, obat herbalnya benar-benar sampai.Iwan membuka kotak itu dan mengangguk kepada Damar setelah melihat teratai salju di dalamnya. Namun, Damar masih belum sepenuhnya tenang. “Coba periksa dulu teratai salju ini.”Damar jelas takut Syakia melakukan sesuatu pada teratai salju ini. Namun, hasilnya tetap sama.“Nggak ada masalah. Ini bisa digunakan.”Tabib istana lainnya juga menghela napas lega. “Baguslah! Cepat gunakan teratai salju ini sebagai obat, jangan ditunda lagi!”Agar dapat memaksimalkan manfaat teratai salju yang susah payah diperoleh itu, beberapa tabib istana yang secar
Bagaimanapun juga, Damar tidak bisa mengambil keputusan itu. Itulah sebabnya dia merasa lebih bersalah kepada Ayu dan menoleransi semua perbuatannya sampai hari ini.Damar berkata tanpa ekspresi, “Kamu memahami semuanya dengan sangat jelas, makanya kamu terus mengancamku dengan obat herbal di tanganmu. Memangnya kamu benar-benar mengira aku nggak bisa temukan obat herbal lainnya?”“Adipati Damar memang punya kekuasaan tinggi. Kamu tentu saja bisa temukan obat herbal lain selain yang ada di tanganku. Tapi, apa kamu punya waktu?”Pada waktu yang hampir bersamaan dengan Syakia selesai berbicara, kepala pelayan berlari datang dengan tergesa-gesa dan melapor, “Gawat! Gawat! Adipati, Tuan Abista muntah darah lagi! Adipati, cepat pergi dan lihatlah keadaannya. Aku khawatir waktu Tuan Abista yang tersisa nggak lama lagi!”Takdir bukan hanya ingin merenggut nyawa Abista, tetapi juga mendesak Damar. Pada saat ini, Damar sepertinya bisa langsung memahami suasana hati Kahar ketika membuat keputusa
Damar tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Suasana di antara mereka berdua langsung menegang setelah Syakia menjawab begitu.Setelahnya, Syakia tidak berbicara lagi. Di sisi lain, Damar juga tidak berbicara. Dia hanya menatap Syakia dengan tatapan dingin.Setelah beberapa saat, Damar berujar dengan pelan, “Kamu lahir dan dibesarkan di Keluarga Angkola. Sekalipun ayah dan saudara-saudaramu pernah melakukan kesalahan, jasa kami melahirkan dan membesarkanmu sangat besar. Sekarang, kamu mau ubah margamu jadi Kuncoro. Apa kamu nggak merasa bersalah pada ayah, saudara-saudaramu, dan leluhur Keluarga Angkola?”Damar mulai mengungkit tentang jasa melahirkan dan membesarkan Syakia untuk mencoba mengintimidasinya.Namun, Syakia menanggapinya dengan cara yang bermartabat, “Ibuku yang beri aku kehidupan. Dia itu Anggreni Kuncoro, putri tunggal Keluarga Kuncoro. Berhubung aku sudah tinggalkan Keluarga Angkola, kenapa aku nggak boleh ubah margaku jadi Kuncoro? Jangan lupa. Dulu, kamu yang melarangku
Bahkan bisa dikatakan bahwa mereka selalu berada di pihak yang sama. Namun, dalam kehidupan ini, jelas ada terlalu banyak perubahan.Pertama adalah Kama, kemudian Abista, dan sekarang Kahar. Sepertinya, yang belum sepenuhnya berselisih dengan Damar hanyalah Ranjana.Syakia tentu saja senang melihat situasi seperti ini. Hal ini menunjukkan bahwa semua yang dilakukannya setelah kelahirannya kembali tidaklah sia-sia. Dia akan terus melakukannya.Terutama jika dibandingkan dengan kehidupan sebelumnya, di mana Syakia hanya ingin menyenangkan ayah serta saudara-saudaranya dan menginginkan cinta mereka. Dalam kehidupan ini, dia berangsur-angsur menginginkan lebih banyak hal.Syakia tidak akan lagi bergantung pada mengemis dan memohon belas kasihan orang lain. Dia hanya akan mengandalkan dirinya sendiri untuk merebut dan mendapatkan apa yang diinginkannya.“Syakia, aku tahu apa yang kamu inginkan.” Damar mengambil inisiatif untuk berbicara.Syakia hanya menyahut, “Oh? Kalau begitu, tolong Adip
Syakia tidak suka diancam orang lain dengan begitu terang-terangan. Jadi, dia melempar surat pembatalan pernikahan itu di depan Kahar dan berujar, “Terserah kamu mau berbuat apa. Tapi, aku sarankan kamu tandatangani dulu surat ini. Kalau nggak, aku bisa berubah pikiran kapan saja karena aku tidak tahan denganmu dan Ayu.” Syakia tersenyum tipis. Tidak ada sedikit pun kehangatan dalam ekspresinya. Kahar yang balik diancam pun seketika memasang ekspresi suram.“Kak Kahar ....” Ayu yang takut Kahar berubah pikiran memanggil Kahar lagi, lalu mendesaknya secara diam-diam dengan tatapan memelas. Kahar menunduk untuk menatap surat pembatalan pernikahan itu sambil menggertakkan gigi. Meskipun sudah mencapai tahap ini, dia sepertinya masih ingin mencari alasan untuk menunda.“Aku nggak bisa tanda tangan tanpa kuas ....”“Ini kuasnya.” Komandan Pasukan Bendera Hitam di belakang Syakia menyerahkan kuas kepada Kahar tanpa menunggu Kahar menyelesaikan kata-katanya. Kahar sangat marah dan mengge
Kahar menggertakkan giginya dan berseru, “Syakia! Kalau ada apa-apa, hadapi aku! Jangan tindas Ayu!”“Ini mana bisa disebut menindas? Aku cuma bertindak sesuai perintah. Kalau mau salahkan orang, salahkan saja adik keenammu yang melakukan sesuatu yang nggak seharusnya dilakukannya. Kalau nggak, mana mungkin aku bisa menangkapnya?”Syakia tersenyum tipis dan melanjutkan, “Sudah cukup. Waktumu nggak banyak lagi. Kahar, Ini kesempatanmu yang terakhir. Kalau nggak memilih, kamu bisa pergi ke penjara untuk jenguk adik keenammu ini.”Kali ini, Syakia benar-benar bertindak sesuai perintah Kaisar. Lagi pula, kabar bahwa Cempaka pergi ke Kediaman Adipati Pelindung Kerajaan untuk membatalkan pernikahan sudah sampai ke telinga Kaisar. Demi Cempaka yang berkemungkinan besar akan menjadi calon permaisurinya di masa mendatang, Kaisar tentu saja lebih bersedia membantunya.Meskipun bukan karena itu, mengingat mereka sudah saling kenal sejak kecil, Kaisar juga tidak akan tinggal diam begitu saja. Sep