Pertemuan itu mengubah hari-hari Mentari selanjutnya. Sekarang dia lebih sering tersenyum dan ikut tertawa dalam candaan-candaan garing rekan-rekan kerjanya di toko, membuat beberapa orang merasa heran."Mentari, kamu sedang jatuh cinta?"Dalam hati, Mentari merenungkan pertanyaan rekan kerjanya itu ketika sedang menunggu lampu berubah hijau dalam perjalanan pulang. 'Aku bahkan tidak tahu lagi rasanya jatuh cinta. Bukankah ada yang bilang, saat telah menikah kita akan jatuh cinta dengan pasangan kita setiap hari?'Pertanyaan itu dijawabnya sendiri ketika sedang mengeringkan rambutnya yang basah setelah keramas sesampainya di rumah, "Semua itu bohong belaka."Tak ingin terus merenungkan hal itu, Mentari memutuskan menelepon Bunga. Dalam sekejap, dia telah terlibat dalam percakapan seru tentang pengalaman seru Bunga yang hampir beradu mulut dengan tukang parkir di sebuah minimarket sore tadi."Bu, Cekal?" Tangan mungil Feliz memegang tangan Mentari yang terjuntai bebas."Ini ibu Sekar,
Kenangan-kenangan Mentari akan kehidupannya sebelum bertemu Argan menghantuinya selama beberapa hari ini setelah perbincangan dengan Bunga. Pertimbangan-pertimbangan memenuhi kepalanya ketika dia hendak tidur. Ada ketakutan bertemu kembali dengan kerabat-kerabatnya yang telah dia tinggalkan beberapa tahun ini. Namun kerinduan akan kebersamaan dengan mereka juga menggodanya.Ponsel Mentari bergetar beberapa kali ketika dia menarik tasnya keluar dari loker sore ini. Diah yang sedang bersiap-siap pulang beberapa loker jauhnya, menatapnya, kemudian beranjak pergi.Beberapa pesan dari Bunga. Segera Mentari membuka pesan itu."Tari, apa kabar?"Senyuman Mentari merekah membaca teks paling atas."Kamu pasti ikut sabtu ini 'kan?"Senyum Mentari melebar. "Tipikal Bunga, suka memaksa."Perjalanan pulang terasa begitu menyenangkan bagi Mentari. Keputusan yang terasa berat diambilnya beberapa hari ini sudah menemukan kepastian.Dengan langkah ragu, Mentari memasuki pekarangan rumah Anggun sore in
Sabtu yang sibuk bagi Mentari. Setelah sepanjang pagi membersihkan rumah, selanjutnya dia ikut menyibukkan dirinya menemani ibu memasak beberapa lauk."Seorang perempuan harus bisa mengerjakan pekerjaan di dapur, apalagi memasak. Dengan adanya acara-acara seperti ini, kamu akan terlatih untuk memasak hidangan yang lebih rumit daripada yang dimasak sehari-hari," ucap ibu sambil menuangkan rendang yang sudah selesai dimasak ke dalam mangkuk saji berukuran sedang. Aroma mengundang nasi menyebar ke seluruh rumah."Bu, sendok dan garpu disimpan di mana?" kepala Cahya muncul dari balik pintu, hidungnya menghirup aroma rendang sembari matanya menatapi hidangan yang masih mengepul itu. Dia menelan ludah."Di lemari bersama peralatan makan yang lainnya. Mungkin tertutupi barang-barang lainnya," sahut ibu meletakkan penggorengan besar di wastafel, tidak muat."Siapa saja yang akan datang, Bu?" tanya Mentari berusaha mencuci penggorengan tanpa menimbulkan kebanjiran di sekitar wastafel."Yang bi
Keheranan Mentari masih berlanjut. Dua hari kemudian Argan menyatakan bahwa dia akan kembali ke rumahnya, rumah orang tuanya. "Di sini juga rumahmu, Argan. Keluargamu juga di sini," kata ibu menyahuti pernyataan Argan. "Istri dan anakmu di sini." Ibu menekankan kata-kata itu. "Aku mendapatkan pekerjaan penting, terlalu jauh dan beresiko kalau harus bolak-balik ke sini." Dengusan Cahya terdengar pelan, seperti hendak disembunyikan. "Proyek jalan tol?" tanya ibu. "Iya, Bu. Ini proyek besar yang memerlukan banyak waktu dan fokusku. Jadi, aku benar-benar harus dalam kondisi terbaikku dan berada dalam lingkungan yang sepenuhnya mendukungku," sahut Argan penuh percaya diri sambil melirik Mentari sebelum memasukkan sesendok ayam bumbu ke dalam mulutnya. Mentari tersindir, namun dia tidak ingin menanggapi. Hanya tersirat keheranan di wajahnya. Apakah mertuanya sudah kembali? "Papa dan Mama sudah pulang?" kalimat itu meluncur begitu saja, padahal dia tidak ingin bicara dengan Ar
Wajah Mentari sepucat kertas putih. Tangkapan matanya seolah tidak dapat diproses otaknya. Matanya mencari-cari ke arah pekarangan rumah. Diapun berjalan maju dengan cepat, berharap motornya ada di pekarangan depan.Kosong.Dia berbalik memandangi kakaknya yang sedang mendekatinya dengan ekspresi bingung."Bu?""Motormu dipinjam Argan, Tari. Ada hal penting yang harus dikerjakannya."Pernyataan ibu menyambar Mentari seperti sebuah petir. Tidak yakin, dia kembali memastikan, "Apa, Bu?""Argan harus menghadiri rapat untuk membahas pelaksanaan proyek jalan tol yang diceritakannya pada kita. Rapat itu mulai jam delapan pagi. Dia hendak meminta izin padamu tadi pagi untuk memakai motormu, tapi kamu masih terlelap, jadi Ibu memberikan kunci motornya."Di telinga Mentari, penjelasan ibu terdengar tidak masuk akal. Setelah yang dilakukan Argan padanya dan motornya seminggu yang lalu, bagaimana mungkin ibu masih meminjamkan motor itu pada Argan?Mulut Mentari menganga, hendak melontarkan keber
"Dia memang harus ke dokter. Dokter jiwa," seloroh Cahya saat dia mencuci piring. "Kepalanya terbentur, pasti pikirannya terganggu, semakin parah dari sebelumnya."Sindiran Cahya mengundang tatapan tajam ibu. Namun tatapan itu segera teralihkan oleh bayangan Mentari yang muncul dari balik pintu."Ayo, duduk. Ibu ambilkan nasi."Dengan patuh, Mentari duduk sambil berusaha menekan perutnya yang mulai menimbulkan bunyi."Ini rumahmu, Tari. Jangan bodoh dengan membiarkan dirimu kelaparan di rumahmu sendiri."Sigap, Cahya mengeluarkan kembali lauk yang telah dimasukkannya ke lemari. Bahkan dia menuangkan segelas air dan meletakkannya di meja depan Mentari. Dari samping kiri, ibu meletakkan sepiring nasi beserta sendok.Mata Mentari menerawangi makanan di depannya. Rasa laparnya membuncah, namun otakknya tidak mengarahkan tangannya untuk meraih sendok.Kembali, Cahya dengan sigap mengambil tangan kanan Mentari lalu menggenggamkannya pada sendok di hadapannya.Seolah tersadar dari lamunan, M