Irina sedikit terkejut saat tiba-tiba mobil yang ditumpanginya bersama Kevin membelok menuju ke sebuah tempat yang cukup ia kenal. Itu adalah tempat di mana dia akan pergi menggunakan jet pribadi. Irina tahu karena dia pernah melakukannya dengan Kevin juga Max. Kenapa Kevin mengajaknya ke tempat ini?
“Kita … mau ke mana?” tanya Irina saat mobil mereka berhenti.
“Aku ada kerjaan di luar kota.” Kevin menjawab pendek dengan nada setengah mendesis.
“Kamu akan menginap di sana?” tanya Irina kemudian.
Kevin menatap Irina dengan sungguh-sungguh. “Bukan hanya aku, tapi kita.”
“Tapi, aku enggak bawa baju. Maksudku….” Irina bahkan baru ingat jika baju yang dia gunakan di balik coat ini masih kotor akibat jus yang ditumpahkan Rani padanya. Bagaimana mungkin dia bepergian menggunakan pakaian seperti itu?
“Kamu tidak bisa menolak.” Kevin tak bisa diganggu gugat.
Irina menghela napas panjang. Pada akhirnya, dia hanya bisa mengikuti apa pun kemauan Kevin. Keduanya lalu turun dari mobil dan disambut oleh pekerja yang ada di tempat itu, kemudian dibimbing menuju landasan pesawat jet pribadi milik keluarga Kevin.
Jika dulunya Irina bisa mengangkat wajahnya penuh percaya diri, maka kini keadaan sudah berubah. Di luar sana, banyak sekali orang yang menghujat dan mencibirnya dari belakang. Bahkan tadi, saat ke kantor Kevin, beberapa orang tengah berbisik-bisik saat dia berjalan. Hal itu benar-benar menghancurkan rasa percaya dirinya.
Dia bukan lagi model papan atas yang banyak mendapat sanjungan. Dia kini hanya orang yang terbuang dan tak diinginkan. Seseorang yang kotor dan penuh dengan skandal. Sangat memalukan.
Bahkan mungkin, Kevin malu bersanding denganku. Irina membatin pahit.
“Ada apa?” Pertanyaan Kevin yang dingin itu membuat Irina mengangkat wajahnya seketika.
“Ah, enggak.” Irina tak mungkin mengatakan tentang pemikirannya pada Kevin. Dia tak ingin terlihat menyedihkan di mata pria itu. Dia tak ingin dikasihani.
Tanpa bicara lagi, Kevin meraih telapak tangan Irina, menggenggamnya, kemudian mengajaknya masuk ke pesawat jet pribadi yang ada di hadapan mereka. Diperlakukan seperti itu membuat Irina terkejut. Kevin seakan mencurahkan perhatiannya, seolah-olah ingin menjaganya. Meskipun sejak dulu pria ini sering melakukannya, tetapi sekarang rasanya berbeda. Mengapa? Apa karena pria ini sudah menjadi suaminya?
Irina dipersilakan duduk di dalam pesawat tersebut, sedangkan Kevin memilih duduk di bangku yang berada tepat di hadapan Irina. Dia kemudian mengamati Irina. “Kamu kedinginan? Kenapa enggak dibuka saja jaketnya?”
Irina kemudian membuka coat yang dia kenakan. Dia lupa dengan niatnya untuk tetap mengenakan coat tersebut untuk menutupi noda jus di pakaiannya. Irina baru mengingatnya ketika Kevin melihat noda tersebut.
“Itu kenapa?” tanyanya penuh selidik.
“Ah, tadi ketumpahan jus.”
Kevin menatap Irina dengan tak percaya. Bahkan, Kevin tampak menampilkan ekspresi penuh kecurigaan. Pria itu lalu bersedekap. “Apa yang tadi kamu lakukan dengan Bastian?”
Irina benar-benar tak mengerti dengan maksud dari pertanyaan Kevin. “Bukannya tadi aku sudah bilang kalau aku ngopi sama dia? Aku enggak sengaja ketemu Bastian di kantor Fany.”
Kevin masih menatap Irina dengan tatapan penuh selidik. Seolah-olah apa yang dikatakan Irina sama sekali tak membuatnya percaya.
“Dan aku juga mau bilang, kalau aku akan mundur dari dunia hiburan.” Irina membuka suara lagi.
Kevin mengerutkan keningnya. “Kenapa?”
Irina lalu menatap Kevin dengan tatapan yang hampir tak pernah dilihat oleh Kevin. “Kalau aku bilang bahwa aku mau fokus mengurus anak saja, apa kamu percaya?”
Tidak. Tentu saja Kevin tak percaya. Selama ini, Irina begitu ambisius dengan keinginannya: menjadi model papan atas. Pekerjaan itu menjadi pekerjaan yang sangat dicintai oleh Irina. Jadi, ketika Irina memutuskan mundur, rasanya ada yang salah. Terlebih, Irina bukanlah sosok perempuan yang keibuan. Perempuan ini pernah menggugurkan anak karena ambisi besarnya itu, di saat sudah bersuamikan pengusaha kaya hingga seharusnya tidak perlu lagi membanting tulang. Jadi, apa bedanya dengan sekarang?
“Kenapa kamu memilih pilihan itu?” tanya Kevin lagi.
“Um, kupikir, aku mulai mencintainya.” Irina tampak tersenyum tulus sambal menatap dan mengusap perutnya sendiri.
Kevin tak tahu apa yang dia rasakan saat ini. Rasanya, ada sebuah keinginan untuk merengkuh tubuh Irina, memeluknya erat-erat, menguatkannya, dan mengatakan bahwa perempuan itu pasti akan menjadi ibu terbaik di dunia jika mau mencoba. Namun, sekali lagi, ada satu sisi di mana Kevin ragu.
“Aku masih tidak percaya kalau kamu memilih menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Kamu masih bisa menjadi model produk-produk kehamilan dan sejenisnya. Atau, jika sudah melahirkan nanti, kamu bisa menjadi model untuk produk-produk bayi. Kenapa kamu memilih mundur?” tanya Kevin lagi.
Irina mencoba untuk tersenyum menanggapi pertanyaan Kevin. “Enggak ada. Karena, setelah kupikir-pikir, aku sudah menjadi istri pria kaya raya. Lalu kenapa aku masih harus bekerja?”
“Max juga kaya. Tapi, kamu masih menjadi model setelah resmi menjadi istrinya.”
Irina tampak kesulitan menjawab. Hal itu sudah bisa menjadi jawaban untuk Kevin bahwa kemunduran Irina di dunia hiburan bukanlah keinginannya sendiri.
“Sudahlah. Yang penting aku sudah mutusin kalau aku mau fokus sama anak.” Irina mengakhiri percakapan mereka.
Kevin tak menanggapi lagi. Dia sudah tahu bahwa Irina saat ini pasti sedang bermasalah. Dia hanya perlu menyuruh orang untuk mencari tahu permasalahan Irina dan membuat perempuan ini terlepas dari permasalahannya.
***
Rupanya, mereka menuju ke sebuah resort yang terletak di Raja Ampat. Tempatnya sangat indah. Meski Irina sering kali bepergian, tetapi Irina baru tahu tempat seperti ini.
“Apa yang kamu kerjakan di sini?” tanya Irina ketika mereka dibimbing menuju ke sebuah cottage yang akan mereka tinggali.
“Ada proyek besar dengan seorang rekan kerja.” Kevin menjawab singkat.
“Proyek apa?” tanya Irina lagi.
Belum sempat Kevin menjawab, seorang pria datang menghampiri keduanya. Kevin dan pria itu tampak saling berjabat tangan bahkan saling merangkul seperti teman lama, kemudian Kevin mulai mengenalkan Irina pada pria itu.
“Irina, Istriku,” ucap Kevin mengenalkan Irina pada pria itu.
“Hei, aku Arsen Makarov.” Pria bernama Arsen itu menjabat tangan Irina.
“Arsen adalah pemilik resort ini.” Kevin menjelaskan. “Kami ada proyek bersama dengan saudaraku juga, Damar, untuk membangun resort baru.”
“Ya. Tapi karena Kevin baru nikah, jadi kupikir sekalian saja aku mengundang kalian ke sini untuk berbulan madu,” jelas Arsen dengan ramah.
Irina menatap Kevin seketika, pun dengan Kevin yang rupanya sudah menatapnya. Irina lalu mengalihkan pandangan karena merasa pipinya memanas. Entah mengapa, membayangkan bulan madu dengan Kevin membuat Irina merasakan perasaan yang aneh. Berbeda dengan Irina, Kevin tampaknya kurang suka dengan pernyataan Arsen.
“Kamu bercanda, ya? Kami enggak sedang ingin bulan madu.”
“Babymoon, mungkin?” Arsen masih tak mau mengalah.
“Ck, ayolah.” Kevin berdecak kesal. Hal itu hanya disambut tawa lebar dari Arsen.
“Ya sudah kalau gitu, kalian istirahat saja dulu. Sudah malam, kalian pasti capek.”
Setelahnya, Arsen berpamitan. Kevin dan Irina kemudian dibimbing menuju ke cottage yang akan mereka tinggali selama berada di tempat itu.
“Kamu suka tempatnya?” tanya Kevin saat menatap Irina yang tampak takjub mengamati interior bangunan yang akan mereka tempati selama beberapa hari ke depan.
“Ya. Ini sangat bagus.” Irina berkomentar masih dengan mengamati segala penjuru ruangan. Bangunan itu memang tampak sengaja dibangun dengan gaya tradisional. Meski begitu penataannya sangat bagus, rapi, dan tampak menyatu dengan alam.
Irina tidak sadar jika Kevin mengamatinya dengan penuh minat. Astaga, Kevin memang selalu menginginkan Irina, tetapi keinginannya tidak sebesar seperti sekarang ini.
Kevin mendekat. Irina bahkan merasakan bagian belakang tubuhnya hampir menempel pada tubuh Kevin yang berdiri di belakangnya. Irina memutuskan membalikkan diri, dan benar saja, dia sudah mendapati Kevin berada sangat dekat dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Kevin?”
Kevin lalu menangkup kedua pipi Irina, kemudian tanpa banyak bicara lagi menyambar bibir Irina dan mulai menciumnya. Irina membulatkan mata seketika, tak percaya bahwa Kevin akan melakukan hal ini padanya.
-TBC-
Selama seminggu terakhir setelah kejadian Irina menampar Kevin malam itu, hubungan Irina dan Kevin kembali sedikit merenggang dan dingin. Irina sudah kembali tidur di kamar mereka. Namun, mereka hanya tidur. Kevin tak lagi menuntut haknya pada Irina setelah kejadian malam itu. Sedangkan Irina, meski dia merindukan sentuhan Kevin, Irina tentu tak mungkin tiba-tiba menggoda Kevin.Irina hanya sesekali mencoba mendekatkan diri pada Kevin, meski reaksi pria itu masih cuek-cuek saja. Meski begitu, Irina mengetahui, jika diam-diam Kevin perhatian padanya.Seperti… saat makan siang, tiba-tiba supir Kevin mengantarkan bingkisan makanan untuk Irina yang masih fokus dengan renovasi ruko untuk butiknya. Kevin juga sealu mengantar jemput Irina dengan alasan bahwa mereka satu arah.Perhatian-perhatian seperti itu membuat Irina sedikit tenang. Setidaknya dia tahu bahwa Kevin masih peduli dengannya, meski pria itu masih menampilkan ekspresi dingin dan cueknya.Hari ini, adalah hari pertama pembukaan
Irina menyusul Kevin masuk ke dalam ruko tersebut. Kevin tampak mengamati seluruh penjuru ruangan yang sudah kosong karena para pekerja Irina memang sudah lebih dulu pulang sebelum Bastian pulang tadi. Lalu Irina membuka suaranya lagi dan mencoba untuk mencairkan suasana yang masih terasa tegang.“Kamu mau minum sesuatu?” tawar Irina.Kevin menatap Irina, masih dengan tatapan mata tajamnya “Kamu masih belum menjawab pertanyaanku. Kenapa dia bisa di sini?”“Uumm, aku belum cerita ya? Ruko ini bekas studio foto milik Bastian. Aku ingat kalau tempatnya strategis, dan Bastian sudah pindah kantor hingga ruko ini kosong, jadinya aku memutuskan untuk menyewanya.”Kevin ternganga mendapati jawaban Irina yang jujur dan polos itu. Apa Irina tak memikirkan perasaanya? “Aku sudah bilang sama kamu, bahwa aku bisa membantumu mencarikan tempat. Tapi kamu memilih tetap di tempat ini. Sekarang aku tahu, apa alasannya.”“Aku hanya nggak mau buat kamu repot.”“Oh ya? Bukan karena agar kamu punya alasan
Kevin memberhentikan mobilnya di depan sebuah ruko besar. Dia mengamati ruko tersebut, kemudian menatap Irina dan bertanya “Jadi, di sini kamu akan menjual semua koleksimu?” Setelah kembali dari kapal, Kevin sebenarnya akan mengantarkan Irina pulang dan dia kembali ke kantornya. Namun rupanya, Irina ingin diantar ke sebuah tempat yang akan menjadi tempat kerjanya nanti. Sebuah tempat yang akan disulap Irina menjadi butik tempat dia akan menjual koleksi baju dan barang-barang branded tak terpakai miliknya.Irina tersenyum dan mengangguk “Ya. Bagaimana menurutmu tempatnya?” tanya Irina balik.Kevin mengamati sekitarnya “Bagus dan ramai. Kamu pintar cari tempat.”Irina tersenyum senang. “Aku ingat kalau tempat ini tidak terpakai. Ini milik temanku, jadi, aku menghubunginya untuk menyewanya sementara.”“Kalau kamu mau aku bisa—”“Tidak.” Irina memotong kalimat Kevin. “Aku tahu kamu bisa membelinya, tapi tempat ini tidak dijual.” Irina menjelaskan.“Apa yang kamu lakukan di sini nanti?” t
Cumbuan yang dilakukan Kevin semakin dalam, semakin menuntut, hingga akhirnya, Kevin tak mampu lagi menahan diri. Dilepaskannya tautan bibirnya pada bibir Irina, kemudian dengan napas yang masih memburu, Kevin mengajak Irina meninggalkan tempat tersebut menuju ke kamar di dalam kapal yang sudah dipersiapkan untuknya.Irina mengikuti saja kemanapun langkah kaki Kevin berjalan. Dia percaya sepenuhnya dengan pria itu, bahwa pria itu tak akan menyakitinya. Akhirnya, sampailah mereka di kamar yang sudah dipersiapkan. Irina mengamati segala penjuru ruangan. Rupanya, ruangan tersebut telah benar-benar dipersiapkan untuknya dan juga Kevin. Bahkan, tampak tertata rapi bunga-bunga di sana, membuat suasana terasa menjadi lebih romantis.“Kamu yang menyiapkan semua ini?” tanya Irina kemudian.Kevin menatap Irina dengan sungguh-sungguh. “Aku tak memiliki waktu sebanyak itu.” Irina tersenyum menanggapi jawaban Kevin. Pria itu kemudian mengulurkan jemarinya kembali menyentuh pipi Irinya, mengusapn
Jam Empat sore, Irina sudah pulang dari tempat yang dia kunjungi tadi. itu adalah sebuah tempat dimana dia akan mendirikan butik baju koleksinya. Irina bersyukur bahwa semuanya berjalan dengan lancar, dan segera mungkin dia akan mulai memindahkan koleksi-koleksi bajunya ke sana setelah tempat tersebut siap.Saat ini, Irina sedang mempersiapkan diri untuk berkencan dengan Kevin, seperti yang sudah mereka rencanakan tadi pagi. Mengingat hal itu membuat pipi Irina kembali merona seketika.Irina menggunakan gaun yang menurutnya paling bagus, merias wajahnya dengan make up secantik mungkin, bahkan dia juga menata rambutnya sendiri agar terlihat indah di mata Kevin. Ini akan menjadi kencan pertamanya dengan Kevin, dan entah kenapa Irina merasa sangat antusias.Tiba-tiba saja Irina jadi teringat tentang apa yang dikatakan ibunya dulu, bahwa Kevin akan selalu menjadi tuan muda untuknya. Irina menunduk sedih, dia menatap perutnya sendiri lalu mengusapnya dan tersenyum lembut. “Apa yang kulaku
Pagi hari, Irina sudah membuka matanya, tapi dia memutuskan untuk tak bergerak dan tetap berada dalam rengkuhan Kevin. Selain karena canggung, Irina juga ingin menikmati kebersamaannya dengan Kevin lebih lama lagi. Irina takut, jika dia bangun lalu semua kebahagiaan ini akan berakhir seperti saat itu.Irina merasakan Kevin mengeratkan pelukannya, pria itu rupanya sudah bangun, namun tampak enggang bangkit dari tidurnya.“Kamu sudah bangun?” tanya Kevin dengan suara yang serak.Irina mengangguk lembut.“Mau mandi bareng?” tawar Kevin yang segera mendapatkan tatapan penuh arti dari Irina. Irina menunduk dan tersenyum. Pada akhirnya Kevin bangkit, mengajak Irina melakukan apa yang menjadi idenya tadi.*** Setelah mandi bersama, dan hanya mandi, karena meski menginginkan tubuh Irina, Kevin cukup tahu diri untuk tidak menyentuh tubuh Irina terlebih dahulu. Irina pasti lelah, dan dia tak ingin membuat Irina semakin kelelahan. Kevin mengganti pakaiannya dengan pakaian kerja, sedangkan Ir