Pada saat Devano sedang melamun, tiba-tiba dia dikejutkan dengan kedatangan beberapa orang yang berwajah sangar.
Devano langsung tahu bahwa beberapa orang tersebut sengaja diberi perintah untuk mengosongkan rumah yang sedang dia tempati. Mereka ingin membeli rumah beserta tanahnya, tapi ayah angkatnya tidak pernah mau menjualnya. Dia merasa bahwa rumah tersebut sudah memberikan banyak kenangan untuk mereka semua.
Beruntung ayah angkatnya sudah memberikan kepada Devano surat- surat rumah untuk disimpan di tempat yang aman, sehingga terbebas dari gangguan para preman dan juga pengusaha yang ingin membeli rumah tersebut.
Meski pada waktu operasi pertama, ayah angkatnya sudah memberikan ijin kepada Devano, jika ingin menjual rumah tersebut.
"Mana ayah angkatmu?" tanya seorang lelaki yang langsung duduk di sebuah kursi yang ada di ruangan tersebut.
Suaranya menunjukkan bahwa dia berkuasa dan juga ditakuti di lingkungan tempat Devano tinggal.
"Ayah angkatku sekarang berada di rumah sakit. Dia baru saja selesai dioperasi, jadi dia tidak bisa menemui kalian."
Mendengar hal tersebut, beberapa orang masuk ke dalam kamar utama dan mulai mengacak-ngacak isinya. Devano sangat tahu bahwa mereka sedang mencari surat tanah rumah.
Devano sama sekali tidak bergerak sedikit pun. Dia hanya memandang beberapa lelaki tersebut dengan tatapan kosong.
Sepertinya dia sama sekali tidak peduli dengan yang mereka lakukan.
Dia tahu, diam pada saat ini adalah pilihan yang terbaik. Banyak bicara justru akan membuat dia dalam bahaya, bahkan memicu keributan.
Bisa dikatakan merahasiakan apa yang dia tahu adalah pilihan yang terbaik.
Oleh karena itu, dia menundukkan kepala sambil berkata, "Jika kalian sudah menemukan apa yang kalian cari, maka lebih baik tinggalkan aku sendiri. Selain itu, tolong jangan acak- acak barang ayah angkatku seperti itu. Aku tidak mau kalian memperlakukan semuanya seperti sampah tidak berguna."
Preman tersebut langsung berteriak, "Apa kau bilang? Kau melarang kami mengacak-ngacak. Memang semuanya sudah menjadi sampah, maka sudah seharusnya dibuang, termasuk dirimu, Bajingan!"
Devano tidak menjawab, dia hanya menundukkan kepalanya.
"Lebih baik kau beri tahu kepada ayah angkatmu untuk menyerahkan surat rumah ini, termasuk menandatangani pelepasan rumah ini kepada bos kami."
"Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kalian katakan. Aku tidak mengerti dengan surat-surat tersebut. Aku hanya diminta menjaga rumah, hanya itu yang aku tahu."
"Dasar setan tidak berguna!" Suara tersebut bergema dengan begitu besar dan membahana.
Devano hanya mampu menundukkan kepalanya. Dia memang tidak menyukai konfrontasi dengan siapa pun. Ayah angkatnya selalu memberikan nasehat kepada dirinya untuk menghindari sebuah pertarungan yang tidak penting.
Melihat tidak menemukan apa yang sedang mereka cari, para preman tersebut akhirnya memutuskan untuk pergi meninggalkan Devano sendirian.
"Katakan kepada ayah angkatmu untuk segera memberikan rumah ini. Jika dia bersikukuh mempertahankannya, maka dengan sangat terpaksa kami akan mengambilnya dengan cara paksa."
Preman tersebut kemudian keluar dengan raut wajah kesal sambil menendang meja lapuk yang ada di ruangan.
Brak!
Seketika meja tersebut hancur tanpa bersisa. Devano sama sekali tidak peduli dengan apa yang baru saja dilakukan oleh sang preman. Apa lagi dia tahu bahwa tidak ada yang perlu dipertahankan di rumah ini.
Setelah kepergian sang preman, Devano berjalan menuju ke kamarnya. Di kamar berukuran tiga kali tiga itu, dia langsung menyandarkan punggungnya di sebuah kasur lapuk dan sama sekali jauh dari kata nyaman.
Safira duduk di ruang tamu besar rumah keluarganya, mengamati ornamen-ornamen mewah yang menghiasi sekelilingnya. Dia adalah wanita muda berusia tiga puluhan, dengan rambut hitam panjang yang selalu rapi disanggul. Matanya yang tajam dan ekspresinya yang tenang menunjukkan kecerdasan dan ketegasan. Di hadapannya, duduk neneknya, seorang wanita tua dengan rambut putih yang terurai lembut. Neneknya, meskipun tampak lemah, memiliki aura otoritas yang tidak bisa diabaikan."Safira, sayang, nenek ingin membicarakan sesuatu yang penting," kata Ny. Amora dengan suara lembut namun tegas. Safira mengangguk, siap mendengarkan. "Perusahaan keluarga kita, Mega Rejeki, baru saja mengalami perubahan besar."Safira mengerutkan kening, merasa ada yang aneh. "Perubahan apa, Nek?""Nenek sudah menjual sebagian besar saham perusahaan kepada seseorang yang nenek percayai," jawab Ny. Amora, matanya bersinar dengan kilau yang tidak bisa dijelaskan.Safira terkejut. "Kenapa, Nek? Bukankah kita selalu menjag
Berita tentang perpindahan Perusahaan Mega Rejeki kepada pemilik baru langsung membuat semua orang menjadi terkejut. Banyak orang bertanya tentang kebenaran dan juga penyebab semua terjadi. Hal ini membuat banyak orang berspekulasi bahwa keluarga Amora sudah bangkrut. Bahkan ada yang berani memprediksi bahwa keluarga Amora akan menjadi gelandangan.Sungguh sebuah isu yang sama sekali tidak mengenakan telinga buat Amora dan keluarganya. Meski sudah berusaha menahan semua isu tersebut, tetap saja semua berjalan tanpa bisa terkendali sama sekali.Berita ini juga memberikan cerita bahwa pemilik baru masih sangat muda dan tentu saja sangat kaya. Hal ini membuat banyak orang kaya berharap bisa menjalin hubungan dengannya. Meski begitu, rahasia tentang siapa pria tersebut masih belum terbuka sama sekali.Melihat situasi yang seperti ini, banyak berharap bahwa mereka juga bisa menjalin hubungan bisnis dengan Perusahaan Mega Rejeki. Sebelumnya mereka enggan bekerja sama karena perusahaan terse
Mendengar tidak ada pilihan lain, kecuali menerima tawaran seorang investor, Amora hanya bisa menarik napas pendek. Dia tahu bahwa ada kemungkinan dia akan kehilangan posisi. Sebagai pemegang saham minoritas, maka tidak ada jalan lain, kecuali ikut dengan pemilik yang terbanyak. Tidak ada yang bisa dilakukan akan hal itu."Baiklah. Aku setuju dengan semua yang kau tawarkan. Apa prosesnya bisa dilakukan sekarang juga?" tekanan yang diberikan Bank Nagara membuat Amora sama sekali tidak bisa memilih. Dia pasti lebih baik menjual delapan puluh persen saham, dari pada dia harus kehilangan perusahaan secara penuh. Setidaknya dengan kehilangan delapan puluh persen saham, dia masih mempunyai kesempatan di masa yang akan datang.Amora duduk di kursi kantor yang empuk dengan perasaan campur aduk. Ruangan meeting yang mewah dengan dinding kaca yang memberikan nuansa kehebatan di masa lalu, terasa begitu menyesakkan hari ini. Di hadapannya terhampar berkas-berkas transaksi yang harus ia selesaika
Amora sama sekali tidak mampu berkata apa-apa. Dia sendiri baru saat ini tahu akan keuangan yang sebenarnya. Selama ini, dia hanya terpaku pada laporan keuangan yang selalu dibuat baik-baik saja oleh Carlos. Sekarang dia sudah tahu, tapi semua itu sudah terlambat sama sekali."Emang kita masih punya cadangan seberapa besar lagi?" tanya Amora dengan tatapan penuh kebingungan kepada manejer keuangan.Dengan suara terbata-bata, sang manejer keuangan menjawab, "Maaf Bu Amora. Pada saat ini, uang yang ada di rekening sudah tidak mungkin untuk kita pakai lagi.""Maksudmu?" tanya Amora dengan tatapan tajam, "jelaskan apa maksudmu bahwa uang di rekening sudah tidak bisa digunakan lagi?""Uangnya sudah habis. Pada saat ini, kita sudah sama sekali tidak bisa melakukan pembayaran hutang. Bahkan untuk biaya operasional saja, kita sudah tidak mampu lagi!""Apa?" ucap Amora dengan suara tertahan. "Berapa saham kita yang bisa dijual untuk menutup itu semua?""Sebelumnya saya menghitung sekitar empat
Amora memang tidak tahu harus berbuat apa. Dia sama sekali tidak mengira, jika kleputusan yang sulit harus dia ambil. Sungguh bukan sesuatu yang mudah, tapi pada saat ini, dia harus melakukannya. "Bu, apa ada cara lain yang bisa kita lakukan?""Apa kau mau menjual semua hartamu untuk digunakan membayar semua hutang jatuh tempoh?" tanya Amora kepada Carlos yang memang selama ini lebih dipercaya dari pada anak sulungnya.Carlos tentu saja langsung terdiam setelah mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya. Dia tidak mau membuat sesuatu hal yang sangat merugikan. Dia memang tidak mau membuat Perusahaan Mega Rejeki diambil orang lain, tapi dia tidak mau sama sekali berkorban untuk perusahaan tersebut menggunakan hartanya.Pada saat semuanya masih terdiam dengan pikiran masing-masing, terdengar pintu dibuka dari luar. Seorang wanita yang merupakan asisten pribada Amora masuk dan mendekat."Maaf, Bu. di luar ada perwakilan dari Bank Nagara. Mereka mau bertemu dengan ibu terkait hutang jatuh
Amora memandang ke arah semua orang. Dia sama sekali tidak mengira, jika semua ini terjadi hanya karena ulah dari Handerson yang merupakan cucu kesayangannya. Dia selama ini selalu berusahaan mendapatkan sebuah kesenangan dan keuntungan, tapi kini, semua itu terasa lenyap di tangannya.Amora menekan telpon untuk menghubungi Handerson. Dia tidak bisa menerima berita begitu saja, kecuali langsung mendengar dari yang bersangkutan.Ketika telpon tersambung, Amora masih menahan kemarahannya. Dia bertanya dengan suara yang lembut dan tidak terlihat sedang menahan sebuah kemarahan sama sekali."Handerson, apa yang terjadi dengan Horizon solution? Aku baru saja mendengar bahwa kau bersikap tidak sopan yang membuat CEO yang baru di Horizon solution tersinggung dan memutus semua kontrak kerja sama kita. Sebenarnya siapa yang telah kau hina dan remehkan?"Handerson langsung terkejut mendengar pertanyaan nenek mertuanya tersebut. Dia sama sekali tidak mengira akan diberi pertanyaan seperti ini. D