Share

Bab 7: Rumah Penuh Kenangan

Habis berkata seperti itu, pria tersebut berbalik dan meninggalkan Devano yang masih terpana dengan semua yang sedang terjadi.

Devano sendiri masih belum percaya dengan hal yang baru saja dia alami, semua terasa seperti mimpi. Dia seakan masih terbenang dalam sebuah mimpi dan belum terbangun untuk menjadi sebuah kenyataan.

Lalu dengan perasaan penuh kebingungan, Devano kembali ke meja kasir. Dia kemudian berkata dengan mantap, "Aku ingin melunasi semua biaya perawatan operasi!"

Kasir menerima kartu yang diberikan oleh Devano, lalu dia menggesek, kemudian memasukan nominal yang sesuai dengan jumlah tagihan.

Selanjutnya, Devano dengan tangan sedikit bergetar memasukkan pin sesuai dengan tanggal kepergian dia dan kedua orang tuanya dari kediamanan lelaki tua yang sangat dia benci.

Tanpa memiliki kendala berarti, akhirnya struk bukti pembayaran keluar.

Dia sama sekali tidak percaya bahwa apa yang dikatakan oleh pria tersebut adalah sebuah kebenaran. Dia yang sebelumnya kebingungan membayar tagihan rumah sakit, sekarang dengan begitu mudah dia membayarnya.

Sekarang dia menjadi orang kaya, hanya dengan sekejap mata saja.

Setelah membayar tagihan rumah sakit, Devano sempat berkunjung sebentar di ruang perawatan ayah angkatnya. Dia sama sekali tidak diperbolehkan menemuinya karena masih dalam pemantauan sang dokter.

Devano langsung berjalan keluar dari rumah sakit. Dia seperti orang linglung dengan segala kebingungan yang memenuhi kepalanya.

Dia berjalan keluar rumah sakit menuju ke halte bus yang terdekat.

Seperti biasa, setiap hari Devano memang menggunakan bus sebagai alat transportasi. Beruntung pemerintah memberikan angkutan umum yang murah untuk orang seperti dirinya.

Devano turun dari bus setelah melakukan perjalanan selama satu jam. Dia berjalan gontai menuju ke sebuah rumah yang merupakan tempat tinggal sementara untuk dirinya.

Dahulu rumah tersebut masih dihuni oleh beberapa anak yatim piatu seperti dirinya, tapi setelah ayah angkatnya masuk rumah sakit, maka semua anak yang ada di sana dipindahkan ke tempat lain.

Jadilah Devano hanya tinggal di sana. Itu pun dia lakukan karena tidak ada orang yang merawat tempat tersebut. Tempat dia mana dia sudah dibesarkan. Rumah yang tidak hanya memberikan sebuah kenangan, tapi juga mengajarkan tentang menghadapi hidup.

Meski harus diakui bahwa rumah tersebut nyaris tidak layak lagi untuk ditempati. Banyak lubang di atas plafon dan juga dinding yang sudah mengelupas dengan tembok yang nyaris ambruk.

Rumah tersebut memang sudah banyak berubah. Lantai kayu yang dulu berkilau kini mulai terlihat rapuh karena termakan usia. Kamar-kamar yang dahulu dipenuhi tawa dan cerita kini hanya dihuni oleh keheningan yang dan kegelapan. Jendela-jendela yang penuh cerita tentang matahari terbit dan terbenam, kini berserakan pecahan kaca yang membuat sinar mentari bersusah payah menembus masuk ke dalamnya. Sungguh sebuah rumah yang sangat berbeda.

Belum lagi pintu-pintu yang berdesain kuno, sekilas masih mempertahankan tanda-tanda kemegahan, tapi kerusakan yang nyata memaksa mereka untuk tetap setengah terbuka atau bahkan tak bisa berfungsi sama sekali. Ruang tamu yang dahulu penuh dengan mahkota kemegahan dan kebanggaan, kini hanya berisi kenangan yang terkubur di bawah debu dan bayangan.

Devano masuk ke dalam rumah tersebut dengan perasaan yang sangat sulit untuk diungkapkan.

Dia hanya terduduk lemas di ruang tamu yang menghadap ke arah taman yang sudah tidak berbentuk lagi. Sungguh sebuah pemadangan rumah yang sangat tidak layak untuk ditempati.

Tentu saja tidak sulit baginya untuk membangun ulang rumah ini, tapi dia masih belum yakin ayah angkatnya akan setuju.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status