Kotak-kotak susu kini kembali tersusun rapi di dalam tas belanja. Karton luar yang sempat dibuka telah direkatkan kembali, seolah tak pernah disentuh. Di dalam masing-masing kotak, beberapa tetes kematian tersembunyi, larut dalam cairan putih yang setiap pagi diminum Nora tanpa curiga.Janu menutup ritsleting tas perlahan, lalu bersandar di sandaran kursi dengan napas berat. Keringatnya belum benar-benar kering dan rambutnya masih lembap oleh mandi kilat sebelumnya.Chalia duduk diam di ranjang. Bahunya sedikit membungkuk. Dia menggigit bibirnya pelan. Ada air di matanya, tapi tidak jatuh. Dia terlalu tegar untuk menangis, tapi terlalu rapuh untuk berpura-pura kuat malam ini.“Mas,” katanya pelan. “Kamu butuh aku hanya untuk hal-hal seperti ini.”Janu menoleh perlahan. Lalu berdiri, menghampiri, dan duduk di sampingnya.“Rasanya menyakitkan,” lanjut Chalia, nyaris berbisik. “Melihat kamu datang tanpa senyum, tanpa sentuhan, lalu menyuruhku memasukkan racun. Seperti bukan kamu yang bia
Dan benar. Rindu tak mundur. Dia tetap di sana, meski seluruh nalarnya berteriak bahwa ini salah. Meski hatinya penuh luka dari kebisuan lelaki itu. Tapi tubuhnya sudah mengalah lebih dulu.Janu mendekat, mencium bibirnya perlahan, lembut tapi menjerat. Bukan ciuman yang terburu-buru. Rindu membalas. Tubuh mereka saling mendekap di ruang sempit. Jendela mengembun sepenuhnya kini. Udara di antara mereka panas, bukan hanya karena sentuhan kulit, tapi karena Janu tahu. ini bukan cinta. Tapi candu.“Mas...” bisik Rindu di sela ciuman, “kalau ini... cuma karena kamu butuh pelarian—.”Janu mengecup garis rahangnya. “Ini bukan pelarian. Ini tempat aku pulang, Rin.”Kebohongan paling indah malam itu. Dan Rindu, yang sudah jatuh terlalu dalam, memilih diam.Dalam kabin mobil yang bergoyang halus oleh tarikan napas dan denyut yang memuncak, dua orang saling melukai dengan cara paling lembut yang mereka tahu.Mobil masih bergoyang perlahan oleh embusan angin malam saat semuanya reda. Janu duduk
Sore menjelang malam, langit mulai berwarna abu-abu keperakan. Janu melangkah keluar dari ruang praktiknya dengan langkah santai, menyapa beberapa staf yang pulang lebih dulu. Kantong di tangan kanannya berisi dua hal yang tampaknya biasa bagi siapa pun yang melihat: sepasang botol susu rasa vanilla dan satu map berisi “dokumen pasien.”Tapi hanya Janu dan satu orang lainnya yang tahu, ini bukan kunjungan medis biasa.Dia membuka ponsel, mengecek pesan terakhir.Chalia: “Aku sudah ambil. Aman. Ketemu di hotel pukul 19.00. Pakai pintu belakang.”Janu tersenyum tipis. Pukul 17.12. Masih ada waktu. Jalanan pun tidak terlalu padat. Ia berjalan ke arah parkiran basement dengan langkah ringan, pikirannya sudah menata kemungkinan. Berapa tetes thallium. Berapa banyak susu yang akan disimpan, Bagaimana dia akan menyiapkannya agar tetap terlihat steril.Tapi rencana yang sempurna itu goyah.Saat dia hampir mencapai mobil, matanya menangkap sosok wanita familiar dari samping kanan.Rindu.Berdi
Udara pagi masih sejuk saat Janu menginjakkan kaki keluar rumah. Langit cerah, burung mulai ramai di kabel listrik, dan tetangga sebelah sudah sibuk menyapu halaman. Dia melambaikan tangan pada salah satu ibu-ibu yang lewat sambil membawa kantong belanja. Senyum ramah, anggukan kecil, seperti biasa.Mobilnya meluncur mulus keluar dari kompleks perumahan. Pemutar musik menyala, tapi volumenya kecil. Janu menyetir dengan tenang. Wajahnya rileks, bahkan sempat bersenandung kecil mengikuti lagu lama yang diputar.Tapi pikirannya jauh dari musik.Dia tahu sekarang. Nora mungkin sudah tahu. Mungkin juga sudah mencurigainya. Botol kapsul itu bersih. Terlalu rapi. Terlalu disengaja.Dan perempuan yang terlalu tenang saat tahu dirinya hampir mati, biasanya bukan tidak tahu.Nora mungkin sedang bermain. Dan sekarang, giliran dia membalas.Setelah beberapa kilometer, Janu berbelok ke arah supermarket 24 jam yang biasa dikunjungi. Parkir masih lengang. Dia masuk, menyapa penjaga kasir seperti pel
Nora duduk di ujung meja makan. Malam itu, dia mengenakan blus lembut berwarna krim dan rok yang menjuntai hingga mata kaki. Rambutnya diikat setengah, rapi, seperti perempuan dari katalog rumah tangga ideal. Tangan kirinya mengaduk teh yang mulai dingin, pelan, berulang-ulang. Sebenarnya, yang dia tunggu adalah berita duka. Namun, yang terdengar adalah suara kunci diputar di pintu depan.Pulang. Lagi-lagi pulang. Dalam keadaan sehat.Pukul setengah sembilan lewat sedikit. Terlambat dua belas menit dari jadwal kepulangan, tapi tetap berdiri tegak, tetap bernapas, tetap dengan senyum lelah yang selalu berhasil menipu semua orang, kecuali Nora.Langkah kaki terdengar di lorong. Nora menegakkan punggung, memasang senyum secukupnya. Teh Earl Grey, racikan khususnya, sepertinya masih belum menemui tuannya.“Sayang,” suara Janu dari balik dinding. “Aroma rumah ini selalu enak kalau kamu ada.”Nora membalikkan badan, senyumnya hangat. Matanya sedikit sayu, bukan karena cinta, tapi karena let
Sore turun perlahan, menutup hari dengan langit kelabu yang menekan. Di ruang praktik, lampu-lampu mulai dimatikan satu per satu. Pasien terakhir baru saja pergi.Janu duduk bersandar di kursinya, melepaskan masker dan membuka kancing kerah. Lehernya kaku, bahunya pegal. Lelah mulai terasa, tapi bukan jenis lelah yang membuatnya ingin pulang. Bukan hari ini.Dia melirik jam dinding, lalu mengambil ponsel dan mengetik pesan singkat.“Chalia, aku butuh kopi. Kopi hitam saja, tanpa susu. Bisa bawakan?”Tak lama, balasan datang.“Kopi? Bukan teh earl grey lagi?”“Ya, kopi.” Janu membalas singkat, terlalu malas untuk menjelaskan panjang lebar.Lima menit kemudian, pintu diketuk. Lalu terbuka pelan. Chalia masuk dengan dua gelas di nampan kecil. Alisnya sedikit terangkat, menyiratkan keberatan yang belum sepenuhnya padam.“Bukan teh earl grey hari ini?” Dia mengulangi pertanyaan sambil meletakkan gelas di meja.Janu tersenyum. “Tidak. Hari ini aku sedang ingin yang pahit-pahit.”“Padahal ka