Kepalanya terasa berat. Kelopak matanya bergetar sebelum perlahan-lahan terbuka. Cahaya temaram menyilaukan pandangannya, membuatnya memejamkan mata kembali. Aroma asap rokok dan alkohol menusuk hidung, memaksanya untuk sadar sepenuhnya.
Catarina berusaha bangkit, namun kedua tangannya terikat di belakang kursi dengan tali kasar. Napasnya memburu, jantungnya berdegup kencang. Pikirannya masih berkecamuk pada peristiwa semalam — jeritan para pembantu, suara tembakan, dan wajah ibunya yang tertembak tepat di depan matanya. "Ibu..." bisiknya dengan suara serak. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Namun, kesedihan itu harus disimpan rapat-rapat, karena kini hidupnya berada dalam ancaman. Catarina mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ia berada di dalam sebuah gudang tua yang lembap, dengan dinding batu yang dingin dan penuh coretan. Lampu kuning buram tergantung di langit-langit, memberikan cahaya seadanya. Beberapa kotak kayu berserakan, sementara suara tetesan air terdengar dari sudut ruangan. Pintu besi di hadapannya terbuka dengan derit mengerikan. Dua pria berbadan besar masuk dengan wajah tanpa ekspresi. Salah satunya membawa sebotol minuman keras, sementara yang satunya lagi menyalakan rokok. Mereka berjalan mendekat dengan langkah berat, membuat Catarina semakin ketakutan. "Cantik sekali..." gumam salah satu dari mereka, matanya menelusuri tubuh Catarina dari atas ke bawah. Catarina merasa jijik. Ia menggigit bibir, mencoba menahan ketakutan yang mulai merayapi dirinya. "Bos pasti suka barang seperti ini," pria yang lain menimpali dengan tawa kasar. Catarina berusaha memberanikan diri. "Tolong... lepaskan aku..." suaranya bergetar, namun tetap terdengar tegas. Kedua pria itu hanya tertawa, seolah-olah permohonannya adalah sebuah lelucon. "Tidak semudah itu, manis... Kau sekarang milik bos kami." Catarina menahan isaknya. Ia sadar, permintaan atau air matanya tidak akan menyentuh hati para pria kejam ini. Dunia yang selama ini hanya ia dengar melalui bisikan kini nyata di depan matanya — dunia mafia yang penuh kekejaman dan tanpa belas kasihan. Beberapa jam berlalu tanpa ada yang menghampirinya. Tangan Catarina mulai memerah karena gesekan tali. Tubuhnya menggigil karena dingin, namun rasa takut jauh lebih menyakitkan daripada udara lembap yang menusuk kulit. Pintu besi kembali terbuka. Kali ini, seorang pria masuk dengan langkah tenang dan penuh wibawa. Wajahnya tampan, namun auranya terasa dingin dan mengancam. Setelan hitam rapi membalut tubuh tegapnya, sementara mata cokelat gelapnya menatap Catarina tanpa ekspresi. Catarina menelan ludah, merasakan hawa dingin semakin menusuk saat pria itu mendekat. "Siapa namamu?" tanya pria itu dengan suara berat dan dalam. Catarina terdiam. Mulutnya terasa kaku, seolah suaranya tertahan di tenggorokan. Pria itu menghela napas pendek sebelum berjongkok di hadapannya, memperhatikan wajah Catarina dengan seksama. "Kau terlalu cantik untuk dibunuh... tapi aku tidak suka orang yang diam." Tatapan tajam pria itu membuat Catarina menggigil. Namun, ia tahu, diam hanya akan membuatnya tampak semakin lemah di mata pria itu. "Catarina... Catarina Torees..." suaranya lirih, hampir seperti bisikan. Pria itu mengangguk pelan, seolah nama itu memberinya sedikit kepuasan. "Aku Lorenzo Vargas... bos dari semua orang di sini." Nama itu membuat jantung Catarina berdegup semakin kencang. Lorenzo Vargas adalah nama yang sering ia dengar dari bisikan gelap para pembantu rumah — bos mafia paling berkuasa di kota ini. "Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Catarina, berusaha menyembunyikan ketakutan di balik suaranya. Lorenzo tersenyum tipis, namun senyuman itu sama sekali tidak menenangkan. "Kau adalah hadiah... untukku." Catarina merasa seolah-olah jantungnya berhenti berdetak. Kata-kata itu bagaikan vonis kematian yang diucapkan dengan santai. "Aku bukan barang... Aku manusia!" desisnya dengan mata berkaca-kaca. Lorenzo mendekatkan wajahnya, membuat Catarina bisa merasakan napas hangat pria itu di wajahnya. "Di dunia ini, Catarina... semua orang memiliki harga. Termasuk kau." Air mata Catarina jatuh tanpa bisa ditahan. Namun, ia segera menundukkan wajah, tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Lorenzo memperhatikan gadis itu sejenak sebelum berdiri. "Aku tidak akan menyentuhmu... untuk saat ini." Catarina menatap pria itu dengan bingung. "Apa maksudmu?" Lorenzo menyeringai tipis. "Kau akan tetap hidup... selama kau berguna bagiku." Setelah berkata demikian, Lorenzo melangkah keluar dari ruangan tanpa sedikit pun menoleh. Pintu besi kembali tertutup, meninggalkan Catarina sendirian dalam kegelapan. Dalam hati, Catarina bersumpah akan melawan. Ia mungkin menjadi tawanan saat ini, namun ia tidak akan pernah membiarkan dirinya hancur di bawah cengkaman mafia itu. Namun, ia juga tahu... di dunia mafia, kebebasan bukanlah sesuatu yang mudah didapatkan. Dan Lorenzo Vargas bukanlah pria yang mudah dihadapi. Dengan air mata yang terus mengalir, Catarina menatap gelapnya malam melalui celah kecil di dinding. Hidupnya telah berubah selamanya, dan ia tidak tahu bagaimana cara keluar dari mimpi buruk ini. Apakah takdir akan memberinya kesempatan untuk melarikan diri?Lorenzo duduk di kursi roda, dengan lengan kirinya diperban tebal. Meskipun kondisinya belum pulih sepenuhnya, sorot matanya tajam dan penuh tekad. Di depannya, terbentang peta kota New York dengan beberapa titik merah yang ditandai dengan lingkaran. Jacob dan Marco berdiri di sisinya, menunggu instruksi.“Aku yakin dia menyembunyikan Catarina di salah satu properti bawah tanahnya,” ujar Lorenzo, menunjuk sebuah area di Midtown. “Gedung ini milik salah satu perusahaan cangkangnya. Dulu aku pernah menelusurinya, tapi tidak pernah menemukan apa pun… sampai sekarang.”Jacob mengangguk, lalu menyerahkan berkas hasil penyelidikan terakhir. “Kami menyadap komunikasi beberapa anak buah Nigel. Ada lalu lintas kendaraan mencurigakan ke gedung ini dua malam terakhir. Aktivitas tinggi, tapi tidak mencolok. Seperti mencoba menyembunyikan sesuatu.”“Catarina,” gumam Lorenzo. Matanya menyipit. “Kita harus menyusup malam ini. Aku akan ikut.”Marco langsung menol
Lorenzo terus membawa Catarina menuju pesawat pribadinya. Hari ini, dia memutuskan untuk membawa Catarina pulang ke Manila. Catarina setuju tanpa ragu karena ketakutannya terhadap Nigel semakin besar. Dia tak menyangka bahwa pria yang selama ini dikenalnya sebagai pengusaha ternama ternyata seorang mafia.Tanpa sempat membawa pakaian atau barang-barangnya, mereka langsung menuju bandara. Namun, situasi semakin kacau saat mereka tiba di landasan. Sekelompok pria bersenjata muncul dari berbagai arah, dan peperangan antara Lorenzo dan anak buah Nigel pun pecah.Peluru berdesingan di udara, dan Lorenzo berusaha melindungi Catarina dengan tubuhnya. Namun, sebuah tembakan mengenai bahunya, membuatnya mundur selangkah dengan wajah menahan sakit."Lari ke pesawat sekarang!" perintahnya dengan suara tegas meskipun darah mulai mengalir dari lukanya.Catarina ragu sejenak, tetapi Lorenzo mendorongnya agar segera pergi. Namun, sebelum dia bisa mencapai pesawat, Nigel tiba-tiba muncul dengan beber
Suasana di dalam apartemen semakin tegang. Catarina memegang pistol dengan tangan gemetar, sementara Lorenzo berdiri di depannya, melindunginya dari ancaman di luar.DOR!Satu tembakan terdengar, diikuti suara pecahan kaca jendela. Lorenzo langsung menarik Catarina ke sudut ruangan, menjauhkannya dari jalur tembakan."Sial," gumam Lorenzo. "Mereka tidak main-main."Lorenzo mengintip dari balik dinding dan melihat beberapa pria Nigel telah berhasil masuk. Dia tahu dia tidak bisa menghadapi mereka semua sendirian, apalagi dengan Catarina di sini."Kita harus keluar dari sini sekarang," bisiknya kepada Catarina."Tapi bagaimana?" Catarina berbisik panik.Lorenzo menoleh ke arah jendela yang sebagian kacanya sudah hancur. Itu satu-satunya jalan keluar."Lompat.""Apa? Kau gila?""Kita di lantai dua. Aku akan lebih memilih lompat daripada mati di tangan mereka."Catarina menelan ludah. Dia tidak punya pilihan lain. Dengan cepat, Lorenzo membuka jendela lebih lebar dan melompat lebih dulu.
Pagi itu, Nigel tiba di apartemen Catarina dengan ekspresi bingung. Biasanya, perempuan itu selalu ada di sana setiap pagi sebelum berangkat kerja. Namun, kali ini, tidak ada tanda-tanda keberadaannya.Nigel segera mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Catarina. Nada sambung terdengar, namun tidak ada jawaban. Berkali-kali dia menelepon, tetapi hasilnya tetap sama. Ponselnya bahkan sudah tidak aktif lagi.Rasa curiga mulai menyelimuti pikirannya. Tanpa membuang waktu, dia segera menghubungi anak buahnya dan memberikan perintah tegas.“Cari tahu keberadaan Angeline (Catarina) sekarang juga! Aku ingin laporan dalam waktu secepat mungkin!” suaranya dingin dan tajam.Dalam benaknya, hanya ada satu kemungkinan, yaitu musuh lamanya, Lorenzo. Jika benar pria itu menculik Catarina, maka ini adalah sebuah tantangan perang.Namun, yang tidak diketahui banyak orang adalah bahwa Nigel Ramirez bukan hanya seorang pengusaha fashion ternama. Di balik citra elegan dan bisnis mewahnya, dia ju
Catarina terbangun dengan napas tersengal. Tubuhnya terasa berat seolah ada seseorang yang menindihnya. Saat matanya terbuka sepenuhnya, ia mendapati Lorenzo berada di atasnya, menatapnya dengan mata penuh obsesi. "Apa yang kau lakukan?!" Catarina berusaha memberontak, tetapi tangannya masih terikat di kepala ranjang. Lorenzo menyeringai, jemarinya yang kasar mengusap pipi Catarina dengan lembut. "Aku hanya ingin memastikan kau tidak akan pergi ke mana-mana lagi, sayang." Catarina menggigit bibirnya, hatinya dipenuhi rasa takut dan kemarahan. "Lorenzo, ini salah. Kau tidak bisa memperlakukanku seperti ini." Lorenzo mendekatkan wajahnya, napas hangatnya mengenai wajah Catarina. "Kau milikku, Catarina. Aku tidak akan membiarkan pria lain menyentuhmu, bahkan menatapmu pun tidak." Catarina meronta lagi, tapi usahanya sia-sia. "Aku bukan milikmu! Kau sudah menikahi Carmela, Lorenzo! Lepaskan aku!" Sebuah kilatan kemarahan muncul di mata Lorenzo, tetapi ia segera mengendalikanny
Catarina berjalan keluar dari gedung dengan langkah yang sedikit gontai. Hari ini sangat melelahkan baginya. Ia ingin segera pulang, mandi air hangat, lalu tidur dengan nyenyak. Namun, malam ini ia tidak pulang bersama Nigel. Pria itu harus pulang lebih awal untuk menyambut keluarganya yang baru saja tiba dari luar negeri.Karena itu, Catarina memutuskan untuk pulang dengan taksi. Ia berdiri di tepi jalan, menunggu kendaraan yang dipesannya tiba. Suasana di sekitar cukup sepi, hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang.Namun, sebelum sempat menyadari sesuatu, tiba-tiba sebuah tangan besar menutup mulutnya dengan kain yang berbau menyengat. Catarina terkejut. Ia mencoba meronta, tetapi tubuhnya dengan cepat melemah. Pandangannya mulai kabur, dan beberapa detik kemudian, semuanya menjadi gelap.Lorenzo duduk di kursi kayu dengan kaki terentang, matanya tajam menatap wanita yang kini terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang. Bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis."Akhirnya k