Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah kecil di dinding, menerangi sudut gudang yang pengap. Catarina membuka matanya perlahan, menyadari dirinya masih terikat di kursi yang sama sejak semalam. Tubuhnya terasa pegal, dan kelaparan mulai menyiksanya. Namun, rasa takut jauh lebih mendominasi dibandingkan rasa sakit yang ia rasakan.
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu besi kembali terbuka, memperlihatkan sosok pria yang sudah tidak asing baginya, Lorenzo Vargas. Wajah tampannya tetap dengan ekspresi dingin, sementara setelan hitam yang dikenakannya tampak begitu sempurna, seolah-olah pria itu adalah raja dalam dunia gelap ini. Di belakangnya, dua pria bertubuh besar membawa nampan berisi roti dan segelas air. Mereka meletakkannya di atas meja kecil, lalu pergi tanpa berkata sepatah kata pun. Lorenzo melangkah pelan, tatapannya tajam menelusuri wajah pucat Catarina. "Makanlah," katanya singkat. Catarina hanya menatap makanan itu dengan curiga. "Apa kau takut aku meracunimu?" tanya Lorenzo, menyeringai tipis. Catarina menelan ludah, tetapi tetap diam. Perutnya terasa perih, namun harga dirinya menolak menerima kemurahan hati dari pria yang telah menghancurkan hidupnya. Lorenzo seolah memahami apa yang ada dalam pikiran gadis itu. Dengan tenang, ia mengambil segelas air dari atas nampan dan meminumnya di depan Catarina. "Jika aku ingin membunuhmu, aku sudah melakukannya sejak semalam." Catarina menggigit bibir, merasa dipermainkan. Dengan tangan gemetar, ia mulai melahap roti kering itu. Rasanya hambar menusuk lidahnya, namun ia tidak peduli. Saat ini, perut kosongnya jauh lebih membutuhkan makanan daripada mempertahankan kebanggaan. Lorenzo memperhatikan setiap gerakan gadis itu dengan mata tajam. "Kau berbeda dari perempuan lainnya." Catarina berhenti sejenak, menatap pria itu dengan mata penuh kebencian. "Aku bukan milikmu," desisnya. Lorenzo tertawa kecil, suara tawanya rendah namun penuh ironi. "Di dunia ini, Catarina... tidak ada yang benar-benar bebas." Catarina mengepalkan tangannya di balik kursi. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, tetapi ia berusaha keras menahannya. Ia tahu, menunjukkan kelemahan di depan pria seperti Lorenzo hanya akan membuat dirinya semakin lemah. "Apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya dengan suara bergetar. Lorenzo mendekat, menundukkan tubuhnya hingga wajah mereka hampir sejajar. "Aku ingin kau bekerja untukku." Catarina membelalakkan mata. "Bekerja? Aku bukan pelacur!" Lorenzo menatap gadis itu dengan tajam, seolah-olah menilai keberanian yang bersemayam di balik mata hijaunya yang dipenuhi kebencian. "Aku tidak membutuhkan pelacur... Aku membutuhkan seseorang yang bisa dipercaya." Catarina tertawa pahit. "Kau membunuh keluargaku... bagaimana aku bisa mempercayaimu?" Lorenzo menyipitkan mata, ekspresinya berubah lebih serius. "Ayahmu mati karena kesalahannya sendiri. Ia berkhianat, menjual informasi kepada musuhku... dan kau, Catarina, hanyalah bagian dari permainan ini." Hati Catarina terasa hancur. Meskipun ia tahu ayahnya bukan pria suci, mendengar kebenaran pahit itu langsung dari mulut musuh membuat lukanya semakin dalam. "Aku tidak akan pernah bekerja untukmu..." ucapnya lirih. Lorenzo menyeringai tipis, seolah-olah sudah menduga jawaban itu. "Belum tentu... Kau belum mengenal betapa kejamnya dunia ini, Catarina. Jika kau menolak, kau akan menjadi milik semua orang di sini... Tapi jika kau menerimanya, aku bisa melindungimu." Catarina menahan napas. Kata-kata itu bagaikan belenggu yang perlahan melilit tubuhnya. Ia tahu, Lorenzo tidak sedang bercanda. Dunia mafia tidak pernah menawarkan pilihan yang adil. "Lindungi aku... lalu apa imbalannya?" tanya Catarina lirih. Lorenzo mendekatkan wajahnya, hingga bibirnya hampir menyentuh telinga gadis itu. "Kau hanya perlu menjadi mata-mata untukku... dan tetap cantik." Catarina merasakan hawa panas menjalari lehernya, campuran antara ketakutan dan kemarahan. "Aku lebih baik mati." Lorenzo menarik diri perlahan, menatap gadis itu dengan tatapan dingin. "Kematian adalah pilihan yang terlalu mudah, Catarina... Aku lebih suka melihatmu hidup dan menderita." Kata-kata itu bagaikan belati yang menusuk jantungnya. Air mata akhirnya jatuh membasahi pipinya, meskipun ia berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Lorenzo menegakkan tubuh, memberi isyarat kepada anak buahnya untuk melepas ikatan Catarina. "Kau punya waktu dua puluh empat jam... Jika kau menolak, aku akan memberimu kepada anak buahku, dan mereka tidak sebaik aku." Catarina merasakan tali kasar yang membelenggu tangannya terlepas. Ia langsung mengusap pergelangan tangannya yang memerah. Lorenzo melangkah pergi, namun sebelum keluar, ia menoleh dan memberikan senyum dingin. "Selamat datang di neraka, Catarina." Pintu besi kembali tertutup, meninggalkan Catarina sendirian di dalam ruangan. Napasnya tersengal-sengal, sementara pikirannya berkecamuk hebat. Ia tidak punya pilihan. Jika ingin bertahan hidup, ia harus menjadi bagian dari dunia yang selama ini ia benci. Namun, jauh di dalam hatinya, Catarina bersumpah... Ia akan menggunakan kesempatan ini untuk melawan. Bahkan jika harus menari dalam kegelapan, ia tidak akan pernah membiarkan dirinya hancur tanpa perlawanan. Mata hijau itu kini memancarkan kebencian dan tekad yang baru. Lorenzo Vargas mungkin memegang kendali untuk saat ini... Tetapi permainan ini belum berakhir.Lorenzo duduk di kursi roda, dengan lengan kirinya diperban tebal. Meskipun kondisinya belum pulih sepenuhnya, sorot matanya tajam dan penuh tekad. Di depannya, terbentang peta kota New York dengan beberapa titik merah yang ditandai dengan lingkaran. Jacob dan Marco berdiri di sisinya, menunggu instruksi.“Aku yakin dia menyembunyikan Catarina di salah satu properti bawah tanahnya,” ujar Lorenzo, menunjuk sebuah area di Midtown. “Gedung ini milik salah satu perusahaan cangkangnya. Dulu aku pernah menelusurinya, tapi tidak pernah menemukan apa pun… sampai sekarang.”Jacob mengangguk, lalu menyerahkan berkas hasil penyelidikan terakhir. “Kami menyadap komunikasi beberapa anak buah Nigel. Ada lalu lintas kendaraan mencurigakan ke gedung ini dua malam terakhir. Aktivitas tinggi, tapi tidak mencolok. Seperti mencoba menyembunyikan sesuatu.”“Catarina,” gumam Lorenzo. Matanya menyipit. “Kita harus menyusup malam ini. Aku akan ikut.”Marco langsung menol
Lorenzo terus membawa Catarina menuju pesawat pribadinya. Hari ini, dia memutuskan untuk membawa Catarina pulang ke Manila. Catarina setuju tanpa ragu karena ketakutannya terhadap Nigel semakin besar. Dia tak menyangka bahwa pria yang selama ini dikenalnya sebagai pengusaha ternama ternyata seorang mafia.Tanpa sempat membawa pakaian atau barang-barangnya, mereka langsung menuju bandara. Namun, situasi semakin kacau saat mereka tiba di landasan. Sekelompok pria bersenjata muncul dari berbagai arah, dan peperangan antara Lorenzo dan anak buah Nigel pun pecah.Peluru berdesingan di udara, dan Lorenzo berusaha melindungi Catarina dengan tubuhnya. Namun, sebuah tembakan mengenai bahunya, membuatnya mundur selangkah dengan wajah menahan sakit."Lari ke pesawat sekarang!" perintahnya dengan suara tegas meskipun darah mulai mengalir dari lukanya.Catarina ragu sejenak, tetapi Lorenzo mendorongnya agar segera pergi. Namun, sebelum dia bisa mencapai pesawat, Nigel tiba-tiba muncul dengan beber
Suasana di dalam apartemen semakin tegang. Catarina memegang pistol dengan tangan gemetar, sementara Lorenzo berdiri di depannya, melindunginya dari ancaman di luar.DOR!Satu tembakan terdengar, diikuti suara pecahan kaca jendela. Lorenzo langsung menarik Catarina ke sudut ruangan, menjauhkannya dari jalur tembakan."Sial," gumam Lorenzo. "Mereka tidak main-main."Lorenzo mengintip dari balik dinding dan melihat beberapa pria Nigel telah berhasil masuk. Dia tahu dia tidak bisa menghadapi mereka semua sendirian, apalagi dengan Catarina di sini."Kita harus keluar dari sini sekarang," bisiknya kepada Catarina."Tapi bagaimana?" Catarina berbisik panik.Lorenzo menoleh ke arah jendela yang sebagian kacanya sudah hancur. Itu satu-satunya jalan keluar."Lompat.""Apa? Kau gila?""Kita di lantai dua. Aku akan lebih memilih lompat daripada mati di tangan mereka."Catarina menelan ludah. Dia tidak punya pilihan lain. Dengan cepat, Lorenzo membuka jendela lebih lebar dan melompat lebih dulu.
Pagi itu, Nigel tiba di apartemen Catarina dengan ekspresi bingung. Biasanya, perempuan itu selalu ada di sana setiap pagi sebelum berangkat kerja. Namun, kali ini, tidak ada tanda-tanda keberadaannya.Nigel segera mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Catarina. Nada sambung terdengar, namun tidak ada jawaban. Berkali-kali dia menelepon, tetapi hasilnya tetap sama. Ponselnya bahkan sudah tidak aktif lagi.Rasa curiga mulai menyelimuti pikirannya. Tanpa membuang waktu, dia segera menghubungi anak buahnya dan memberikan perintah tegas.“Cari tahu keberadaan Angeline (Catarina) sekarang juga! Aku ingin laporan dalam waktu secepat mungkin!” suaranya dingin dan tajam.Dalam benaknya, hanya ada satu kemungkinan, yaitu musuh lamanya, Lorenzo. Jika benar pria itu menculik Catarina, maka ini adalah sebuah tantangan perang.Namun, yang tidak diketahui banyak orang adalah bahwa Nigel Ramirez bukan hanya seorang pengusaha fashion ternama. Di balik citra elegan dan bisnis mewahnya, dia ju
Catarina terbangun dengan napas tersengal. Tubuhnya terasa berat seolah ada seseorang yang menindihnya. Saat matanya terbuka sepenuhnya, ia mendapati Lorenzo berada di atasnya, menatapnya dengan mata penuh obsesi. "Apa yang kau lakukan?!" Catarina berusaha memberontak, tetapi tangannya masih terikat di kepala ranjang. Lorenzo menyeringai, jemarinya yang kasar mengusap pipi Catarina dengan lembut. "Aku hanya ingin memastikan kau tidak akan pergi ke mana-mana lagi, sayang." Catarina menggigit bibirnya, hatinya dipenuhi rasa takut dan kemarahan. "Lorenzo, ini salah. Kau tidak bisa memperlakukanku seperti ini." Lorenzo mendekatkan wajahnya, napas hangatnya mengenai wajah Catarina. "Kau milikku, Catarina. Aku tidak akan membiarkan pria lain menyentuhmu, bahkan menatapmu pun tidak." Catarina meronta lagi, tapi usahanya sia-sia. "Aku bukan milikmu! Kau sudah menikahi Carmela, Lorenzo! Lepaskan aku!" Sebuah kilatan kemarahan muncul di mata Lorenzo, tetapi ia segera mengendalikanny
Catarina berjalan keluar dari gedung dengan langkah yang sedikit gontai. Hari ini sangat melelahkan baginya. Ia ingin segera pulang, mandi air hangat, lalu tidur dengan nyenyak. Namun, malam ini ia tidak pulang bersama Nigel. Pria itu harus pulang lebih awal untuk menyambut keluarganya yang baru saja tiba dari luar negeri.Karena itu, Catarina memutuskan untuk pulang dengan taksi. Ia berdiri di tepi jalan, menunggu kendaraan yang dipesannya tiba. Suasana di sekitar cukup sepi, hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang.Namun, sebelum sempat menyadari sesuatu, tiba-tiba sebuah tangan besar menutup mulutnya dengan kain yang berbau menyengat. Catarina terkejut. Ia mencoba meronta, tetapi tubuhnya dengan cepat melemah. Pandangannya mulai kabur, dan beberapa detik kemudian, semuanya menjadi gelap.Lorenzo duduk di kursi kayu dengan kaki terentang, matanya tajam menatap wanita yang kini terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang. Bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis."Akhirnya k
Keesokan harinya, Lorenzo mulai melaksanakan rencananya. Dengan jaringan dan kekayaannya, dia dengan mudah mendapatkan akses untuk menjadi salah satu donatur utama di perusahaan Nigel, Paradise. Langkah ini bukan hanya untuk mendekati Catarina, tetapi juga untuk menunjukkan dominasinya di wilayah yang kini ditempati oleh Nigel.Setelah mengurus donasi itu, Lorenzo langsung pergi ke studio pemotretan tempat Catarina bekerja. Dengan mengenakan setelan jas yang rapi, dia masuk ke dalam gedung dengan percaya diri. Para staf di sana sedikit terkejut melihat kehadiran pria berkarisma itu, tetapi tidak ada yang berani menghentikannya.Di dalam studio, Catarina sedang sibuk berpose di depan kamera dengan gaun elegan berwarna merah. Dia terlihat begitu anggun dan memesona, membuat Lorenzo semakin yakin bahwa dia adalah wanita yang sama, yaitu Catarina, bukan Angeline Santos seperti yang ia klaim.Ketika pemotretan selesai, Lorenzo melangkah mendekat dengan membawa
Di New York...Catarina, yang kini dikenal sebagai Angeline Santos, sedang bersiap untuk pemotretan besar bersama merek ternama, Paradise. Di belakang layar, dia sedang berbincang dengan Nigel Ramirez, pemilik merek tersebut."Angeline, setelah sesi foto ini, aku ingin mengajakmu makan malam. Ada sesuatu yang ingin kubahas denganmu," ujar Nigel dengan senyum menawan.Catarina sedikit terkejut, tetapi segera mengangguk. "Tentu, Nigel. Aku akan meluangkan waktu."Sesi pemotretan pun dimulai, dan semua orang terkagum-kagum dengan pesona Angeline. Dalam waktu singkat, dia telah menjadi ikon model yang dikagumi banyak orang.Namun, dia tak menyadari bahwa dari kejauhan, seseorang sedang mengamatinya. Luis, anak buah Lorenzo, telah tiba di New York. Dia diam-diam mengawasi setiap gerak-geriknya dan mengambil foto sebagai bukti untuk diberikan kepada Lorenzo."Bos akan senang melihat ini," kata Luis sambil menyeringai.Dia segera mengirimkan laporan kepada Lorenzo. Beberapa jam kemudian, Lor
Tiga bulan telah berlalu, dan Lorenzo masih belum menemukan Catarina. Semua usahanya terasa sia-sia. Setiap sudut kota sudah dia telusuri, setiap informan sudah dia bayar, tetapi hasilnya tetap nihil. Seolah-olah Catarina menghilang tanpa jejak.Di dalam ruang kerjanya, Lorenzo duduk diam dengan sebotol whiskey di tangannya. Matanya merah dan sembab, akibat kurang tidur selama berbulan-bulan."Sial... di mana kau, Catarina?" gumamnya pelan.Anak buahnya, Luis, masuk dengan wajah cemas."Tuan, kami sudah memeriksa lagi desa-desa kecil di sekitar kota, tapi—""Tapi tetap tidak ada hasil, kan?" potong Lorenzo dengan nada dingin.Luis menundukkan kepala, tidak berani menatap mata tajam tuannya yang penuh kekecewaan."Ya, Tuan. Catarina seperti menghilang begitu saja."Lorenzo meneguk whiskey-nya dengan kasar, lalu menatap kosong ke arah jendela besar di ruangannya. Hatinya penuh amarah, kecewa, dan kerinduan yang semakin menyiksa.Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk, lalu terbuka. Carmela