Share

Part 3

Author: TrianaR
last update Last Updated: 2025-05-17 10:35:35

Part 3

Aku tersentak. “Tentu tidak, Pa! Aku nggak mungkin melakukan hal seperti itu!” sahutku cepat.

Papa masih menatapku tajam, seolah menel4n jangi kebohongan yang mungkin kusembunyikan. Sementara itu, Mama tampak semakin gelisah, tangannya saling mer3mas di pangkuan.

Ia bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat, meletakkan tangannya di bahuku. “Angkasa, Mama tahu kamu sibuk. Tapi jangan sampai Cahaya merasa diabaikan, apalagi saat dia sedang mengandung. Kamu harus lebih perhatian. Jangan sampai kamu menyesal, Nak.”

Aku hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Tenggorokanku terasa kering. Cahaya, di mana kamu?

“Papa, Mama... silakan istirahat dulu. Aku pastikan dia nggak apa-apa. Aku akan cari Cahaya,” kataku akhirnya sambil merogoh ponsel dari saku celana.

"Coba telepon dia dulu!"

"Maaf, Pa. Cahaya nggak bawa HP, HP-nya ditinggal."

Papa mengernyit. "Kenapa ponselnya ditinggal? Apa dia marah sama kamu?”

Aku terdiam, rahangku mengatup rapat. Sejujurnya, aku tahu betul kalau Cahaya tidak pernah meninggalkan rumah tanpa izin, apalagi tanpa membawa ponselnya. Tapi aku juga tidak mungkin mengaku kalau aku baru saja memarahinya tadi. Aku terlalu sibuk mengurusi urusanku sendiri dan sama sekali tidak memerhatikan perasaannya.

"Sudah, Ma, Pa. Aku akan cari Cahaya sekarang juga," kataku buru-buru sebelum mereka semakin mendesakku.

"Bawa Cahaya pulang, Nak," suara Mama terdengar lirih, penuh kekhawatiran.

"Iya, Ma."

Aku bergegas keluar, berusaha menahan detak jantung yang semakin menggila. Sial! Ke mana perempuan itu pergi? Merepotkan saja! Huh.

***

Aku mencari Cahaya bahkan bertanya ke satpam kompleks, tetapi tidak ada yang melihatnya. Perasaan gelisah semakin menggerogoti dada.

Aku mengacak rambutku frustrasi. "Cahaya, kamu di mana?" gumamku.

Aku terus menyusuri setiap sudut kompleks, bahkan ke minimarket dan warung-warung kecil di sekitar, tetapi tak satu pun yang melihat Cahaya. Keringat mulai mengalir di pelipis, napasku memburu, sementara matahari perlahan mulai condong ke barat.

Saat aku hampir menyerah, seorang ibu-ibu paruh baya yang sedang menata lauk di warung makannya menatapku. "Mas Angkasa?" sapanya. Dia cukup mengenalku.

Aku langsung mendekat. "Iya, Bu. Ibu lihat Cahaya?" tanyaku penuh harap.

Ibu itu mengangguk. "Iya, tadi pagi dia ke sini. Dia kelihatan pucat dan duduk di sini cukup lama. Saya sempat kasih dia teh hangat."

Darahku berdesir. "Terus, Bu? Dia bilang mau kemana?"

Ibu itu menghela napas. "Dia nggak banyak ngomong, Mas. Hanya bilang kalau dia lelah dan ingin pergi sebentar. Terus saya lihat dia bantu-bantu cuci piring di belakang sebentar. Habis itu, dia naik elf ke arah kota."

Jantungku mencelos. "Kota? Maksud Ibu kota mana?"

"Kayaknya ke arah terminal, Mas. Saya nggak tanya lebih jauh."

Aku mengumpat pelan, mengusap wajah kasar. Cahaya pergi sejauh itu? Apa yang ada di pikirannya? Aku harus segera menemukannya sebelum terjadi sesuatu!

Namun, sebelum aku sempat bertindak, matahari sudah hampir tenggelam. Aku tahu Papa dan Mama pasti menunggu di rumah. Dengan berat hati, aku kembali, berharap Cahaya sudah lebih dulu pulang.

Tetapi begitu aku tiba, wajah Papa langsung tegang, sementara Mama tampak menangis.

"Mana Cahaya?!" bentak Papa begitu aku masuk.

Aku menghela napas berat. "Aku sudah cari ke mana-mana, Pa. Ada yang lihat Cahaya naik elf ke kota, tapi aku nggak tahu dia ke mana setelah itu."

Papa menggebrak meja. "Kamu ini suami macam apa, Angkasa? Istri sendiri hilang nggak tahu ke mana! Harusnya kamu lebih bertanggung jawab!"

Mama terisak, sementara aku hanya bisa menunduk, tak sanggup membantah.

"Tunggu apa lagi? Hubungi orang tuanya! Mereka harus tahu!" ujar Papa dengan nada penuh amarah.

Aku menelan ludah. Kalau sampai Pak Lanang tahu, pasti masalah ini semakin rumit. Tapi aku tak punya pilihan. Dengan tangan gemetar, aku mengambil ponsel dan menekan nomor Pak Lanang.

Cukup lama menunggu... akhirnya telepon tersambung.

"Halo? Assalamu-alaikum." Suara berat Pak Lanang terdengar di seberang.

Aku menarik napas dalam-dalam. "Waalaikum salam."

"Iya, Nak, ada apa? Apa ada sesuatu? Gimana kabar Cahaya, Nak? Apa dia baik-baik saja?"

Deg! Aku terdiam cukup lama mendengar pertanyaan Pak Lanang. Lidah terasa kelu saat aku ingin mengatakan hal yang sebenarnya.

"Hallo, Nak Angkasa? Kok diam saja dari tadi?"

"Eh emhh anuu, Pak, aku, aku ...."

"Nak Lanang, Cahaya bentar lagi mau lahiran, tolong sampaikan pada Cahaya ya, Nak, kami belum bisa berkunjung. Ibu masih sakit. Nanti kalau ibu sudah sembuh, kami pasti akan ke sana jenguk kalian. Tolong maklumi ya, Nak."

Jantungku berdebar lebih kencang, tak mungkin aku mengatakan hal yang sebenarnya, kalau Pak Lanang tahu Cahaya pergi, habislah aku! Bahkan kesehatan ibunya pasti akam bertambah drop.

Aku menggeleng pelan, tidak, tidak, aku tidak akan memberitahunya lebih dulu sampai Cahaya ketemu.

"Baik, Pak. Nanti akan kusampaikan," sahutku cepat, berusaha menjaga suara tetap tenang.

"Lalu, kamu ada apa menghubungi kami, Nak?" tanya Pak Lanang lagi.

Aku mengusap tengkukku yang terasa dingin. "Ah, tidak apa-apa, Pak. Cahaya tadi sempat bilang kalau dia kangen kalian. Jadi, aku pikir, lebih baik aku menelepon untuk menyambungkan kalian sebentar."

Pak Lanang tertawa kecil. "Ah, dasar anak itu. Bilang ke Cahaya, kalau kami juga kangen dia. Kalau bukan karena kondisi ibunya, pasti sudah dari kemarin-kemarin kami ke sana."

"Iya, Pak," jawabku lirih.

Aku buru-buru mengakhiri telepon sebelum beliau bertanya lebih jauh. Begitu sambungan terputus, aku terduduk lemas di sofa, mengusap wajah dengan kasar. Ini gawat. Aku harus menemukan Cahaya sebelum semuanya terbongkar.

Papa masih menatapku tajam, sementara Mama terus mengusap air matanya.

"Maaf Pah, aku gak bisa mengatakan hal yang sebenarnya pada mereka. Ibunya sedang sakit, aku takut nanti malah tambah drop karena kepikiran anaknya."

Papa menggeram, marah tentu saja.

"Kita sudah bilang dari awal," kata Papa dengan nada dingin. "Kalau kamu nggak bisa menjaga Cahaya, kamu akan menyesal, Angkasa."

Aku terdiam. Untuk pertama kalinya, aku merasakan ketakutan yang nyata. Aku sudah terlalu lama mengabaikan Cahaya, dan sekarang dia pergi.

Dan aku tidak tahu apakah dia akan kembali.

"Jadi, sekarang apa rencanamu, Angkasa?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 47B (END)

    "Biar Mama juga ikut main air," jawab Angkasa sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam air bersama Cahaya dalam gendongannya. Altair bertepuk tangan melihat itu. "Ma-ma! Ma-ma-ma!" Cahaya akhirnya menyerah dan menikmati waktu mereka bertiga di laut. Angkasa tak henti-hentinya memeluk dan mencium istrinya, memastikan Cahaya tahu bahwa dia akan selalu ada untuknya. Mereka tertawa bersama, membiarkan ombak kecil membasahi tubuh mereka. Saat matahari mulai terbenam, mereka duduk bertiga di atas pasir, menikmati pemandangan langit jingga yang indah. "Aku nggak mau momen ini berakhir," bisik Cahaya, menggenggam tangan Angkasa erat. Angkasa mencium punggung tangannya. "Momen ini nggak akan berakhir, Sayang. Selama aku ada di sampingmu, kebahagiaan ini akan terus ada." Cahaya menatap suaminya dengan penuh cinta. Dalam hati, ia berjanji akan menjaga keluarganya sebaik mungkin. Malamnya

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 47A

    Part 47Malam itu, Angkasa duduk di tepi ranjang sambil menatap Cahaya yang masih terlihat lelah. Wanita itu baru saja selesai mandi, mengenakan gaun tidur berbahan lembut yang membungkus tubuhnya dengan nyaman. Angkasa meraih tangannya, menggenggamnya erat."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Angkasa lembut, jari-jarinya mengusap punggung tangan Cahaya.Cahaya mengangguk pelan. "Aku masih sulit percaya kalau selama ini Bik Mirna yang membuatku sakit. Aku benar-benar nggak menyangka, Mas. Kalau Bik Mirna ternyata ibu Elena. Dan sengaja bekerja di sini untuk menyakiti kita."Angkasa menarik Cahaya ke dalam pelukannya. Ia mengecup puncak kepala istrinya dengan penuh kasih. "Aku janji, nggak akan ada lagi yang menyakitimu. Aku akan selalu melindungimu dan Altair."Cahaya tersenyum tipis, menempelkan wajahnya di dada bidang suaminya. "Aku bersyukur kamu selalu ada di sampingku, Mas. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu bagaimana aku harus menghadapi

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 46B

    "Mati? Jangan gila, Bik!""Haha tentu saja, Aku tidak akan membiarkan kalian bahagia di atas penderitaan anakku!" teriak Bu Marni, matanya nyalang."Anak? Siapa yang ibu maksud?""Hah, jadi kau melupakannya? Benar kau memang laki-laki pecundang, habis manis sepah dibuang! Dasar bedebah!""Aku tidak tahu apa maksud Bibi!".Cahaya yang di kamar mendengar keributan di dapur. Ia berjalan dengan langkah pelan memastikan apa yang sebenarnya terjadi meski kepalanya terasa begitu pening. Seketika ia membeku melihat pemandangan penuh ancaman itu. Ia menutup mulutnya."Elena. Apa kau sudah melupakannya?!""E-elena? Jadi Bibi--""Yaa, aku ibunya! Aku datang untuk membalas dendam. Apa yang sudah dirasakan anakku juga harus dirasakan oleh kalian!Cahaya berbalik, menyeret langkahnya pelan. Ia langsung meraih ponselnya dan menghubungi seseorang dengan tangan panik dan gemetar."Semua ini salah Cahaya! Seand

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 46A

    Part 46Di balik jeruji besi yang dingin, Wajah Elena tampak begitu kusut daj kuyu. Ia duduk di bangku kayu kecil, menatap ibunya dengan tatapan penuh rasa penasaran. Ia tidak menyangka ibundanya akan datang mengunjunginya setelah sekian lama."Ibu?" Elena menyipitkan mata, memperhatikan wajah ibunya yang tampak lebih kurus dan sedikit lelah. "Kenapa tiba-tiba datang?"Bu Marni tersenyum tipis. Ia duduk di hadapan Elena, lalu menggenggam tangannya erat. "Gimana kabarmu dan bayimu, Nak?"Elena menunduk, menatap perutnya yang membesar lalu mendesah panjang. "Ya seperti yang ibu lihat. Hamil di penjara sungguh menyiksa, Bu. Aku harus menahan semuanya sendirian.""Kamu yang sabar ya, Nak. Semua akan baik-baik saja.""Ck! Baik-baik saja gimana, Bu? Aku di sini merana. Sementara Angkasa dan Cahaya bahagia!" "Sssttt! Kamu jangan bilang seperti itu. Ibu hanya ingin memberitahumu kabar baik, Nak."Elena menaikkan alis.

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 45B

    Bu Marni pura-pura panik. "Aduh, Pak! Maafkan saya. Saya gak tahu kalau Bu Cahaya bakal jatuh …"Tapi Angkasa tidak peduli. Ia mengangkat tubuh Cahaya dan berlari ke luar. "Bertahan, Sayanf! Aku nggak akan biarin apa pun terjadi sama kamu dan bayi kita!"Namun, Cahaya hanya bisa menggenggam lengannya dengan lemah, air matanya jatuh, dan kesakitan yang luar biasa menyelimuti tubuhnya.Angkasa memacu mobilnya dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit, satu tangannya terus menggenggam erat tangan Cahaya yang semakin dingin.“Bertahan, Sayang. Kita hampir sampai.” Suaranya bergetar, ada ketakutan yang menyelimuti hatinya.Cahaya berusaha tersenyum meski wajahnya sudah sepucat kertas. “Aku takut, Mas …”“Jangan bicara seperti itu! Kamu kuat, Sayang! Aku ada di sini, aku nggak akan ninggalin kamu!”Sesampainya di rumah sakit, Angkasa langsung menggendong Cahaya dan berteriak minta pertolongan. Para perawat segera berlari denga

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 45A

    Part 45Sepanjang perjalanan pulang, Cahaya terus memeluk Altair erat. Anak itu tertidur lelap, tak menyadari bahaya yang baru saja mereka lalui. Angkasa menggenggam setir dengan kuat, rahangnya mengeras. Pikirannya terus berkelana. Apa ini hanya kebetulan atau ada seseorang yang mengincar keluarganya?Setibanya di rumah, Angkasa langsung memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat. Cahaya duduk di sofa dengan wajah masih pucat. Ia menatap suaminya dengan ragu-ragu."Mas Angkasa, apa kita harus lapor polisi?" tanyanya pelan.Angkasa menghela napas panjang. "Untuk saat ini, jangan dulu. Aku ingin tahu siapa yang ada di balik ini sebelum kita ambil langkah lebih jauh."Cahaya menggigit bibir. "Tapi kalau mereka datang lagi?"Angkasa berlutut di depannya, menggenggam tangannya erat. "Aku gak akan biarin itu terjadi. Aku bakal cari tahu siapa mereka dan apa yang mereka mau."Cahaya menatap suaminya, lalu mengangguk per

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status