Bab 4
"Jadi, sekarang apa rencanamu, Angkasa?" tanya Papa dingin. Aku mengepalkan tangan. "Aku akan ke terminal, Pa. Kalau dia benar naik elf ke kota, aku harus cari jejaknya dari sana." Papa menghela napas panjang, lalu mengangguk. "Baik, Papa akan ikut." Aku terkejut. "Pa—" "Jangan membantah. Ini urusan keluarga, dan Papa tidak akan membiarkan menantu Papa sendirian di luar sana dalam kondisi seperti ini," tegasnya. Aku tak punya pilihan selain mengangguk. "Baik, Pa. Kita berangkat sekarang." Aku dan Papa segera keluar rumah. Langit mulai gelap, dan udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Jantungku berdebar kencang saat kami masuk ke dalam mobil. Aku hanya bisa berharap Cahaya baik-baik saja. Sepanjang perjalanan ke terminal, aku mencoba menyusun kemungkinan—ke mana Cahaya pergi, apa yang dia pikirkan, dan yang paling penting, kenapa dia meninggalkanku? Aku tahu aku salah karena terlalu sibuk dengan urusanku sendiri. Aku tahu aku telah mengabaikannya, tapi aku tidak menyangka dia akan pergi sejauh ini. Papa mengemudi dengan rahang mengatup rapat. Tidak ada percakapan di antara kami selain suara mesin mobil yang melaju membelah jalanan. Begitu sampai di terminal, aku langsung keluar tanpa menunggu. Aku menoleh ke kanan dan kiri, mencari seseorang yang mungkin melihat Cahaya. Terminal masih cukup ramai meskipun suasana sudah malam. Aku berjalan cepat ke loket tiket dan bertanya pada petugas. "Pak, maaf, tadi siang atau sore apa ada perempuan hamil naik elf ke kota?" Petugas itu berpikir sejenak sebelum menjawab, "Banyak, Mas. Ciri-cirinya seperti apa?" Aku menelan ludah, mencoba mendeskripsikan Cahaya dengan cepat. "Perempuan muda, perutnya sudah cukup besar, wajahnya pucat, mungkin terlihat lelah." Petugas itu mengerutkan dahi. "Oh, saya tidak yakin melihatnya, Mas. Kalau perempuan hamil ya memang banyak." Aku mengumpat pelan. "Baik, Pak, terima kasih infonya." Selain ke penjaga loket, aku juga bertanya pada ibu penjual warung. bahkan bertanya pada juru parkir, tapi semuanya menjawab sama. Perempuan hamil itu banyak, jadi mereka tidak memperhatikannya satu persatu. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri yang semakin gelisah. Seorang juru parkir yang kutanya menatapku dengan penuh selidik. "Mas punya fotonya?" Aku tercekat. Sial. Aku tidak punya satu pun foto Cahaya di ponselku. Aku terlalu membencinya, bahkan untuk sekadar menyimpan fotonya pun tidak pernah terpikirkan. "Sayangnya, saya nggak punya foto sama sekali," gumamku lirih, merasa kesal pada diri sendiri. Juru parkir itu mengangguk pelan. "Kalau nggak ada foto, agak sulit, Mas. Tapi kalau tadi sore, saya sempat lihat ada perempuan hamil duduk di bangku dekat pintu masuk terminal. Dia kelihatan capek banget, kayak habis jalan jauh." Jantungku berdebar. "Perempuan itu naik kendaraan apa, Pak?" "Setahu saya, dia naik bus antarkota ke arah timur," jawabnya. Aku menelan ludah. Timur? Ke mana? Aku melirik Papa yang sejak tadi mendengar percakapan kami. Matanya menatapku tajam, seolah tahu pikiranku sedang kacau. "Ada berapa rute ke arah timur, Pak?" tanyaku cepat. "Banyak, Mas. Tapi kalau dia naik bus ekonomi, kemungkinan dia turun di terminal kecil sebelum kota besar." Aku mengacak rambut frustrasi. "Terminal kecil? Terminal mana?" "Terminal Jati, Mas. Sekitar dua jam dari sini kalau lancar." Aku dan Papa saling berpandangan. Tanpa pikir panjang, aku langsung menggenggam ponsel dan bersiap melangkah. "Kita ke sana, Pa." Papa mengangguk. "Ayo, sebelum semakin malam." Tanpa membuang waktu, kami kembali ke mobil dan melaju ke Terminal Jati. Semoga Cahaya masih di sana. Semoga aku belum terlambat. Perjalanan ke Terminal Jati terasa lebih panjang dari seharusnya. Aku terus menatap jalanan di depan dengan perasaan gelisah yang semakin menjadi. Semakin jauh mobil melaju, semakin kuat pula rasa takut yang menggerogoti pikiran. Sesampainya di sana, aku langsung keluar dari mobil, tak peduli udara malam yang semakin menusuk tulang. Terminal Jati lebih sepi dibandingkan terminal sebelumnya, hanya ada beberapa orang yang masih duduk di bangku panjang, entah menunggu atau sekadar beristirahat. Aku dan Papa segera mencari informasi, bertanya ke setiap petugas, pedagang, dan orang-orang yang mungkin melihat Cahaya. Tapi jawaban mereka semua sama—tidak ada yang benar-benar memperhatikan seorang perempuan hamil yang mungkin lewat di sini. Aku mulai putus asa. Mataku menelusuri setiap sudut terminal, berharap menemukan satu petunjuk kecil yang bisa mengarahkanku padanya. Namun, hasilnya tetap nihil. "Pa, gimana ini?" suaraku bergetar, lelah dan frustrasi bercampur jadi satu. Papa menatapku dengan sorot mata lelah. "Kita pulang dulu, Angkasa. Sudah terlalu malam. Kita coba cari lagi besok pagi." Aku ingin membantah. Aku ingin tetap di sini sampai aku menemukan Cahaya. Tapi aku juga tahu, bertahan di tempat ini tanpa arah hanya akan sia-sia. Dengan langkah berat, aku kembali ke mobil. Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terus dipenuhi bayangan Cahaya. Di mana dia sekarang? Begitu sampai di rumah, aku dikejutkan oleh suara tangisan Mama. "Kalian udah pulang, mana Cahaya? Mana Cahaya?" tanya Mama dengan nada menuntut. Aku hanya diam merasa bersalah. "Cahaya belum ketemu, Ma," sahut Papa membuat Mama semakin histeris. "Astagfirullah, Cahaya... Cahaya..." Mama menangis tersedu di ruang tamu, tiba-tiba Mama memegangi dadanya yang tampak naik turun dengan napas tersengal. "Mama!" Aku langsung berlari menghampirinya. "Mama kenapa?" "Mama takut terjadi sesuatu sama dia... Mama takut..." Papa segera duduk di sampingnya, menepuk punggungnya dengan cemas. "Tenang, Ma... Tenang dulu..." Tapi Mama menggeleng. "Pa, Dada Mama sakit... Sakit sekali..." Aku panik melihat kondisi Mama yang tak karuan. "Pa, kita harus bawa Mama ke rumah sakit!" Tanpa pikir panjang, aku dan Papa segera membantunya berdiri, lalu membawanya ke mobil. Aku menyetir dengan kecepatan lebih dari biasanya, menembus jalanan malam yang sepi. Napas Mama masih tersengal, tangannya menggenggam dada dengan erat. Di jok belakang, Papa terus menenangkan Mama, meskipun aku tahu hatinya pun pasti kacau. Begitu sampai di rumah sakit, aku langsung turun dan berlari ke pintu IGD. "Dokter! Tolong! Mama saya sakit!" Beberapa perawat segera menghampiri dengan kursi roda. Mereka membawa Mama masuk, sementara aku dan Papa hanya bisa menunggu di luar dengan perasaan was-was. Aku duduk di bangku tunggu dengan kepala tertunduk, tanganku mencengkeram rambutku sendiri. Rasanya aku baru saja kehilangan Cahaya, dan sekarang Mama dalam kondisi seperti ini. Semua terasa begitu berat. Papa menepuk bahuku. Aku mendongak, menatapnya dengan mata merah. "Aku nggak bisa tenang, Pa. Aku nggak tahu Cahaya ada di mana, dan sekarang Mama..."Bab 13Aku mengemudikan mobil dengan sisa tenaga yang kupunya. Mataku sedikit berkunang-kunang karena lebam di wajahku, sementara dadaku masih terasa nyeri akibat pukulan tadi. Aku menggertakkan gigi, menahan amarah yang belum juga reda.Begitu tiba di rumah, aku turun dengan langkah gontai. Argh sial sekali, ayah mertuaku sendiri yang memukuliku.Namun, baru saja aku menghempaskan tubuh ke tempat tidur, ponselku kembali bergetar. Dengan malas, aku meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar: Pak Surya--Sekretaris Kantor Pusat.Aku langsung terduduk, mengusap wajahku yang masih terasa perih sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu."Halo?""Pak Angkasa, Anda baik-baik saja?" Suara sekretaris terdengar sedikit ragu.Aku mengerutkan kening. "Ya, Pak. Ada apa?" tanyaku, mencoba terdengar profesional meskipun suaraku sedikit serak."Setelah kami amati beberapa minggu terakhir ini, sepertinya ada masalah dengan
Aku menatap tangannya yang menggenggam tanganku. Aku tahu Elena peduli, tapi aku tidak butuh ini sekarang.Perlahan, aku menarik tanganku. "Elena, aku menghargai niat baikmu."Elena menatapku dalam diam, lalu tersenyum kecil. "Aku mengerti. Tapi Mas, kalau suatu hari kamu sadar, aku harap kamu ingat, masih ada tempat untukmu kembali. Aku masih di sini, Mas. Menunggumu."Aku menatapnya dalam. Kasihan juga kekasihku ini. Entah kenapa Elena berubah jadi lembut begini, padahal terakhir ketemu Elena terus marah-marah.Elena lalu berdiri, merapikan tasnya, lalu tersenyum padaku. "Sekarang, pulanglah, Mas. Istirahatlah dulu. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Aku pulang dulu ya, aku tetap cinta sama kamu, apapun yang terjadi."Aku hanya bisa diam saat dia pergi meninggalkan kafe.***Hari-hari berlalu, aku memutuskan beristirahat tidak melakukan pencarian, meski Papa mendesakku agar terus mencari Cahaya."Pa, aku
Bab 12Aku langsung berdiri. "Di mana alamatnya?! Tolong beri tahu saya!"Suara di telepon menyebutkan alamat. Entah kenapa mendengarnya jantungku terasa berbunga-bunga. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menghubungi Papa."Hallo Papa! Aku dapat informasi!""Apa?" "Ada yang melihat Cahaya di pinggiran kota!""Cepat susul dia! Bawa Cahaya pulang.""Baik, Pa, aku akan ke lokasi sekarang!"Tanpa membuang waktu, aku mengambil kunci mobil dan berlari keluar menuju tempat parkir.Aku tidak peduli seberapa jauh atau seberapa buruk kondisiku sekarang. Aku hanya ingin menemukan Cahaya. Aku menginjak pedal gas lebih dalam, membuat mobil melaju lebih cepat di jalan yang sepi. Malam sudah larut, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin menemukan Cahaya secepat mungkin.Saat tiba di alamat yang disebutkan, aku langsung keluar dari mobil dan berdiri di depan kompleks kos-kosan kecil. Aku
"Kos-kosan punya kenalan. Tempatnya bersih, cukup nyaman buat istirahat. Aku udah ngobrol sama pemiliknya, dia bisa kasih harga murah, dan kalau kamu belum ada uang, bisa bayar belakangan."Cahaya menatapnya, bingung. "Kenapa kamu repot-repot nolongin aku?"Alam menatap lurus ke matanya. "Aku cuma nggak tega, Cahaya. Kamu hamil besar, sendirian, dan nggak punya tujuan. Aku bukan orang kaya, tapi kalau bisa bantu meskipun sedikit, kenapa nggak?"Cahaya menggigit bibir, hatinya berkecamuk. Sejak ia pergi dari rumah tadi pagi, ia tidak pernah membayangkan akan bertemu seseorang seperti Alam—orang asing yang dengan tulus mau membantunya tanpa pamrih.Perawat datang lagi dan mulai melepaskan infusnya. "Baik, Bu Cahaya, kalau sudah siap, nanti bisa langsung ke meja administrasi untuk penyelesaian berkas."Setelah perawat pergi, Alam berdiri. "Ayo, aku temenin ke luar."Mereka berjalan perlahan keluar dari ruang perawatan, menuju meja a
Bab 11Cahaya masih menggeleng lemah, tetap bersikeras. "Aku nggak mau ke rumah sakit…"Alam menghela napas panjang. "Bukan rumah sakit, kita ke puskesmas aja. Deket dari sini.""Tapi aku nggak mau berhutang…" suara Cahaya nyaris tak terdengar.Alam menatapnya dengan serius. "Siapa yang bilang kamu harus bayar? Di puskesmas nggak semahal rumah sakit. Yang penting kamu dan bayi kamu selamat."Namun, Cahaya tetap diam, menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Alam mengumpat pelan. Melihat Cahaya yang makin pucat dan tubuhnya mulai gemetar, ia tahu tak bisa terus membujuknya dengan kata-kata.Tanpa pikir panjang, Alam langsung berdiri dan menoleh ke sekeliling. Ia melihat beberapa ibu pedagang kaki lima yang tengah duduk di bangku dekat warung, serta beberapa juru parkir yang tengah bersandar di bawah pohon."Ibu! Pak! Tolong bantu saya!" serunya lantang.Beberapa orang langsung menoleh. Se
Bab 10"Kalau sampai sesuatu terjadi pada putriku, aku tidak akan pernah memaafkanmu, Angkasa! Kamu akan menanggung akibatnya!"Suara ancaman Pak Lanang menggema di telingaku, penuh amarah dan kecemasan. Aku menutup mata, menahan debar jantung yang berdegup kencang.Aku ingin menyangkal, tapi... tidak bisa. Karena itu benar. Cahaya pergi karena aku.Panggilan telepon dari bapak mertuaku seolah menjadi cambuk yang menyadarkanku. Tanpa membuang waktu, aku kembali menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraan sekali lagi berkeliling menyusuri kota Surabaya. Aku menginjak pedal gas dalam-dalam, membelah jalanan malam yang semakin sepi. Kata-kata Pak Lanang terus terngiang di benakku. Setibanya di rumah, aku melihat mobil Papa sudah terparkir di garasi. Aku buru-buru masuk dan mendapati Mama duduk di ruang tamu dengan wajah penuh kecemasan."Angkasa!" Mama langsung berdiri begitu melihatku. "Bagaimana? Ada kabar Cahaya?"Aku menggeleng lemah. "Belum, Ma..."Mama menutup mulutnya, matan