Hai ... yang belum subcribe dan follow aku, tolong disubcribe dan follow ya ... Makasih ^^
Sarah akhirnya mematikan panggilan. Wajahnya diam. Tegang. Tapi tetap tenang.Ketika ia menoleh, ketiga pasang mata langsung tertuju padanya. Tapi yang paling pertama merasa tidak nyaman justru Tigar.Tatapan mata Sarah terasa terlalu dalam untuk seseorang yang hanya jadi penonton di tengah kekacauan ini. Tigar langsung berdeham kecil, berpura-pura menguap, lalu memalingkan wajah dan kembali memejamkan mata di sofa sempit itu. Meski hari sudah pagi dan lampu ruangan menyala, ia memilih untuk berpura-pura tidur saja.‘Lebih baik pura-pura nggak ada,’ pikirnya.Sementara Adit tetap menatap Sarah, cemas tergambar jelas di matanya.Sarah kembali ke kursi besi lipat di samping ranjang Adit. Suaranya masih membawa sisa ketegangan ketika bertanya, “Kamu udah cukup tidur?”Adit langsung menggenggam ujung selimut, lalu menatapnya lekat. “Sarah ... semuanya baik-baik aja?”Sarah mengangguk kecil. “Akan baik-baik saja.”“Tapi kalau Damar marah ... kamu jangan ketemu dia dulu. Aku takut. Takut ka
Matahari baru saja muncul dari balik jendela kamar rawat kelas VIP. Cahaya lembut menyelinap di sela-sela tirai, menyapu perlahan wajah-wajah lelah yang masih tertidur di dalam ruangan itu.Sarah tertidur di kursi besi lipat di samping ranjang Adit, kepalanya bersandar pada tepian kasur. Tangan kanannya masih menggenggam tangan Adit yang sudah lebih hangat dari semalam. Wajahnya tenang, meski ada bekas sisa-sisa fisik yang sakit dan jiwa yang lelah dan tertekan. Semuanya jelas terlihat.Adit sebetulnya hendak dirawat di ruang kelas dua sesuai dengan asuransi kesehatan premi yang dibayarkan ke pemerintah setiap bulannya. Tapi Beberapa jam sebelumnya, setelah dokter memastikan Adit stabil, Sarah langsung meminta agar Adit dipindahkan ke ruang VIP. Ia ingin Adit dirawat lebih nyaman. Tanpa pikir panjang, ia katakan semua biaya akan ia tanggung sendiri.Hardian dan Tigar juga tertidur pulas di sofa kecil dekat dinding. Posisi mereka miring-miring, masing-masing memeluk jaket sebagai selim
Dari balik tirai ruang UGD yang setengah terbuka, Hardian berdiri diam. Nafasnya tertahan. Ia tak berniat menguping saat awalnya mendekat, hanya ingin memastikan Adit masih sadar. Tapi langkahnya terhenti ketika suara lirih Sarah menyentuh telinganya.“… aku terlalu cinta sama kamu.”Kalimat itu menampar keras batinnya.Hardian tak bergeser, bahkan nyaris tak bernafas. Ia mendengar semuanya. Suara Sarah yang bergetar saat mengakui ketakutannya, suara Adit yang lemah tapi yakin ketika mengatakan bahwa hanya Sarah yang membuatnya ingin hidup untuk dirinya sendiri.Dan saat tangan Adit menggenggam tangan mamanya lebih erat, Hardian tak bisa lagi menyangkal sesuatu yang sebelumnya ia tolak untuk percaya.Ini bukan cinta sesaat.Bukan sekadar ketertarikan.Bukan sekadar pelarian.Adit benar-benar mencintai ibunya.Dan ibunya … mencintai Adit.Hardian menunduk. Perasaannya campur aduk. Ada haru. Ada bingung. Tapi juga ada rasa ikhlas yang mulai tumbuh. Perlahan namun pasti.Ia tak sanggup m
“Iya, Adit ... ini aku, Sarah,” jawabnya sembari mengarahkan jemari Adit yang masih lemah itu ke pipinya."Aku ... di mana?" gumam Adit pelan.Sarah tersenyum dengan mata berkaca-kaca. “Di rumah sakit. Tadi kamu pingsan. Hardian dan Tigar bawa kamu ke rumah sakit. Hardi ngasih tau aku kalau keadaan kamu drop. Kenapa jadi ngikutin aku sih ... segala pake pingsan,” katanya parau. Air mata pun tak tertahan lagi. Meluncur begitu saja pada pipinya yang halus.Adit masih menatap sekeliling ruangan, samar-samar. Wajahnya bingung. “Ini ... rumah sakit tempat kamu dirawat juga?” tanyanya ragu.Sarah menggeleng pelan. “Bukan. Ini rumah sakit Harapan Insan. Kamu pingsan tadi malam, demammu tinggi. Sekarang kamu dirawat di sini. Tapi aku datang. Aku ke sini.”Sejenak Adit terdiam. Mungkin sedang memproses semuanya. Lalu ia menatap Sarah. Tatapan yang lemah tapi penuh sesuatu yang dalam. Sebuah campuran rasa rindu, takut, dan keterkejutan karena ia tak menyangka perempuan itu benar-benar duduk di
Kotak itu adalah kotak kenangan. Tempat di mana Bela menyimpan masa lalunya yang lama ia simpan.Duduk di lantai, Bela membuka kotak itu perlahan. Debu halus mengepul. Di dalamnya, ada beberapa buku catatan kecil, kartu ulang tahun dari Arga dan juga beberapa temannya. Juga tumpukan foto-foto lama.Jari-jarinya gemetar saat menyibak satu demi satu foto.Dan di antara tumpukan itu, ia menemukan foto yang dicari.Foto Arga.Anak laki-laki kurus dengan mata tajam dan senyum malu-malu. Usianya mungkin sembilan atau sepuluh tahun saat itu. Di foto itu, Arga berdiri di depan gerbang panti, mengenakan kaus garis-garis biru dan celana pendek. Di pelipis kanannya, ada tahi lalat kecil yang masih jelas terlihat, dan sangat khas—yang tak pernah hilang dari ingatannya.Bela mendekatkan foto itu ke wajahnya.“Arga ...,” bisiknya lirih. Berbicara pada selembar gambar yang tidak akan pernah bisa menjawab.Segera ingatannya menari. Membawanya kembali pada satu sore di masa lalu, saat Arga akan mening
Di luar ruang UGD 3, Hardian duduk gelisah di kursi tunggu yang berderet di sisi dinding. Suasana lorong rumah sakit itu tenang, tapi pikirannya justru riuh.Semenjak ia melihat Adit semalam, tepat sebelum pingsan, wajah temannya itu terlihat berbeda. Bukan hanya karena demam tinggi, tapi karena sesuatu yang jauh lebih dalam. Sesuatu yang mengusik batin.Waktu itu, saat Bela perempuan asing yang sikapnya aneh itu menyebut nama ‘Arga’, Adit langsung terlihat goyah.Wajahnya pucat. Nafasnya berat. Pandangannya seperti orang yang habis melihat hantu.‘Aku tahu kamu Arga ....’ Kata-kata Bela saat itu, lirih tapi meyakinkan.Dan Adit sama sekali tak menyangkal. Tapi juga tak membenarkan. Dia hanya diam. Lalu tubuhnya menggigil seperti menahan sesuatu yang berat. Dan tak lama setelah itu dia mengeluh merasa pusing dan mual.“Aneh banget ...,” gumam Hardian pelan sambil mengusap wajahnya. “Sebenernya ada apa sih sama masa lalunya Adit, kayaknya berat banget?” tanyanya pada diri sendiri