New York, USA.
Salju turun di kota Manhattan cukup lebat. Sosok pria tampan berdiri di bangunan menjulang tinggi sebuah penthouse mewah. Sorot mata dingin, dengan aura wajah tegas begitu terlihat. Pria tampan itu baru saja baru saja selesai memeriksa pekerjaan yang dikirimkan oleh karyawannya. Bara Gunawan Gunaraya, pria tampan berusia 25 tahun itu langsung menonaktifkan ponselnya di kala terus menerus mendapatkan telepon dari ibunya. Jika tak ingin diganggu, maka Bara tak ingin diganggu oleh siapa pun. “Pak Bara,” sapa Andi, asisten pribadi Bara, melangkah masuk ke dalam ruang kerja Bara. Bara menatap dingin Andi yang baru saja datang ke penthouse-nya. “Kamu tahu ini jam berapa? Kenapa kamu mengganggu waktu saya?” Waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Bara tak suka jika diganggu, tapi malah asisten pribadinya mendatanginya. Padahal pria tampan itu sudah mengatakan, jika ingin membahas pekerjaan maka lebih baik ditunda sampai jam kantor. Andi menundukkan kepalanya. “Pak Bara, maaf mengganggu, saya hanya ingin memberi tahu Anda sesuatu hal penting.” Bara mengembuskan napas kasar. “Ada apa? Jangan katakan kalau kedua orang tua saya meminta saya untuk kembali ke Jakarta. Jika iya, maka jawabannya saya tidak mau! Saya sudah jenuh dengan kota itu. New York jauh lebih membuat saya lebih tenang.” Empat tahun sudah Bara tinggal di New York. Pria tampan itu sudah meninggalkan Jakarta cukup lama. Setelah menyelesaikan sarjana, dia ke New York untuk melanjutkan pendidikan master. Tidak sampai di sana, dia juga memimpin perusahaan cabang keluarganya di New York. Namun, belakangan ini kedua orang tuanya menginginkan dirinya untuk kembali ke Jakarta. Hal tersebut yang membuat Bara menjadi kesal. Sebab, dia sudah tak memiliki minat untuk kembali ke Jakarta. Andi tetap menundukkan kepalanya. “Maaf, Pak, tapi perintah Pak Gilang sangat jelas. Pak Gilang mengatakan bahwa minggu depan beliau akan pensiun. Pak Gilang ingin Anda yang menggantikan beliau. Selain itu, ibu Anda juga memaksa Anda untuk segera kembali ke Jakarta.” Bara berdecak kesal, dan tak suka. “Jika saya tidak mau, apa yang akan orang tua saya lakukan?” Ini bukan pertama kali Bara dibujuk untuk kembali ke Jakarta, tapi sudah berkali-kali. Tentu sudah berkali-kali juga Bara melakukan penolakan. Sebab, dia sudah muak dengan Jakarta. Di New York, dia mendapatkan ketenangan dan kedamaian hati. “Orang tua Anda berpesan, akan datang ke New York untuk menjemput Anda secara paksa, jika Anda tidak ingin kembali ke Jakarta. Pak Bara, maaf jika saya lancang, tapi Anda merupakan anak tunggal di keluarga Anda. Anda adalah pewaris. Pastinya kedua orang tua Anda akan meminta Anda untuk berada di Jakarta. New York hanya tempat Anda untuk menempuh pendidikan Anda serta mengasah kemampuan Anda. Pusat Gunaraya Group berada di Jakarta, jadi sudah sepantasnya Anda kembali ke Jakarta, menggantikan ayah Anda memimpin perusahaan,” jawab Andi sopan, dan sangat hati-hati. Bara mengembuskan napas kasar, dan mengumpat pelan. Tak menampik bahwa apa yang dikatakan asisten pribadinya itu benar. Sejak dulu memang Bara tidak memiliki pilihan apa pun. Kehidupannya sudah sangat sering diatur oleh kedua orang tuanya. Bara ingin sekali berontak, dan memutuskan tinggal di New York. Namun, sepertinya itu sangat mustahil. Bara tidak mungkin bisa melawan keinginan kedua orang tuanya. Dia yakin seribu persen, jika dia menolak, maka pasti orang tuanya mendatangi New York, dan membuat masalah. “Fine, atur saja kepulangan saya ke Jakarta,” ucap Bara dingin, tak memiliki pilihan lain. Andi mengangguk patuh. “Baik, Pak. Hm, ada hal lain yang ingin saya sampaikan pada Anda.” Bara menatap tajam sang asisten. “Jika bicara jangan setengah-setengah! Ada apa lagi?” Andi sedikit ketakutan. “I-ini, Pak, saya hanya ingin memberikan informasi bahwa Anda memiliki beberapa kandidat untuk menjadi sekretaris Anda. Sekretaris lama Pak Gilang telah mengundurkan diri. Lina, HRD Manager kita sedang mencari sekretaris baru. Ada beberapa kandidat yang Lina berikan pada saya. Apa Anda ingin saya memilih, atau Anda ingin menyaring sendiri sekretaris Anda?” “Berikan aku berkas kandidat calon sekretarisku,” ucap Bara dingin, dia lebih menyukai memilih sendiri sekretarisnya. Sebab, dia paling tak suka orang yang bodoh ataupun lambat. “Ini, Pak.” Andi menyerahkan berkas di tangannya pada Bara. Bara mengambil berkas yang ada di tangannya itu, dan menatap seksama berkas itu. Setiap kandidat disertai foto serta background pendidikan. Banyak yang diabaikan oleh Bara, sampai tiba di lembar terakhir—tatapan Bara tertuju pada sosok wanita cantik berambut cokelat—menunjukkan senyuman menawan. Bara terdiam terkejut melihat foto itu. Background pendidikan, dan identitas wanita itu sudah menjawab semua pertanyaan yang muncul di dalam benaknya. Debar jantungnya berpacu kencang seakan ingin berhenti berdetak. Kepingan memorinya mengingat tentang kejadian beberapa tahun silam. “Pak, apa Anda tertarik dengan Bintang Dilara?” tanya Andi sopan. Bara belum menjawab pertanyaan sang asisten. Beberapa kali dia berusaha menahan emosi yang tiba-tiba saja ingin meledak. Dia mengepalkan tangannya kuat dan bertanya, “Dia melamar di Gunaraya Group?” Andi menganggukkan kepalanya. “Dari semua kandidat, saya juga menyukai profile Bintang Dilara. Dia mahir Bahasa Inggris dan Mandarin. Selain itu, dia juga cukup memiliki pengalaman kerja yang baik. Terakhir dia juga lulusan terbaik. Menurut saya orang seperti ini akan sangat kritis dalam berpendapat. Sebagai sekretaris Anda, pastinya Anda membutuhkan orang yang cerdas, kristis dalam berpendapat, dan teliti.” Bara masih terdiam seraya meremas profile Bintang Dilara. Embusan napas kasar lolos di bibirnya. Sudah empat tahun dia tak bertemu dengan Bintang. Ternyata takdir mempertemukan kembali dirinya dengan keadaan seperti ini. “Saya pilih Bintang Dilara. Katakan pada Lina, saya memilih Bintang Dilara,” ucap Bara dingin, dengan raut wajah yang menahan emosi. Andi mengangguk patuh. “Baik, Pak. Saya akan segera menghubungi Lina. Kalau begitu saya permisi. Ini sudah malam. Selamat malam, Pak Bara. Maaf sudah mengganggu Anda.” Andi segera pamit undur diri dari hadapan Bara—yang masih bergeming di tempatnya. Tampak sorot mata Bara memancarkan jelas rasa emosi yang tak bisa terkendali. Kepingan memori Bara mengingat atas apa yang telah dilakukan Bintang padanya. Bintang Dilara … wajahnya ternyata tak berubah sama sekali. Senyuman, paras semua tetap sama. Sudah empat tahun tak bertemu nyatanya Bara tetap mengingat wajah wanita itu. Sosok wanita yang telah menghancurkannya. Bara tak akan pernah mungkin lupa hari di mana Bintang menghancurkan dirinya. Pertama kali dalam hidup, Bara menangisi seorang wanita yang telah mengkhianatinya. Membayangkan itu kemarahan semakin menggrogotinya. “Bintang, kita akan bertemu lagi,” ucap Bara penuh dendam, dan amarah yang tak bisa lagi tertahankan.