Laboratorium 0X-P di bawah reruntuhan kota Yavara, terletak 312 meter di bawah permukaan tanah, hanya bisa diakses dengan sidik retina dari dua makhluk di semesta ini dan salah satunya kini berdiri di depan ruang pendingin berlapis titanium: Razak Ghenadie.Tangannya sedikit gemetar saat menekan kombinasi kode plasma. Di hadapannya, sebuah kapsul cryo setinggi tiga meter mulai bergetar, uap putih menyembur dari celah-celahnya, dan suara lembut komputer berkata, “Revival sequence initiated. DNA protocol stabilized.”Di dalam kapsul itu, klon dirinya sendiri, yang dulu pernah dianggap berbahaya, tak terkendali, dan bahkan hampir menghancurkan laboratorium generasi kedua, kini mulai hidup kembali."Jangan bangun sebagai binatang," bisik Razak, matanya mengkilap. "Bangunlah sebagai kunci akhir kehancuran mereka."Tiga tahun yang lalu, klon itu dibekukan, karena dia bertingkah aneh dan bahjkan akan menyerang dirinya. Kole itu hasil percobaan genetik tertinggi: DNA Razak dicampur dengan uru
Kaca pengaman laboratorium Ayam Nusa retak dalam pola seperti jaring laba-laba, akibat tembakan plasma dari Clone-Razak. Asap masih memenuhi udara saat sistem keamanan otomatis akhirnya aktif.Drone-drone berukuran kecil dengan sensor mata merah menyala masuk dari lubang-lubang ventilasi. Mereka menyusun formasi."Target ditetapkan. Mode netralisasi aktif."Tiga berkas cahaya biru memancar sekaligus dari dinding kanan dan menembus ruang laboratorium. Sinar laser itu mengenai lengan, kaki, dan pundak Clone-Razak. Tubuhnya terpental dan menabrak tumpukan meja digital.Razak asli menarik napas tajam, bersandar pada Ghenadie yang terengah-engah namun masih berdiri tegak."Dia... tidak mati, kan?" tanya Razak dengan suara parau."Tidak. Mode senjata ini untuk melumpuhkan. Mereka tidak mengizinkan kita membunuh entitas yang masih memiliki status manusia," jawab Dinda dari speaker sistem keamanan.Pintu terbuka dengan suara desis pneumatik. Dua robot penjaga berukuran manusia masuk dengan bo
Mars, 12:03 waktu orbit lokal. Atmosfer merah tipis membungkus penjara kosmos V-Prime yang melayang di antara orbit bulan Phobos dan permukaan Mars. Penjara ini tidak terlihat dari permukaan—ditutupi oleh perisai kamuflase dan pengacau sinyal elektromagnetik.Tapi di dalamnya, tidak ada yang tersembunyi.Clone-RAZAK-9—pengganti Razak yang disempurnakan secara biologis dan neuro-sibernetik—menatap cermin selnya. Retakan membentuk pola seperti jaring laba-laba.Mata Clone-Razak merah menyala. Ia telah tidak tidur selama lima siklus. Sejak malam dia mendengar bisikan itu lagi:“Kau bukan pengganti. Kau adalah asli.”Bisikan itu bukan suara luar. Itu suara dari dalam—memori palsu yang telah menancap begitu dalam sehingga menjadi realita dalam dirinya. Ia merasa dikhianati. Dipakai. Dibuang.“Sialan kalian,” gumamnya pelan.Tangannya menggenggam erat serpihan logam dari kerangka tempat tidur. Ia tahu semua jalur ventilasi. Ia tahu semua waktu rotasi penjaga robotik. Ia tahu semua kode kare
Pagi itu, kabut tipis menyelimuti kompleks rumah Ghenadie yang terletak di dataran tinggi Nova Jakarta. Bangunan kaca baja berdiri sunyi di tengah ladang sintetis bunga-bunga eksotik hasil rekayasa genetik.Tapi tak ada satu pun warna yang mampu menghibur perasaan Ghenadie saat sebuah kendaraan listrik berhenti di pelataran, dan seorang lelaki tua turun perlahan.Lelaki itu mengenakan mantel panjang hitam, dengan emblem notariat internasional yang telah pudar warnanya. Dia membawa sebuah koper kecil, usang, seolah menyimpan lebih dari sekadar dokumen. Namanya: Notaris Hendrik Volgen, sahabat lama mendiang Anton, ayah Ghenadie.Ghenadie menyambutnya dengan anggukan singkat. Tak ada senyum. Tak ada kata-kata basa-basi. Keduanya langsung masuk ke ruang kerja tua yang masih mempertahankan rak kayu asli dari era sebelum migrasi digital total."Saya datang bukan hanya sebagai notaris, Ghenadie," kata Volgen setelah duduk. Suaranya parau. "Tapi juga sebagai saksi. Sebagai penitip pesan terak
Kabut fajar belum surut dari pegunungan Tektonis Utara saat Dr. Maruschka Ivana, seorang ahli neurobiologi dari Federasi Pengetahuan Eropa, menjejakkan kakinya di fasilitas tersembunyi milik Ayam Nusa.Matanya menyipit menatap menara logam berkarat yang dikelilingi ladang-ladang ayam mutan."Ini bukan pertanian... ini pabrik kesadaran," gumamnya lirih.Dinda menyambutnya di lorong steril menuju Lab-7, tempat Kavak-17 dan beberapa ayam Gen-3 lainnya diamati ketat setelah insiden semalam."Kami mengunci semua Gen-3 yang menunjukkan aktivitas neural tak biasa," kata Dinda.Maruschka menatapnya. "Tak biasa? Saya mendapat laporan bahwa mereka mengenali wajah manusia yang bahkan belum pernah mereka temui. Itu... bukan 'tak biasa'. Itu luar biasa.""Kami belum bisa mengkonfirmasi semuanya. Tapi ya, mereka... memiliki sesuatu."Pintu otomatis terbuka. Di dalam ruangan berkaca tebal, seekor ayam berdiri menatap langsung ke arah Maruschka, seolah tahu siapa tamu barunya."Itu Kavak-11," kata Ar
Cahaya merah redup berdenyut pelan dari atap laboratorium bawah tanah Ayam Nusa. Dinda duduk di depan kaca observasi, memandangi satu ayam Gen-3 yang berbeda dari lainnya.Ayam itu diberi nama "Kavak-17", diam saat semua ayam lainnya sibuk mengais tanah buatan dan mencicit pelan dalam suara digital buatan genetikanya. Kavak-17 tak bergerak. Tapi pupil matanya, yang kini seperti mata manusia, berkilat tiap kali cahaya inframerah menyapu tubuhnya.Dinda menyesap kopi. Tangan kirinya gemetar, bukan karena kafein, tapi karena rasa takut yang belum ia pahami sepenuhnya.“Setiap kali aku arahkan spektrum inframerah 834 nm,” katanya pelan melalui mikrofon ke sistem perekam, “Kavak-17 menunjukkan respons identik seperti yang ditunjukkan Razak saat dia terkena lampu terapi dalam sel isolasi... Terdapat kesamaan pola gelombang otak.”Di belakangnya, teknisi muda dari India, Arav, berdiri dengan keringat menetes di pelipis.“Bu Dinda... kita sedang mengulang data EEG Ayam Kavak-17 dengan data Ra