Suamiku unik. Bisa dibilang sangat langka. Apa yang ia kerjakan selalu di luar nalar manusia pada umumnya. Dia bukan lelaki abnormal maupun gila. Umur kami terpaut cukup jauh. Yaitu 15 tahun. Berbeda generasi, tapi tetap romantis. Meski kadang suka membuatku kesal.
View More"Mbak, mau beli emas yang paling besar ada?" tanya suamiku. Aku sudah senyam-senyum mendengarnya.
"Ada, Pak!" jawab penjaga toko."Paling besar beratnya berapa?" tanya suamiku dengan PD banget. Padahal aku tahu, dia tidak membawa uang."Yang ready 100gr, Pak!" jawab wanita berkemeja merah."Aku mau emas yang beratnya 1kg," kata suamiku. Aku tepuk jidat. Malu dilihat banyak orang. Mau ditaruh mana mukaku ini.Si Mbak penjaga toko pun bingung. Akhirnya dia memanggil pemilik toko yang diketahui wajahnya seperti orang cina. Dia memandang kami sangat aneh. Apa lagi aku cuma memakai gamis biasa. Suamiku mengenakan celana pendek dan kaos setelan olahraga."Bapak butuh apa?" tanya wanita Cina itu. Rambutnya berwarna pirang sebahu."Aku butuh emas yang beratnya 1kg, ada?""Ada Pak, tapi pesan dulu," katanya."Kalau sekarang bisa nggak?""Nggak bisa, Pak!""Ya sudah, nggak jadi!" ujar lelaki di sampingku ini. "Ayo pulang!" Ia menggandeng tanganku.Sudah kuduga. Setiap aku menginginkan sesuatu ia selalu membuat hati lega dan tenang. Tapi ... cuma sesaat doang. Setelah sampai rumah amsyong. Nggak dapat apa-apa. Ini sudah menjadi kebiasaan. Anehnya, aku selalu telat dalam menganalisa ucapan Mas Darius.~Malam hari, sebelum kami datang ke toko emas, Kusampaikan keinginanku padanya, agar suamiku membelikan emas. Karena aku juga menginginkan perhiasan itu seperti wanita pada umumnya."Mas, aku ingin seperti wanita-wanita lain yang memakai perhiasan," kataku saat mau tidur."Karmila, Sayang! Tenang saja. Besok pagi kita akan langsung ke toko emas," sahutnya sembari mengusap rambutku."Benar, Mas? Kamu nggak bohong 'kan?" tanyaku sedikit ragu."Iya, sayang. Cuma ke toko emas kecil buat suamimu ini," ujarnya.Malam itu aku merasa menjadi wanita yang paling beruntung. Hingga akhirnya aku bisa tidur dengan nyenyak. Sekali pun suamiku tidak pernah membentak atau berbicara kasar. Itu nilai plus darinya.~Aku dan Mas Darius umurnya selisih 15 tahun. Entahlah, mungkin karena aku menyukai orang yang umurnya lebih tua. Jadi merasa biasa saja dalam menjalani. Meski begitu, dia masih terlihat muda lho. Nggak kalah sama yang masih brondong. Mungkin, karena Mas Darius orangnya sangat santai dalam menjalani kehidupan. Sifatnya yang tidak mudah marah dan apa adanya itulah, yang membuatku nyaman berada didekatnya.~Pagi itu kami bersiap pergi jalan-jalan untuk melihat-lihat toko emas yang dekat dengan tempat tinggal. Tertujulah pada satu toko yang paling besar. Sejak awal perasaan ini sudah tidak enak, karena aku tidak melihat Mas Darius membawa dompet."Mas, yakin kita akan ke sana?""Yakinlah, itu kan tokoku?" katanya, sembari mengusap rambut."Ngawur kamu, Mas!""Eh, nggak percaya. Ngajinya kurang lama sih?""Ngomongin toko emas sampai ngaji. Gimana ceritanya. Nggak nyambung," batinku.Sampai di toko itu, suamiku langsung bertanya pada penjaganya. Padahal sebagai wanita aku ingin melihat-lihat terlebih dahulu. Secara modelnya bagus-bagus. Ya ampiun ... ngiler rasanya, pengen kuborong semua. Tapi, ketika Mas Darius tiba-tiba saja bertanya emas 1kg, hatiku degdegan seperti genderang mau perang. Jangankan aku, orang di sekitar yang mendengar pun geleng kepala. Sudah gila mungkin suamiku ini. Dikira leherku kokoh seperti patung atau kerbau kali.Ingin sekali aku mundur dan berlari lebih dulu, agar tidak ikut menanggung malu. Mataku memindai saku celana berwarna hitam putih itu begitu tipis. Tidak mungkin ada uang di sana. Kalau pun pakai ATM juga mustahil. Mas Darius bukan tipe orang yang suka menabung di Bank. Dia lebih suka menyimpan uangnya di brangkas."Mas, pulang saja, yuk! Perasaanku nggak enak," bisikku. Tapi dia tidak menghiraukan istrinya ini. Aduh ... rasanya muka ini mau kututup pakai kantong kresek hitam saja.Dan ternyata perasaanku benar. Kami pulang dengan tangan kosong. Dengan alasan emasnya tidak ada yang sesuai keinginan pria ajaibku."Mas, kenapa tidak jadi?" tanyaku sedikit merajuk."Toko emasnya nggak lengkap," ujarnya."Mas, aku 'kan cuma pengen perhiasan. Kalung kek, gelang kek, bukan emas 1kg. Masak iya, aku pakai kalung 1kg. Bisa putus ni leher, Mas. Ih, sebel!" Aku ngomel di sepanjang jalan. Tapi, Mas Darius dengan santainya melenggang berjalan dengan pandangan lurus ke depan tanpa menghiburku. Dia senyang-senyum sendiri. Ingin rasanya kugetok kepalanya pakai sandal, tapi takut kwalat.***Sampailah kami di komplek. Seperti biasa ibu-ibu sedang asyik ngegosip. Sebenarnya jiwaku juga meronta ingin bergabung bersama mereka. Tidak bisa dipungkiri, wanita memang bibirnya lemes, doyan banget ngrumpi. Sayangnya suamiku selalu melarang.Sesekali aku pernah minta izin padanya."Mas, aku boleh nggak, ikut ngumpul ibu-ibu di situ, supaya lebih akrab dengan tetangga?" tanyaku. Tentunya dengan sedikit manja. Ternyata gaya yang kutiru melalui grup literasi tentang tips meluluhkan hati suami gagal."Nggak, boleh!" pungkasnya. Singkat, padat, dan jelas. Mulut langsung mingkem. Tidak ada toleransi lagi. Oalah, Mak ... sudah capek-capek merangkai kata, dapatnya kecewa.Saat kami melewati kumpulan ibu-ibu itu, Bu Fatia menyapa."Mas Darius, Karmila, dari mana 'ni? Salut sama pasangan ini. Meski umurnya beda jauh, tetap saja mes_rah," katanya, sambil mendesah. Bu Fatiya adalah orang yang humoris. Meski suka menguliti hidup orang lain. "Dari mana kalian? Tumben, berdua saja."Bu Fatia seperti mencari sesuatu yang mungkin kami bawa.Mas Darius menoleh padaku dan memicingkan matanya. Itu pertanda, bahwa kami tidak boleh berlama-lama di tempat itu. Aku sedikit meliriknya. Saat aku mau menjawab pertanyaan Bu Fatiya, lelaki di sampingku sudah mendahului."Kami dari toko emas, Bu Fatiya!" jawab Mas Darius. Suamiku benar 'sih tapi, kami cuma jalan-jalan doang.Ibu-ibu yang ada di situ saling menatap satu sama lain. Apa lagi Bu Meta yang seperti toko emas berjalan. Dia merasa akan tersaingi."Wah, wah ... Karmila dibelikan emas sama suaminya. Beli kalung atau gelang? Berapa gr?" tanya Bu Fatia lagi."Emmm..!"Baru saja mau membuka mulut sudah di srobot lagi."Nggak jadi beli!""Lho, lho ... kenapa nggak jadi, Mas? Jangan-jangan nggak punya uang dan cuma lihat-lihat," cerca Bu Meta. Yaah ... Ketahuan dong. Benar sekali kata Bu Meta. Rasanya pengen banget kulipat wajah ini. Anehnya Mas Darius terlihat santai tanpa ada perubahan ekspresi dari wajahnya meski dikata orang seperti itu. Entah, hatinya terbuat dari apa."Jadi benar Mbak Karmila? Kalian cuma melihat-lihat saja?"Ampun deh, malu banget aku."Tadinya mau beli. Tapi nggak ada. Kalau masalah uang sih kecil." Mas Darius menjentikkan jari. "Tinggal minta saja sama Allah," ujarnya kemudian."Sombong amat," gumam Bu Meta. Tidak lupa tangan kirinya diangkat agar gelang yang melingkar itu bisa saling bertabrakan dan menimbulkan suara gemerincing."Kok nggak ada, Mas?" ke dua alis Bu Fatiya saling tertaut, "bukannya di toko emas banyak pilihan dan model? Memangnya Mas Darius mau berapa gr?" Bu Fatiya menyilangkan tangan sejajar dada."Satu kilogram!" jawab suamiku."Haaaa ....!" Serentak mereka melongo. Tangan Bu Fatiya yang tadinya menyilang rapat, kini pun terurai."Huaow ... Amazing! Satu kilogram, Mas?!" Bu Fatiya memperjelas."Iya, tadinya mau beli. Karena nggak ada ya nggak jadi."Ya Allah, aku mau pingsan saja. Biar nggak malu.___"Mila, buka pintunya! Kalau pintu kamar di tutup, aku tidur di mana?""Terserah kamu saja, Mas. Salah sendiri pakai janjian sama, Ros." "Mila, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Buka dulu, Sayang. Biar kujelaskan."Mas Darius terus saja membujukku. Tapi biarkan saja. Dia sudah ketahuan main belakang dengan wanita lain. Mungkin akan lebih baik jika aku pergi dari rumah ini. Aaa, tidak, tidak. Kalau aku pergi dari rumah ini, Mas Darius keenakan dong. Dia bisa semaunya sendiri."Mila, buka dong pintunya. Aku cuma bercanda tadi," teriaknya dari luar. Tapi tak kuhiraukan.Setelah beberapa saat, tidak terdengar lagi suaranya. "Apa Mas Darius pergi? Jangan-jangan dia jadi jalan-jalan sama si Rosi itu," batinku. Ya sudahlah, aku tidak peduli. Lama-lama aku juga jenuh di kamar melulu. Aku pun memutuskan untuk ke luar.Saat aku membuka pintu, terlihat sebuah kaki menjulur di atas kursi sofa.Astaga, bandot tua. Mahluk aneh. Kukira sudah pergi jalan-jalan dengan si Ros yang ia telepon tadi
Saatnya ngetes istriku. Apakah dia sudah bisa memahami cara pikirku atau belum."Sayang, kamu hari ini ada acara nggak?" tanyaku sambil tiduran di pangkuannya. Ia sibuk dengan ponselnya."Kebetulan aku juga lagi kosong. Jalan-jalan, yuk!" ajakku."Kemana?" Mila bertanya tanpa melihatku. Aku nyengir dan menahan tawa. "Sepertinya istriku yang bawel ini akan kena jebakan," batinku"Sekitar sini saja," kataku."Sebenarnya aku sedang males 'sih, Mas. Tapi demi menemanimu, ayo!""Ya sudah, aku ganti baju dulu. Kamu juga ganti. Buruan!" titahku.Mila menaruh ponselnya di nakas kemudian berganti pakaian."Ayo, Mas. Aku sudah siap!""Iya, ayo! Mas juga sudah dari tadi nungguin kamu."Pagi ini cukup cerah. Tidak mendung juga tidak panas. Birunya langit menambah keindahan pagi ini. Sudah cukup lama juga tidak cari angin bersama istri.Biasanya berjalan sebentar saja Mila sudah mengeluh capek. Tapi kali ini kenapa diam saja? Aku jadi pusing kalau istriku seperti ini."Sayang, kamu capek nggak? Ka
Dua tahun kemudian usaha mi ayam Septi sukses. Ia bisa melunasi hutangnya pada Mas Darius. Kami pun diminta ke rumahnya sekalian silaturahmi dan makan mi ayam gratis.Sebenarnya Septi mau mengantarnya ke sini. Tapi, Mas Darius sekali-kali juga pengen berkunjung ke rumah adik perempuannya itu. Jadi nggak harus yang muda mengunjungi yang tua melulu."Mas, mau bawa oleh-oleh nggak?" tanyaku saat siap-siap mau ganti baju."Tenang, aku sudah siapkan," katanya. Lega banget dengarnya. Suamiku memang the best.***"Mas, katanya sudah menyiapkan oleh-oleh untuk Septi, mana?"Aku bertanya serius, dia malah cengengesan."Oleh-olehnya ya, kamu!""Hah! Ya Gusti, jangan bercanda, Mas! Kalau tahu begini, aku tadi siapkan. Kalau begitu kita mampir ke toko buah saja. Kita bawakan buah," kataku dengan kesal. Punya suami bawaannya bikin emosi. "Menepi dulu, Kang Arif!""Siap, Bu!"Kami turun dan memilih-milih buah di sana."Enaknya beli buah apa, Mas?" tanyaku meminta saran."Apa saja enak!" jawabnya."
Hari ini adalah waktunya kami pulang dari berlibur. Ayah dan ibuku satu mobil dengan Fadil."Mas, bagaimana kalau nanti kita adu ketangguhan mobil? Jalanan berkelok, banyak jalan yang berlubang. Aku yakin mobilku yang menang," ujar Fadil pada Mas Darius."Mm, bagaimana Kang Arif, berani nggak?" Mas Darius menoleh pada supir."Siap, Pak Bos!" Kang Arif begitu bersemangat."Fadil, jangan begitu! Bahaya ugal-ugalan di jalan. Kamu tahu sendiri 'kan ibu takut kalau kebut-kebutan di jalan," Ibu menimpali."Tenang saja, Bu. Cuma uji ketangguhan saja. Bukan kebut-kebutan," balas Fadil.Kami pun naik ke mobil masing-masing. Memang ada sedikit jalan berkelok-kelok dan banyak lubang. Sebenarnya aku juga takut. Namun melihat semangat Mas Darius dan Kang Arif, aku cuma bisa diam."Bagaimana ini, Pak? Mas Fadil sepertinya yang lebih unggul," kata Kang Arif."Tenang saja, Kang. Kita santai saja. Berdoa saja mobil Fadil bannya kempes," kata suamiku."Ish, jangan begitu, Mas. Di sana ada ayah dan ibu.
"Ini bagaimana ceritanya kalian bisa sekongkol ngerjain aku?" tanyaku pada Fadil.Fadil menggaruk-garuk kepalanya sambil melirik kakak iparnya yang meringis kesakitan."Emm, anu-Mbak. Sebelum ke sini, kami sudah janjian. Dan sebenarnya, ayah dan ibu juga hadir, Mbak.""Ayah dan ibu?""Iya, Mbak.""Lalu mereka di mana sekarang?""Itu mereka ...!" Fadil menunjuk ke arah belakangku."Astaga, Ayah, Ibu! Ya Allah, aku kangen sama kalian." Ke peluk kedua orang tua itu. Kemudian Mas Darius mendekat dan menyalami orang tuaku."Em, hebat akting kalian, ya. Jadi, pemulung yang cuma makan nasi dan garam itu, Ibu!""Hmm, Mila, ini agar kamu bisa berubah. Masak umur sudah semakin matang masih saja emosian, nggak sabaran, gengsian juga. Buang sikap seperti itu, Mila.""Ini sudah watakku, Bu. Ibaratnya adalah pakaianku sehari-hari. Jadi, tetap akan seperti ini terus," kataku. Benar 'kan. Batuk gampang diobati, dan watak sulit untuk dirubah."Tentu saja aku bicara dengan ibu secara lemah lembut."Hih
"Gado-gadonya isinya lengkap ya, Mas! Ada karbohidrat dari lontong dan kentangnya. Ada protein dari telur dan kacang pannjangnya, termasuk sambalnya juga. Ada zat besi dari bayam. Komplit banget. Tinggal nanti kita beli buah dan susu," kataku. Bagaimanapun sebagai seorang ibu itu harus memperhatikan nilai gizi dari setiap apa yang dimakan anggota keluarga. Aku tidak mau suamiku kekurangan gizi. Apalagi di usianya yang tidak muda lagi. "Makan ya makan saja, Mila. Ngapain mikirin gizi. Karbohidratlah, proteinlah, vitaminlah, kalorilah. Kalau mikirin semua itu, yang ada kita justru sakit bukan karena kekurangan gizi. Tapi sakit memikirkan gizi."Ish, ngeyel banget kalau dibilangin. "Mas, gizi itu penting buat gubuh kita lho. Kalau kita kekurangan karbohidrat, yang ada kita lemes. Nggak bisa mikir.""Emm, kata siapa? Mas nggak percaya. Buktinya bayi cuma minum susu nggak makan nasi dan sayur juga sehat.""Itu beda, Mas. Susu sudah banyak kandungan vitamin dan lainnya. Termasuk lemak," k
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments