Share

02. Accident

"Kak, ini sudah benar?" tanya Gavin, anak kelas 3 itu menunjukkan hasil kerjanya. Cea tersenyum, "Pintar sekali, padahal baru diajarin satu kali!" seru Cea kagum, ia semakin gemas ketika anak didepannya tersipu malu. Ingin rasanya Cea mencubit dan memakan pipi gembul anak itu, tapi ia tahan jika kebablasan sama saja dengan menyerahkan nyawanya kepada Gravano.

Cea memandang ke arah jendela dan melihat awan yang mulai menghitam, "Gavin, ini kakak kasih soal sepuluh, besok kakak check jika benar semua kakak kasih kamu hadiah, kamu suka apa?" tanya Cea menatap gemas ke arah anak yang sedang mencoba berpikir itu.

"Gavin suka matahari, Kak!" serunya semangat, Cea mengangguk mengerti.  "Kakak pulang sekarang, besok kita bertemu lagi, okay?" ucap Cea sambil membantu Gavin membereskan alat tulisnya, Bunda GavinㅡVera menghampiri mereka.

"Sudah selesai?" tanyanya, Cea mengangguk lantas tersenyum. "Pulangnya diantar Gravano, dia sudah menunggu di depan." ucapnya.

Cea terdiam sejenak, "Aku naik angkutan umum saja, Bu." elaknya, "Jangan pulang sendirian ini sudah malam dan jangan panggil Ibu, panggil Bunda saja, okay?" ucapnya sambil mengelus puncak kepala Cea, seketika Cea ingin menangis tetapi ia malu, jadi ia segera bergegas menyetujui jika Gravano akan mengantarkannya.

"Lama banget!" ketus Gravano, Cea hanya menunduk dan tak menggubris ucapan pria didepannya ini, ia langsung duduk tak lupa ia terus membawa jaket dan tas Gravano niatnya ia akan mencucinya terlebih dahulu.

"Rumah lo dimana?" tanya Gravano, Cea menjelaskan singkat ia tidak banyak bicara saat ini ia hanya butuh tempat sunyi untuk ia mencurahkan semua rasa sakit dan sedihnya. Ia rindu Ibunya, sangat rindu.

Setelah sampai di lokasi tujuan, Cea langsung turun, "Tas sama jaketnya Cea cuci dulu, besok Cea kembalikan, terima kasih." ucap Cea sambil berlalu, ia tetap menunduk membuat Gravano bingung seketika, dengan menepis rasa bingungnya Gravano langsung berniat pulang kerumahnya sebelum melihat langkah Cea yang terhenti di depan wanita yang sepertinya sudah berumur.

"Bibi, mana Ibu?!" tanya Cea, suaranya gemetar. Gravano hanya diam tak bergeming, ia semakin penasaran dengan gadis dan orang-orang disekitarnya itu.

"Kau masih saja bertanya tentang dia, kau tahu dia meninggalkanmu karena kau adalah aib untuknya, bersyukur nenekmu masih menerimamu, sekarang aku tinggal disini dan turuti perintahku!" Tubuh ringkih Cea didorong kencang oleh sang Bibi membuat tubuhnya limbung dan akhirnya terjatuh dengan siku yang menopang tubuhnya.

Cea menangis dalam diam, ia segera berdiri dan menepuk tas beserta jaket milik Gravano yang sedikit kotor, ia mengubah posisi tasnya menjadi ke depan sehingga ia bisa memeluk tas tersebut. Ia menyandarkan diri di tembok lalu membenturkan kepala bagian belakangnya berulang kali sambil terisak pedih. Kenapa harus menimpa dirinya? Sungguh, ia hanya ingin bertemu Ibunya untuk sang Ayah, beliau telah meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.

"Kau ingin otakmu hancur lalu kau tidak bisa menjadi guru untuk Gavin?!" seru Gravano yang tiba-tiba menahan kepala Cea yang akan Cea benturkan, Cea sangat terkejut ia sampai tidak sadar jika Gravano belum beranjak pergi, ia mengusap air matanya cepat lalu tersenyum, "Tenang, Cea punya otak cadangan." ujarnya membuat Gravano mengusap wajahnya kasar tidak habis pikir dengan gadis didepannya ini.

"Cea masuk dulu, hati-hati!" seru Cea riang, kali ini Gravano menjadi lebih bingung kenapa mudah sekali suasana hati gadis itu membaik setelah perkataan yang tidak pantas diujarkan padanya. Tapi lagi dan lagi Gravano menepis pemikirannya itu, untuk apa dia peduli kepada Cea? "Dasar lemah!" geram Gravano, ia langsung pergi menjauh dari kawasan itu dan langsung pulang kerumahnya.

Cea mengerjapkan matanya saat suara dering alarm membangunkan mimpi indahnya, ia merasa sangat pusing pasalnya ia menangis hingga tertidur bahkan ia tidak sempat untuk mengisi perutnya. Mata sembab menghiasi penampilan gadis bermata bulat dan berpipi tembam itu, ia menghembuskan napas kasar, "Hari ini akan lebih bahagia dari kemari, semangat!" seru Cea menyemangati dirinya sendiri.

"Nenek, Cea berangkat, ya!" ucap Cea sambil tersenyum lebar, "Tidak sarapan dulu?" tanya sang Nenek, Cea menggeleng, pasalnya jika ia makan pasti stok beras akan habis sebelum waktunya apalagi sekarang ditambah dengan adanya sang BibiㅡVania.

"Cea, kesini!" teriakan Vania membuat Cea segera menghampirinya, "Kau jemur semua ini, cepat!" ucap sang Bibi, Cea menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 7 ia pasti akan terlambat hari ini.

Gadis itu merengek selama 10 menit namun tetap security tidak bisa memberikannya akses untuk masuk, "Pak, Cea mohon, please." bahkan wajahnya sudah ia buat semenggemaskan mungkin, ia meniup poninya asal, lalu membuat puppy eyes namun tetap saja securityㅡPak Soni itu tidak mau membuka gerbangnya.

"Jahat banget, huwa!" Cea mencebikkan bibirnya sebal, ia menghentakkan kakinya tanda ia sedang kesal, ia lalu duduk di halte bus. "Masa disini seharian, huw-"

Teriakan Cea diredam oleh sebuah roti tawar isi cokelat yang disumpalkan paksa oleh oknum yang mengantarnya semalam, "Berisik banget telat juga!" ucapnya sewot.

"Eung?" tanya Cea bingung, matanya berkedip polos, sedetik kemudian ia tersadar jika ia sudah telat. Apakah Gravano juga telat? Kenapa wajahnya sangat santai, bahkan kelewat santai.

"I-ini jaket sama tas yang kemarin, sudah Cea cuci, sudah wangi juga." ucapnya.

"Bener wangi?" tanya Gravano meremehkan Cea, Cea ingin sekali memukul pria didepannya ini, kenapa ia terlihat semakin menyebalkan. Gravano mengendus jaketnya dan memang wangi, wangi bayi, tapi Gravano menyukainya.

Cea perlahan menjaga jarak dari Gravano yang terduduk disampingnya, lalu ia mengayunkan kakinya yang tidak bisa mencapai tanah saat ia duduk di kursi halte, sebegitu pendeknya kaki Cea. Ia menatap langit yang snagat cerah, seperti teringat sesuatu Cea langsung berlari meninggalkan Gravano yang masih terlena karena wangi bedak bayi begitu ketara dijaketnya.

"Pak, ini berapa?" tanya Cea sambil menunjuk gantungan berbentuk matahari, "Itu lima belas ribu." Cea langsung mengeluarkan uang pas, "Terima kasih, Pak!" ujar Cea, ia kembali menunggu di halte bus untung saja ada pedagang yang menjual gantungan lucu seperti in, pasti Gavin suka. Pasti.

"Wangi enggak?" tanya Cea memastikan, pasalnya ia sedikit ngeri dengan tingkah Gravano yang belum selesai mencium aroma jaketnya itu. Gravano yang melihat tatapan Cea bingung dengan sesegera mungkin memasang wajah datarnya.

"Kenapa, ada apa?!"

Cea menggeleng lantas mengalihkan netranya untuk mencari hal yang lebih menyenangkan daripada menunggu hingga jam pulang tiba, ia bosan, sangat. Matanya membulat ketika melihat baby stroller melaju begitu saja sedangkan mobil melaju kencang berlawanan arah.

"Awas!" teriak Cea, ia menarik baby stroller dengan cepat lalu mendorong ke arah wanita yang sedang berteriak tanpa memperhatikan situasinya sekarang, Cea tersenyum saat ibu bayi itu mengecup anaknya senang hingga pekikan Gravano membuat Cea tersadar.

"Aaaaa!"

Tubuh Cea terpental beberapa meter, Gravano berlari menghampiri Cea dengan jantung yang berdebar kencang bahkan napasnya tercekat saat suara mobil itu menghantam tubuh Cea. "Lo enggak apa-apa?!" tanya Gravano panik, Cea tersenyum lebar, "Ini buat Gavin." ucapnya menahan sakit, ia merogoh saku seragamnya dan memberikan gantungan berbentuk matahari lalu semuanya menjadi gelap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status