Cea adalah gadis yang hidup dengan ratusan rasa sakit, ia takut dengan kegelapan, namun ada seorang pria bernama Gravano yang menjadi lentera di tengah tengah kegelapan itu sendiri.
view moreSitting across from the delicacies spread on the vast table, Heidi supported her cheeks with both hands. She let out a sigh, wondering why her husband was taking so long outside.
Lucas appeared to have forgotten their anniversary, despite Heidi dropping hints for the past few days. He never brought up the topic and was always conveniently busy whenever she tried to discuss it. Hoping to surprise him, she eagerly awaited the sound of his footsteps from the doorway.
Bang! A deafening sound startled her, and through her blurry vision, a stack of documents appeared in front of her.
“Sign it, Heidi. We’re getting a divorce,” Lucas’s cold voice reached her ears.
Frowning, Heidi’s eyes returned to the documents, and she read the words written boldly at the top. ‘A divorce agreement?’ She shook her head and chuckled, convinced it was a silly dream. Lucas would never divorce her.
Heidi picked up the documents from the desk and flipped through them. Then she pinched herself. The reality hit—she wasn’t dreaming.
“No. No. No. You must be joking,” Heidi shook her head in disbelief.
“Did you think that I would never discover your real intentions someday? How much did Grandpa pay you?”
“What are you talking about!?” Fear gripped her heart, and sensing the man’s seriousness, she pleaded,
“Did you think I would never know that you married me because of money? Whatever Grandpa paid you, I will triple it. Just sign the danm paper.”
“Lucas, wait—” Heidi grabbed his hand as he turned around to walk into the bedroom.
“Everything is as you see,” Lucas retorted, pulling away. “This marriage will yield nothing, Heidi. It is never going to benefit both of us. If you want more money, just say it.”
How could he say their marriage would be of no benefit when she loved him with all her heart?
Three years ago, Heidi accidentally encountered the love of her life through an unexpected connection—with his grandfather. Grandpa Winston, hospitalized at the time, shared a rare blood type that happened to match hers. Much to her surprise, Winston was revealed to be none other than Lucas’s grandfather.
Imagine Heidi’s joy when Lucas approached her with a marriage proposal. However, the present situation left her bewildered and hurt. Why, after all this time, was he now labeling her as a gold digger?
Confused and hurt, Heidi fought back tears and rushed into the bedroom to confront him. “Lucas, please listen,” she pleaded, blocking his path to the closet where he was taking off clothes. “Grandpa has nothing to do with our marriage. He didn’t give me any money.”
“Stop it, and just sign the papers.” Ignoring Heidi even after her heartfelt confession, Lucas’s actions humiliated her, and tears flowed uncontrollably. For Lucas, she endured harsh treatment and ridicule from his family and others, dreaming that he would one day reciprocate her feelings. She worked tirelessly to make their marriage succeed, hopeful that her efforts would be recognized.
“Lucas—” Heidi’s next words died in her throat when the man turned around and undid his necktie. His shirt’s collar loosened, revealing a glaring red mark shaped like li-ps.
The shock hit her in waves, and Heidi staggered backward. “W-What is this, Lucas?” She pointed at the side of his neck.
Heidi didn’t need to be told what it was. She just didn’t want to believe it was real. Lucas’s brows furrowed, and he touched the place. When he brought his finger up and saw the red dot, his expression relaxed. His li-ps curled up, recalling the intimate moment he’d shared with Tracy in his office.
“Lucas, you are cheating on me!” Heidi’s eyes widened.
“So what?” His smile vanished, and his stoic expression returned. “If it weren’t for you, Tracy wouldn’t have left me three years ago. Now that she has returned, I want you out of my life, Heidi. Just sign the papers, take everything you want, and get out of my life.”
Heidi stood rooted to the spot as the man’s words echoed in her ears. “And if you don’t… Fine. As long as you’re in this house, never expect me ever to step foot here again.”
Lucas slipped on a new set of clothes, picked up his jacket, and left. Heidi returned to her senses, and a new kind of feeling engulfed her heart.
His ex was back. She let out a self-deprecating laugh and wiped her tears furiously.
For three years, she worked hard to melt his heart; however, he was only waiting for his ex’s return so he could toss her out. What a fool she had been, thinking that he would love her back. Now, everything felt like a cruel joke.
Heidi shook her head and left the closet. Her phone was in the dining room, and when she reached there, the divorce documents stared back at her. Pushing down the lump in her throat, she picked up her phone and sent a text. Then she took the pen.
A while later…
Heidi stepped out of the gates and found a car waiting outside.
“Were you serious!?” Zach exclaimed as soon as Heidi got on. “That scumbag. He actually divorced you.”
“Just take me away,” Heidi murmured. Her expression was blank as she stared out of the car’s window. Yet, Zach knew that she was bottling up her emotions.
For that man, Heidi endured daily humiliation by those lowly folks. Because of him, she dropped her crown as a princess and assumed the position of a pauper, a desperate housewife with no other goal apart from pleasing her husband. Danm it! He was going to make him regret it.
“A divorce is not the end of the world. Cheer up, dear.” Zach squeezed her hand gently.
Cea menghembuskan napasnya jengah, sekarang total sudah 1 minggu sejak kejadian kemarin, namun ia belum bertemu lagi dengan sang Ibu. Ia mengaduk milkshake vanilanya sambil sedikit bercengkrama dengan para sahabatnya, walaupun Cea hanya akan tertawa."Ariana di kelas bagaimana?" tanya Letta."Baik-baik saja, Cea sudah bilang dia minta maaf waktu itu, jadi enggak akan ganggu Cea lagi."Letta mengangguk, "Benar juga,""Eh, aku ada kelas, duluan, ya!" seru Letta tergesa-gesa.Kini hanya tersisa Cea dan Sean, sedangkan Gravano belum kembali dari kelas sebelumnya. Mereka berdua hanya diam fokus dengan pekerjaan masing-masing, beberapa kali Sean akan bertanya namun Sean lebih banyak diam dan mengerjakan tugasnya."Aw!" Cea berteriak saat merasakan bibirnya berdarah karena ujung sedotan yang runcing, "Berdarah?" tanya Cea sambil membuka sedikit mulutnya.Sean mendekat dan melihatnya, "Hanya sedikit," ucapnya.Cea mengangguk lalu berla
Vania menarik Cea ke parkiran klinik, "Kau berteman dengannya?" tanya Vania, Cea hanya mengangguk ia tidak ingin sekalipun menjawab pertanyaan yang dilontarkan oelh Vania."Kau dekat dengan keluarganya?"Cea menatap Vania tajam, "Bukan urusanmu, sekarang katakan apa yang membuatmu datang kesini?"Cea tahu, Vania tidak akan datang ke tempat seperti ini, walaupun Ibunya sendiri sedang di rawat. Entah apa alasannya, hanya Vania yang tahu."Kau bertemu dengan Ibumu?""Iya," jawab Cea singkat."Woah, bagaimana dia bisa kemari, berani sekali.""Memangnya kenapa?" tanya Cea."Ah, bukan apa-apa, hanya saja jika ia kembali kesini berarti ia siap mempertaruhkan semuanya, termasuk nyawanya."Mata Cea terbuka lebar, "Apa yang kau katakan?!"Vania tertawa, sesaat sebelum ia mencekik leher Cea kencang, "Kau ditakdirkan terlalu bahagia, aku tidak menyukainya," ucap Vania tajam, lalu menghempaskan Cea begitu saja.Cea meng
"Kenapa?"Cea menggeleng, ia hanya menyesap teh manis hangat yang diberikan Gravano padanya. Sedangkan Gravano menghela napasnya, baik, ini bukan waktu yang tepat untuk mendengarkan Cea bercerita."Baby?"Cea menatap tajam ke arah Gravano, "Manggil siapa?" tanya Cea sewot."Baby, mau cokelat?" tanya Gravano sambil melambaikan dua cokelat chungky bar.Mata Cea berbinar, tetapi apa tadi, Baby? Cea membuang wajahnya malas, ia terus menyesap teh manis hangat sambil memperhatikan kotak yang sudah dirapikan oleh Gravano."Baby?""...""Cea?""Hm?"Gravano tertawa, memang menggelikan jika ia memanggil dengan manis seperti itu, tetapi ia lebih senang jika melihat Cea kesal padanya daripada melihat Cea menangis seperti tadi. "Baby, mau cokelat?""Ya, aku bukan bayi, sana pulang!"Gravano kembali tertawa saat melihat wajah Cea yang bersemu, namun ia menahannya dan mulai berdecak sebal. Gemas, menurutnya.
Cea melengguh pelan saat merasakan sesuatu menempel dikeningnya, bahkan ada tetesan air yang terjatuh di pipi Cea. Ia berpikir jika itu mimpi dan tanpa pikir panjang, ia kembali melanjutkan tidurnya."Pagi," ucap Cea dengan suara khas bangun tidur, ia meregangkan tubuhnya yang pegal karena harus tidur dengan posisi duduk, hingga kakinya mengenai sebuah benda di bawah ranjang."Nenek, ini apa?" tanya Cea sambil mengangkat kotak warna biru langit itu, ia menatap pin matahari yang langsung membawanya mengingat masa lalu, ia ingat bahwa ia pernah memberikan pin ini kepada Ibunya dulu.Mata Cea memanas ia meletakkan kembali kotak itu ke bawah ranjang, lalu menatap Neneknya yang tengah tersenyum hangat. "Ini dari Ibu?" tanya Cea.Nenek hanya menggeleng, bukan ia tidak tahu, ia ingin Cea mengetahui semuanya sendiri. Ia tahu, bahkan ia sangat tahu saat Hana mencium sayang kening Cea, ia tahu."Um, Cea keluar dulu, Nek."Cea mendudukan dirinya di kur
Hari sudah malam, langit sudah menggelap, seluruh manusia sedang beristirahat begitupun dengan matahari yang sudah terlelap. Seorang wanita dewasa berdiri mematung beberapa jam di depan sebuah caffe yang sekarang sudah tutup, sesuai dengan adanya tanda closed di depan pintunya."Cepat atau lambat, aku harus mengatakan yang sebenarnya. Mas, aku akan jujur kepada Cea, anak kita."Wanita itu menengadah melihat bintang yang sepertinya tidak banyak yang terlihat, air matanya sudah turun daritadi, ia merasakan sesak dan sempit mengisi rongga udaranya. Ia merindukan suaminya, ia merindukan Ibunya, dan tentu saja ia merindukan Cea."Nenek, Cea pulang!" teriak Cea dengan riang, ia berjalan cepat ke arah kamar neneknya."Nenek, Cea bawain maka- Nenek!"Sudah pukul jam 12 malam namun mata gadis manis ini enggan tertutup sama sekali, tangannya masih tertaut dengan tangan sang nenek yang tengah tertidur pulas di atas ranjang."Cea?""Nenek sudah b
Gravano mengusap lembut rambut Cea yang terurai, gadis itu terlihat fokus dengan ponselnya, sesekali Cea akan memekik senang bahkan sesekali akan tertawa dan menangis."Kayak Rava, ya?"Cea hanya mendelik, "In your dream."Kini giliran Gravano yang kesal, awalnya Cea mengajak ia pergi ke kedai es krim karena ingin mencoba es krim rasa baru, namun kenyataannya gadis itu malah asik melihat idolanya yang tengah menari sambil menyanyi."Cea, Rava mau pulang," ucap Rava.Cea meletakkan ponselnya lalu menahan Rava yang sudah beranjak, "Okay, Cea makan, jangan pergi!" seru Cea buru-buru, ia langsung menghabiskan satu cup es krim yang sudah setengah mencair."Pelan-pelan makannya," Cea hanya mengangguk.Letta menatap tak percaya dengan wanita yang kini tengah tersenyum miring padanya, "Jangan ganggu sahabat gue lagi!""Mari kita lihat kedepannya bagaimana, saya permisi." ucap Ariana penuh intimidasi diiringi dengan senyum liciknya.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments