Share

13 TAHUN PACARAN 2 MINGGU MENIKAH
13 TAHUN PACARAN 2 MINGGU MENIKAH
Author: Duo Sul Enjelika

BAB 1

“Mas! Aku mohon jangan membatalkan pernikahan ini. Apa kata orang nanti?” bujukku pada lelaki yang sudah tiga belas tahun menjadi pacarku itu. 

“Sudah kukatakan Rianti, aku sudah tidak mencintaimu lagi. Salahmu sendiri kenapa memaksa orang tuaku untuk melamarmu, “ jawab Mas Rustam dari seberang sana. 

“Mas Rustam, kumohon menikahlah denganku. Aku tak mau anak yang ku kandung ini lahir tanpa Ayah.” Kuberusaha membujuknya agar tetap menikahiku. 

“Salahmu sendiri jadi perempuan terlalu gampangan.” 

“Mas! Kupastikan setelah ini aku akan pergi menghadap orang tuamu kembali, agar segera melamarku secepatnya meskipun dirimu belum siap menikahiku.” Kuhapus air mata ini yang jatuh membasahi pipi. 

“ Terserah kamulah, jangan sampai kamu duduk sendiri di pelaminan berpasangan dengan kursi  kosong jika terus memaksa aku menikahimu.” Tanpa pamit denganku Mas Rustam mematikan teleponnya dari seberang sana. 

Rasanya sangat sakit dikhianati dengan cara seperti ini oleh lelaki yang kucintai. Mas Rustam adalah pacar pertamaku sejak aku duduk di bangku sekolah SMA. Kami berpacaran kurang lebih tiga belas tahun lamanya. 

Karena dia adalah cinta pertamaku, sehingga sulit membuka hati untuk lelaki lain yang mencoba merebut hatiku. Karena aku adalah tipe perempuan yang setia. 

Hubungan kami tak selalu berjalan dengan mulus. Sering terjadi perselisihan bahkan sampai membuat hubungan kami harus mengalami putus dan kembali lagi. 

Terlebih lagi, kedua orang tua Mas Rustam, kurang suka terhadapku. Karena aku adalah putri dari seorang mantan narapidana. 

Dulu Ibuku adalah buruh cuci di keluarga Mas Rustam. Ayahku juga tukang kebun di keluarganya. Boleh dibilang mereka adalah golongan berada. 

Karena, aku sering main ke rumah Mas Rustam. Disitulah benih-benih cinta mulai bersemi di antara kami. 

Waktu masih duduk di bangku SMA kami masih tampak malu-malu. Aku juga takut jika hubungan ini diketahui oleh keluargaku dan keluarga Mas Rustam. 

Hingga hubungan ini berlanjut ketika aku dan Mas Rustam duduk di bangku kuliah. Namun sayangnya hubungan kami, harus terpisah karena jarak.  

Mas Rustam lanjut kuliah kedokteran di Jakarta dan aku tetap di Sulawesi. Tapi, aku lebih suka hubungan jarak jauh seperti ini. Karena, tidak mudah orang tua kami mengetahuinya. 

Hingga, suatu hari hubungan ini diketahui oleh Ibuku ketika aku selesai kuliah. Mas Rustam berusaha pulang kampung jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk mendampingiku  waktu wisuda. Ibu mulai curiga dengan gerak-gerik kami berdua. 

Setelah Ibu menginterogasi akhirnya aku harus jujur. Sebagai orang tua, pastinya Ibu mendukung hubungan kami mengingat Mas Rustam adalah pria yang baik.

Namun, Ibu terus mengingatkanku agar jangan menaruh harapan lebih pada orang berharta seperti keluarga Mas Rustam. 

Sebagai wanita yang baik, aku selalu mendengarkan nasehat Ibu agar fokus saja dengan kerja dulu. Agar, tak dipandang sebelah mata oleh keluarga Mas Rustam nantinya. 

Sebagai pasangan yang lagi kasmaran pastinya aku mendengarkan nasehat Ibu. Namun, nasehat Ibu kuanggap bagai angin lalu. Karena, aku menganggap Mas Rustam adalah pria yang baik. Mengingat hubunganku dengannya sudah bertahun-tahun tidak pernah terjadi perselisihan apa lagi adu mulut. 

Tapi, lama kelamaan hubungan ini akhirnya diketahui oleh keluarga Mas Rustam. Sampai suatu hari aku diberi nasehat oleh Ibu agar hubunganku dengan Mas Rustam  baiknya sudahi saja. 

“Rianti, sudah sampai sejauh mana hubunganmu dengan Rustam?” tanya Ibu yang lagi melipat pakaian di depan TV. 

“Maksudnya Bu,” tanyaku padanya. 

“Ibu ingin kalian berdua berteman saja. Kamu fokus ke kerja saja dulu. Ibu juga ingin Rustam mendapatkan wanita yang sepadan dengannya.” Sambil sesekali melirik ke arahku. 

“Bu, bukannya Ibu selalu bilang mendukung hubungan kami? Terus salahnya di mana?” Wajahku mulai merah mendengar perkataan Ibu barusan. 

“ Kamu tidak salah Rianti, tapi ini sudah takdir kita sebagai orang miskin.” Tiba-tiba mata Ibu mulai memerah dan mengeluarkan air mata. Aku sebagai anak yang paling dekat dengan Ibu sudah mengetahui pasti ada yang terjadi dengan dirinya. 

“Katakan Bu, apa yang terjadi sebenarnya? Apakah Ibu sudah tak bekerja pada keluarga Mas Rustam?” tanyaku agar Ibu segera memberitahukannya. 

“I-iya Rianti, siang tadi Ibunya Rustam berbicara dengan Ibu. Katanya  Agar, kamu tak menjalin hubungan dengan anaknya. Dia takut kuliah anaknya terganggu jika kamu dan anaknya masih menjalin hubungan.” Sesekali Ibu menyeka air matanya yang jauh membasahi pipi. 

Kutatap wajah Ibu yang mulai menua. Rambutnya yang mulai memunculkan uban, kulitnya yang mulai berkeriput. Rasa kasihan tiba-tiba muncul di benakku. Sebagai anak tertua, sudah sepantasnya aku yang harus membahagiakan Ibu. 

“Terus apa lagi yang dikatakan Ibunya Rustam pada Ibu? “ Ku dekati Ibu yang memulai pembicaraan. 

“Dia juga berpesan, jangan berharap lebih pada anaknya.” Mendengar perkataan Ibu rasanya bagai disayat sembilu. 

Bagaimana tidak, lelaki yang sangat kucintai, akan mudah kutinggalkan begitu saja. Tapi, demi kebahagiaan Ibu aku harus berbicara secara baik-baik dengan Mas Rustam. 

“Rianti, mulai besok... Ibu sudah tidak diperbolehkan menjadi buruh cuci di keluarga mereka. Katanya Ibu sudah tua. Mereka sudah mendapatkan buruh cuci yang baru.” Lagi-lagi kalimat yang dikeluarkan Ibu membuat hatiku semakin sakit. 

Aku hanya bisa menelan saliva untuk menahan air mata ini agar tak mengalir di pipi. 

Bukan mauku menjadi seperti ini. Semua sudah sesuai takdir. Takdirku dan Mas Rustam memang berbeda. Sebagai wanita yang terlahir dari kalangan orang biasa tak sepantasnya aku menaruh harapan lebih. 

Aku yang tak Terima Ibu diperlakukan seperti ini, segera bersiap menemui Ibu Mas Rustam untuk meminta agar Ibu diperkerjakan kembali olehnya.

Kulajukan sepeda motorku menuju rumah orang tua Mas Rustam. Sesampainya di sana, kudapati Ibunya sedang berbincang-bincang dengan wanita cantik di teras rumahnya. 

“Assalamualaikum, Bu Melati,” sapaku pada kedua wanita itu kemudian segera menyalami tangan Ibu Mas Rustam. 

“Wa’alaikumussalamsalam.” Ditepisnya tanganku yang ingin menyalami tangannya. Namun, aku masih sabar atas perlakuannya padaku. 

Kemudian aku segera mendekatkan bokongku di sebuah kursi rotan yang berada tepat di samping Ibu Mas Rustam. 

“kenapa? Ada yang bisa dibantu? “ tanya Ibu Mas Rustam sambil sesekali membersihkan kukunya yang barusan dipasangkan cat kuku oleh wanita yang berada di hadapanku. 

“ Be-begini Bu Melati, maksud kedatangan saya kemari untuk memperjelas alasan  Ibu memberhentikan Ibu saya sebagai buruh cuci tetap di sini?”  tanyaku dengan tak berani melihat wajahnya. 

“Oh, kamu mau tahu alasannya? Alasannya, karena kami tidak ingin anakku mempunyai  pacar yang orang tuanya adalah seorang buruh cuci di keluarga kami.” Suaranya yang keras sehingga membuat jantungku semakin berdetak kencang. Rasanya mau copot. Tapi, aku harus bertahan dan menghadapinya demi Ibu.

“ Tapi Bu, saya ingin Ibu saya...” 

“ Tapi apa? Jika kamu ingin Ibumu masih bekerja di sini, sudahilah hubunganmu dengan Rustam! Sebagai Ibunya Rustam, aku juga ingin yang terbaik untuk anakku.” 

Sebagai anak, aku juga tak mau Ibu tak mempunyai pekerjaan. Mengingat aku masih punya tiga adik yang harus dibiayai sekolahnya. 

Ditambah Ayah yang semakin menua dan sudah sakit-sakitan. Dirinya juga sudah tak mampu bekerja mencari nafkah untuk kami. Penghasilan Ibu yang tidak seberapa itulah yang bisa menafkahi kami setiap harinya. 

“Baiklah Bu! Aku janji akan memutuskan hubunganku secara baik-baik dengan Mas Rustam. Bisa kupastikan Ibu tak akan memikirkan hubungan kami lagi.” Dengan berat hati aku harus mengambil keputusan ini meskipun sakit akhirnya. 

“Oke, Ku turuti niat baikmu! Sudah seharusnya seperti itu. Karena aku ingin Rustam menikah dengan wanita yang sepadan dengan kami.” 

“Kalau begitu aku permisi dulu ya Bu, jadi kapan Ibuku bisa masuk kembali?” tanyaku pada Ibu Mas Rustam. 

“ Besok, dia bisa kembali bekerja. Ingat, sepulang dari sini tepatilah janjimu.” Dipegangnya pergelangan tanganku kemudian aku berusaha melepasnya. 

Bukan mauku mempunyai nasib seperti ini, tapi takdir setiap orang memang berbeda. Ingin rasanya diriku menangis sekencang-kencangnya. Namun, aku harus menahannya saat masih di hadapan Ibu Mas Rustam agar tak kelihatan layaknya wanita lemah. 

Kulajukan sepeda motorku menuju rumah, hingga akhirnya rasa tangis yang hendak ku tahan akhirnya pecah juga saat masih berada di tengah jalan. 

“Mas Rustam!"  Diriku berteriak sekencang-kencangnya tak peduli orang-orang melihatku layaknya orang kerasukan. 

Karena tangisku yang pecah, tak bisa kutahan lagi. Tiba di perempatan jalan tanpa memperhatikan lampu merah menyala, aku lupa berhenti. 

Sebuah mobil Agya putih berada tepat di hadapanku membuat aku gagal fokus dalam menyetir. 

“Ahh!” Mobil itu menabrakku kemudian aku tak sadarkan diri. Aku lupa apa yang terjadi setelah itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status