Share

BAB 2

Diriku terbangun. Kutatap sekeliling tampak ruangan yang terasa asing. 

Inginku buang air kecil. Namun, kondisiku masih lemah sekuat tenaga berusaha bangun dan ingin menuju kamar kecil. 

Tiba-tiba seorang pemuda datang mendekatiku. Ditahannya pergelangan tanganku yang hendak menuju ke kamar kecil. 

“Eits! Jangan bangun dulu, kamu masih sakit,” seru lelaki itu. 

Kira-kira usianya tak jauh beda dengan usiaku. Kupegang kepalaku yang terasa pusing. Kemudian berusaha duduk kembali di tempat tidur yang terlihat serba putih ini. 

“A-aku di mana Kak?” tanyaku pada lelaki asing itu. 

“Kamu... Kamu di rumah sakit. Tadi, kamu pingsan karenaku yang  berkendara tidak hati-hati!” Kucoba mengingatnya kembali kejadian sebelumnya. 

 Tadi waktuku  dari rumah Mas Rustam, pas di perempatan lampu merah diriku tak fokus memperhatikan rambu-rambu. Sehingga, diriku tertabrak oleh mobil. Setelah itu aku lupa semuanya. 

“ Berarti mobil Agya itu... Mobil kakak?” tanyaku pada lelaki yang berhidung mancung dan menggunakan kacamata itu. 

“I-iya, maaf karena aku dirimu harus seperti ini,” jawabnya sambil melangkah mendekatiku. 

“Biayanya bagaimana? Aku... Aku tak punya uang untuk membayarnya!” 

“Kamu tak usah khawatir, karena ini kesalahanku maka diriku bersedia membiayai semuanya.” Dipegangnya telapak tanganku yang masih dengan infus. 

“Permisi Pak dokter, kami akan mengecek keadaan pasien!” seru dua perawat cantik yang baru masuk.

“Oh iya, silahkan!” jawab lelaki itu. 

“ Oh, berarti lelaki yang menabrakku ini dokter. Tapi, aku lupa bertanya siapa namanya?” batinku dalam hati. 

Sesekali kulirik wajahnya ketika melihat diriku yang lagi di periksa oleh dua suster cantik itu. 

“Permisi ya dik! Kami akan memeriksa keadaannya dulu.” Kedua wanita itu berjalan mendekatiku. 

“I-iya Bu,” jawabku masih dalam posisi duduk di tempat tidur. 

Setelah selesai diperiksa aku pamit ingin buang air kecil. Kedua suster itu mengantarkanku sambil membantu memegang sebotol infus yang terpasang di tangan. 

Lelaki yang menabrakku itu masih setia menunggu di luar. Setelah buang air kecil aku segera bertanya pada kedua perawat tersebut. 

“Bu, boleh tahu nama Pak dokter yang menabrak aku itu, siapa namanya ya?” Ku beranikan diriku membuka suara untuk bertanya. 

“ Oh, itu namanya dokter Gilang. Beliau juga kerja di rumah sakit ini,” kata salah satu perawat itu. 

Kemudian mereka mengantarkanku lagi ke tempat tidur. 

“Maaf ya Mbak, kami akan tinggal dulu dan menuju pasien yang lain. Nanti kalau ada apa-apa bilang saja ke dokter Gilang dia siap membantu,” kata salah satu perawat itu lagi. Kemudian mereka pergi meninggalkanku. 

“Permisi Pak Dokter! Aku mau tanya ponselku mana ya?” tanyaku pada Dokter Gilang. 

“ ponselmu ada padaku. Kamu... mau ambil?” 

“ I-iya Pak!“ jawabku sambil menganggukkan kepala. 

“ Tunggu sebentar ya!” Ditinggalkannya diriku, kemudian kembali lagi dengan membawa tasku yang di dalamnya ada ponselku. 

“ Ini tas kamu.” Diberikannya padaku tas kecil yang berwarna hijau itu padaku. Tas itu adalah pemberian dari Mas Rustam ketika dia balik dari Jakarta. 

Kuambil ponselku di dalam tas. Kemudian, segera menghubungi Ibu di rumah. 

“Assalamu’alaikum, Bu!” 

“ Waalaikum salam, Nak! Kamu dari mana saja Rianti? Ini sudah larut malam, Ibu takut kamu kenapa-kenapa!” Ibu yang dari seberang sana berbicara dengan rasa khawatir. 

“ Rianti...Rianti lagi di rumah sakit Bu! Tadi, tak sengaja tertabrak mobil,” jelasku pada Ibu. 

“Apa! Tertabrak mobil? Rianti, sudah Ibu katakan kamu tak usah, pergi ke rumah Rustam. Ibu tak mau kamu terlibat pada masalah ini.” Ibu yang semakin resah  dari seberang sana berulang kali memperingatkanku. 

“ Ibu tidak usah khawatir, Rianti aman kok di sini. Ada orang baik yang menolong Rianti!” Sesekali kulirik Pak dokter itu yang sedari tadi memperhatikanku. 

“Sekarang kamu di rumah sakit mana? Ibu ke situ ya!”

“I-iya Bu, boleh! Tapi... Rianti lupa ini rumah sakit apa?”  kulirik Pak Dokter yang memperhatikanku sedari tadi itu. 

Kemudian diambilnya ponselku yang masih kugunakan untuk menelepon Ibu.  Dia memberitahukan nama rumah sakit beserta alamatnya. 

Setelah berbicara dengan Ibu, Dokter Gilang pamit dan meninggalkanku di situ. 

Melihat situasi mulai sepi , aku mulai menelepon Mas Rustam. Berat rasanya mengatakan ingin pisah darinya. Namun, ini yang harus aku lakukan demi mempertahankan pekerjaan Ibu. 

Dua kali kucoba menghubunginya teleponku tak diangkat. Kucoba menghubungi lagi dan akhirnya di telepon yang ke tiga Mas Rustam mengangkatnya. 

“Assalamualaikum, Mas! Salamku dari sini. 

“Waalaikumsalam, Rianti! Kenapa kangen ya?” canda Mas Rustam dari seberang sana. 

“Mas bisa saja. Kali ini aku mau bicara serius Mas! Tapi, kuharap Mas jangan marah ya!” jelasku untuk membujuknya. 

“Hmm, mau bicara apa Rianti? Kamu mau aku pulang cepat lagi ya ayo hehehe.” Dari seberang sana Mas Rustam masih saja berusaha menggodaku. 

“Mas, kali ini aku serius! Dengarkan aku dulu!” kucoba menjelaskannya lagi agar dirinya berhenti untuk bercanda. 

“Hm, Rianti aku kangen kamu!  Aku ingin pulang dalam waktu dekat ini,  ingin bertemu kamu.” Lagi-lagi Mas Rustam masih saja banyak bercanda padaku. 

“ Mas! Dengarkan aku baik-baik, aku mau kita putus. Jadi, kumohon jangan pernah menghubungiku lagi.” Air mata ini mengalir tak bisa kutahan lagi ketika dengan terpaksa mengatakan ini. 

Hati ini tak bisa bohong bahwa aku masih mencintai Mas Rustam, tapi aku juga tak mau ibu harus kehilangan pekerjaan karena hubunganku dengan Mas Rustam. 

“Rianti, maksud kamu apa ? Apa salahku sampai kamu tiba-tiba memutuskanku?” Suara Mas Rustam yang tadinya sedikit bermanja-manja tiba-tiba berubah menjadi sedikit tegas.

 

Aku yang sudah mengetahui watak Mas Rustam sesungguhnya hanya bisa bersabar menghadapi dirinya yang sedikit temperamen. 

“ Mas! Aku memang wanita dari golongan biasa, diriku juga tak sepadan dengan dirimu. Jadi, aku berharap semoga dirimu bisa menemukan wanita yang lebih baik lagi.” Diriku berusaha menjelaskan padanya agar dirinya lebih memahami. 

“Rianti, aku tahu betul dirimu tak mau secepat ini dalam mengambil keputusan. Sebenarnya apa yang terjadi denganmu?” tanya Mas Rustam dari seberang sana. 

“Mas, terpaksa aku harus jujur agar dirimu paham! Kedua orang tuamu sudah mengetahui hubungan kita.” Dengan suara yang diiringi tangisan terpaksa aku harus jujur pada Mas Rustam. 

“Wah, bagus dong! Kalau mereka sudah mengetahui, Jadi aku tak perlu repot menjelaskannya lagi.” 

“Mas, jangan senang dulu! Justru dari kabar ini Ibuku harus kehilangan pekerjaan. Aku tak mau jadi bahan bulian di keluargamu.” Tangisanku makin pecah saat berusaha untuk jujur padanya. 

“Siapa yang melakukannya Rianti? Apakah Ibuku?” tanya Mas Rustam lagi. 

“I-Iya Mas, Ibu kamu yang berbicara langsung padaku kemarin. Setelah Pulang dari rumah kamu, aku kecelakaan. Sekarang aku lagi terbaring di rumah sakit.” Sambil menyandarkan kepala di bantal mencoba baring kembali. 

“Rianti, besok aku pulang kampung bicara dengan orang tuaku. Jika, Ibu tak merestui hubungan kita, aku akan mengancam mereka dengan bunuh diri,” jelasnya dari seberang sana mencoba untuk meyakinkanku. 

“Jangan Mas! Aku tak mau menjadi beban di keluargamu. Biarlah, aku yang mengalah dan menjauhimu.” Lagi-lagi tangisan tak, dapat kutahan hingga tersedu-sedu. 

“Rianti Safitri! Dari dulu sudah kukatakan yang kumau hanya kamu, kamu, dan kamu. Tidak ada wanita lain yang bisa menggantikan posisi kamu di hatiku,” jelas Mas Rustam yang tak mau kalah dariku. Kini Mas Rustam, semakin tegas. 

“Mas, jangan pernah membantah keputusan orang tuamu! Aku tak mau dirimu dan diriku durhaka. Wanita yang lebih baik dariku masih banyak di luar sana.” Aku langsung mematikan telepon tanpa pamit. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status