"Kenapa kamu menyusahkan aku sih, Ron!"
Sekarang, Aldebaran sudah berada di apartemen Ron Dinata. Dia baru saja selesai mandi. Dia masih mengingat kejadian memalukan tadi di klub malam Jenja. Ron mabuk parah di sana. Dia terus meracau. Dengan susah payah, Aldebaran berhasil membawa Ron pergi dari tempat terkutuk itu. Aldebaran menyetir mobil sport milik Ron. Dia juga membersihkan cairan yang keluar dari mulut Ron. Sungguh menjijikan! Tapi, Aldebaran tidak memiliki pilihan lain. Aldebaran menatap Ron yang sudah tertidur di ranjang. Setelah mengganti pakaian, dia bergegas pergi tidur. Aldebaran mendesah panjang. "Hemm!" Malam panjang yang melelahkan. Aldebaran merasa, tubuhnya membutuhkan istirahat. Aldebaran merebahkan tubuhnya di sofa. Saat hendak memejamkan mata, ponselnya bergetar. Aldebaran membaca pesan yang masuk dengan cepat dan teliti. Lalu, dia bersiap-siap untuk pergi. Dalam sekejap, Aldebaran sudah berada di lobi apartemen. Ini adalah kehidupan barunya sebagai seorang sniper bayaran. Dia menjadi bersemangat. Aldebaran memanggil taksi. "Bandar Udara Pondok Cabe, Pak." Aldebaran memberitahu tujuannya kepada sopir taksi. "Ya, Mas." Taksi yang Aldebaran tumpangi berjalan bebas di jalan raya yang masih sepi. Diperkirakan hanya membutuhkan waktu 25 menit untuk sampai di tempat tujuan. "Bandar udara Pondok Cabe bukan bandar udara yang melayani penerbangan sipil, Mas," ujar sopir taksi. "Karena selama ini, cuma jadi pangkalan militer angkatan udara aja," tambahnya sambil fokus menyetir. "Kok Bapak tau?" tanya Aldebaran. Sopir menjawab, "Kebetulan saya tinggal di Pondok Cabe, Mas. Tepatnya, di Jalan talas 1 persis di belakang bandar udara." Aldebaran angguk-angguk. "Pantesan aja Bapak paham betul." Aldebaran mengetik pesan untuk Ron. Aldebaran: Ron, aku pergi untuk misi pertama. Kemudian, Aldebaran menyimpan ponselnya kembali. Tidak lama, taksi sudah memasuki kawasan Pondok Cabe. Sopir membelokkan taksi ke kanan. "Saya harus berhenti di mana, Mas?" tanya sopir taksi. Aldebaran terkejut. Dia sampai di lokasi lebih awal daripada waktu yang disepakati. Dia melihat-lihat daerah di sekitar yang begitu asing baginya. Kemudian, Aldebaran memutuskan untuk menunggu di tempat yang sudah ditentukan. "Masuk aja terus, Pak!" pinta Aldebaran. "Hah?" Sopir terkejut. "Maksudnya ke dalam sana?" Sopir taksi menunjuk pos penjagaan pangkalan militer angkatan udara. Pos penjagaan itu bertuliskan Selamat Datang di Bandar Udara Pelita Air Service Pondok Cabe. Melihat raut wajah sopir yang bingung, Aldebaran bertanya, "Iya. Memangnya kenapa, Pak? Apa ada yang salah?" "Mas, orang luar nggak bisa masuk sembarangan ke tempat ini." Sopir berusaha menjelaskan. "Tenang aja, Pak! Saya nggak akan mempersulit Bapak." Setelah mendengar Aldebaran menjawab dengan yakin, sopir langsung melajukan taksi ke arah pos penjagaan. Seorang penjaga langsung menghadang. Dia mengetuk kaca mobil. "Selamat malam menjelang pagi, Pak!" sapa penjaga. "Anda mau ke mana?" Sopir panik. Dia berusaha menjawab pertanyaan penjaga dengan benar. "Saーsaya ingin mengantar penumpang, Pak," jawab sopir dengan terbata. Penjaga itu langsung menatap Aldebaran yang duduk di kursi penumpang. Penjaga mencurigainya. Dia bertanya, "Siapa kamu? Apa keperluan kamu datang sepagi ini ke sini?" Aldebaran menurunkan kaca mobil. "Saya ada janji jam 04.00 pagi di sini," jawabnya ketus. "Janji?! Janji sama siapa?! Jangan bercanda, Anak Muda!" Aldebaran tidak berminat untuk berdebat dengannya. Dia segera mengambil ponsel dan memperlihatkan bukti percakapan dengan seseorang yang memintanya datang. "Saya ada janji sama Pak Ilyas Ardinata," kata Aldebaran, tegas. Si penjaga tercengang. Dia sudah melihat bukti percakapan tersebut. Namun, dia tetap tidak mempercayai Aldebaran. Maka, dia memanggil kedua temannya. "Bambang! Aldi!" teriak si penjaga. "Cepetan ke sini!" Kedua temannya saling pandang, lalu berlari menghampiri taksi. "Kenapa, Ryan?" tanya Aldi yang memiliki mata sipit. "Dia tamu komandan," jawab penjaga bernama Ryan. Aldi menatap Aldebaran. "Terus, kenapa nggak disuruh masuk? Komandan nggak suka menunggu lama." "Tapi, aku nggak yakin. Karena dia kelihatan masih muda." Ryan rupanya mencurigai Aldebaran. "Itu bukan alasan," bantah Bambang. "Periksa aja kartu identitasnya!" Mendengar hal itu Aldebaran langsung mengeluarkan kartu identitas dan menunjukkannya kepada mereka. Para penjaga pos tercengang. Mereka membaca kartu identitas Aldebaran dengan teliti. Aldebaran emosi. "Jadi, gimana? Saya pasti telat karena kalian menahan saya di sini." Bambang mengambil alih. "Silakan masuk! Komandan kami ada di dalam. Sebaiknya Anda turun di sini! Saya akan antar Anda." *** Jarak dari pos penjaga ke kantor komandan cukup jauh. Bambang menghentikan motornya tepat di depan bangunan kecil berwarna biru navy. Sepanjang perjalanan, Bambang tidak mengajak Aldebaran berbicara. Karena dia menganggap tamu komandannya adalah orang penting. Maka, dia menghormatinya. "Kita udah sampai di kantor Komandan." Aldebaran turun dari motor. Seorang penjaga menghampiri mereka. "Silakan keluarkan kartu tanda pengenal Anda!" pinta Bambang. "Apa kalian serius melakukan ini?" tanya Aldebaran, tidak suka. Aldebaran keberatan jika dirinya harus diperiksa, apalagi sampai menunjukkan kartu identitas. Petugas itu berkata, "Kami cuma menjalankan tugas aja. Tolong jangan mempersulit kami!" Bambang mengambil alih situasi. "Prosedur ini biasa dilakukan kepada semua tamu yang datang ke sini, tanpa terkecuali." Aldebaran menghela napas kasar. "Bisa nggak kalian panggil aja Komandan ke sini?" Aldebaran tetap pada pendiriannya. Karena tidak ada yang merespon, Aldebaran mengeluarkan ponsel hendak menghubungi sang komandan. Namun belum sempat mencari kontak Ilyas, datang 4 orang dari dalam kantor menuju ke arah Aldebaran. "Itu Komandan!" seru Bambang. "Selamat datang Tuan King!" sambut pria berusia 40 tahun.Jordan yang sedang dalam perjalanan menyusul mobil Rini bersama dengan Felix, merasa ada yang tidak beres pada tuannya. Tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaan para agent pria. Rini dan Ayu tenggelam pada kesedihannya masing-masing. "Tuan Felix, tersirat kabar dari Kawe-08. Tuan Sultan mengembuskan napas terakhir ketika Beliau baru tiba di Switzerland beberapa menit lalu," ujar Lingling di saluran Radio Trunking. "Aーapa?! Kok bisa?!" Felix dan semua orang yang berada di saluran Radio Trunking terkejut mendengar berita duka yang disampaikan Lingling. "Apa penyebab dan kapan waktu kematiannya? Bagaimana dengan Nyonya Cathalea?""Beliau tertembak oleh orang tidak dikenal. Polisi setempat sedang melakukan penyelidikan. Nyonya Cathalea, Nona Natasha dan Erick baik-baik saja." Suara Lingling terdengar lemah. "Beliau tertembak pukul 11:00 malam waktu setempat.""Baiklah, saya akan memberitahu kabar duka ini secepatnya kepada Nona Zoya."Felix tidak sampai hati memberitahukan kabar
Zoya, Ayu dan Rini sangat cemas. Mereka tidak saling berbicara. Ayu telah berhasil mengeluarkan amunisi di punggung Aldebaran. Tapi bukan berarti bisa menghentikan darah yang keluar dari bagian punggungnya yang terluka. Segala upaya telah dilakukan Ayu. Namun apalah daya, seorang manusia biasa yang tidak mampu melawan takdir."Kamu nggak bisa menghentikan pendarahannya?!"Zoya berteriak hingga semua orang yang berada di saluran Radio Trunking dapat mendengarnya dengan jelas. Sesekali Zoya menghapus air mata yang keluar. Hatinya benar-benar teriris melihat kondisi Aldebaran melemah di hadapannya. "Nona, saya sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi, kita nggak punya peralatan yang memadai."Ayu merasa bersalah pada Zoya, Aldebaran dan semua orang. Karena dirinya tidak berhasil menghentikan pendarahan hebat yang dialami Aldebaran.Zoya lagi-lagi mengutuk dirinya sendiri yang menyebabkan Aldebaran terluka. Bodoh dan ceroboh, dua kata yang cocok untuk dirinya. "Bisa-bisanya aku memb
I've come to kill you and I won't leave until you've died! You have to pay for what you've done! ー Thanatos, 2 Billion Dollars.**Dor!Dor!Di malam mencekam, suara letupan senjata api yang menakutkan terdengar jelas di telinga setiap orang yang berada di tempat kejadian. Tepatnya di jalan raya Cibadak yang mengarah ke bandar udara Atang Senjaya. Akbar menembaki kedua kaki Ivanovic. Dia sengaja melumpuhkan kedua kakinya. Karena dia tidak ingin menghabisi nyawa Ivanovic dengan satu kali tembakan. Setidaknya, menyiksa Ivanovic jauh lebih baik untuk mengobati luka di hati Thanatos. "Aaarghhh!" Ivanovic berteriak kesakitan. Senjata yang dia genggam terlepas.Ivanovic tersungkur di tanah bersamaan dengan darah yang keluar dari kedua lututnya. Bruk!Ivanovic kini merasakan sakit yang sama seperti yang dirasakan Ibrahimovich dan Aldebaran sebelumnya. Tidak ada asisten ataupun anak buah yang melindunginya. "Siーsiapa Anda?"Terpancar aura ketakutan dari wajah Ivanovic ketika melihat Ak
Fight for your honor. Fight for your life. And I fight for freedom! But, I keep praying that the sun never rises without you. ー 2 Billion Dollars.**"Kurang ajar!"Bukannya menginjak rem mobil, Rini Emilia justru menginjak pedal gas dengan geram. Dia dengan sengaja menabrak mobil yang di depannya. Tindakan yang dilakukan Rini bukan tanpa alasan, dia dendam karena Ivanovic yang telah menembak tuannya.Duar!Mobil Jaguar Ivanovic pun terdorong kuat ke depan. Rini menggenggam senjata api di tangannya. Tanpa memberikan kesempatan kepada Ivanovic, Rini membuka kaca mobil.Rini mengeluarkan kepalanya dan mengarahkan senjata api ke mobil tersebut.Dor!Dor!Dor!Rini menembaki mobil di depannya dengan membabi buta. Emosi telah membuatnya gelap mata. Dia tidak perduli dengan risiko yang akan dihadapinya. Sadarkah kalian, kematian sangat dekat dengan seluruh makhluk hidup yang bernyawa?Prang!Kaca mobil Ivanovic bagian belakang pecah karena tembakan Rini yang tidak berkesudahan. Ivanovic
"Oke."Akbar maju beberapa langkah mendekati mobil itu. Keadaan mobil yang rusak parah membuat penghuninya kebingungan. Zeno keluar dari mobil dengan tangan kiri memegangi kepala, sedangkan tangan kanannya menggenggam ponsel. Dia mencoba menghubungi anak buahnya untuk mendapatkan pertolongan. "Selamat datang di Neraka, Zeno!" seru Thanatos alias Akbar.Thanatos mengarahkan senjatanya ke punggung Zeno. "Awas, Zeno!" Terdengar lengkingan suara Ivanovic dari dalam mobil. Namun terlambat, Akbar bergerak lebih cepat daripada Zeno.Dor!"Aarghh!"Suara kesakitan yang keluar dari mulut Zeno, terdengar sangat pedih dan memilukan. Akbar berjalan menghampiri mobil Ivanovic dengan membawa senjata api berlaras panjang di bahu kanannya.Zeno menengok ke belakang karena ingin melihat sosok yang sudah menembaknya. Pada akhirnya, tubuh Zeno ambruk ke tanah. Bruk!Dengan sisa tenaga yang Zeno miliki, dia berusaha mengeluarkan senjatanya dari dalam saku. Namun dengan cepat, Akbar meraih senjatany
Brom brom brom!Aldebaran menginjak pedal gas mengikuti arah titik merah pada smartwatch."Tuan, jalanan terjal ini sangat berbahaya.""Benar. Aku nggak sangka mereka melewati jalan ini." Felix khawatir dengan keselamatan Aldebaran. Ia pernah mendoakan Aldebaran berumur panjang ketika melihatnya hancur karena ulah Sultan yang melarang mengejar Zoya beberapa hari lalu. Ponsel Aldebaran menyala. Dia melihat panggilan masuk nomor tak dikenal di layar ponsel. Dia menekan tombol hijau."Siapa ini?""TuーTuan Kells, saya Detektif Lingling.""Benarkah? Kenapa kamu pakai nomor asing?"Lingling berdehem. "Hmm.""What's wrong?""Anda pasti udah tahu, lokasi yang kami kirimkan palsu?""Kalian benar-benar kurang ajar!"Wajah Aldebaran memerah. Tangan kanannya memukul kemudi. Aldebaran tidak lupa menyebar titik lokasi kepada para agent agar seluruh anak buahnya bergerak cepat menyusul dirinya dan Felix."Tenang, Tuan. Semua ini ulah The Legend. Saya sudah menghabisi nyawanya barusan." Lingling