Share

200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan
200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan
Penulis: IamBlueRed

1. Hidup Itu Sulit

Penulis: IamBlueRed
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-29 21:40:20

Hidup itu sulit.

Agaknya ungkapan itu benar adanya. Ah, tidak. Bahkan sejak kecil Lia sudah tahu ungkapan itu memang benar.

Akasia Liliana, mahasiswa menuju 20 tahun yang sedang berdiri di pinggir jembatan itu menatap air tenang di bawahnya, menimang-nimang apa jadinya jika ia menyeburkan diri ke sana. Tidak. Ia tidak berniat bunuh diri. Hanya mencoba membayangkan dan menempatkan diri sebagai orang-orang yang sedang frustrasi lalu memilih menyelesaikan masalahnya dengan bunuh diri.

Detik selanjutnya ia bergidik ngeri.

Lia tidak bodoh. Ia tahu bunuh diri tidak menyelesaikan apa pun. Itu hanya memunculkan rasa sakit bagi orang di sekitarnya, orang-orang yang menyayanginya. Jadilah ia pergi ke jembatan luas juga sepi ini hanya untuk mengungkapkan segala keluh kesahnya. Hal yang akhir-akhir ini sering ia lakukan jika ia capai menjalani hidup.

"BABIIIII." Lia berteriak kencang detik selanjutnya, mengumpat dengan kosakata hewan itu.

Tidak ada orang di sana. Hanya beberapa pengendara yang lewat yang mungkin tidak mungkin mendengar teriakannya.

"AAAAAAAAAAAAAAAAA."

"KENAPA GUE HIDUUUUP."

"PENGEN BUNDIR TAPI GAMAU MASUK NERAKAAAA."

Baru ingin berteriak kembali, handphone-nya tiba-tiba bersuara. Lia mengambil benda tipis itu dari saku celananya, mengernyitkan dahi ketika tahu Haikal sahabatnya yang menelponnya.

"Kenapa, Kal?" Lia bertanya setelah mengusap ikon hijau ke atas, menjawab panggilan.

"Lo di mana? Nggak ada di kos-kosan."

Lia ber-oh ria ketika tahu Haikal datang ke kosannya. Kemudian ide untuk menjahili lelaki itu terlintas di otaknya begitu saja. "Gue di pinggir jembatan, Kal. Mau bunuh diri keknya. Capek hidup."

Seperti dugaannya, suara memekik di seberang sana terdengar. "Hah?! Li, jangan macem-macem. Lo sekarang di mana? Kasih tahu posisi lo sekarang!"

Lia tertawa, merasa berdosa tapi puas.

"Please, Li, jangan bego. Tolong mikir bentar. Kasian orang tua lo di rumah. Gimana perasaan mereka kalo lo nggak ada gegara bunuh diri!" Haikal di seberang sana terdengar panik.

Lia cekikikan. Ia masih ingin mendengar sahabatnya itu mengkhawatirkannya.

"Denger, ya, Li. Kita cari jalan keluar bareng-bareng. Sumpah gue bakal bantuin lo cari pinjeman buat bayar uang kuliah. Jadi jangan mikir buat bunuh diri. Itu nggak nyelesain apa pun ngerti nggak."

Demi apa Lia menghangat mendengar penuturan sahabatnya. Haikal itu lelaki baik. Tapi Lia tidak suka menyusahkan orang lain. Ia tidak suka mengemis bantuan meskipun itu sahabatnya sendiri.

Permasalahan utama yang Lia hadapi sekarang memang tentang biaya kuliah. Ia sudah menunggak satu semester, membuat pihak kampus mengirim surat peringatan kepadanya. Masalahnya, satu bulan yang lalu ia baru saja dipecat dari tempat kerjanya di sebuah restoran. Mencari pekerjaan sekarang kan susah-susah gampang. Jikapun mendapatkannya sekarang, tidak mungkin uang gajian turun di awal.

Lebih tidak mungkin jika ia meminta uang ke orang tuanya. Dulu ia berjanji akan kuliah dengan uangnya sendiri tanpa memberatkan orang tua. Jadilah hampir dua tahun ia bekerja untuk mendapat uang.

Ini tahun keduanya kuliah. Ia sudah sampai sejauh ini, tidak mungkin mundur. Tapi memikirkan bagaimana cara mendapat uang untuk membayar biaya kuliah benar-benar membuat Lia frustrasi. Mendaftar beasiswa di banyak tempat pun belum juga membuahkan hasil. sampai saat ini.

"Apa gue open BO, ya, Kal?" Tidak selesai sampai situ, Lia kembali mengerjai sahabatnya. Tentu saja ucapannya hanya bercanda. Semiskin-miskinnya Lia, ia tidak pernah berpikir untuk menjual diri.

"Lia, please. Gue ikut frustrasi ngerti nggak. Kenapa lo mikir sependek itu? Lo beneran Lia bukan sih? Lo kesurupan? Lo kerasukan setan? Serius deh lo di mana sekarang?"

Lia tertawa mendengarnya. Sepertinya ia perlu menyudahi menjahili Haikal. Kasihan temannya itu. Pasti kena mental mendengar ucapannya sedari tadi.

"Nggak, Kal. Gue bercanda. Tadi yang bundir juga canda. Maaf, ya, udah bikin lo khawatir," kata Lia kemudian, diakhiri dengan tawa.

"Anjir ternyata lo bercanda? Lucu lo begitu? Gue udah khawatir banget dari tadi. Kirim chat ke temen-temen, nanyain posisi lo di mana," jelas lelaki itu. Lia sudah bisa membayangkan betapa kesalnya Haikal di seberang sana.

"Beneran deh, Kal. Sorry. Gue capek mikir jadi ngerjain lo itu self-healing banget."

"Self-healing dari hongkong!"

Tawa Lia meledak di pinggir jembatan. "Gue nggak sebego itu, Kal. Lo harusnya tahu gue cuman bercanda tadi. Yakali gue bundir. Mental gue lemah banget. Kalau gitu gue udah bundir sejak dulu."

"Ya siapa tahu? Hati kan bisa berubah-ubah kapan aja."

Lia hanya berdeham, tidak tahu lagi harus menjawab apa.

"Share loc. Gue jemput."

"Mau ngapain?"

"Jalan-jalan, cari makan. Ngapain aja deh. Katanya lo capek. Sekalian cari solusi gimana bayar uang kuliah lo."

"Oh." Lia merespon singkat. "Yaudah, gue matiin telponnya. Nanti gue share loc."

"Hm, yaudah. Gue tunggu."

Tanpa penutupan, Lia segera mematikan panggilan telepon. Ia tersenyum, bersyukur punya sahabat sebaik Haikal yang peduli padanya. Setelah mengirim share loc, Lia kembali menatap air tenang di bawahnya. Ia menghela napas, kembali berteriak di pinggir jembatan.

"SEMOGA HARI INI GUE KETIBAN UANG SATU MILYAR."

"SEMOGA DAPET KERJA GAJINYA—"

Teriakan Lia terhenti ketika seseorang tiba-tiba menarik lengannya. Ia pikir itu Haikal yang sudah datang, tapi ternyata bukan. Itu lelaki lain. Lebih gilanya, laki-laki itu tiba-tiba mendorongnya masuk mobil yang hanya berjarak dua meter dari tempatnya berdiri. Lia membeku, tidak sempat memberontak. Tahu-tahu pintu mobil di sebelahnya tertutup.

"Eh, apa-apaan?!" Lia panik sendiri. Terlebih ketika ia tidak bisa membuka pintu mobil tersebut. Lia sering naik mobil. Hanya saja mobil yang ia naiki sekarang berbeda dengan mobil-mobil biasa. Menyadari pintunya tidak bisa dibuka meskipun dari dalam membuatnya sadar mobil yang ia naiki bukan mobil biasa.

Lelaki dengan kemeja putih itu ikut masuk mobil dari pintu sebelah, menutupnya dengan keras.

"Lo mau apa, ha? Mau nyulik gue?!" katanya setengah berteriak.

Lelaki itu menoleh ke arahnya. Lia mengernyitkan dahi ketika menyadari siapa lelaki di sebelahnya.

"Loh... Damian?" Lia membelalakkan mata ketika sadar itu temannya saat SMA. Damian Naradipta, teman satu kelasnya saat kelas dua belas. "Kenapa lo tiba-tiba narik gue ke dalam mobil?"

Seakan-akan pertanyaannya tidak penting, lelaki yang Lia kenali bernama Damian itu malah berkata, "Kerja jadi pacar gue. Gue bakal bantuin bayar uang kuliah lo."

"Hah?!"

Lia sungguhan terbengong mendengar kalimat lelaki itu barusan.

"Apa suara gue kurang jelas?" tanya Damian retoris. "Jadi pacar bohongan gue. Gue bakal bayar uang kuliah lo."

Lia menatap tidak percaya. Lelaki di depannya ini sudah gila, ya? Mereka bahkan tidak pernah berbicara sebelumnya. Saat SMA pun Lia tidak yakin jika Damian mengenalnya. Kenapa tiba-tiba mengajaknya menjadi pacar bohongan dan bilang akan membayar biaya kuliahnya?

"Lo tahu gue butuh uang buat bayar kuliah dari mana?"

"Lo nggak sadar suara teriakan lo tadi sekenceng apa?" ujarnya, membuatnya sadar ternyata ada orang yang mendengar teriakannya sejak tadi. Tapi bagaimana bisa Damian ada di dekatnya tanpa ia sadari?

Damian kembali bertanya. "Jadi, ya atau enggak?"

Lia begeming.

Tidak memberi kesempatan berpikir, Damian langsung berkata sembari menjalankan mobilnya ke depan, "Gue anggap diem lo artinya iya."

Lia panik kembali. "Gue kaga mau. Berhentiin mobilnya nggak?! Lo mau bawa gue ke mana?"

"Terlanjur. Anggapan gue nggak bisa berubah," jawab Damian, fokus pada kemudi di depannya.

"Lo gila, ya? Gue bilang nggak mau. Kenapa lo tetep maksa? Berhentiin mobilnya sekarang atau gue bakal telpon polisi," ancam Lia.

Damian tersenyum miring. "Lo mau ngelaporin gue ke polisi? Gue saranin sih jangan. Nggak ada gunanya. Disuap dikit laporan lo bakal dilupain gitu aja."

Lia tambah menatap tidak percaya lelaki di depannya. Sial. Ia sedang berhadapan dengan makhluk macam apa sekarang?

"Lo diem duduk aja di sana. Gue cuman butuh lo jadi pacar bohongan gue."

"Tapi gue nggak mau."

"Gue bakal bayar uang kuliah lo sampai selesai."

Mendengar kalimat itu membuat Lia terdiam. Penawaran lelaki di depannya membuat otaknya kosong. Sampai selesai? Bukannya itu penawaran yang menggiurkan? Ia tidak perlu memikirkan biaya kuliahnya dua tahun ke depan.

Damian kembali tersenyum. Kali ini tampak sarkas. "Turutin gue. Lo nggak bakal nyesel."

Lia menelan saliva. Seperti sihir, ia akhirnya duduk diam di tempatnya, menuruti perkataan lelaki itu. Lia seharusnya tidak melakukannya. Ia seharusnya menolak penawaran Damian saat itu juga. Hanya saja nasi telah menjadi bubur. Bulan selanjutnya, Lia baru tersadar Damian itu lelaki paling menyebaljkan yang pernah ia temui. Berurusan dengan lelaki itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.

To be continued.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   127.

    Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   126.

    Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   125.

    Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   124.

    Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   123.

    Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   122.

    Lia tidak mengerti, tapi otaknya hanya terisi segala hal tentang Damian dari sejak kemarin siang sampai siangnya lagi. Otaknya tidak bisa berhenti mengingat perkataan lelaki itu, selalu kepikiran entah karena alasan apa. Lia sepertinya lupa Damian itu bajingan. Dia itu berengsek karena pernah menghamili wanita lalu mengaborsi kandungan. Lalu bagaimana bisa Damian mengatai Lia suka pada lekaki itu? Argh tidak mungkin. Lia tidak suka Damian. Ia tidak punya perasaan pada lelaki itu. Tidak mungkin Lia jatuh cinta pada laki-laki berengsek, menyebalkan, dan semena-mena seperti Damian. Itu mustahil dan tidak bisa dipikir oleh akal sehat. Dari sekian juta lelaki, kenapa harus Damian? Lia lebih baik suka pada Haikal daripada lelaki macam setan itu. Sumpah menyukai Haikal lebih baik daripada menyukai lelaki itu. Tapi menyukai Haikal juga sama tidak mungkinnya. "ARGH KESEL!" Haikal menatap ngeri Lia di sebelahnya. "Li, lo kerasukan?" Kelas sudah sepi, menyisakan mereka berdua yan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status