Share

2. Keputusan Meragukan

Author: IamBlueRed
last update Last Updated: 2025-07-29 21:40:42

Saat di jembatan Lia memang berdoa agar mendapat pekerjaan dengan gaji besar. Doanya dikabulkan dengan cepat, tapi ia tidak menyangka jika begitu caranya. Sepertinya Lia kurang lengkap saat berdoa tadi. Seharusnya ia minta agar orang memberinya pekerjaan secara baik-baik. Tidak memaksa menjadi pacar seperti yang Damian lakukan padanya sekarang.

"Nama lo siapa?" Damian bertanya di dalam mobil, masih fokus pada kemudinya. Detik ini Lia tetap tidak tahu lelaki itu akan membawanya ke mana. Damian hanya menjawab 'nanti lo tahu' saat ia bertanya.

"Lo nggak kenal gue?"

"Nggak."

Sebenarnya Lia juga sudah menebak. Dulu saat di kelas mereka hampir tidak pernah mengobrol. Damian itu tidak banyak bicara, juga jarang senyum. Sekalinya bicara songongnya minta ampun. Wajar sih anak orang kaya.

Selain itu ia keliatan seperti anak ansos yang tidak peduli siapa pun. Lia tidak terlalu heran tiba-tiba Damian menarik tangannya paksa tadi. Dia itu memang semena-mena sejak SMA.

"Gue Lia. Akasia Liliana," jawab Lia kemudian.

"Oke."

Sisa perjalanan diselimuti dengan keheningan. Lia tidak banyak bicara, bingung harus memulai dari mana untuk bicara. Banyak pertanyaan bergumul di otaknya. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Apakah keputusannya untuk mengiyakan permintaan Damian sudah benar? Berpura-pura untuk menjadi pacar lelaki itu?

Seumur hidup Lia tidak pernah berpacaran. Ia pernah menyukai seseorang, tapi tidak sampai menjalin hubungan. Jadi saat tiba-tiba disuruh menjadi pacar ia benar-benar bingung. Lia tidak berpengalaman sebenarnya. Berdua di dalam mobil dengan Damian yang notabenenya orang asing saja berhasil membuatnya gugup dan tidak nyaman.

Beberapa menit berjalan, mobil Damian memasuki parkir bawah tanah sebuah gedung. Rupanya Damian membawa Lia ke mall besar tak jauh dari jembatan yang tadi ia datangi.

Lia tidak ada ide mengapa lelaki itu membawanya ke sana. Setiap pertanyaannya hanya diberi jawaban “ikut aja” oleh lelaki itu. Beberapa menit kemudian barulah ia sadar dibawa ke sebuah toko pakaian ternama.

"Lo pake ini, sama ini juga." Damian memberinya sebuah dress. Tidak hanya satu, tapi banyak, membuat Lia mengernyitkan dahi.

"Ini buat gue?"

Damian berdeham.

"Kenapa?"

Damian berhenti dari kegiatan memilih pakaiannya, menatapnya. "Lo harus tanya? Pacar gue nggak mungkin pake baju kayak yang lo pakai," ujarnya tanpa dosa lalu kembali melangkah ke pilihan dress yang lain.

“What?” Lia memberi ekspresi sebal. Dia ingin sekali marah mendengar ucapan lelaki itu. Memangnya pakaiannya kenapa? Tidak mewah memang. Harganya biasa, yang penting kan ia nyaman menggunakannya.

“Minimal kita bahas kerjaan yang lo kasih dulu nggak sih? Kenapa tiba-tiba beliin baju? Gue juga belum tahu cocok nggak sama kerjaan jadi pacar bohongan lo itu.”

“Pasti cocok.”

Lia berdecak. Baru beberapa menit ia sudah gila menghadapi Damian.

"Harus, ya, pakai ginian? Gue nggak bisa pakai pakaian terbuka." Lia terus terang. Ia tidak bisa memakai pakaian yang lelaki itu pilih. Terlalu pendek dan terbuka. Ia tidak akan nyaman memakainya.

"Terus lo maunya apa? Pilih sendiri. Terserah lo yang mana dan berapa aja."

Lia mengernyitkan dahi. "Serius berapa aja?"

"Hm. Anggap aja bonus. Sekalian sepatu, dompet, tas, atau terserah lo. Cari yang bermerk. Gue bayarin."

Gila. Lia tahu jika Damian itu tajir melintir, tapi ia tidak tahu jika Damian se-tajir itu. Mereka baru bertemu beberapa menit yang lalu tapi ia sudah disuruh menghabiskan uang dengan membeli banyak barang.

Akhirnya Lia memilih baju cepat selama satu jam lebih. Bukannya apa-apa, ia tidak pernah membeli baju di mall mewah lebih-lebih yang bermerk. Hanya sering pergi beli di pasar atau mall biasa. Jadi, saat disuruh memilih sendiri, ia jadi bingung. Damian membantunya memilih tadi, tapi tetap saja lama.

Tadi Lia hanya memilih 3 baju kasual dan beberapa dress tertutup untuknya. Tapi Damian menyuruhnya untuk membeli beberapa baju lagi. Katanya sekalian. Alhasil akhirnya ia memberi 10 setel pakaian yang harganya tidak main-main. Juga sepatu dan tas bermerek yang tidak pernah Lia impikan untuk punya.

Rasanya Lia ingin menangis melihat total biayanya. Hampir mendekati angka seratus juta. Itu kan sudah lebih dari cukup untuk membayar uang kuliahnya sampai selesai.

"Lo beneran beliin gue sebanyak ini?" tanya Lia memastikan.

Damian berdeham.

“Lo dalam keadaan sadar kan ini? Lo nggak lagi konsumsi narkoba?”

Mendengar tuduhan itu Damian memelotinya. Lia berkata lagi, “No offense ya, tapi lo beneran gila. Seratus juta udah bisa bayar kuliah gue. Gua ga butuh baju-baju ini sumpah.”

"Siapa yang beliin semua ini karena lo butuh?" Damian berkata sinis. "Gue yang butuh lo pakai pakaian bagus, makanya gue beliin."

Lia berdecak. Memangnya pakaian yang ia kenakan selama ini tidak bagus? Kalau Lia sedang tidak butuh uang, ia pasti sudah meneriaki lelaki itu sejak tadi.

Oke, Lia harus sabar. Ini semua demi uang.

"Udah? Lo nggak mau beli apa-apa lagi?" tanya lelaki itu.

Lia menggeleng cepat. Hei, bawaan di tangannya sudah kelewat banyak. Gila saja jika harus membeli hal lain. Mana Damian hanya membantu membawa satu paperbag. Kali ini ia jadi mirip pembantu alih-alih pacar bohongan.

“Perlu skincare? Make up?"

Lia menggeleng dengan cepat, tidak mau dibelikan hal lain lagi. Yang ia beli hari sudah lebih dari banyak. "Nggak perlu. Gue biasa pakai bedak sama liptint doang. Gue udah ngerasa cantik kayak gini. Jangan suruh gue pake make up segala."

Damian terdiam, sejenak menatap wajahnya. Dasar Lia kurang pergaulan. Ditatap begitu saja ia jadi gugup tak karuan.

"Yaudah, ayo balik. Gue anter."

Disetujui? Ah, apa Lia benar-benar sudah cantik hanya dengan memakai bedak dan liptint?

"Rumah lo di mana? Tinggal sama?" tanya Damian kemudian.

"Gue ngontrak. Sendirian."

Tampak Damian tak jauh darinya tersenyum miring. "Pas."

Lia mendengarnya, tapi tidak ingin bertanya lebih lanjut. Tentu saja itu pas bagi Damian yang menginginkannya sebagai pacar pura-pura. Tidak perlu basa-basi dengan orang tua. Tidak perlu berkali-kali izin jika pergi keluar rumah.

Ah semoga keputusannya untuk menjadi pacar bohongan Damian kali ini tidak salah. Sungguh, Lia hanya butuh uang untuk melunasi biaya kuliahnya.

***

"Nomor lo." Damian menyerahkan ponsel merk Apple keluaran terbaru pada Lia. Mendengarnya, ia langsung menerima dan mengetikkan nomornya di ponsel lelaki di depannya. Mereka masih di dalam mobil, berhenti di depan gang sebelum masuk ke kontrakannya.

"Mulai besok lo resmi jadi pacar gue," katanya kemudian.

Lia menghembuskan napas. “Kita perlu ngobrolin itu lagi. Gue bahkan belum tahu jobdesk selama jadi pacar lo harus ngapain aja.”

Damian hanya berdeham. “Besok. Habis ini gue ada acara.”

“Ya.”

"Gue jemput ke sini besok pagi. Pakai baju yang dibeli tadi. Sepatu sama tas juga," ingat Damian.

Hari sudah malam. Lia tidak sadar sudah selama itu pergi ke mall bersama Damian. Hampir dua jam lebih. Mereka sempat mampir sebentar ke restoran untuk membeli makan untuk dirinya. Dan ya, gratis.

Jadi begini rasanya punya pacar?

Omong-omong, mereka berdua ternyata sama kampus. Hanya berbeda fakultas. Jika Lia berada di Fakultas Ilmu Budaya, Damian ada di Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

"Berarti gue fix beneran harus bertingkah jadi pacar lo mulai besok?"

Damian berdeham seperti biasa.

Lia sebenarnya ingin tahu motif Damian memperkerjakannya sebagai pacar kontrak. Apa alasannya klise seperti yang sering ia baca di novel-novel? Balas dendam pada mantan pacar? Dijodohkan dengan orang tua dan mencoba menolak dengan membawa pacar? Atau taruhan dengan teman untuk memacarinya?

Opsi terakhir membuat Lia merinding. Terkenal di fakultas saja tidak. Bagaimana bisa orang semacam Damian dan teman-temannya menjadikannya taruhan.

“Bye, gue pergi.“ Detik selanjutnya Damian menjalankan mobil menjauh, meninggalkan Lia yang berdiri di pinggir jalan bersama paperbag berisi baju dan semacamnya yang banyaknya tidak main-main.

Sebelum ia melangkah masuk ke gang rumahnya, ia teringat Haikal yang tadi sore ingin menjemputnya. "Anjir gue lupa!" serunya. Mana handphone-nya Lia matikan data agar tidak menguras kuota. Bagaimana jika sahabatnya itu mencarinya ke mana-mana?

Setelah menghidupkan data, belasan pesan juga panggilan tak terjawab dari Haikal segera masuk ke handphone-nya. Isinya tentu saja bisa ditebak.

Haikal

Li, lo di mana?

Astaga nggak ada orang di jembatan.

Lo bunuh diri? Lo udah loncat ke air?

Panggilan tidak terjawab pada 16.10

Panggilan tidak terjawab pada 16.25

Kenapa memanggil woi?!

Kenapa lo centang satu?

Bercandanya gak lucu.

Gue kesel banget sama lo, Li.

Sampai pesan gue nggak dijawab awas. Gue nggak mau ngomong sama lo sebulan.

Li

Lia

Liliana

Akasia Liliana

Plis gue khawatir banget ini

Li

Li

Li

Panggilan tidak terjawab pada 18.25

Panggilan tidak terjawab pada 18.35

Panggilan tidak terjawab pada 18.45

Lia

Lo di mana?

Kok nggak ada di kosan?

Plis, Li, lo nggak bundir kan?

Lo masih ada di dunia ini kan?

Li

Sumpah gue khawatir banget ini

Apa gue lapor polisi aja?

Lia

Astaga. Kali ini Lia sungguhan berdosa sekali membuat Haikal sangat khawatir. Ini semua gara-gara Damian Naradipta.

To be continued.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   94. Berita Besar

    Foodcourt kampus dipenuhi suara langkah dan obrolan mahasiswa. Di deretan penjual, antrian pembeli mengular. Aroma mie goreng, soto, bakso, nasi goreng bercampur di udara. Di salah satu meja tengah, Haikal dan Lia bergabung bersama Mario dan Rendi yang sudah lebih dulu duduk. Suasana begitu ramai, tapi meja mereka terasa seperti ruang sendiri di tengah kebisingan.Haikal menaruh pesanan di depan Lia sebelum duduk. Sendok dan garpu beradu pelan, diselingi tawa Mario yang bercerita tentang dosennya yang typo di grup kelas. Lia hanya menimpali seperlunya, sementara Haikal ikut menceritakan persiapan pernikahan kakak laki-lakinya yang super sibuk meskipun lelaki itu bukan yang menikah.“Abang lo umur berapa, Kal?” tanya Mario kemudian. “Dua puluh delapan.”“Emang udah waktunya itu mah. Calonnya orang mana?”“Tetangga sebelah doang. Nikah sama bestienya sendiri,” jelas Haikal kemudian. Sejurus kemudian suara dehaman terdengar dari Rendi yang duduk di sebelahnya. Lia menatap temannya itu p

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   93. Iba

    Pintu depan berderit pelan, diikuti langkah kaki berat yang begitu Lia kenal. Suara knop pintu diputar terdengar sebelum akhirnya Damian muncul di gawangan pintu. Lelaki itu mengenakan kemeja hitam sederhana dengan lengan tergulung sampai siku. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya langsung berubah begitu melihat seisi ruangan. “Happy birthday!” seru semua orang di rumah Oma hampir bersamaan. Balon berjatuhan dari atas, confetti menari di udara. Damian tertegun, sempat mengerjap dua kali sebelum bibirnya membentuk senyum lebar yang jarang Lia lihat. Detik berikutnya, ruangan pecah serentak. “Happy birthday to you….” Suara Mama yang memulai, diikuti Oma, Julian, dan Lia yang ikut menyambung. “Happy birthday to you…. Happy birthday, Damian Naradipta….” Julian sengaja nyanyi dengan nada terlalu tinggi, membuat semuanya tertawa di tengah lagu. Lia pun ikut, suaranya pelan tapi jernih, “Happy birthday to you!” Damian berdiri di ambang pintu, masih belum bergerak, matanya beralih dari

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   92. Kenyataan (2)

    “Lo punya masalah apa sih sama gue? Sejak nonton The Script kemarin kayaknya ada sesuatu,” ujar Haikal tiba-tiba di sebelahnya. Dosen mata kuliah mereka telah keluar dua menit yang lalu dan mereka bersiap-siap untuk makan siang di foodcourt.“Kaga ada. Gue fine aja perasaan. Ngobrol, makan, bahas tugas, ngejulid, ngebacot bareng. Perasaan lo aja kali,” jawab Lia sekenanya.Pertanyaan Haikal membuatnya berpikir banyak. Apakah sikapnya tampak berubah sekali bagi Haikal? Lia tentu saja tidak berniat berubah sikap, tapi sekali melihat Haikal memperlakukannya dengan baik dan begitu peduli padanya saja ia langsung kepikiran. Rupanya tidak semudah itu menyimpan rahasia. “Gara-gara Damian, ya? Kalau lo ngejauh dari gue gegara lo pilih Damian nggak masalah sih, tapi kalau lo dipaksa dia, gue nggak bakal tinggal diem.”Lia terkekeh mendengar ucapan sahabatnya. “Bukan gegara itu, Kal. Beneran perasaan lo aja deh. Habis balik dari konser The Script kemarin Damian emang bilang cemburu, sewajarnya

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   91. Kenyataan

    Rumah Oma malam itu terasa berbeda. Lampu ruang tamu diredupkan, aroma buttercream dan lilin vanila mengambang di udara. Di meja, mama dan adik Damian, Julian, sedang sibuk menyusun balon angka “21” di dinding. Oma duduk di sofa, memperhatikan sambil sesekali memberi instruksi lembut. “Sedikit miring, Jul. Yang dua-nya miring ke kanan,” kata Oma. Julian menatap skeptis, tapi menurut juga. “Oke, Oma. Tapi nanti kalau jatuh jangan salahin Julian, ya.” Mama terkekeh pelan, lalu menoleh ke Lia yang baru datang lima belas menit lalu. Lia datang membawa tas kecil berisi kado yang dibungkus rapi—bungkus kertas biru tua dengan pita perak yang ia pilih sejak kemarin sore. “Lia, boleh bantu mama taruh foto-fotonya di tali ini?” tanya Mama Damian. “Siap, Tante,” jawab Lia sambil tersenyum. Sejurus kemudian, Lia tertawa kecil melihat foto-foto polaroid yang mama Damian berikan. Ia menjepit polaroid itu di tali yang tersedia. Di tiap jepitan tergantung potret masa kecil Damian—foto-foto deng

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   90. Retak

    “Lo punya masalah apa sih sama gue? Sejak nonton The Script rasanya ada yang beda,” ujar Haikal tiba-tiba di sebelahnya. Dosen mata kuliah mereka keluar dua menit yang lalu dan mereka bersiap-siap untuk makan siang di foodcourt.“Kaga ada. Gue fine aja sama lo. Ngobrol, makan bareng, bahas tugas, ngejulid, ngebacot bareng. Perasaan lo aja kali,” jawab Lia sekenanya. Pertanyaan Haikal membuatnya berpikir banyak. Ternyata sikapnya terasa berubah bagi pemuda itu.Padahal Lia berusaha bersikap biasa saja semenjak tahu perasaan Haikal padanya. Rupanya tidak semudah itu menyimpan rahasia. Atau mungkin memang dirinya saja yang tidak“Gara-gara Damian, ya? Kalau lo ngejauh dari gue gegara lo pilih Damian nggak masalah sih, tapi kalau lo dipaksa, gue nggak bakal tinggal diem.”Lia terkekeh. “Bukan gegara itu, Kal. Beneran perasaan lo aja dah.”“Real kah? Emang lo bakalan mau kalau gue ajak main ke Timezone.”“Why not? Lo ajak ke kutub utara aja gue ngikut.”Haikal cengengesan, lalu berubah eks

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   89. Happy Birthday! (2)

    Lia menarik napas pelan, memegang ponsel di tangannya yang menampilkan kalimat panjang berisi ucapan selamat ulang tahun. Semua orang sudah memberi ucapan: Oma, Mama, dan Julian. Sekarang, giliran Lia.Ia menjadi yang terakhir, penutup, dan tentu saja orang penting. Maka dari itu ia gugup setengah mati.“Maaf, ya. Nggak sempat ditulis, cuma diketik aja.”Damian mengangguk tidak mempermasalahkan.Mama pun begitu. “Its okay, Lia. AIa sempat melirik Damian yang duduk di seberangnya. Lelaki itu tampak santai, menatapnya sambil tersenyum kecil, mungkin tidak menyangka Lia juga akan berbicara. Sejujurnya Lia tidak menyiapkan surat ucapan untuk Damian sama sekali—dibaca di depan banyak orang pula. Ia cuma sempat mengetik “sweet birthday message for boyfriend” di Google dua menit sebelum gilirannya tiba.“Ehm…” Lia berdeham kecil, menatap ponselnya, lalu mulai membaca dengan suara lembut.Dear Damian,I hope you’ll always be surrounded by things that make you happy — no matter how small the

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status