Setelah masuk rumah dan menaruh barang belanjaannya, Lia cepat-cepat menelpon Haikal. Baru beberapa detik memanggil, sahabatnya itu langsung menjawab.
"Lia, lo di mana? Lo nggak papa kan?"
Lia menjawab dengan nada bersalah, "Gue nggak papa, Kal. Sorry, ya, bikin lo khawatir banget. Tadi gue pergi terus matiin data. Gue lupa nggak bilang sama lo. Gue bener-bener lupa lo mau jemput."
"Sekarang lo di mana?"
"Di kosan."
Helaan lega terdengar di seberang sana.
"Terus lo pergi ke mana tadi, ha? Nggak tahu gue pontang-panting cariin lo kayak orang gila." Sekarang nada suara Haikal berubah galak. "Please, ya, Li. Jangan kebiasaan buat gue khawatir gitu. Gue nggak bisa tenang nyariin lu kemana-mana, kepikiran lo terus dari tadi. Mau ke kantor polisi tapi ini belum 1x24 jam. Mau cari ke mana-mana juga bingung mau ke mana."
Lia menggigit bibir mendengarnya. Sekarang ia menyesal sekali lupa bilang pada Haikal tadi. "Maafin gue, Kal. Gue lupa banget nggak bilang. Huhu sekarang gue ngerasa bersalah banget sama lo. Gue harus apa coba buat dimaafin?"
"Lagian lo ke mana sih?"
"Ceritanya panjang. Kalau gue jelasin di sini kurang enak. Enaknya cerita langsung. Besok di kelas deh," jawab Lia. "Please, maafin gue, ya?"
"Nggak. Gue ngambek ini."
"Ih, najis, Haikal mah. Ngambek kek apaan. Please, maafin gue. Nggak lagi deh kayak gitu. Ya, ya? Lo kan baik hati, tidak sombong, suka memaafkan."
"Hm, yaudah, terserah. Awas lo kek gitu lagi. Gue ceburin empang beneran lo," ancam Haikal, yang membuat Lia ngakak di tempat.
"Yaudah, gue matiin dulu, ya, telponnya. Gue capek banget nih. Kaki gue pegel." Lia berbicara sembari memijat kakinya. Seriusan berdiri di mall sembari memilih pakaian hampir dua jam membuat kakinya pegal. Entah memang selelah itu atau dirinya saja yang kurang olahraga.
"Habis ngapain emang?"
"Belanja."
"Hah? Belanja? Jadi lo tadi pergi belanja?"
"Iya. Udahlah besok gue jelasin. Nggak cuman belanja soalnya," kata Lia kemudian.
"Oke-oke. Yaudah sana istirahat."
"Oke. Gue tutup, ya. Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Detik selanjutnya, panggilan terputus. Lia menghela napas panjang, merebahkan diri di kasur empuk miliknya. Ia menatap plafon kosannya, berpikir apa saja yang akan terjadi besok. Ini sungguhan kan? Besok ia mulai jadi pacar bohongan Damian? Dia tidak berdosa kan jika melakukannya? Dia kan hanya pacaran untuk mendapatkan uang, bukan open BO.
Lia menatap belanjaan yang ia taruh sembarang di dekat pintu, kepikiran sesuatu. Jika Damian memberinya sebanyak itu, apa itu berarti ia harus mendedikasikan diri sebagai pacar lelaki itu dengan serius? Tapi sampai berapa lama?
Ah, hal sepenting ini harus Lia bahas besok. Mereka harus punya kertas perjanjian juga. Ia bukan perempuan bodoh yang menerima kesepakatan tanpa ada perjanjian tertulis. Tanpa itu, Lia bisa saja dimanfaatkan. Terlebih ini berurusan dengan Damian Naradipta. Lelaki yang terkenal angkuh, egois, dan semena-mena pada orang-orang.
Lia tahu, Damian itu berbahaya.
***
Pagi harinya, Lia bangun pagi. Ia langsung mandi, lalu memakai baju yang dibeli kemarin. Ia berdiri di depan kaca, memakai bedak dan memoles bibirnya dengan liptint. Benar kan. Lia sudah cantik hanya dengan dua benda itu. Tidak perlu memakai hal lain.
Lia tidak sarapan. Hanya makan roti sedikit. Dulu saat masih tinggal bersama orang tuanya ia selalu sarapan. Wajib makan sebelum berangkat sekolah. Tapi setelah kuliah, ia tidak pernah lagi makan pagi. Wajar, tinggal sendiri. Mana mencari sarapan pagi-pagi itu ribet. Mana ia malas mengeluarkan uang.
Satu pesan masuk. Ternyata dari Haikal.
Haikal
Gue jemput, ya. Lo siap-siap.Lia melotot, segera membalas pesan.
Anda
Nggak perlu, Kal. Lo berangkat duluan aja.Haikal
Bener? Lo naik apa?Anda
Nggak usah dipikir Nanti gue kasih tahu sampai sanaHaikal
Yaudah kalau gitu Gue berangkat dulu ByeLia hanya membaca pesan terakhir Haikal, tidak menjawab. Ia kembali mematut diri di depan cermin, mengecek penampilannya dengan dress putih selutut lengan panjang sekali lagi. Benar kata orang, sepertinya baju mahal itu memengaruhi kecantikan seseorang. Bukannya PD, tapi Lia merasa lebih cantik memakai bajunya sekarang.
Kali ini sebuah panggilan masuk ke handphone-nya. Itu dari Damian. Tanpa basa-basi, Lia segera mengangkatnya.
"Ya?"
"Gue udah di depan. Buruan," kata seseorang di seberang sana dingin.
"Oke, otewe keluar."
Tanpa penutupan, Damian segera mematikan sambungan.
Lia mengambil sneaker barunya dari paperbag, memakainya. Mengenakannya ia jadi merasa hedon dan high-class sekali. Baju dan sepatunya terlampau bagus dan jangan lupa, mahal sekali. Total harganya tidak mati dua puluh juta.
"Duh lupa tasnya belum diganti."
Lia segera mengeluarkan barang-barang dari tas lamanya, memindahkannya ke backpack bermerk yang ia beli kemarin. Setelah memakai, ia langsung keluar dari kontrakannya. Tidak lupa mengunci pintu tempat tinggalnya itu.
Ia melangkah keluar gang, lalu melihat sosok Damian tengah bersandar di mobil sedang menunggunya. Jujur saja. Damian itu kelewat keren. Style pakaiannya bagus. Terlebih dengan wajahnya yang tampan. Damian benar-benar sempurna jika saja punya perilaku yang baik alih-alih songong dan menyebalkan.
Lia berjalan mendekat, membuat lelaki itu tersadar. Damian menatapnya dari atas ke bawah. Lia menggigit bibir, takut-takut jika penampilannya tidak sesuai seperti yang Damian inginkan.
"Masuk," titahnya.
Mendengarnya Lia menghela napas, lalu masuk ke mobil lelaki itu. Damian masuk beberapa detik kemudian. Lelaki itu mengambil sesuatu di atas dashboard mobilnya.
"Ini buat lo. Ganti sekarang juga."
Lia menatap tak percaya sesaat. Itu smartphone terbaru dengan merek sama seperti yang ia pakai sekarang. Hei, harganya tidak main-main. Bisa tidak sih Damian berhenti membelikannya sesuatu yang kelewat mahal?
"Beneran buat gue? Tapi hape gue masih bagus. Nggak perlu ganti hape," kata Lia. Lia tidak munafik. Ia juga ingin handphone baru yang dibelikan Damian. Tapi serius, dari kemarin ia sudah menerima banyak hal dan mahal-mahal. Jika Damian membelikannya sesuatu yang lain lagi, Lia bisa mual-mual karena overdosis.
"Hape lo jadul, keluaran lama. Pakai yang gue beli." Damian menjawab singkat.
"Tapi gue males ganti hape."
"Pokoknya ganti."
"Ish, ribet."
Damian menoleh ke arahnya, memberikan tatapan mengerikan
"Iya iya gue ganti!" seru Lia kemudian, sedikit kesal.
Dasar Damian. Matanya bisa biasa saja tidak sih? Rasanya ingin ia colok tapi tidak berani. Kenapa sih Lia jadi selemah ini? Dia itu gadis pemberani tahu. Kenapa mendadak ciut di hadapan Damian? Atau itu hanya respon reflek dirinya yang harus menuruti Damian mengingat lelaki itu sudah memberinya banyak hal dan menjanjikan membayar uang kuliahnya? Ah, entahlah.
"Ada kartu perdana di sana kalo lo perlu," kata lelaki itu, kemudian menjalankan mobil menuju kampusnya.
"Hm." Lia hanya menjawab singkat. Di sepanjang perjalanan menuju kampus, ia sibuk mengurusi hape barunya dan memindahkan file-file penting di sana.
Selain angkuh, Damian ini benar-benar merepotkan.
To be continued.
Mau Gili Trawangan atau Gunung Kidul, wisata alam Indonesia itu benar-benar menakjubkan. Pasir pantai Gunung Kidul cukup bersih. Airnya juga. Lebih-lebih banyak pemandangan karang kecil di sana. Sejauh ini ia dan Damian sudah pergi ke tiga pantai berbeda. Di pantai terakhir, mereka berdua bermain air. Saking asiknya, Lia sampai lupa jika waktu melebihi batas yang telah ditetapkan. Pantai di Gunung Kidul terlalu indah untuk dinikmati sampai ia lupa untuk pulang sebelum matahari mulai tenggelam.Setelah membersihkan diri dan ganti baju, mereka berjalan kembali ke parkiran. Waktu menunjukkan pukul lima sore di jam tangan Rolex milik Lia. Itu jam tangan Rolex asli. Damian yang membelikannya saat Lia keceplosan bercerita bahwa jam tangannya rusak saat ia mencuci piring karena lupa melepasnya kala itu. Alhasil, beberapa waktu yang lalu Damian membelikan jam tangan bermerk. Tidak terlalu mahal bagi Damian yang kaya raya itu. “Udah sore banget. Gak usah ke Bukit Bintang, ya?” Lia menyebu
Paginya, Lia dan Damian benar-benar pergi berwisata. Aji dan Leo sebenarnya ingin ikut, tapi tidak bisa karena Hari Senin. Padahal Lia ingin ditemani kedua adiknya alih-alih hanya berduaan dengan Damian."Kamu nggak bawa jaket?" Lia bertanya pada Damian yang berdiri di dekat motor. Waktu menunjukkan pukul lima pagi dan lelaki itu sudah datang menjemputnya.Damian menggeleng."Dingin lho, Mas," ujar ibunya. "Pakai jaketnya Aji aja. Sana, Lia. Ambil jaket Aji. Tanya sama adikmu di mana tempatnya."Lia mengangguk, menuruti perkataan ibu. Ia masuk kamar, membangunkan Aji yang kembali tidur setelah tadi bangun salat subuh. Leo yang tidur di ranjang tingkat di atas Aji ikut terbangun—pemuda itu sungguhan menginap malam ini karena motornya akan dibawa Damian.Tadi malam mereka berdua begadang membahas sesuatu. Alhasil, kembali tidur di pagi hari. Nanti biasanya bangun jam setengah enam untuk siap-siap sekolah. Biasanya jika tidak ada motor, Leo menelpon bawahan papanya agar menjemput dengan
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Lia menatap berbagai paperbag belanjaan yang barusan ia taruh, menghela napas panjang. Ibu, Bapak, Aji dan Leo tak jauh darinya ikut membulatkan mata. “Sebanyak itu?” tanya Bapak. Aji ikut bersuara, “Itu Mas Damian semua yang belikan?”Lia mengangguk lemas. Rasanya semakin banyak beban yang ia tanggung di pundak. Ia masih punya uang saku sisa kemarin, tetapi lelaki itu memaksa membayar seluruh belanjaannya bahkan membeli hal-hal di luar apa yang ia rencanakan seperti sepatu, tas, dan perlengkapan sekolah Aji. Sial. Orang kaya itu selalu semena-mena. Bahkan urusan yang tampak baik seperti ini pun mereka tetap melakukannya dengan pemaksaan. Hal yang sulit kah membiarkan Lia membelikan barang kebutuhan keluarganya tanpa campur tangan lelaki itu? “Nggak papa kalau dibelikan satu atau dua barang, tapi ini banyak banget, Mba. Nggak enak juga,” ujar Ibu kemudian. “Aku udah nolak, Bu. Aku ada uang sendiri buat beli, tapi dia maksa bayarin. Mana beli
Tidak seru jika pergi ke Jogja tanpa pergi ke Malioboro.Alhasil, malamnya Lia dan Damian pergi ke Malioboro menggunakan motor Leo. Niatnya ingin menggunakan motor pitung milik bapak, tapi Damian yang orang kaya tidak terbiasa menggunakan motor jadul itu. Lebih-lebih saat Aji mencoba menghidupkan motornya si pitung itu ngambek tidak mau hidup.Leo yang masih ada di rumah akhirnya menawarkan motor matic-nya pada Damian. Leo memang belum 17, tapi pemuda itu sudah menggunakan motor bahkan mobil sejak usia 14. Tentu saja ada di jalanan desa, bukan jalan besar. Teman Aji yang satu itu tidak henti-hentinya menggoda Lia sejak tadi. Kalau pemuda itu adik Lia sungguhan pasti sudah ia marahi sejak tadi. Pasalnya Aji saja tidak pernah membuat kesal seperti Leo sekarang."Mba Lia, selamat seneng-seneng, ya, sama Mas Pacar. Jangan lupa oleh-olehnya."Lia melotot tajam mendengarnya."Pegangan, Yang. Nanti takut jatuh." Tidak jauh berbeda, Damian yang mengendarai motor di depannya juga berkata sama
Hal yang Lia rindukan ketika berada di Jakarta adalah ketika mendapati meja makan sudah penuh dengan berbagai hidangan untuk sarapan saat waktu menunjukkan pukul setengah tujuh.Lia baru selesai jalan-jalan pagi memutari desa bersama Aji, lalu pulang ke rumah dan melihat Ibu sedang menyiapkan makanan. Bapak sendiri sedang membereskan gudang rumah, melakukan pekerjaan apa pun yang bisa dikerjakan di akhir pekan. Damian sudah ada di hotel. Tadi malam lelaki itu naik taksi online untuk pergi ke sana.Udara pedesaan begitu segar sekali meskipun waktu sudah mendekati pukul tujuh. Tidak seperti di Jakarta sana yang sudah panas dan berpolusi. Di sepanjang perjalanan Lia bertemu beberapa teman SD-nya. Ada yang sedang berangkat bekerja, berangkat kuliah, bahkan mengurus anak. Padahal umur mereka masih 20 tahun seperti Lia. Takdir manusia memang beda-beda.Sampai rumah, Ibu menyuruh sarapan mereka berdua. Aji bilang nanti. Adiknya itu malah mengambil selang, menyiram tumbuhan dan halaman di de
"Ibu istirahat aja. Sini aku yang buatin minuman," kata Lia setelah menyusul ibunya yang pergi ke dapur."Kamu bukannya yang istirahat aja? Tadi berangkat jam berapa dari Jakarta?" tanya ibunya."Jam delapan pagi."“Kok cepet? Naik apa?”“Pesawat.”“Pantes. Yaudah sana duduk aja. Capek pasti," ujar ibunya lagi. Wanita di samping Lia itu menata beberapa gelas di meja dapur. Lalu merebus air untuk menyeduh teh.Damian sendiri ada di teras depan, sedang mengobrol dengan Bapak dan Aji. Lia tidak tahu mereka berbicara apa, tapi tadi akhirnya lelaki itu tetap mengenalkan diri sebagai pacar Lia. Katanya sudah terlanjur salah bicara. Lia tahu sekali itu hanya alasan saja. Kan tinggal dikoreksi saja bisa?Ibu Bapak tidak marah. Hanya terkejut saja karena Lia juga tidak pernah cerita jika punya pacar. Alhasil, sekarang Damian ditanya-tanyai oleh Bapak. Tadi sih ditanya-tanyai tentang hubungan mereka, lalu beralih topik menjadi jurusan kuliah dan kampus. Aji sendiri hanya menyimak obrolan di san