Share

3. Lelaki Angkuh

Author: IamBlueRed
last update Last Updated: 2025-07-30 03:44:49

Setelah masuk rumah dan menaruh barang belanjaannya, Lia cepat-cepat menelpon Haikal. Baru beberapa detik memanggil, sahabatnya itu langsung menjawab.

"Lia, lo di mana? Lo nggak papa kan?"

Lia menjawab dengan nada bersalah, "Gue nggak papa, Kal. Sorry, ya, bikin lo khawatir banget. Tadi gue pergi terus matiin data. Gue lupa nggak bilang sama lo. Gue bener-bener lupa lo mau jemput."

"Sekarang lo di mana?"

"Di kosan."

Helaan lega terdengar di seberang sana.

"Terus lo pergi ke mana tadi, ha? Nggak tahu gue pontang-panting cariin lo kayak orang gila." Sekarang nada suara Haikal berubah galak. "Please, ya, Li. Jangan kebiasaan buat gue khawatir gitu. Gue nggak bisa tenang nyariin lu kemana-mana, kepikiran lo terus dari tadi. Mau ke kantor polisi tapi ini belum 1x24 jam. Mau cari ke mana-mana juga bingung mau ke mana."

Lia menggigit bibir mendengarnya. Sekarang ia menyesal sekali lupa bilang pada Haikal tadi. "Maafin gue, Kal. Gue lupa banget nggak bilang. Huhu sekarang gue ngerasa bersalah banget sama lo. Gue harus apa coba buat dimaafin?"

"Lagian lo ke mana sih?"

"Ceritanya panjang. Kalau gue jelasin di sini kurang enak. Enaknya cerita langsung. Besok di kelas deh," jawab Lia. "Please, maafin gue, ya?"

"Nggak. Gue ngambek ini."

"Ih, najis, Haikal mah. Ngambek kek apaan. Please, maafin gue. Nggak lagi deh kayak gitu. Ya, ya? Lo kan baik hati, tidak sombong, suka memaafkan."

"Hm, yaudah, terserah. Awas lo kek gitu lagi. Gue ceburin empang beneran lo," ancam Haikal, yang membuat Lia ngakak di tempat.

"Yaudah, gue matiin dulu, ya, telponnya. Gue capek banget nih. Kaki gue pegel." Lia berbicara sembari memijat kakinya. Seriusan berdiri di mall sembari memilih pakaian hampir dua jam membuat kakinya pegal. Entah memang selelah itu atau dirinya saja yang kurang olahraga.

"Habis ngapain emang?"

"Belanja."

"Hah? Belanja? Jadi lo tadi pergi belanja?"

"Iya. Udahlah besok gue jelasin. Nggak cuman belanja soalnya," kata Lia kemudian.

"Oke-oke. Yaudah sana istirahat."

"Oke. Gue tutup, ya. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

Detik selanjutnya, panggilan terputus. Lia menghela napas panjang, merebahkan diri di kasur empuk miliknya. Ia menatap plafon kosannya, berpikir apa saja yang akan terjadi besok. Ini sungguhan kan? Besok ia mulai jadi pacar bohongan Damian? Dia tidak berdosa kan jika melakukannya? Dia kan hanya pacaran untuk mendapatkan uang, bukan open BO.

Lia menatap belanjaan yang ia taruh sembarang di dekat pintu, kepikiran sesuatu. Jika Damian memberinya sebanyak itu, apa itu berarti ia harus mendedikasikan diri sebagai pacar lelaki itu dengan serius? Tapi sampai berapa lama?

Ah, hal sepenting ini harus Lia bahas besok. Mereka harus punya kertas perjanjian juga. Ia bukan perempuan bodoh yang menerima kesepakatan tanpa ada perjanjian tertulis. Tanpa itu, Lia bisa saja dimanfaatkan. Terlebih ini berurusan dengan Damian Naradipta. Lelaki yang terkenal angkuh, egois, dan semena-mena pada orang-orang.

Lia tahu, Damian itu berbahaya.

***

Pagi harinya, Lia bangun pagi. Ia langsung mandi, lalu memakai baju yang dibeli kemarin. Ia berdiri di depan kaca, memakai bedak dan memoles bibirnya dengan liptint. Benar kan. Lia sudah cantik hanya dengan dua benda itu. Tidak perlu memakai hal lain. 

Lia tidak sarapan. Hanya makan roti sedikit. Dulu saat masih tinggal bersama orang tuanya ia selalu sarapan. Wajib makan sebelum berangkat sekolah. Tapi setelah kuliah, ia tidak pernah lagi makan pagi. Wajar, tinggal sendiri. Mana mencari sarapan pagi-pagi itu ribet. Mana ia malas mengeluarkan uang.

Satu pesan masuk. Ternyata dari Haikal.

Haikal

Gue jemput, ya. Lo siap-siap.

Lia melotot, segera membalas pesan.

Anda

Nggak perlu, Kal. Lo berangkat duluan aja.

Haikal

Bener?

Lo naik apa?

Anda

Nggak usah dipikir

Nanti gue kasih tahu sampai sana

Haikal

Yaudah kalau gitu

Gue berangkat dulu

Bye

Lia hanya membaca pesan terakhir Haikal, tidak menjawab. Ia kembali mematut diri di depan cermin, mengecek penampilannya dengan dress putih selutut lengan panjang sekali lagi. Benar kata orang, sepertinya baju mahal itu memengaruhi kecantikan seseorang. Bukannya PD, tapi Lia merasa lebih cantik memakai bajunya sekarang.

Kali ini sebuah panggilan masuk ke handphone-nya. Itu dari Damian. Tanpa basa-basi, Lia segera mengangkatnya.

"Ya?"

"Gue udah di depan. Buruan," kata seseorang di seberang sana dingin.

"Oke, otewe keluar."

Tanpa penutupan, Damian segera mematikan sambungan.

Lia mengambil sneaker barunya dari paperbag, memakainya. Mengenakannya ia jadi merasa hedon dan high-class sekali. Baju dan sepatunya terlampau bagus dan jangan lupa, mahal sekali. Total harganya tidak mati dua puluh juta.

"Duh lupa tasnya belum diganti."

Lia segera mengeluarkan barang-barang dari tas lamanya, memindahkannya ke backpack bermerk yang ia beli kemarin. Setelah memakai, ia langsung keluar dari kontrakannya. Tidak lupa mengunci pintu tempat tinggalnya itu.

Ia melangkah keluar gang, lalu melihat sosok Damian tengah bersandar di mobil sedang menunggunya. Jujur saja. Damian itu kelewat keren. Style pakaiannya bagus. Terlebih dengan wajahnya yang tampan. Damian benar-benar sempurna jika saja punya perilaku yang baik alih-alih songong dan menyebalkan.

Lia berjalan mendekat, membuat lelaki itu tersadar. Damian menatapnya dari atas ke bawah. Lia menggigit bibir, takut-takut jika penampilannya tidak sesuai seperti yang Damian inginkan.

"Masuk," titahnya.

Mendengarnya Lia menghela napas, lalu masuk ke mobil lelaki itu. Damian masuk beberapa detik kemudian. Lelaki itu mengambil sesuatu di atas dashboard mobilnya.

"Ini buat lo. Ganti sekarang juga."

Lia menatap tak percaya sesaat. Itu smartphone terbaru dengan merek sama seperti yang ia pakai sekarang. Hei, harganya tidak main-main. Bisa tidak sih Damian berhenti membelikannya sesuatu yang kelewat mahal?

"Beneran buat gue? Tapi hape gue masih bagus. Nggak perlu ganti hape," kata Lia. Lia tidak munafik. Ia juga ingin handphone baru yang dibelikan Damian. Tapi serius, dari kemarin ia sudah menerima banyak hal dan mahal-mahal. Jika Damian membelikannya sesuatu yang lain lagi, Lia bisa mual-mual karena overdosis.

"Hape lo jadul, keluaran lama. Pakai yang gue beli." Damian menjawab singkat.

"Tapi gue males ganti hape."

"Pokoknya ganti."

"Ish, ribet."

Damian menoleh ke arahnya, memberikan tatapan mengerikan

"Iya iya gue ganti!" seru Lia kemudian, sedikit kesal.

Dasar Damian. Matanya bisa biasa saja tidak sih? Rasanya ingin ia colok tapi tidak berani. Kenapa sih Lia jadi selemah ini? Dia itu gadis pemberani tahu. Kenapa mendadak ciut di hadapan Damian? Atau itu hanya respon reflek dirinya yang harus menuruti Damian mengingat lelaki itu sudah memberinya banyak hal dan menjanjikan membayar uang kuliahnya? Ah, entahlah.

"Ada kartu perdana di sana kalo lo perlu," kata lelaki itu, kemudian menjalankan mobil menuju kampusnya.

"Hm." Lia hanya menjawab singkat. Di sepanjang perjalanan menuju kampus, ia sibuk mengurusi hape barunya dan memindahkan file-file penting di sana.

Selain angkuh, Damian ini benar-benar merepotkan.

To be continued.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   94. Berita Besar

    Foodcourt kampus dipenuhi suara langkah dan obrolan mahasiswa. Di deretan penjual, antrian pembeli mengular. Aroma mie goreng, soto, bakso, nasi goreng bercampur di udara. Di salah satu meja tengah, Haikal dan Lia bergabung bersama Mario dan Rendi yang sudah lebih dulu duduk. Suasana begitu ramai, tapi meja mereka terasa seperti ruang sendiri di tengah kebisingan.Haikal menaruh pesanan di depan Lia sebelum duduk. Sendok dan garpu beradu pelan, diselingi tawa Mario yang bercerita tentang dosennya yang typo di grup kelas. Lia hanya menimpali seperlunya, sementara Haikal ikut menceritakan persiapan pernikahan kakak laki-lakinya yang super sibuk meskipun lelaki itu bukan yang menikah.“Abang lo umur berapa, Kal?” tanya Mario kemudian. “Dua puluh delapan.”“Emang udah waktunya itu mah. Calonnya orang mana?”“Tetangga sebelah doang. Nikah sama bestienya sendiri,” jelas Haikal kemudian. Sejurus kemudian suara dehaman terdengar dari Rendi yang duduk di sebelahnya. Lia menatap temannya itu p

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   93. Iba

    Pintu depan berderit pelan, diikuti langkah kaki berat yang begitu Lia kenal. Suara knop pintu diputar terdengar sebelum akhirnya Damian muncul di gawangan pintu. Lelaki itu mengenakan kemeja hitam sederhana dengan lengan tergulung sampai siku. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya langsung berubah begitu melihat seisi ruangan. “Happy birthday!” seru semua orang di rumah Oma hampir bersamaan. Balon berjatuhan dari atas, confetti menari di udara. Damian tertegun, sempat mengerjap dua kali sebelum bibirnya membentuk senyum lebar yang jarang Lia lihat. Detik berikutnya, ruangan pecah serentak. “Happy birthday to you….” Suara Mama yang memulai, diikuti Oma, Julian, dan Lia yang ikut menyambung. “Happy birthday to you…. Happy birthday, Damian Naradipta….” Julian sengaja nyanyi dengan nada terlalu tinggi, membuat semuanya tertawa di tengah lagu. Lia pun ikut, suaranya pelan tapi jernih, “Happy birthday to you!” Damian berdiri di ambang pintu, masih belum bergerak, matanya beralih dari

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   92. Kenyataan (2)

    “Lo punya masalah apa sih sama gue? Sejak nonton The Script kemarin kayaknya ada sesuatu,” ujar Haikal tiba-tiba di sebelahnya. Dosen mata kuliah mereka telah keluar dua menit yang lalu dan mereka bersiap-siap untuk makan siang di foodcourt.“Kaga ada. Gue fine aja perasaan. Ngobrol, makan, bahas tugas, ngejulid, ngebacot bareng. Perasaan lo aja kali,” jawab Lia sekenanya.Pertanyaan Haikal membuatnya berpikir banyak. Apakah sikapnya tampak berubah sekali bagi Haikal? Lia tentu saja tidak berniat berubah sikap, tapi sekali melihat Haikal memperlakukannya dengan baik dan begitu peduli padanya saja ia langsung kepikiran. Rupanya tidak semudah itu menyimpan rahasia. “Gara-gara Damian, ya? Kalau lo ngejauh dari gue gegara lo pilih Damian nggak masalah sih, tapi kalau lo dipaksa dia, gue nggak bakal tinggal diem.”Lia terkekeh mendengar ucapan sahabatnya. “Bukan gegara itu, Kal. Beneran perasaan lo aja deh. Habis balik dari konser The Script kemarin Damian emang bilang cemburu, sewajarnya

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   91. Kenyataan

    Rumah Oma malam itu terasa berbeda. Lampu ruang tamu diredupkan, aroma buttercream dan lilin vanila mengambang di udara. Di meja, mama dan adik Damian, Julian, sedang sibuk menyusun balon angka “21” di dinding. Oma duduk di sofa, memperhatikan sambil sesekali memberi instruksi lembut. “Sedikit miring, Jul. Yang dua-nya miring ke kanan,” kata Oma. Julian menatap skeptis, tapi menurut juga. “Oke, Oma. Tapi nanti kalau jatuh jangan salahin Julian, ya.” Mama terkekeh pelan, lalu menoleh ke Lia yang baru datang lima belas menit lalu. Lia datang membawa tas kecil berisi kado yang dibungkus rapi—bungkus kertas biru tua dengan pita perak yang ia pilih sejak kemarin sore. “Lia, boleh bantu mama taruh foto-fotonya di tali ini?” tanya Mama Damian. “Siap, Tante,” jawab Lia sambil tersenyum. Sejurus kemudian, Lia tertawa kecil melihat foto-foto polaroid yang mama Damian berikan. Ia menjepit polaroid itu di tali yang tersedia. Di tiap jepitan tergantung potret masa kecil Damian—foto-foto deng

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   90. Retak

    “Lo punya masalah apa sih sama gue? Sejak nonton The Script rasanya ada yang beda,” ujar Haikal tiba-tiba di sebelahnya. Dosen mata kuliah mereka keluar dua menit yang lalu dan mereka bersiap-siap untuk makan siang di foodcourt.“Kaga ada. Gue fine aja sama lo. Ngobrol, makan bareng, bahas tugas, ngejulid, ngebacot bareng. Perasaan lo aja kali,” jawab Lia sekenanya. Pertanyaan Haikal membuatnya berpikir banyak. Ternyata sikapnya terasa berubah bagi pemuda itu.Padahal Lia berusaha bersikap biasa saja semenjak tahu perasaan Haikal padanya. Rupanya tidak semudah itu menyimpan rahasia. Atau mungkin memang dirinya saja yang tidak“Gara-gara Damian, ya? Kalau lo ngejauh dari gue gegara lo pilih Damian nggak masalah sih, tapi kalau lo dipaksa, gue nggak bakal tinggal diem.”Lia terkekeh. “Bukan gegara itu, Kal. Beneran perasaan lo aja dah.”“Real kah? Emang lo bakalan mau kalau gue ajak main ke Timezone.”“Why not? Lo ajak ke kutub utara aja gue ngikut.”Haikal cengengesan, lalu berubah eks

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   89. Happy Birthday! (2)

    Lia menarik napas pelan, memegang ponsel di tangannya yang menampilkan kalimat panjang berisi ucapan selamat ulang tahun. Semua orang sudah memberi ucapan: Oma, Mama, dan Julian. Sekarang, giliran Lia.Ia menjadi yang terakhir, penutup, dan tentu saja orang penting. Maka dari itu ia gugup setengah mati.“Maaf, ya. Nggak sempat ditulis, cuma diketik aja.”Damian mengangguk tidak mempermasalahkan.Mama pun begitu. “Its okay, Lia. AIa sempat melirik Damian yang duduk di seberangnya. Lelaki itu tampak santai, menatapnya sambil tersenyum kecil, mungkin tidak menyangka Lia juga akan berbicara. Sejujurnya Lia tidak menyiapkan surat ucapan untuk Damian sama sekali—dibaca di depan banyak orang pula. Ia cuma sempat mengetik “sweet birthday message for boyfriend” di Google dua menit sebelum gilirannya tiba.“Ehm…” Lia berdeham kecil, menatap ponselnya, lalu mulai membaca dengan suara lembut.Dear Damian,I hope you’ll always be surrounded by things that make you happy — no matter how small the

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status