LOGINSeperempat jam menaiki mobil, akhirnya Lia sampai juga di depan fakultasnya. Handphone-nya sudah ganti, membuat Lia resmi memakai ponsel pemberian Damian hari itu juga.
"Nanti kalau udah selesai matkul bilang. Gue jemput."
"Harus? Nggak bisa pulang sendiri?" Lia yang masih di dalam mobil bertanya. Baru sehari menjadi pacar bohongan saja membuat pening. Pergi pulang kampus harus bersama lelaki itu. Ah, lelah juga padahal ia hanya duduk di dalam mobil. Pasalnya Lia kan juga punya kegiatan sendiri. Jika setiap hari direcoki malas juga.
Ah mungkin itu juga alasan Lia tidak berpacaran sampai sekarang. Pacaran itu ribet. Tidak berguna dan membuang-buang waktu saja. Sialnya demi membayar uang kuliahnya yang sudah menunggak ia jadi menghilangkan rekor menjomblo selama 20 tahun. Meskipun yang sekarang hanya pura-pura.
"Nggak. Gue mau ajak pergi soalnya," jawabnya singkat.
"Ke mana?"
"Nanti lo tahu."
Lia menghela napas. Oke. Anggap saja ini pekerjaan. Jadi pasti ada susah senangnya. Pasti ada rasa lelahnya. Sama seperti ia berkerja sebagai pramusaji sebulan yang lalu. Bedanya ini ia diberi banyak bonus dengan barang-barang mewah yang tidak pernah terpikirkan oleh Lia untuk membelinya. Hanya saja sepertinya tekanan batinnya akan lebih terasa. Hm, liat saja nanti. Semoga saja Lia kuat menjalaninya.
Detik selanjutnya Lia membuka pintu mobil, keluar dari sana. Ia menelan saliva, menatap kanan kiri saat beberapa orang melihatnya keluar. Lia lupa sesuatu sepertinya. Mobil Damian yang begitu mewah itu mencolok sekali, membuat beberapa pasang mata menoleh ke sana. Mungkin pemiliknya sama terkenalnya seperti mobilnya. Bahkan bisa jadi lebih terkenal.
"Lia! Sayang!" Damian mengeluarkan kepala dari jendela mobil.
Lia tidak mengerti, tapi ia terkaget saat Damian meneriaki namanya disusul dengan panggilan sayang. Hei, kenapa mendadak Lia merinding sekali? Lebih-lebih ketika orang-orang di sekitarnya makin menatapnya.
Detik selanjutnya ia langsung balik, melangkah mendekat ke mobil Damian. "Kenapa?"
Damian berkata pelan, membuatnya harus mengarahkan kepala lebih dekat, "Jangan bilang lo pacar bohongan gue ke siapa-siapa. Meskipun itu sahabat lo. Meskipun dia bisa jaga rahasia."
Lia tertegun. "Satu orang aja gimana? Dia sahabat gue, deket banget. Nggak mungkin dia bocorin rahasia gue."
Damian menggeleng. "No. Rahasia ini cuma ada di gue sama lo."
"Please. Beneran deh dia nggak bakal kasih tahu siapa-siapa." Lia masih mencoba menawar. Siapa tahu Damian berpikir ulang tentang larangan itu.
Damian menggeleng. Tatapannya berubah mengerikan seperti biasa. Tajam seolah akan menggores lehernya saat itu juga.
Lia lagi-lagi menghela napas. Ia tidak bisa menolak ucapan Damian lagi entah kenapa. Ah menyusahkan sekali. Ia jadi merasa tak berdaya.
Hancur sudah rencananya yang akan bercerita alias curhat pada Haikal. Astaga. Padahal ia butuh teman cerita seperti Haikal sekarang. Kenapa Damian harus melarangnya? Padahal kan sahabatnya itu tidak mungkin membocorkannya pada siapa pun.
"Lo paham kan? Inget, jangan bilang ke siapa-siapa."
"Hm, yaudah." Lia menjawab malas. Ia kehilangan mood-nya sepagi ini. "Gue pergi dulu."
"Bentar."
Belum sempat berbalik, Damian kembali mencegahnya.
"Kenapa?"
"Deketin wajah lo."
"Hah?" Lia mengernyitkan dahi.
"Deketin wajah lo." Damian mengulang perkataannya.
Meskipun tidak paham, Lia akhirnya menuruti ucapan lelaki itu. Ia mendekatkan wajah ke jendela. Detik selanjutnya, ia dibuat melotot karena gerakan Damian yang tiba-tiba.
Cup.
Gila. Damian mengecup pipinya barusan. Di depan taman fakultas dan sialnya disaksikan banyak orang. Lelaki itu tampak biasa saja, santai sekali saat melakukannya, seolah tidak terusik dengan kenyataan bahwa ia barusan mengecup pipinya. Jangan lupakan sedikit senyumnya yang mengembang sekarang. Kemarin-kemarin saja ekspresinya selalu dingin. Itu pasti hanya akting.
Ah, lagi pula kenapa Lia mempermasalahkan sikap Damian? Itu kan tuntutan. Mereka sedang berpura-pura menjadi sepasang kekasih. Jadi, please, Lia, jangan bawa perasaan atas tingkah Damian mulai hari ini. Selain angkuh dan semena-mena, mungkin lelaki itu juga sejenis buaya darat yang mudah sekali melakukan hal itu pada perempuan.
"Gue pergi dulu," katanya, membuat Lia tersadar dari keterkejutannya.
"Ah i-iya."
Sial. Kenapa Lia jadi tebata-bata seperti itu?
Damian menaikkan kaca jendelanya. Hanya saja, sebelumnya lelaki itu terlihat melirik ke seseorang tak jauh dari mobilnya, membuat Lia ikut menoleh ke arah yang dilirik lelaki itu.
Ada seorang perempuan duduk berdekatan dengan laki-laki di bangku taman. Wanita itu tampak terkejut melihat Damian. Lia yang melihatnya menyadari sesuatu. Jangan-jangan apa yang Lia pikirkan kemarin benar? Damian ingin balas dendam kepada mantan pacarnya? Dan perempuan yang terkejut itu mantannya.
Damian belum sempat menjelaskan. Katanya nanti. Jadi yasudah, jangan pikirkan hal itu berlebihan. Mungkin itu temannya. Atau salah satu dari seseorang yang harus tahu bahwa Damian punya pacar.
"Oh ya," Damian kembali menurunkan kaca jendela mobil. "Kirim nomer rekening lo. Nanti gue transfer uang buat lo bayar kuliah," katanya.
"Ah, oke. Gue kirim rincian pembayarannya sekalian biar lo percaya."
"Nggak usah. Yang bakal gue transfer pasti lebih dari cukup."
"Hah?"
Sial. Berbicara dengan Damian membuat otaknya lagging berkali-kali.
"Oh oke," katanya setelah paham. "Kirimnya ngepas aja. Nggak usah lebih. Gue nggak mau bantuan lo yang berlebih itu jadi boomerang nantinya."
Damian tersenyum miring. "Itu bukan bantuan. Gue bayar jasa lo."
Ah benar juga. Tapi entah mengapa apa yang Damian berikan padanya lebih dari jasa yang Lia berikan. Ah belum tahu sih. Lia belum sempat membahas rencana perjanjian tertulis yang ia susun kemarin.
Detik selanjutnya Damian menutup jendela mobilnya kembali, berlalu pergi dari hadapannya.
Lia menghela napas. Ia menelan saliva ketika sadar akan tatapan orang-orang di sekitarnya. Beberapa terperangah, beberapa berbisik-bisik. Semoga saja ia tidak jadi bahan gunjingan.
Lagi pula, jika dipikir-pikir, ia kan tidak salah. Status mereka kan pacaran meskipun hanya bohongan. Jadi tidak masalah jika diantar pulang pergi atau dikecup pipi seperti tadi.
Jadi, oke, Lia, dongakkan kepalamu dan jangan gentar. Dia tidak open BO.
Lia balik kanan menuju kelasnya. Baru beberapa langkah berjalan, ia langsung berhenti ketika seseorang menghadang jalannya. Siapa lagi jika bukan Muhammad Haikal Ramadhan sahabatnya. Lia langsung mengernyit ketika Haikal menatapnya dengan sorot mata dingin.
"Apaan?"
"Jelasin tadi apa."
"Hah?" Lia berusaha mencerna ucapan Haikal. Tadi apa? Yang mana? Astaga. Kenapa Lia lelet berpikir sekali. Sahabatnya itu pasti melihatnya keluar dari mobil Damian. Dan tentu saja, ia pasti melihat Damian yang mengecup pipinya tiba-tiba.
"Ah itu... Aku..." Lia kelabakan menyusun jawaban. Sial memang. Ia belum persiapan berbohong pada Haikal. Niatnya tadi kan berterus terang sebelum akhirnya dilarang oleh Damian.
"Lo open BO beneran?" Haikal berkata kemudian.
Lia berdecak mendengarnya. "Nggak lah, Kal. Lo gila, ya? Kemarin kan gue bercanda. Najis mana mungkin gue jual diri."
"Terus tadi apa? Lo keluar dari mobil cowok? Dicium? Pakaian lo, tas lo, semuanya baru terus bermerek. Nike? Channel? Terus ... hape lo baru? Penampilan lo kenapa berubah drastis gitu?" Haikal menatapnya dari atas ke bawah, masih menyorotnya dingin.
Lia menghela napas. "Udah, jangan ngobrol di sini. Gue nggak nyaman diliatin mereka. Ayo ke kelas. Gue jelasin di sana. Oke?"
Haikal bergeming. Lia pikir sahabatnya akan kembali protes. Tapi akhirnya lelaki itu diam, mengikuti langkahnya menuju kelas. Tampak tenang, tapi otak Lia mati-matian memikirkan sesuatu yang akan ia jelaskan pada Haikal nanti. Semoga saja yang ia ucapkan nanti tidak cacat logika.
Argh. Lagi pula kenapa Damian harus melarangnya bercerita ke Haikal? Dia kan bisa kena mental jika memendam hal itu sendirian. Dasar Damian menyusahkan. Suka sekali membuat orang menderita.
To be continued.
Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k
Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k
Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k
Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k
Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k
Lia tidak mengerti, tapi otaknya hanya terisi segala hal tentang Damian dari sejak kemarin siang sampai siangnya lagi. Otaknya tidak bisa berhenti mengingat perkataan lelaki itu, selalu kepikiran entah karena alasan apa. Lia sepertinya lupa Damian itu bajingan. Dia itu berengsek karena pernah menghamili wanita lalu mengaborsi kandungan. Lalu bagaimana bisa Damian mengatai Lia suka pada lekaki itu? Argh tidak mungkin. Lia tidak suka Damian. Ia tidak punya perasaan pada lelaki itu. Tidak mungkin Lia jatuh cinta pada laki-laki berengsek, menyebalkan, dan semena-mena seperti Damian. Itu mustahil dan tidak bisa dipikir oleh akal sehat. Dari sekian juta lelaki, kenapa harus Damian? Lia lebih baik suka pada Haikal daripada lelaki macam setan itu. Sumpah menyukai Haikal lebih baik daripada menyukai lelaki itu. Tapi menyukai Haikal juga sama tidak mungkinnya. "ARGH KESEL!" Haikal menatap ngeri Lia di sebelahnya. "Li, lo kerasukan?" Kelas sudah sepi, menyisakan mereka berdua yan







