Damian sungguhan menepati janjinya untuk membebaskan kegiatan Lia meskipun masih berpacaran. Lia jarang pergi ke apartemen lelaki itu sekarang, hanya beberapa kali. Kadang, jika ia ingin berangkat bersama Haikal juga dibolehkan. Hanya saja Lia tetap tahu diri. Nanti orang-orang menyebutnya tukang selingkuh jika keterusan berangkat bersama sahabatnya.Seperti sekarang, Lia ikut pergi ke apartemen Damian setelah lima hari ini tidak datang ke sana. Selesai kuliah Lia langsung menelpon Damian untuk dijemput. Tanpa paksaan dan justru menawarkan diri.Damian tampak murung beberapa hari ini. Lia tidak tahu semenjak kapan, tapi sepertinya masih ada hubungannya dengan Arin. Wajar saja. Move on bukan hal yang mudah dilakukan."Gue laper deh. Makan apa ya?" ujar Lia bermonolog ketika waktu menunjukkan pukul satu siang. Ia duduk di atas sofa, bersedekap dada sembari berpikir makan siang yang enak dinikmati. Damian tiba-tiba menyodorkan ponselnya. “Gue punya hape,“ ujarnya. Ia tidak mau Damian
Seperti rencana Damian sebelumnya, lelaki itu mengajak Lia jogging di taman kampus pada pagi harinya. Tepat pukul enam Damian sudah sampai di depan kontrakan. Satu hal yang membuat Lia terkejut adalah Damian membawa motor alih-alih mobil. Dua bulan bersama, baru kali ini ia melihat Damian mengendarai motor sport miliknya sendiri. Lelaki itu selalu membawa mobil ke mana-mana sebelumnya.Langit tampak cerah dan bersih dari awan. Lia yang sudah siap dengan baju olahraga warna abu-abu dan sepatu running warna putih—siapa lagi jika bukan Damian yang membelikan—keluar dari rumah. Rambutnya ia kucir kuda agar tidak menganggu saat lari nantinya."Motor baru?" tanya Lia kemudian. Damian menggeleng. "Kaga, udah lama.""Tumben banget tiba-tiba pakai motor? Mobil lo ke mana?""Di basement. Gue sering pakai motor ini, cuma nggak sama lo aja.""Terus sama siapa?" Lia tidak mengerti mengapa ia menanyakan hal itu.Damian menyeringai. "Kenapa emang? Gue nggak ada cewe selain lo."Lia memberi ekspresi
Setelah tadi pagi sampai di Jakarta, sore harinya Lia pergi ke rumah Haikal untuk mengantar oleh-oleh dari Jogja. Sudah lama Lia tidak main ke rumah sahabatnya. Sekalian saja suprise datang karena Lia belum kabar-kabar kalau ia sudah kembali ke Jakarta.Sampai rumah Haikal, Lia langsung mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Seorang wanita dengan jilbab yang Lia kenal sebagai ibu sahabatnya itu keluar."Haikal-nya ada, Tante?" tanya Lia kemudian."Oh ternyata Lia yang dateng. Haikal-nya keluar sama Satria lima belas menit yang lalu. Sini masuk dulu. Lama banget kamu nggak ke rumah. Pas banget Tante lagi masak banyak makanan. Nanti malem abangnya Haikal mau dateng soalnya," kata Tante Lana.Ibu Haikal itu ramah dan baik sekali. Lia kadang suka berlama-lama bermain di rumahnya. Di sana pasti ia disuguhi banyak makanan.Haikal itu anak kedua dari lima bersaudara. Empat laki-laki dan satu perempuan. Hanya saja untuk kakak tertuanya berbeda ibu dengan Haikal. Haikal pernah bercerita jika ab
Dua pekan melesat dengan cepat.Setelah hampir dua minggu berada di Jogja, Lia berniat menghabiskan sisa liburannya di Jakarta. Hari Minggu pagi Lia sudah berada di bandara untuk keberangkatan ke ibu kota. Biasanya ia naik bus yang memakan waktu sekitar 10 jam sendiri, tapi karena ada uang berlebih dari Damian, Lia pakai untuk kembali ke Jakarta menggunakan pesawat karena waktunya yang lebih cepat.Lia memeluk Aji dan Leo bergantian. Dua Sekawan itu mengantarnya sampai bandara."Rajin belajar kalian berdua. Besok udah UTS kan? Jangan banyak main game terus. Mulai mikir buat masa depan, mau ambil juruan apa, mau jadi apa," nasihat Lia pada kedua adiknya itu. "Tenang, Mba. Kita malah udah mikirin hal itu sejak SMP," ujar Leo. Lia seharusnya tahu, tanpa dibilang pun mereka berdua adalah anak-anak yang berorientasi pada masa depan. Mereka akan belajar tanpa disuruh belajar. "Sejak SD kali," timpal Aji."Oh, nggak. Aku sih dah mikir sejak masih zigot." Leo berkata tidak mau kalah.Lia ha
Lia menghampiri Aji yang sedang asyik bermain handphone di teras rumah. Adiknya itu sedang duduk-duduk di kursi rotan sembari memegang ponsel dan memakai earphone. Sepertinya bermain game. Sore-sore seperti ini asyiknya memang santai-santai di teras rumah. Apalagi jika di depan ada pisang goreng buatan Ibu. “Lagi ngapain?” tanya Lia kemudian. Aji menoleh ke arahnya sebentar, nyengir. Kemudian pemuda itu menunjukkan layar hapenya yang tentu saja berisi game. Aji lanjut fokus pada layar di depannya. Mana bisa diganggu jika sedang fokus. Lia akhirnya ikut duduk di samping Aji, mengecek ponselnya. Ia membuka I*******m, lalu melihat highlight dengan judul my boyfie di akunnya. Ada banyak story I*******m di sana. Dua puluh lebih. Isinya kegiatan Lia Bersama Damian selama dua bulan ini. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana isi akunnya setelah enam bulan ini. Pasti merepotkan sekali menghapus semua foto palsu itu jika kontrak mereka telah usai. “Mas Damian baik banget, ya, Mba?” tanya Aji
Dikhawatirkan orang tua karena telat pulang adalah hal langka yang Lia rasakan.Pasalnya tidak ada yang mengkhawatirkan Lia saat berada di Jakarta sana. Mungkin hanya Haikal. Itu pun hanya beberapa kali dan lebih sering setelah ia berpacaran dengan Damian—Lia paham mengapa sahabatnya itu khawatir. Damian memang seperti lelaki berengsek terlepas benar atau tidaknya rumor yang ada."Mba Lia."“Mba?”Dehaman kencang terdengar. “Liliana?”Lia tersentak. Ia yang sedang menatap anak ayam berlarian di belakang rumah gelagapan mendengar panggilan Ibu. Ia bahkan tidak sadar Ibu ada di gawangan pintu kamarnya."Ada apa, Bu?" tanya Lia kemudian. Ia sedang gabut maksimal karena Aji dan Leo sekolah. Alhasil ia hanya duduk-duduk di kamar sembari melihat ayam milik Bapak mencari makan dari jendela."Kamu ngelamunin apa sih?"Lia nyengir lebar. "Lagi liat ayam terus keinget dulu pernah nginjek anak ayam sampai kepenyet.”Itu bukan jawaban yang sesuai, tetapi tidak juga salah. Lia tahu jawabannya rand